Apa perbedaan perkembangan pers masa kemerdekaan dan Sesudah Reformasi

Sejarah Pers di Indonesia

Apa perbedaan perkembangan pers masa kemerdekaan dan Sesudah Reformasi
Sumber : kenyayote.com

Semarang, Momentum – Pers merupakan salah satu hal penting di dunia ini, salah satunya di Indonesia. Pers di Indonesia diawali pada masa pergerakan nasional atau pergerakan Budi Utomo. Adanya pers ini menjadi sarana baru untuk berkomunikasi untuk memperkuat persatuan dan kesatuan pada masa itu. Pers ini digunakan untuk mencatat perkembangan yang sedang berlangsung pada masa itu dan diwujudkan dalam bentuk majalah dan surat kabar.

Perkembangan pers terus berubah seiring berkembangnya zaman. Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan ini, salah satunya adalah politik. Pada saat masa orde baru, pers di Indonesia menganut sistem pers otorarian dimana pers Indonesia condong mendukung pemerintah. Namun, setelah orde baru ini berakhir pers Indonesia mengalami banyak perubahan. Hal ini menjadi titik terang karena merupakan awal dari perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Pihak pelaksana dapat melakukan kegiatan pers leluasa tanpa campur tangan pemerintah tetapi tetap bertanggung jawab.

Selama lima tahun berturut-turut, hasil survei indeks kebebasan pers menunjukkan tren peningkatan nilai, yaitu, 63,44 (2016), menjadi 67,92 (2017), 69,00 (2018), 73,71 (2019), dan terakhir 75,27 (2020). Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai peringkat cukup bebas. Akan tetapi angka ini masih relatif rendah dibanding negara lain. Di tahun 2019 sendiri Indonesia menduduki peringkat 124, berada dibawah Malaysia, Ethiopia dan Kenya.

Indonesia merupakan negara demokrasi, namun kenyataannya selama rezim orde baru, kebebasan pers sebagai salah satu ciri demokrasi justru mengalami kekangan. Media yang dinilai suka mengkritik penguasa bisa dikenakan pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Pasca reformasi, pemerintah mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kebebasan pers, antara lain: Peraturan Menteri Penerangan  Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan- Ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan (SK) Menpen Nomor 214 Tentang Prosedur dan Persyaratan untuk Mendapatkan SIUPP, dan SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang Pengukuhan PWI dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu- satunya Organisasi Wartawan dan Organisasi Penerbit Pers Indonesia. Kebebasan pers ini kemudian ditegaskan lagi lewat Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Adapun kebebasan atau kemerdekaan pers diatur dalam pasal 4 ayat 1-3 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999.

Pada Ahad, 2 Mei 2021 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar aksi yang bertajuk Bike4PressFreedom di Patung Kuda, Jakarta Pusat dalam rangka perayaan hari kebebasan pers dunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei. Dalam aksi gowes bareng ini AJI memiliki 3 tuntutan yaitu yang pertama tentang pemberhentian dari segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan usut tuntas semua kasus kekerasan pada jurnalis, kedua yaitu AJI Jakarta mendesak pemerintah agar merevisi UU ITE khususnya pada pasal-pasal karet yang memberangus kebebasan pers, dan yang ketiga yaitu AJI Jakarta mendesak agar perusahaan media menjamin hak bagi para pekerjanya, khususnya di masa pandemi Covid-19.

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah meskipun sudah ada Undang-Undang yang menjamin kebebasan pers, tetapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia menempati peringkat tertinggi dibanding negara lain karena masih perlu perbaikan dari kebijakan yang ada dan diperlukan adanya revisi terhadap peraturan yang dianggap masih mengekang kebebasan pers di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, terdapat 61 kasus kekerasan terhadap wartawan sepanjang 2017. Diantaranya mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran dan pelarangan peliputan.

Penulis : Adeline, Anggi, dan Firman

Djoko Waluyo, Syamsiah Amali

Artikel ini meninjau perkembangan pers di Indonesia, sejak awal dikenal media atau pers surat kabar di masa Hindia Belanda, kemudian masa perjuangan menuju persatuan Indonesia yang dikenal sebagai masa pergerakan nasional yang dilanjutkan pada masa kemerdekaan, masa demokrasi liberal di awal kemerdekaan. Ditinjau juga pers pada masa orde lama pemerintahan Presiden Soekarno, masa orde baru pada pemerintahan Presiden Soeharto, hingga era reformasi dewasa ini. Pendekatan artikel ini secara kualitatif dengan metode analisis deskriptif kualitatif. Sumber penulisan dari hasil studi literatur. Simpulan antara lain sistem pers yang diterapkan pada tiap masa adalah sistem pers otoritarian dengan penguasa yang mengendalikan pers. Hingga kini dalam era reformasi, penguasa masih berkepentingan dengan pers, yang bentuk pengendaliannya secara tidak langsung.
Kata kunci : sejarah pers, sistem pers, otoritarian.


DOI: http://dx.doi.org/10.33299/jpkop.18.1.314

  • There are currently no refbacks.

Apa perbedaan perkembangan pers masa kemerdekaan dan Sesudah Reformasi

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

lombokita.com/kemerdekaan-pers-di-hari-kemerdekaan-ri/

Pers merupakan media massa yang berfungsi untuk memberikan atau menyebarkan informasi dengan berlandaskan kepada keterbukaan dan kejujuran dalam memberitakan suatu hal. Dengan posisinya sebagai media massa, sudah seharusnya pers memiliki hak bebas berekspresi dan berpendapat yang sesuai fakta dengan mentaati kode etik pers. Perkembangan pers dibagi menjadi dua masa yaitu, era sebelum reformasi dan era reformasi.

Era ini diidentikan dengan masa kepemimpinan Presiden Soekarno dan Soeharto, dan dikenal dengan masa orde lama dan orde baru. Pada era orde lama, keberadaan pers masih dipengaruhi oleh adanya bangsa asing yang menjajah Indonesia yaitu Belanda. Pers dikuasai oleh Belanda dengan tujuan tidak lain adalah untuk menguasai Indonesia. Pada tahun 1950 sampai 1959 pers mulai terbawa oleh arus politik, disebabkan informasi yang diberitakan oleh pers didominasi oleh kepentingan partai politik. Hal ini dapat terjadi karena partai politik menjadi donatur bagi sebuah perusahaan pers. Walaupun pers bersifat partisan, kebebasan pers pada masa ini dapat dikatakan sebagai masa emas oleh para pengamat (Pratama, 2020).

Kondisi pers pada masa demokrasi terpimpin tahun 1959 mengalami krisis kebebasan. Dimana pemerintah mulai bersikap otoriter sehingga pers dijadikan sebagai alat revolusi yang harus mendukung kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pers cenderung bersifat komunis, yaitu pers menjadi simpatisan atas ideologi NASAKOM yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Pers pada masa demokrasi terpimpin dapat dikatakan sebagai masa terkelam pers pada era orde lama (Pratama, 2020).

Runtuhnya masa kepemimpinan Presiden Soekarno, digantikan dengan Presiden Soeharto dengan dimulainya masa pemerintahan orde baru pada tahun 1964. Pada masa ini juga lahirlah undang-undang pertama tentang pers yaitu UU No. 11 tahun 1966 dan disempurnakan menjadi UU No. 21 tahun 1982 (Hutagulung, 2013). Adanya UU tentang pers ini seakan-akan menjadi jawaban atas peristiwa pada masa orde lama, dimana pers terbelenggu akan aturan pemerintah. Namun, dua tahun kemudian Mentri Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan (PERMENPEN) No.01/Pers/Menpen 1984 dengan menyatakan bahwa sebuah perusahaan pers yang ingin didirikan harus memiliki Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP). Hal ini bertolak belakang dengan UU Pasal 8 Ayat 2 Undang-Undang No. 11 tahun 1966 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang kolektif sesuai dengan hakikat demokrasi Pancasila, untuk itu tidak diperlukan Surat Izin Terbit (SIT).” (Imron, 2016).

Pers sangat diharapkan untuk menyebarkan berita sesuai dengan keinginan pemerintah orde baru, sehingga fungsi pers disalahgunakan menjadi alat propaganda. Selain menjadi alat propaganda, pers juga dijadikan sebagai alat represif oleh penguasa orde baru. (Hutagalung, 2013). Sebagai salah satu contoh pers dijadikan alat represif yaitu pada tahun 1996 anggota serta keluarga dari Partai Rakyat Demokratik mengalami teror isu makar dan komunis oleh media massa atas perintah penguasa orde baru disebabkan melakukan gerakan pro demokrasi. Sehingga, akibat yang timbul dari teror tersebut adalah para anggota serta keluarga PRD mengalami tekanan serta trauma yang mendalam (Hutagalung, 2013). Terbelenggunya kebebasan pers oleh pemerintah membuat pers gagal menjalankan fungsinya sebagai alat aspirasi masyarakat. Menurut Panglaykim dan Thomas (1967) pada awal pemerintah orde baru berjalan alasan pemerintah melakukan pemberedelan terhadap media massa adalah untuk mewujudkan program stabilisasi dan rehabilisasi dengan cara membredel surat kabar atau majalah yang beraliran Komunis seperti Harian Rakjat dan Bintang Timur.

Pada tahun 1980 majalah Tempo mengalami pemberedelan akibat menuliskan berita mengenai kampanye partai Golkar yang mengalami kerusuhan. Dengan adanya SIUPP, pers yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan berhak dicabut izin penerbitannya oleh kementerian penerangan seperti surat kabar Sinar Harapan dan Prioritas yang mengalami pemberedelan akibat pencabutan SIUPP (Imron, 2016). Bulan Mei 1984 majalah Fokus mengalami pencabutan Surat Izin Terbit disebabkan memuat informasi yang menurut pemerintah dapat mempertajam prasangka sosial (Ariyanti, 2010). Pemberedelan terhadap penerbitan pers tetap berlanjut hingga pada tahun 1990 media Tempo, Detik, dan majalah Editor mengalami hal serupa dengan alasan yang serupa yaitu menganggu keamanan dan ketertiban negara (Imron, 2016).

Menurut pemerintah orde baru, pemberitaan oleh pers hanya dapat memperkeruh situasi, karena pers dianggap memberitakan suatu hal tanpa memahami isi dari berita tersebut. Pemerintah melakukan pengendalian terhadap kebebasan pers dengan cara memberi peringatan berupa memberikan surat atau melakukan budaya telpon kepada ketua redaksi atau kantor penerbitan jika terdapat berita yang bertentangan dengan keinginan pemerintah, adapun cara pengendalian lain yaitu dengan membentuk Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) dengan anggota yang berasal dari dewan pers yaitu wakil pemerintah, wakil organisasi pers dan mereka yang ahli dalam pers, sehingga dapat dipastikan organisasi ini tidak luput dari pengendalian oleh pihak-pihak tertentu (Murtiningsih, 1999).

Pemerintah orde baru memberikan alasan lain atas tindak pemberedelan penerbitan surat kabar yaitu adanya unsur politik, dimana masa orde baru merupakan pengganti dari masa orde lama yang pemerintahannya bersifat otoriter sehingga sangat membutuhkan dukungan masyarakat atas kehadiran orde baru dan kekhawatiran terkait adanya pemberitan mengenai HAM yang akan mencorengkan kinerja pemerintah orde baru, seperti media Tempo yang memberitakan mengenai kasus Marsinah sebagai laporan utama sepanjang bulan Maret tahun 1994 (Haritajaya, 2017).

Adanya tindak pemberedelan terhadap media massa memiliki dampak terhadap pers itu sendiri, dimana pers kehilangan sifat profesionalitasnya karena harus berkompromi agar tidak terkena tindak pemberedelan. Terdapat sejumlah wartawan yang dihukum tanpa mengalami proses pengadilan yang adil, dibuat seakan-akan kesalahan sepenuhnya berada di tangan pers, hanya karena menerbitkan majalah tanpa memiliki SIUPP bahkan karena menuliskan berita yang tidak menyenangkan bagi penguasa. (Haritajaya, 2017)

Pada tanggal 7 Agustus 1994 berdirinya Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) sebagai bentuk ketidakpuasan atas kinerja Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang memihak kepada kepentingan pemerintah dan birokrat Departemen Penerangan saja (Haritajaya, 2017). Sehingga, kebijakan orde baru yang hanya dapat mendirikan satu organisasi pers telah sirna setelah munculnya AJI sebagai organisasi pers selain PWI.

Runtuhnya pemerintah orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto dengan segala polemiknya mengenai kebebasan pers, lalu digantikan oleh wakilnya yaitu B. J Habibie. Era reformasi berlanjut sampai pada kepemimpinan Presiden Jokowi. Hampir seluruh kebijakan pemerintah dirombak pada masa kepemimpinan Presiden B.J Habibie, disebabkan oleh banyaknya protes masyarakat atas kebijakan kepemerintahan Soeharto, salah satunya dalam dunia pers. Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang pers. Pasal 9 ayat 2 tahun UU No. 40 th 1999 meniadakan keharusan bagi pers untuk memiliki SIUPP dalam menerbitkan berita. Selain itu, sesuai dengan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999, pers terlindungi atas tindak pemberedelan, penyensoran, dan pelarangan penyiaran. Pemerintah juga mengenakan denda sebanyak 500 juta kepada pihak yang menghambat kebebasan pers (Triwahyono, 2012).

Dalam rangka mendukung PERMENPEN yang baru mengenai ketidakwajiban memiliki SIUPP, dikeluarkan pula SK No.1 32 / 7998 tentang Ketentuan-ketentuan mendapatkan SIUPP yaitu yang pada awalnya harus memenuhi 16 persyaratan, kini hanya perlu memenuhi 3 persyaratan saja (Susilastuti, 2000). Pada era reformasi ini pers seakan-akan merasakan angin surga dengan longgarnya kebijakan atas pers. Dihapuskannya pengakuan pemerintah atas PWI sebagai organisasi pers satu-satunya membuat pers kembali sesuai dengan fungsinya sebagai media massa yang bebas dari kontrol pemerintah. Maka, lahirlah organisasi pers seperti AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan PWI reformasi (Martini, 2014).

Kemudian pemerintah Presiden selanjutnya yaitu Abdurrahaman Wahid mengeluarkan kebijakan mengenai dihapuskannya DEPPEN sebagai tindak lanjut dari dihapuskannya kewajiban memiliki SIUPP pada era Presiden B.J Habibie. Adapun alasannya yaitu karena DEPPEN dianggap sebagai kaki tangan penguasa dibandingkan sebagai lembaga yang independen, sehingga dapat menghambat perwujudan pers yang bebas (Arnus, 2015). Pemerintah tetap dapat mengawasi serta menjalin hubungan dengan pers melalui perantara dewan pers. Dewan pers berfungsi dalam mengawasi pers, menetapkan pelaksanaan kode etik pers serta berfungsi sebagai mediator antara pemerintah, organisasi pers dan masyarakat agar dapat terhindar dari konflik yang merugikan (Triwahyono, 2012).

Pers yang bebas merupakan hal yang dicita-cita kan oleh masyarakat, karena pers merupakan salah satu media aspirasi masyarakat. Tentu pers yang bebas harus tetap bertanggung jawab atas informasi yang dipublikasikan. Sesuai dengan prinsip pers yang dicetuskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dimana pers yang bebas tetap bertanggung jawab agar pers sebagai media massa tidak bertindak semena-mena atas pemberitaan yang diberikan karena menganggap memiliki kemampuan dan kekuasaan atas media massa (Arnus, 2015). Sampai akhir jabatannya, pers pada masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono terus mengalami kemajuan, pers beralih dari surat kabar cetak menjadi media online (Arnus, 2015). Kemajuan pers berpengaruh kepada kemajuan teknologi Indonesia. Namun, sangat disayangkan di samping pers yang mengalami kemajuan di sisi lain terulang kembali kriminalisasi atas kebebasan pers, sebagai contoh yaitu adanya kasus kriminalisasi terhadap kontributor Metro TV Makassar yaitu Upi Asmaradhana yang dilaporkan ke polisi oleh Kapola Sulawesi Selatan dan Barat yaitu Sisno Adiwinoto dengan tuduhan pencemaran nama baik dan digugat sebesar 10 miliar, namun tuduhan tersebut tidak terbukti sehingga Pengadilan Negeri Makassar pada Senin 14 September 2009 membebaskan Upi Asmaradhana (Redaksi, 2015).

Hal ini dapat membuktikan bahwa adanya sesuatu yang baik pasti terdapat keburukan yang mengikuti. Reformasi merupakan jalan bagi insan pers dalam mewujudkan kebebasan pers, sehingga sudah sepatutnya pers di era reformasi ini lebih memberikan pers ruang untuk bernafas setelah peliknya era orde lama dan orde baru. Terdapat tiga indikator dalam mengukur kebebasan pers, yaitu indikator hukum mengenai kebijakan pemerintah terhadap kebebasan pers, politik yang tidak campur tangan dan bersih, serta ekonomi mengenai pemerataan dan kesetaraan (Hantoro, 2019). Namun, pemerintah saat ini belum dapat memenuhi ketiga indikator tersebut. Pers di masa kini di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kebebasan pers mengalami penurunan di beberapa wilayah, salah satunya di Papua. Sulitnya akses bagi pers dalam meliput kondisi di Papua, karena dapat diketauhi bahwa lima tahun terakhir ini dugaan pelanggaran HAM terhadap masyarakat di Papua terus meningkat (CNN Indonesia, 2019).

Pers mengalami kesulitan dalam meliput kondisi di Papua, kesulitan ini berasal dari aparat maupun masyarakatnya sendiri berdasarkan aspek lingkungan fisik dan politik. Indikator ekonomi di wilayah Papua cenderung kalah bersaing dengan wilayah lain mengenai pembangunan dan indikator hukum di Papua mengenai ancaman kebebasan pers cenderung kurang kondusif. Sehingga, indikator kebebasan pers di Papua dapat dikatakan kurang dapat terpenuhi. Pemerintah diharapkan dapat membukakan akses bagi kebebasan pers di Papua dalam melaksanakan tugasnya sebagai jurnalistik. Menurut Asep dalam CNN Indonesia (2019), pemerintah pusat maupun daerah serta aparat keamanan hendaknya memberikan akses seluas-luasnya terhadap pemberitaan di Papua agar indeks kebebasan pers, politik, demokrasi dan ekonomi menjadi tinggi

Indeks kebebasan pers pada era reformasi menjadi pasang surut, ditetapkannya UU ITE oleh pemerintah Presiden Jokowi dianggap dapat menghambat kebebasan pers. Hadirnya UU ITE dapat bertolak belakang dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yaitu warga negara bebas memperoleh, mengolah serta menyampaikan informasi (Tashandara, 2015). Pada tahun 2014, Media The Jakarta Post dilaporkan kepada kepolisian dengan tuduhan penistaan Agama Islam karena memuat karikatur yang bersumber dari media Al Quds yang beredar di Palestina. Berdasarkan nota kesepahaman pers dan kepolisian, hal tersebut seharusnya diselesaikan dalam ranah dewan pers, namun pihak kepolisian tetap mendakwa pimpinan redaksi The Jakarta Post dengan pasal 156 KUHP dan ancaman pidana penjara di atas lima tahun (Administrator, 2015).

Ketua umum AJI, Suwarjono (2015) mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi dapat membawa pers ke dalam kondisi cengkraman dan terbelenggu seperti era sebelum reformasi, disebabkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah Presiden Jokowi yang dapat menghambat bahkan mengkriminalisasi kebebasan pers, yaitu dihidupkannya kembali pasal penghinaan terhadap kepala negara yang sebelumnya telah dihapus melalui keputusan Mahkamah Konstitusi. Apabila kebijakan ini dihidupkan kembali melalui draf KUHP yang akan diajukan kepada DPR, maka sasaran pertama yang dapat disalahkan adalah pers, karena pasal penghinaan kepada kepala negara bersifat lentur dan multitafsir sehingga apabila terdapat narasumber dan media massa yang kritis dengan mudahnya akan dibungkam. Selain itu, pemerintah tidak melakukan upaya menghilangkan kriminalisasi kebebasan pers di Internet (Himawan, 2015).

Pers sangat mengharapkan agar pada era reformasi ini, segala tindak kriminalisasi terhadap pers dapat dihilangkan, mengingat kepada era orde lama dan orde baru dimana ruang gerak pers sangat terbatas. Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan pers, yaitu pemerintah yang bersifat terbuka dan pers yang tetap bersifat bebas dan bertanggung jawab. Pemerintah hendaknya belajar dari peristiwa terdahulu dengan tujuan agar tragedi kelam tidak terjadi lagi di masa sekarang.

Haritajaya, Olyvie Bintang. Pembredelan Pers di Masa Orde Baru (1966-1998). Universitas Santa Dhama.

Ariyanti, Vivi. (2010). Kebebasan Pers dalam Prespektif Peradilan Pidana. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 4(1), 3-4. http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/%20 komunika/article/view/134

Arnus, Sri Hadijah. (2015). Jejak Perkembangan Sistem Pers Indonesia. Jurnal Al Munjir, 8(1), 110-112. https://ejournal.iainkendari.ac.id/al-munzir/article/view/770

Hutagalung, Inge. (2013). Dinamika Sistem Pers di Indonesia. Jurnal Interaksi, 2(2), 56. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi/article/view/6588

Imron., dan Sariyatun Tri Yunianto. (2016). Pembredelan Pers pada Masa Pemerintahan Orde Baru dan Relevansinya bagi Mata Kuliah Sejarah Indonesia. Jurnal Candi, 13(1), 152-153. https://jurnal.uns.ac.id/candi/article/view/42822

Panglaykim, J., dan Thomas, K.D. (1967). The New Order and the Economy. Journal Cornell University Indonesia, 3(1), 73-120. http://cip.cornell.edu/DPubS?service= UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.indo/1107136730

Martini, Rina. (2014). Analisis Peran dan Fungsi Pers Sebelum dan Sesudah Reformasi Politik di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial, 13(2), 6. https://ejournal.undip.ac.id/ index.php/ilmusos/article/view/10686

Murtiningsih, Siti., dan Joko Siswanto. (1999). Pembungkaman Pers Masa Orde Baru (Refleksi Filosofis atas Kebebasan Pers Indonesia Masa Orde Baru). Jurnal Filsafat, 29(1), 59-60. https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/31677

Susilastuti, D.N. (2000). Kebebasan Pers Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 4(2), 227. https://www.neliti.com/publications/37618/kebebasan-pers-pasca-orde-baru

Administrator. (2015, Maret 18). Jokowi dan Kriminalisasi Pers. Koran.Tempo.co. https://koran.tempo.co/read/opini/367964/jokowi-dan-kriminalisasi-pers

CNN Indonesia, (2019, November 4). Di Era Jokowi Indeks Kemerdekaan Pers di Papua Terendah. CNN Indonesia. https://m.cnnindonesia.com/nasional/ 20191104142424-20-445445/di-era-jokowi-indeks-kemerdekaan-pers-di-papua-terendah

Himawan, Adhitya. (2015, Agustus 17). AJI: Presiden Jokowi Ingin Belenggu Kebebasan Pers. Kontan.co.id. https://ampkontanco.id.cdn.ampproject.org /v/s/amp.kontan.co.id/news/ajipresidenjokowiinginbelenggukebebasanpers?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3D#aoh=16103529378666&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=From%20%251%24s

Pratama, Cahya Dicky. (2020, Desember 22). Pers di Era Orde Lama. Kompas.com. https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/22/153838469/pers-di-era-orde-lama?page=2

Redaksi. (2015, Maret 17). 6 Kasus Kriminalisasi Pers di Era Reformasi. Remotivi.or.id. https://remotivi.or.id/kabar/84/6-kasus-kriminalisasi-pers-di-era-reformasi

Thasandra, Nabilla. (2015, Desember22). Pada Era Jokowi LBH Pers Nilai Kebebasan Pers

Melemah. Kompas.com. https://ampkompascom.cdn.ampproject.org /v/s/amp.kompas.com/nasional/read/2015/12/22/22332541/Pada.Era.Jokowi.LBH.Pers.Nilai.Kebebasan.Pers.Melemah?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3D#aoh=16103506528424&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=From%20%251%24s

Triwahyono, Agus. (2012, September 25). Kebebasan Pers Era Reformasi. Kompasiana.com. https://www.kompasianacom.cdn.ampproject.org /v/s/www.kompasiana.com/amp/ghe_aee/kebebasanperserareformasi_5517e1f1a333117f07b6613e?amp_js_v=a6&amp_gsa=1&usqp=mq331AQHKAFQArABIA%3D%3D#aoh=16102935803548&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=From%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fwww.kompasiana.com%2Fghe_aee%2Fkebebasan-pers-era-reformasi_5517e1f1a333117f07b6613e