Pertanyaan tentang hambatan per-dagangan internasional

Cara mendapatkan sertifikasi pengelolahan ikan (FGD dengan Sri Handayani, KKP, 11 Oktober 2021

Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan alam yang sangat besar, karena sebagian  wilayahnya adalah laut dengan  5,8 juta km2 perairan di dalam  Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kondisi wilayah tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk memantapkan diri sebagai salah satu produsen dan eksportir hasil laut. Salah satu produk unggulan Indonesia dalam penguatan daya saing dengan menempati posisi kedua dalam meningkatnya nilai ekspor tahun 2018 adalah ikan tuna (KKP, 2018). Dalam hal ini ikan tuna meningkatkan pendapatan ekonomi dan mengembangkan perikanan. Hal ini dikarenakan ikan tuna merupakan ikan yang sangat ekonomis dan merupakan sumber devisa negara kedua untuk bahan perikanan setelah udang. Persebaran penangkapan ikan tuna meliputi wilayah keseluruhan di Indonesia seperti bagian Sumatera dan Jawa, Selat Makassar, Teluk Cendrawasih, Laut Banda serta Teluk Tomini (Presilla & Atmaja, 2020).  Pada 2016 menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan  hasil tangkapan tuna Indonesia merupakan salah satu tangkapan terbesar di dunia, menyumbang 16% dari potensi produksi tuna dunia. Sekitar 70% produksi tuna Indonesia diekspor ke pasar tuna potensial seperti Jepang, Thailand, Vietnam, Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam bentuk produk segar, beku serta olahan. 

Akan tetapi Uni Eropa menjadi pasar yang cukup potensial untuk Indonesia karena Uni Eropa merupakan pasar perikanan terbesar di dunia. Hal ini juga terlihat di negara-negara Uni Eropa karena banyak orang mengkonsumsi ikan tuna dalam jumlah besar (USAID, 2017; Widyatmoko dkk, 2020 :334). Walaupun memiliki potensi perikanan yang besar Indonesia masih menempati urutan kedua di kawasan ASEAN sebagai negara eksportir tuna setelah itu ada Thailand yang menempati urutan pertama yang merupakan pengekspor tuna olahan  terkuat di dunia serta menguasai pasar dengan pangsa 46,75% (Lestari dkk., 2013). Selain banyak pesaing, isu mengenai hambatan tarif dan non-tarif perdagangan tuna, seperti keamanan pangan dan ilegal, IUU Fishing (Presilla & Atmaja, 2020). Selain itu faktor lainnya adalah sifat komoditas ikan tuna selalu aktif tergantung pada musim dan cuaca terkadang sulit untuk menangkap dengan kualitas yang baik. Daya saing ekspor merupakan faktor penting dalam perdagangan  internasional, dan negara-negara yang kurang kompetitif hanyalah pasar sasaran bagi produk dan jasa pesaing. Artikel Ini bertujuan untuk ingin mengetahui apa saja hambatan yang membuat Uni Eropa mempersulit sistem ekspor komoditas tuna Indonesia ke Uni Eropa? Selain itu, artikel ini akan melihat strategi dari sisi diplomasi ekonomi yang dapat digunakan dalam penyelesaian hambatan tersebut. 

Studi Kasus Hambatan Perdagangan Ekspor Ikan tuna Indonesia Ke Uni Eropa. 

Hubungan Uni Eropa dan Indonesia mulai berkembang semenjak penandatanganan Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Co-operation pada tanggal 9 November 2009 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2014 (Kemendag, 2016;  Manurung, 2018). Perjanjian tersebut memberikan dasar untuk mengadakan dialog politik dan kerja sama sektor secara teratur dan membawa hubungan bilateral ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti perjanjian EU-CEPA Walaupun hubungan ekonomi Indonesia-EU berkembang akan tetapi Indonesia bukan mitra dagang utama EU di Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).  Perjanjian EU-CEPA mulai terjalin di Indonesia mulai tahun 2016. CEPA mulai mempertimbangkan perbedaan dalam tahapan pengembangan dan memastikan bahwa negosiasi ini mendapat manfaat antara kedua bela pihak. Secara khusus aturan yang dibuat untuk kerjasama dan peningkatan kapasitas, serta pembukaan dan persetujuan sektor jasa untuk para profesional diperlukan. Kerangka kerja untuk putaran negosiasi CEPA  dilakukan dengan focal point Kementerian Perdagangan (KLNI Indonesia, 2019).

Kerjas ama ini dilakukan untuk menghindari adanya hambatan perdagangan seperti sertifikat kesehatan, kualitas dan kuantitas penangkapan, serta faktor-faktor lainnya. Oleh sebab itu kerja sama ini dilakukan untuk meningkatkan standar kesehatan, dan teknis produk-produk ikan yang nanti di ekspor Indonesia ke Uni Eropa sehingga menghindari hambatan perdagangan.  Uni Eropa membuat aturan ini karena mengacu pada GATT pasal XIX atau komitmen internasional. Sistem hambatan perdagangan ini diberlakukan dengan dasar hukum Council Regulation Nomor 260/200961 tetapi pemberlakukan ini dicabut pada tahun 2013 dan 2014. The Commission menerapkan sistem pengawasan ini dengan tujuan untuk meningkatkan transparansi kecenderungan impor produk tertentu, namun tanpa batasan pada akses ke pasar Uni Eropa. (Puspa, 2015).

Pada tahun 2003-2020 ekspor komoditas tuna ke Uni Eropa menunjukkan tren yang fluktuatif.  Dikarenakan kualitas produk tuna Indonesia kalah bersaing dengan kompetitor lainnya seperti Thailand dan Vietnam, oleh karena itu Uni Eropa memberlakukan pembatasan ekspor produk tuna dari Indonesia. Faktor lainnya yang menyebabkan kualitas ekspor berkurang adalah ketidakpastian cuaca, sehingga terkadang sulit untuk menangkap ikan dengan kualitas baik dan menyebabkan penurunan produksi dan ekspor. 

Salah satu hambatan yang dialami adalah sulit untuk mendapatkan sertifikasi keamanan pangan. Sertifikasi keamanan pangan adalah penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan, dimana pelaku usaha diwajibkan untuk memiliki sertifikasi cara penanganan ikan yang baik. Sertifikasi ini dilengkapi dengan peraturan terkait impor bahan baku dan makanan, termasuk produk ikan. Menurut aturan yang sudah ditetapkan oleh EU yaitu ada tiga aturan (1)EC No 178/2002 : Obligation of resources yaitu instrueb produksi, Hazard Analysis Critical Control points, dan ketertelusuran. (2) EC No 882/2004 : Obligations of result yaitu level aman produk (contoh kandungan histamin, kontaminasi) dan (3) EC No. 884/2004 : Obligation of control yaitu peraturan verifikasi, data dan manajemen storage, legal support.  (Presilla & Atmaja, 2020) Misalnya jika tiba-tiba terjadi pemeriksaan mendadak Uni Eropa ke Indonesia, setidaknya para pelaku usaha, baik konsumen maupun nelayan ketika di cek kelengkapan surat izin, salah satu sertifikat keamanan pangan sudah dimiliki, artinya kelengkapan dokumen, kelengkapan identitas dan kelengkapan barang (fisik). Pada saat pemeriksaan terjadi Uni Eropa menginginkan semua produk ekspor ini masuk dalam persetujuan BIP dengan tiga tipe pengecekan tersebut. 

Respon Pemerintah Indonesia dalam menghadapi hambatan sertifikasi tersebut memberikan otoritas Kepada KKP melakukan monitoring seperti mengecek bagaimana cara membongkar, suhu nya agar terjamin kualitas dan kuantitas mutu ikannya. Semua hal dilakukan supaya memenuhi syarat pengolahan ikan yang baik. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya juga melakukan monitoring nasional juga mengendalikan dan obat-obatan kemudian tiap tahun yaitu monitoring residu plant. Ini dilakukan agar Indonesia membuat planning untuk melakukan monitoring terhadap residu plant bahan berbahaya di perikanan budidaya serta harus dilaporkan setiap tahun ke Uni Eropa. Akan tetapi hal ini menjadi salah satu hambatan karena beberapa supplier-supplier yang bermasalah. Kemudian masuk ke dalam unit pengolahan ikan harus menerapkan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) tentu dalam penerapan ini mutu itu belum maksimal jadi unit pengolahan ikan akan diajarkan bagaimana saat mereka menerima bahan ikan yang akan diolah menjadi produk ikan yang baik. 

Selain sertifikat keamanan pangan, ada juga  hambatan lain terhadap ekspor tuna ini. Yang pertama ada catch certification dimana sertifikat ini dilakukan dalam upaya memerangi dan mengurangi pemberantas IUU fishing dengan mengeluarkan kebijakan 1005/2008, yaitu kebijakan The Catch Certification Scheme (CCS) pada 1 Januari 2003. Sertifikat ini memastikan keseluruhan proses produk dimulai dari penangkapan, pengolahan, pengemasan, pengangkutan dan pengiriman sesuai dengan standar. Aturan ini menerapkan full traceability atas produk perikanan juga relevan dengan peraturan hygiene package. Aturan ini mencatat asal produk hingga memasuki pasar UE artinya bahwa informasi lengkap tentang tempat, cara, jumlah, dan produk yang dimasukkan secara lengkap. Lalu ada Certification of Origin, yang merupakan aturan yang ditetapkan oleh UE untuk menentukan asal suatu barang, yaitu asal produk yang diproduksi, bukan asal produk yang dikirim. Sertifikat ini dicakup oleh European Union Generalized System of Preference (GSP) Uni Eropa per 1 Januari 2011. Keberadaan sertifikat ini menentukan bagaimana suatu produk perikanan dapat diterima ke dalam GSP (Presilla & Atmaja, 2020). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa permasalahan yang muncul pada hambatan perdagangan ekspor tuna Indonesia ke Uni Eropa terutama terkait dengan sistem sertifikasi yang harus diselenggarakan dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa. Semua kebijakan dari hasil perikanan yang ditangkap, diproses, dikemas, diangkut dan diangkut tunduk pada standar yang ditetapkan. 

Menurut Hendra Sugandi, mengenai rantai pasok tuna bisa dilihat dari gambaran umum yaitu dari nelayan  ke bakul atau ke tempat pelelangan ikan (TPI)  seperti di Muara Baru, nelayan di transit ke tuna landing center kemudian baru ke unit pengolahan ikan tapi juga ada yang langsung ke importir. Dilihat dari sisi domestik, tekanan sangat dirasakan oleh  LSM baik konsumen, retailer, wholesaler maupun importir di sektor non-periphery. Contoh beberapa sertifikat yang dikeluarkan seharusnya bersifat sukarela tetapi mereka menginginkan sertifikat tersebut wajib akan tetapi yang lainnya hanya volunteer. hambatan non tarif pada komoditas perikanan yang dikenakan oleh EU ada tiga kategori yaitu mengenai food safety, traceability, dan environment. Dapat dikatakan bahwa kemungkinan di masa yang akan datang hambatan non tarif akan semakin ketat dan semakin banyak yang diberlakukan oleh Uni Eropa.

Perjanjian EU CEPA

Perjanjian EU CEPA merupakan perundingan pertama negosiasi Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA). Indonesia dan Uni Eropa memulai negosiasi untuk mempersiapkan CEPA pada tahun 2012. Hal ini tentu berdampak akan mempengaruhi sektor ekspor Indonesia bergabung dengan Uni Eropa. Perjanjian ini dinyatakan sebagai kemungkinan kesepakatan membantu kedua belah pihak dalam mencapai hubungan ekonomi sebaik-baiknya yang belum dimanfaatkan antar kedua negara. CEPA adalah kesepakatan penuh dalam berbagai aspek hubungan ekonomi antara kedua negara yang terlibat, jadi lebih sederhana dapat dikatakan sebagai kesepakatan untuk menghilangkan hambatan perdagangan.  Liberalisasi perdagangan barang internasional adalah salah satu aspek penting bagi CEPA, promosi dan mudah untuk berinvestasi, tingkatkan perdagangan jasa (trade in services), dan mengidentifikasi praktik kebijakan dan persaingan yang lebih baik juga akan meningkatkan hubungan ekonomi lebih luas. 

Indonesia mengharapkan tiga kontribusi utama dari CEPA, yaitu: Pertama, untuk mendorong peningkatan perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa. Fokus kesepakatan pada liberalisasi perdagangan dapat meningkatkan intensitas hubungan perdagangan dengan menghilangkan berbagai hambatan perdagangan dan memfasilitasi perdagangan; Kedua, kontribusi CEPA diharapkan berdampak pada liberalisasi perdagangan dan investasi di bidang jasa; Ketiga, meningkatkan kemajuan teknologi dan keterampilan di bidang barang, jasa, dan investasi. Adanya Free Trade Agreement (FTA) antara Uni Eropa dan Indonesia akan menciptakan kerangka kerja sama yang lebih stabil, seimbang dan berjangka panjang untuk meningkatkan hubungan perdagangan dan investasi antar kawasan. Menurut Kementerian Koordinasi Perekonomian Republik Indonesia, IEU CEPA membantu meningkatkan perdagangan antara kedua perekonomian melalui meningkatkan akses pasar. Akses ke pasar Uni Eropa adalah kendala utama bagi produk Indonesia di pasar Uni Eropa. Masalah utamanya susah memenuhi persyaratan yang berbeda diadopsi oleh Uni Eropa, yaitu tindakan hambatan non tarif. 

Diplomasi Ekonomi

Diplomasi ekonomi dapat dipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan negosiasi dalam hubungan ekonomi internasional berfokus pada isu-isu inti seperti perdagangan, investasi, dan keuangan (Woolcock, 2018 : 219). Diplomasi ekonomi berlaku khususnya untuk negosiasi dalam kerangka di mana hubungan ekonomi internasional ada. Dengan kata lain, aturan, rezim, dan norma sebagaimana tercermin dalam perjanjian yang mengikat atau sukarela atau juga negosiasi diskrit yang mempengaruhi penciptaan dan distribusi aktivitas ekonomi internasional. Berangkat dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa diplomasi ekonomi menjadi semakin penting dalam panggung politik internasional. 

Diplomasi ekonomi juga penting, karena berdampak pada bentuk dan sifat tatanan ekonomi internasional, apakah liberal atau merkantilis, berbasis aturan atau berbasis kekuasaan, kooperatif atau anarkis.  Pertanyaan yang lebih sulit adalah, apakah ada perbedaan antara diplomasi ekonomi dan kebijakan ekonomi luar negeri. Meskipun tampaknya tidak ada definisi yang jelas dari istilah yang terakhir, istilah ini umumnya lebih berkaitan dengan isi kebijakan daripada proses pengambilan keputusan dan negosiasi. Diplomasi ekonomi juga cenderung digunakan dalam konteks kebijakan luar negeri negara-negara tertentu, dan dengan demikian cenderung mencakup dasar yang serupa dengan tata negara ekonomi dan tampaknya lebih ke arah akhir spektrum keamanan atau kebijakan luar negeri (Woolcock, 2018 : 227). Dimana kebijakan ekonomi luar negeri berfokus pada bagaimana keputusan diambil atau faktor-faktor yang membentuk kebijakan tersebut, akan ada sedikit perbedaan antara itu dan apa yang kita sebut diplomasi ekonomi.   


Kesimpulan dan Rekomendasi

Perjanjian EU CEPA antara Indonesia dan Uni Eropa resmi dimulai pada tahun 2012 . Negoisasi ini menimbulkan beberapa manfaat yang baik antara kedua bela pihak dalam hal kerjasama bilateral yang menguntungkan kedua negara. Bagi Indonesia sendiri kerjasama ini selain untuk memiliki hubungan yang baik dengan Uni Eropa, juga dapat meningkatkan produk ekspor Indonesia  ke pasar  Uni Eropa karena pasar Uni Eropa merupakan salah satu pasar potensial yang besar bagi Indonesia namun memiliki  kebijakan-kebijakan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja oleh negara-negara pengekspor khususnya seperti Indonesia. Oleh karena itu perjanjian EU-CEPA ini dibuat agar keluar dari permasalahan hambatan perdagangan ini. Ada beberapa hambatan perdagangan yang terjadi di Indonesia yaitu tentang sertifikasi keamanan pangan, catch certification dan certification of origin.  Untuk mendapatkan sertifikasi ini Indonesia perlu banyak belajar dari Eropa. Selain itu ada tiga kategori yang dikenakan oleh Uni Eropa yang pertama food safety, traceability, dan environment  bahkan di masa yang akan datang kemungkinan sertifikasi ini akan semakin ketat dan bertambah banyak. Dalam diplomasi ekonomi perjanjian EU CEPA ini termasuk dalam pengambilan keputusan dan negosiasi yang berfokus dalam perdagangan. Hal ini terlihat dari Indonesia dan Uni Eropa resmi menandatangani perjanjian ini. Negosiasi ini menimbulkan beberapa manfaat yang baik seperti bagaimana cara untuk mendapatkan sertifikat keamanan pangan agar semua nelayan bisa memiliki surat izin yang layak dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. 

Rekomendasi yang ditawarkan adalah baik pemerintah maupun NGO dengan adanya kesepakatan kerja sama tersebut. Pihak pemerintah Indonesia maupun perwakilan dari Uni Eropa. Dengan adanya Perjanjian EU CEPA ini mari sama-sama belajar dari hambatan perdagangan yang terjadi saat ini. Untuk pemerintah Indonesia mari kita sama-sama belajar yaitu dengan meningkatkan daya saing ekspor tuna olahan Indonesia di pasar Uni Eropa dari aspek kualitas, mutu perbaikan dari sistem pengelolaan di unit pengolahan agar sesuai dengan sertifikat kesehatan atau HACCP serta sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pihak Uni Eropa. Dalam meningkatkan daya saing pasar Uni Eropa dari aspek logistik perlu berbaikan dari alat-alat yang mendukung keberlangsungan ekspor (alat pengukur suhu dan lain-lain)  dan kapasitas kapal yang digunakan harus sesuai dengan persyaratan yang ada. Untuk pelaku usaha atau eksportir baik perusahaan, nelayan, importer agar mengikuti syarat-syarat yang ada atau pembimbingan yang diadakan oleh pemerintah Indonesia supaya memiliki sertifikat kesehatan yang sesuai dengan persyaratan yang ada. 

*Catherina Henderson adalah mahasiswi magang di Pusat Riset Kewilayahan. Saat ini, Catherina sedang menempuh pendidikan sarjana jurusan ilmu Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia. 

Referensi

Kementerian Kelautan dan Perikanan. (2018).  Kinerja Ekspor Produk Perikanan Indonesia. Diakses 10 Desember 2021.  

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. (2019). Kerjasama Regional Uni Eropa. Diakses 10 Desember 2021.

Lestari W., Syarief, R., & Sumantadinata, K. (2013). Strategi Peningkatan Daya Saing Tuna Olahan Indonesia di Pasar Internasional. Manajemen IKM, 8(1): 36-44.

Manurung, H. (2018). Improving Free Trade Agreement (FTA) Between Indonesia-European Union (EU) Through Comprehensive Economic Partnership (CEPA). Jurnal Asia Pacific Studies, 2 (1), 23-44.

Puspa KPI, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia (2015) . Analisis Pengembangan Pasar Uni Eropa. Diakses pada 22 Desember 2021.  

Presilla & Atmaja, 2020. Hambatan Nontarif Uni Eropa Terhadap Ikan Tuna Indonesia. Dalam Hambatan Perdagangan Non Tarif Uni Eropa dan Respons Aktor dalam Rantai Pasok Kelapa Sawit, Pala, Tuna, dan Udang : Relasi  Ketegangan dan Harmonisasi. By Widyatmoko Bondan (Eds), dkk., 326-377. Yogyakarta : PT Kanisius.

Woolcock Stephen : Economy Diplomacy. “ Dalam Diplomacy In a Globalizing World : Theories and Practice Second Edition, Editor Kerr, Pauline and Geoffret Wiseman. 219-234. New York : Oxford University Press. 

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA