Alasan seorang advokat harus berusia minimal 25 tahun

Halo, kru redaksi klikhukum.id. Kak, saya ingin jadi advokat biar bisa membantu orang. Saat ini saya sudah berumur 47 tahun. Apakah masih bisa? Berapakah umur maksimal untuk jadi advokat? Mohon jawabannya ya.
-Rafa dari Surabaya

Jawaban:

Halo, pembaca setia klikhukum.id. Syukron ya, atas pertanyaannya. 

Saya sangat mengapresiasi keinginan mas bro yang ingin menjadi advokat agar bisa membantu orang lain. Luar biasa keren.

Advokat adalah profesi yang bertugas untuk memberi layanan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Menjadi advokat terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang advokat. 

Profesi advokat diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Selain itu advokat juga tunduk pada kode etik advokat.

BACA JUGA: 5 TIPE ADVOKAT

Beberapa layanan jasa hukum yang umumnya diberikan oleh advokat antara lain, jasa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum kliennya.

Untuk menjadi seorang advokat ada beberapa syarat, prosedur dan tahapan yang harus dipenuhi. Sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 3 Ayat (1) UU Advokat. Syarat yang dimaksud antara lain:

  1. warga negara Indonesia;
  2. bertempat tinggal di Indonesia;
  3. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;
  4. berusia sekurang-kurangnya 25 tahun;
  5. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
  6. mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat;
  7. lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat;
  8. magang sekurang-kurangnya dua tahun terus-menerus pada kantor advokat;
  9. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
  10. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi.

Jadi, semua persyaratan tersebut harus dipenuhi dan dilengkapi. Apabila salah satu syarat belum terpenuhi, maka kamu tidak bisa diangkat dan disumpah menjadi seorang advokat. Ada proses panjang yang harus dilalui seorang advokat, tujuannya tentu saja agar advokat tersebut matang dan tidak karbitan.

Terkait soal usia untuk menjadi seorang advokat, ketentuan Pasal 3 Ayat (1) huruf d UU Advokat mensyaratkan bahwa usia minimal menjadi advokat adalah 25 tahun. Nah, misalnya pada saat pelantikan dan sumpah, calon advokat berusia kurang dari 25 tahun, meskipun kurangnya cuma satu minggu, tetap aja pengadilan tinggi tidak akan meloloskan si calon untuk diangkat dan disumpah menjadi seorang advokat. 

Meskipun ada syarat usia minimal, namun UU Advokat tidak mengatur batasan usia maksimal seseorang untuk diangkat dan disumpah menjadi seorang advokat. Karena gak ada aturan tentang batasan usia tersebut, maka jangan heran kalo ada pensiunan kepolisian, kejaksaan dan hakim menjadi seorang advokat. 

So, meskipun sekarang udah berumur 47 tahun, kamu masih bisa banget berproses menjadi seorang advokat. Semoga prosesnya lancar ya. Niat baik, tentu akan menghasilkan sesuatu yang baik juga.

Demikian penjelasan dari saya, semoga bermanfaat ya. 

Alasan seorang advokat harus berusia minimal 25 tahun

Pemohon meminta Mahkamah membatalkan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf g UU Advokat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Bacaan 2 Menit

Alasan seorang advokat harus berusia minimal 25 tahun

Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan uji materi Pasal 3 ayat (1) huruf (d) dan (g) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait syarat menjadi calon advokat. Permohonan ini diajukan Rido Pradana (23 Tahun) dan Nurul Fauzi (23 Tahun) yang berniat menjadi advokat.        

Keduanya, baru saja lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan saat ini berprofesi sebagai paralegal di LBH PP GP Ansor serta telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Namun, keduanya belum dapat menjadi advokat karena usianya belum mencukupi lantaran dibatasi minimal berusia 25 tahun.

Salah satu Pemohon, Nurul Fauzi mengatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat telah membatasi usia menjadi advokat minimal 25 tahun mengakibatkan warga negara lulusan fakultas hukum terhambat menjadi advokat. Menurutnya, syarat menjadi advokat seharusnya tidak dibatasi dengan usia, tetapi didasarkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman di bidang hukum.

“Batasan minimal usia tidak relevan lagi untuk menjadi parameter seseorang menjadi advokat. Sebab, kedewasaan dan kematangan seseorang tidak dapat diidentikkan dengan umur seseorang,” kata Fauzi usai sidang pendahuluan yang diketuai Enny Nurbaningsih beranggotakan Suhartoyo dan Manahan Sitompul di Gedung MK, Kamis (4/10/2018).

Selengkapnya, Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menyebutkan:

d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; dan

g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;

Menurutnya, pembatasan umur/usia ini secara tidak langsung menimbulkan pengangguran bagi sarjana hukum muda karena harus menunggu waktu yang cukup lama untuk diangkat menjadi advokat. Selain itu, dapat berdampak kepada paralegal di LBH yang tidak bisa memberikan bantuan hukum litigasi karena alasan usia.  

“Ini menjadi akses hukum bagi masyarakat (miskin) dapat terganggu,” ujarnya. (Baca juga: Mindset Advokat Indonesia tentang Pro Bono Harus Diubah)

Sementara Rido Pradana menilai Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat terkait seseorang baru dapat dilantik menjadi advokat harus menjalani magang sekurang-kurangnya 2 tahun secara terus menerus di kantor advokat. “Di dalam frasa ‘terus menerus’ tidak memberi definisi yang jelas,” kata Rido.


Page 2

Pemohon meminta Mahkamah membatalkan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf g UU Advokat karena bertentangan dengan UUD Tahun 1945.

Bacaan 2 Menit

Jika merujuk pada KBBI, pengertian “terus menerus” berarti tidak berputus, tiada hentinya, dan berkesinambungan. Namun, menurutnya frasa ini dapat menimbulkan ketidakpastian bagi calon advokat yang magang. Sebab, calon advokat saat masa magang bisa saja dapat diberhentikan di kantor advokat sebelum masa dua tahun.

“Jika merujuk frasa ‘terus menerus’, calon advokat mengulang kembali masa magangnya dari awal untuk masa magang selama dua tahun yang mengakibatkan terhambatnya calon advokat untuk menjadi seorang advokat.” (Baca juga: Jumlah Peserta Lulus Ujian Advokat Peradi 2018 Meningkat dari Tahun Lalu)

Menurutnya, frasa ‘terus menerus’ seharusnya dapat diberi pengertian secara kumulatif, sehingga calon advokat tidak dirugikan akibat aturan ini. Artinya, calon advokat yang masa magangnya pindah dari satu kantor advokat ke kantor advokat lain masa waktunya dapat diperhitungkan secara kumulatif selama dua tahun dapat menjadi advokat. “Karena itu, frasa ‘terus menerus’ ini tidak memberi definisi yang jelas bagi calon advokat,” kata Fauzi.

Untuk itu, Fauzi meminta kepada Mahkamah untuk membatalkan Pasal 3 ayat (1) huruf d dan huruf g dengan menyatakan pasal itu bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Hakim Suhartoyo menilai pemohon agar memberi argumen yang lebih jelas lagi agar dapat meyakinkan para hakim. Dia mengingatkan mengenai batas minimal usia 25 tahun, tidak hanya advokat tetapi juga syarat calon jaksa dan hakim juga memiliki batas usia minimal 25 tahun.

“Jaksa dan hakim yang baru dilantik dan berumur 25 tahun hanya dapat menangani perkara yang ringan, tidak seperti advokat. Jadi, sebenarnya sudah sangat ringan sekali persyaratan untuk menjadi advokat,” kata Suhartoyo.

Ia mempertanyakan frasa “terus menerus” minta didefinisikan secara kumulatif atau dibatalkan secara keseluruhan? Jika permohonan ini berlanjut ke sidang selanjutnya, pemohon harus sudah siap mendapat bantahan dari pihak pemerintah dan para pihak terkait. “Ini nanti dapat diperbaiki lagi permohonannya,” sarannya.

Pemohon meminta Mahkamah membatalkan syarat usia minimal 25 tahun menjadi Advokat dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat. Majelis meminta agar Pemohon memberi uraian kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis agar permohonan ini tidak ne bis in idem dengan membuat perbandingan dengan negara lain.

Bacaan 4 Menit

Alasan seorang advokat harus berusia minimal 25 tahun

Gedung MK. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait syarat usia minimal 25 tahun menjadi Advokat, Rabu (21/10/2020). Permohonan ini diajukan oleh Wenro Haloho yang merupakan Advokat magang.

Salah satu kuasa hukum Pemohon, Dora Nina Lumban Gaol menilai Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yang berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan: d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun” bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2); Pasal 28D ayat (1); dan Pasal 28I ayat (2) UUD Tahun 1945.

Mengutip laman MK, dalam pandangan Pemohon, norma a quo berpotensi menimbulkan kerugian untuk menjadi Advokat karena pengangkatan seorang advokat harus berumur minimal 25 tahun. Dalam upaya untuk menjadi Advokat, Pemohon telah melakukan magang secara terus-menerus pada kantor advokat terhitung sejak 23 Februari 2019–23 Februari 2021. Namun pada akhir magang nantinya, Pemohon masih belum mencapai usia minimal yang disyaratkan pasal itu.

“Pemohon baru genap berusia 25 tahun pada 29 November 2021 untuk dapat menjadi seorang Advokat, sehingga tersisa waktu 9 bulan lagi baginya dengan tidak memiliki pekerjaan,” ujar Nina dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh didampingi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul sebagai anggota majelis.  

Diakui Nina, sebelum perkara ini telah ada tiga perkara dengan permasalahan yang sama yang telah diuji dan diputuskan oleh MK yakni Putusan MK No. 019/PUU-I/2003; Putusan MK No. 84/PUU-XIII/2015; dan Putusan MK No. 79/PUU-XVI/2018. Intinya, putusannya menolak dan tidak menerima pengujian Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat itu. (Baca Juga: MK: Batas Usia Minimal Advokat Tidak Diskriminatif)

Akan tetapi, Pemohon mengklaim permohonan ini, memiliki alasan, dasar konstitusional, dan bukti yang berbeda dengan pertimbangan dalam putusan MK sebelumnya. Adanya pasal tersebut, kata Nina, jelas menciptakan ketidaksamaan dalam hukum karena adanya perbedaan kedudukan menjadi advokat bagi yang belum berusia 25 tahun.

Kondisi ini tentu tidak sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Berpedoman pada Putusan MK No. 019/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan pembatasan usia minimal bagi calon advokat dapat disimpulkan pada dua kategori yaitu kematangan emosional/psikologi dan kematangan akademik.


Page 2

Pemohon meminta Mahkamah membatalkan syarat usia minimal 25 tahun menjadi Advokat dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat. Majelis meminta agar Pemohon memberi uraian kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis agar permohonan ini tidak ne bis in idem dengan membuat perbandingan dengan negara lain.

Bacaan 4 Menit

Terkait kedewasaan dan kematangan emosional ini, Pemohon mengutip pendapat Leah H. Sommerville yang menyebutkan kematangan emosional seseorang tidak dapat diidentikkan dengan umur seseorang. Sejalan dengan itu, dalam memantapkan kemampuan akademiknya, seorang advokat perlu melengkapi diri dengan pengalaman dan praktik di lapangan untuk menyempurnakan pengetahuan teoritis yang telah diperoleh dari lembaga pendidikan.

Akan tetapi, pengalaman dan praktik tersebut pun tidak selalu berkorelasi dengan usia seseorang dengan batas usia minimal yang disyaratkan norma Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat itu. “Jika tujuan pembatasan usia untuk meningkatkan kematangan akademik, yang seharusnya yang menjadi perhatian lama waktu magang, bukan usia minimal calon advokat. Karena kematangan akademik, tetap dapat tercapai tanpa melimitasi usia minimal calon advokat,” ujar Nina melalui sambungan persidangan jarah jauh.

Dengan demikian, Pemohon meminta pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Agar tidak nebis in idem

Menanggapi permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengingatkan dasar pengujian yang dimohonkan Pemohon pernah diujikan dalam perkara sebelumnya. Menurut Wahiduddin, dalam Putusan MK No. 79/PUU-XVI/2018, norma pasal dalam UUD 1945 yang digunakan sama dengan pasal dalam perkara ini. “Untuk itu, diharapkan Pemohon harus mencermati kembali putusan terdahulu dengan alasan pengajuan permohonan ini. Ini agar pokok permohonan ini tidak ne bis in idem,” saran Wahiduddin. (Baca Juga: MK: Syarat Usia dan Magang Calon Advokat Konstitusional)

Senada, Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul meminta Pemohon membuatkan narasi dan alasan konstitusional yang tidak terlihat sama dengan permohonan sebelumnya yang sudah diputus MK. Terkait pernyataan Pemohon mengenai kematangan seseorang dari psikologi, Manahan meminta agar Pemohon dapat membuatkan pula argumentasi perbandingan seseorang yang diangkat menjadi jaksa atau hakim.

Misalnya untuk diangkat sebagai jaksa atau hakim, itu perlu ada batasan usia minimalnya. Untuk menjadi advokat pun demikian. “Coba berikan alasan diskriminasi yang dimaksudkan. Perlu pula diketahui Pemohon, jangan dibawakan hal subjek yang berkepentingan dalam pengajuan perkara pengujian undang-undang, tetapi lihat dari tujuannya. Sesuatu bukan diskriminasi kalau yang berbeda itu benar-benar dibedakan,” terang Manahan.

Sementara Ketua Majelis Panel, Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar Pemohon meyakinkan Mahkamah dengan memberi uraian kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis agar permohonan ini tidak ne bis in idem dengan membuat perbandingan dengan negara lain. Maksudnya, Pemohon dapat membuat bentangan usia seorang advokat yang ada di negara lain di dunia yang mungkin saja ada berumur di bawah 25 tahun telah menjadi seorang advokat.

“Agar Mahkamah teryakinkan syarat usia minimal advokat tersebut sebuah ketentuan yang dapat saja diubah di kemudian hari,” kata Daniel.