Apa saja prokontra tentang sistem zonasi

KPAI merekomendasikan agar pembangunan infrastruktur pendidikan terus didorong. Di wilayah sekitar Jakarta, misalnya, ada banyak kawasan perumahan baru yang dikembangkan, tetapi tak disertai pembangunan sekolah.

Apa saja prokontra tentang sistem zonasi
Edoy menggambar mural bertema pendidikan nasional di kawasan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat, Senin (19/8/2019). Pendidikan nasional adalah landasan utama peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

JAKARTA, KOMPAS — Sistem penerimaan peserta didik baru jalur zonasi yang tujuannya memastikan semua anak Indonesia mendapat akses pendidikan secara adil menuai pro dan kontra. Ada yang berharap seleksi murid dapat sepenuhnya dilakukan dengan memprioritaskan anak yang tinggal dekat sekolah. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa seleksi berdasarkan zonasi kadang tidak obyektif sehingga faktor lain yang lebih subyektif, seperti hasil ujian nasional, perlu juga dipertimbangkan.

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Ratiyono di Jakarta, Kamis (5/9/2019), menyatakan, seleksi murid hanya melalui jalur zonasi saja tidak memungkinkan. Ia mencontohkan satu kasus di mana dua anak tinggal di gedung apartemen yang sama, tetapi di lantai yang berbeda. Dalam kasus itu, sekolah tidak bisa memilih salah satu anak berdasarkan zonasi sehingga yang dipilih berdasarkan prestasi ujian nasional terbaik.

”Di Jakarta, hasil ujian nasional merupakan salah satu faktor, selain zonasi tempat tinggal anak yang dipertimbangkan dalam seleksi murid. Seleksi berdasarkan zonasi kadang subyektif sehingga hasil ujian nasional digunakan setelah seleksi melalui jalur zonasi. Hasil ujian nasional lebih obyektif,” kata Ratiyono setelah mengikuti rapat koordinasi nasional bertema ”PPDB Sistem Zonasi untuk Mendorong Percepatan Lahirnya Perpres tentang Zonasi Pendidikan” yang digelar Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta.

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, sesuai konstitusi, setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan tanpa memandang nilai ujian nasional, status sosial, atau kemampuan ekonomi. Di Jakarta, misalnya, ia memperoleh pengaduan dari warga bahwa ada anak yang tidak diterima di sekolah negeri berjarak puluhan meter dari rumah karena hasil ujian nasionalnya lebih rendah dari anak lain.

”KPAI mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomunikasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar dapat melaksanakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi murni. Apalagi, DKI Jakarta memiliki sekolah negeri yang terbanyak, jauh di atas rata-rata daerah lainnya di Indonesia,” ucap Retno.

Menghapus label favorit

Menurut Retno, kebijakan PPDB sistem zonasi merupakan upaya memberikan akses pendidikan yang adil kepada masyarakat. Penerapan sistem zonasi juga dipercaya dapat menghilangkan label sekolah favorit dan nonfavorit sehingga semua sekolah negeri ke depan diharapkan setara secara kualitas.

Posko Pengaduan KPAI menerima 95 pengaduan dari 10 provinsi terkait PPDB tahun ini. Laporan itu terdiri dari 23 pengaduan terkait dugaan kecurangan, 17 pengaduan terkait minimnya jumlah sekolah negeri dan tidak tersebar secara merata, dan 14 pengaduan terkait murid yang tidak diterima sekolah meskipun lokasi rumahnya sangat dekat sekolah.

Mayoritas pengadu menyayangkan penerapan 90 persen PPDB melalui jalur zonasi yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2019 tentang PPDB. Sebab, jumlah sekolah negeri belum merata penyebarannya dan masih minim jumlahnya, terutama untuk jenjang SMP dan SMA.

Berdasarkan catatan KPAI, ada 1.375 kecamatan yang belum memiliki sekolah menengah negeri, seperti Kecamatan Poris (Kota Tangerang), Kecamatan Bangsalsari (Jember), Kecamatan Beji (Kota Depok), Kecamatan Cipondoh (Kota Tangerang), Kecamatan Pagedangan (Tangerang), serta Kecamatan Kudu dan Ngusikan (Jombang).

”Jika zonasi dibagi berdasarkan kecamatan, anak-anak di kecamatan itu tidak bisa mengakses sekolah menengah negeri,” ujar Retno.

Untuk mengatasi itu, KPAI merekomendasikan agar pembangunan infrastruktur pendidikan terus didorong. Di wilayah sekitar Jakarta, misalnya, ada banyak kawasan perumahan baru yang dikembangkan, tetapi tidak disertai dengan pembangunan sekolah.

”Yang membuat perumahan baru seharusnya juga menyediakan lahan untuk membangun sekolah. Nanti yang bangun sekolah pemerintah daerah atau pusat. Perencanaan kota ke depan harus melibatkan itu. Kalau bikin permukiman, perlu bikin sekolah juga. Itu penting agar hak pendidikan anak terpenuhi,” tutur Retno.

Apa saja prokontra tentang sistem zonasi

Apa saja prokontra tentang sistem zonasi
Lihat Foto

ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA

Sejumlah siswa dan orangtua murid antre saat akan mengikuti seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di SMAN 1 Depok, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (18/6/2019). Sistem PPDB Jawa Barat dengan mekanisme berdasarkan sistem jalur zonasi atau pemetaan wilayah sebanyak 90 persen, jalur prestasi lima persen dan jalur perpindahan orang tua wali lima persen tersebut, berlangsung dari tanggal 17-22 Juni 2019.

KOMPAS.com - Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2016-2019 menetapkan sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 sebagai strategi pemerataan pendidikan di Indonesia.

Dalam pelaksanaannya, banyak tanggapan pro dan kontra terjadi menanggapi sistem zonasi PPDB ini. 

Berita ini turut menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan dan mencuri perhatian para pembaca di Kompas.com di kanal Edukasi selama 2019.

Kompas.com mencoba merangkum isu-isu hangat terkait penerapan sistem zonasi PPDB selama tahun 2019 berdasarkan tanggapan dari para tokoh, mulai dari Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Timur, hingga orangtua.

1. Jokowi: Zonasi 2019 alami banyak masalah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersilakan awak media untuk menanyakan langsung permasalahan sistem zonasi dalam PPDB kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.

Baca juga: Perhatikan, Ini Beda Zonasi PPDB 2019 dan PPDB 2020

"Tanyakan pada Menteri Pendidikan. Memang di lapangan banyak masalah yang perlu dievaluasi, tapi tanyakan kepada Menteri Pendidikan," kata Jokowi saat ditanyai awak media usai menyerahkan 3.200 sertifikat di GOR Tri Dharma, Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/6/2019).

Jokowi tidak menutupi bahwa memang banyak permasalahan yang perlu dievaluasi dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini dibanding dengan sebelumnya.

Ridwan Kamil yang akrab di sapa Kang Emil, selaku Gubernur Jawa Barat periode 2018 – sekarang, mengaku gundah menyikapi masalah sistem zonasi sekolah saat mencarikan sekolah untuk anak keduanya tahun lalu.

"Saya punya pergulatan batin, antara WhatsApp kepala dinas, tapi akhirnya membohongi diri sendiri, maka saya putuskan masuk ke swasta," ujarnya.

Terlepas dari hal itu, menurut Emil, masalah keresahan orangtua siswa menyikapi sistem zonasi merupakan dinamika di semua daerah.

Emil mengungkapkan, dinamika ini tidak terjadi di Bandung saja, tetapi juga di seluruh Indonesia.

“Persoalan PPDB tahun ini terletak pada kuota sistem zonasi di Bandung yang mencapai 90 persen,” pungkasnya.

"Dari dua tahun terakhir kan sudah disiasati, kepada mereka yang tidak mampu dan harus sekolah swasta, kita kan ada program pembantuan, nah itu tolong dimanfaatkan, kan tidak boleh ada anak di Bandung yang tidak sekolah akibat kekurangan biaya," tutur Emil.

3. Khofifah Indar Parawansa: Ajak warga dukung sistem zonasi

Di tengah polemik masalah zonasi sekolah, Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur justru pro dengan adanya sistem zonasi ini. Dirinya mengungkapkan sistem zonasi PPDB adalah upaya memotong rantai kemiskinan.

Khofifah yakin bahwa sistem zonasi akan memberikan hak yang sama bagi warga untuk memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas.

tirto.id -

Sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru diatur dalam Permendikbud No 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Anggota Pimpinan Ombudsman RI Ahmad Suaedy menyebutnya sebagai sistem yang tepat untuk menghapus perspektif favoritisme sekolah di masyarakat.

"Itu yang saya sebut perspektif masyarakat tentang favoritisme. Masyarakat sekarang ini berangan-angan anaknya semua masuk sekolah favorit dengan segala cara," kata Suaedy di kantor Ombudsman RI, Kuningan, Kamis (13/7/2017).

Ia menilai hal itu sebagai tidak adil karena menciptakan sekolah-sekolah favorit yang mayoritas berada di kota-kota besar atau di pusat kota.

Advertising

Advertising

"Itu sebenarnya tidak adil dan tidak merata. Semua orang akan lari ke sekolah tersebut. Kenyataannya sekolah favorit itu hanya ada di kota-kota besar dan di pusat-pusat kota," katanya.

Ombudsman RI sendiri, kata Suaedy, dalam pengawasannya terkait sistem PPDB menemukan fakta ketimpangan itu. Misalnya, ada empat sekolah favorit yang lokasinya berada dalam satu kelurahan di salah satu pusat kota di negeri ini.

"Sedangkan yang di pinggiran tidak terfasilitasi. Ini yang harus dipindahkan ke pinggiran. Membuat sekolah yang bagus di sana dengan sistem zonasi," kata Suaedy.

Ketimpangan semacam itu, kata Suaedy, tidak lain diakibatkan karena sekolah-sekolah yang dianggap favorit tersebut leluasa memilih calon siswa degan nilai yang paling tinggi. Mereka sangat mungkin mengatrol nilai akreditasi sekolah karena akreditasi memang -- salah satunya -- mengacu kepada komponen prestasi siswa.

"Persaingan yang favorit dan yang tidak favorit atau antara yang favorit satu dan dua jadinya tidak seimbang. Nanti yang favorit akan terus favorit. Dari segi inputnya, mereka bisa dengan leluasa memilih yang memiliki nilai paling tinggi," jelas Suaedy.

Suaedy tidak setuju dengan kritik atas sistem zonasi yang menganggap sistem zonasi ditentukan oleh jarak bukan prestasi. Menurutnya, tidak semua siswa yang diterima dalam sistem zonasi karena jarak rumahnya dengan sekolah.

"Kalau kuota rombongan belajar di zona itu sudah penuh, nanti juga diurutkan sesuai NEM-nya, kok. Kalau yang tidak lolos akan difasilitasi dengan direkomendasikan ke sekolah lain yang masih satu zona atau yang berada di zona lain," katanya.

Dengan tegas Suaedy menyatakan, bila sistem zonasi tidak diberlakukan maka proses desentralisasi yang sudah berjalan selama lebih kurang 20 tahun di negeri ini tidak berimbas pada dunia pendidikan.

"Berarti selama 20 tahun desentralisasi di negeri ini, dalam dunia pendidikan belum mengarah ke situ," katanya.

Akibatnya, kata Suaedy, bisa berpengaruh pada pembangunan karakter siswa dalam dunia pendidikan, tidak hanya pada sisi pemerataan sekolah saja.

"Nah, selama ini anak-anak yang punya nilai yang baik itu orang kaya, sesuai dengan [akses pada] fasilitas yang dimiliki. Maka ini yang membuat, kalau kita bicara soal pendidikan karakter, yang merusak karakter. Kalau kita merasa lebih bangga [karena masuk sekolah favorit], nah yang di bawah-bawahnya merasa tidak sama," kata Suaedy.

Untuk itu, menurut Suaedy, Ombudsman RI sejak tahun lalu telah mendorong Kemendikbud agar menerapkan sistem zonasi sebagai sebuah langkah pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Dan hal itu kemudian diwujudkan dalam Permendikbud No 17 Tahun 2017.

"Meski begitu ada aturan-aturan daerah yang belum bisa diubah terkait itu dan ada modifikasi. Kalau modifikasi itu, menurut ombudsman, masih bisa dimaklumi. Misalnya dari 90 persen dari zonasi jadi 46 persen. Tapi ada juga daerah yang berusaha keras untuk menerapkan secara strict permendikbud soal yang 90 persen itu," kata Suaedy.

Problem Zonasi untuk Memecahkan Ketimpangan

Inspektur Jenderal Kemendikbud Daryanto mengemukakan bahwa sistem zonasi menempati posisi teratas dalam daftar aduan-aduan yang dikirim masyarakat ke Kemendikbud. Dari 240 aspirasi yang diterima selama Juni-Juli 2017, 170 di antaranya terkait masalah PPDB yang dilandaskan pada sistem zonasi.

Mengenai hal itu, Pengamat Pendidikan Budi Trikoryatnto menganggap sistem zonasi tidak sepenuhnya menutup celah ketimpangan dalam dunia pendidikan.

"Karena sistem zonasi, orang tua akan memasukkan anaknya ke sekolah yang paling dekat. Di situ, akhirnya, ada persaingan yang lebih sengit. Permasalahan utama adalah anak kurang pintar tidak akan bisa masuk sekolah yang terbaik dan harus menempuh pendidikan di sekolah gurem," kata Budi saat dihubungi Tirto (13/7).

Sedangkan, menurut Budi, anak yang kurang pintar juga punya kesempatan untuk bersekolah di sekolah favorit sebagaimana yang pintar.

"Sekolah yang baik harus bisa juga mendidik anak yang kurang pintar," kata Budi.

Untuk itu, menurut Budi, solusinya adalah dengan cara melakukan undian saat PPDB. "Caranya? Pendaftar diundi di depan para orangtua. Dipilih secara acak. Jangan dipilih-pilih anak yang hasil UN-nya yang tinggi saja," jelas Budi.

Ditanya apakah sistem undian tidak akan membuka peluang kecurangan dari pihak sekolah, Budi menolaknya. Karena, menurut Budi, undian dilakukan secara terbuka di hadapan para calon wali murid.

"Tidak akan, karena diundi di hadapan orangtua anak yg mendaftar," katanya.

Baca juga: Kriteria Penerimaan Siswa Bukan Prestasi, Tapi Jarak Rumah

Di sisi lain, praktisi pendidikan, Prof. Arief Rachman, menyatakan persaingan memang tidak dapat dielakkan dalam sistem zonasi. Tapi, menurutnya, itu bukan menjadi sebuah masalah untuk diterapkan. Ia menegaskan tidak perlu sistem lain seperti undian.

"Mencari sekolah, kan, seperti mencari istri. Tentu saja saya akan memilih yang terbaik. Tapi ini, kan, bukan cuma perkara selera. Ada banyak hal yang harus diperhitungkan. Kualitas sekolahnya, pendidiknya, termasuk jarak. Jadi, persaingan tidak bisa dielakkan. Menurut saya, sistem zonasi ini sudah baik untuk pemerataan," ujar Guru Besar Universitas Negeri Jakarta ini.

Lebih lanjut ia memberi contoh bahwa di Jakarta hanya SMAN 8 saja yang dianggap baik. SMA tersebut berada di Bukit Duri, Tebet, yang secara administratif masuk wilayah Jakarta Selatan.

"Saya, misalnya, sebagai orang Rawamangun menginginkan juga ada SMP, SMA, SMK yang baik di daerah saya," kata Arief saat dihubungi Tirto, Kamis (13/7/2017). Rawamangun sendiri berada di wilayah Jakarta Timur.

Dalam penerapannya pun, menurut sosok yang pernah memimpin LabSchool ini, sistem zonasi sah saja untuk diterapkan di semua jenjang pendidikan dari SD sampai SMA. Karena, menurutnya, sistem ini bukan perkara layak atau tidaknya untuk diterapkan di jenjang pendidikan tertentu.

"Kalau bicara layak atau tidak diterapkan di semua jenjang, itu berarti bicara patut dan tidak, kan? Menurut saya sistem ini baik. Tidak masalah diterapkan di semua jenjang pendidikan. Ini sekali lagi bukan soal jarak, tapi pemerataan kualitas pendidikan. Kecuali universitas, karena kuota penerimaannya juga hanya 12,5 persen. Jadi, kalau mau masuk fakultas kedokteran yang baik bisa di UI, dan itu lumrah," jelas Arief.

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan menarik lainnya M. Ahsan Ridhoi
(tirto.id - san/zen)

Reporter: M. Ahsan Ridhoi Penulis: M. Ahsan Ridhoi Editor: Zen RS