Pada abad ke berapa pesantren mulai berkembang di Indonesia

Pesantren Yatim Dhuafa Al Kasyaf di Desa Cimekar, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, untuk sementara memberlakukan lockdown, Rabu, 16 Juni 2021. Sebanyak 52 santri terkonfirmasi positif Covid-19 sementara 54 orang lainnya masih menunggu hasil tes PCR. Saat ini sudah sepekan seluruh santri dan pengasuh pondok pesantren menjalani isolasi di dalam pesantren. TEMPO/Prima mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu cara penyebaran dan pengajaran agama Islam di Indonesia dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dikenal dengan sebutan pondok pesantren. Perannya sangat besar dalam masa-masa awal penyebaran Islam di Nusantara.

Mengutip nu.or.id, pengamat pendidikan Darmaningtyas, berpendapat bahwa sejarah pendidikan Indonesia dimulai dari institusi swasta, di lingkungan pesantren dan padepokan.

Sementara itu, dalam buku Atlas Wali Songo karya Agus Sunyoto, pesantren disinyalir merupakan hasil Islamisasi sistem pendidikan lokal yang berasal dari masa Hindu-Buddha di Nusantara. Kala itu, lembaga pendidikan lokal berupa padepokan dan dukuh banyak didirikan untuk mendidik para cantrik.

Sejarah pesantren

Dalam jurnal Al-Ta’dib, Sejarah Pesantren di Indonesia yang ditulis oleh Herman DM, dijelaskan bahwa pesantren setidaknya mempunyai tiga unsur, yaitu santri, kiai atau guru, dan asrama atau pondok.

Selanjutnya, banyak orang yang memaknai pesantren semata-mata dengan bentuk bangunan fisik pesantren itu sendiri.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang mengenal pesantren dari perspektif yang lebih luas, yakni perannya dalam penyebaran Islam di indonesia, mulai dari membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, keagamaan hingga politik.

Lebih lanjut, kata pesantren yang berakar dari kata santri dengan imbuhan “pe-” di awal dan “-an” di akhir, dapat diartikan sebagai tempat tinggal para santri.

Istilah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah tempat pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya juga terdapat asrama bagi para siswa atau muridnya. Dengan kata lain, para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu agama di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai.

Berdiri di sekitar tempat kiai menetap

Biasanya berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai atau ulama agama Islam yang menetap di suatu tempat. Kemudian, datanglah para santri yang hendak belajar berbagai ilmu agama kepadanya.

Tidak jarang santri yang ingin belajar berasal dari daerah yang jauh. Untuk itu, kemudian dibangun pula tempat bermukim para santri di sekitar kediaman kiai tadi. Semakin banyak santri yang ingin menuntut ilmu, akan semakin banyak pula pondok yang dibangun.

Di masa lalu, biaya kehidupan dan pendidikan di pesantren disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Cara tersebut dimaksudkan agar kehidupan di pesantren tidak terpengaruh dengan gejolak yang ada di luar.

Cikal bakal lahirnya pondok pesantren diduga ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel, mendirikan sebuah padepokan di Ampel, Surabaya, jawa Timur. Meski pada waktu itu belum disebut pesantren, tetapi bisa dikatakan kalau yang dilakukan Sunan Ampel menjadi peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di indonesia.

Santri-santri yang telah belajar dan cukup ilmu di padepokan Sunan Ampel. Kemudian satu per satu pulang ke daerahnya masing-masing dan mengamalkan ilmunya di sana. Maka murid-murid Sunan Ampel tersebut, mendirikan padepokan seperti apa yang telah mereka dapatkan di Padepokan Ampel. Ulama-ulama besar banyak yang lahir dari padepokan-padepokan tersebut.

Melansir dari laman tebuireng.online, pada 1899 Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang, kemudian membentuk Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di sisi lain, rekan seperguruan Kiai Hasyim di Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mendirikan pusat pendidikan Islam yang lebih modern, dengan kurikulum yang sedikit berbeda.

Kini, seiring perkembangan zaman, pesantren-pesantren sudah semakin modern, baik dari kurikulum maupun fisk bangunannya. Meski begitu, kesederhanaan dan keikhlasan yang digambarkan oleh kehidupan kiai dan para santrinya, masih menjadi nilai utama yang patut diteladani dari ajaran kehidupan di pesantren.

M. RIZQI AKBAR

Baca juga:

Resolusi Jihad dan Peran Hasyim Asy'ari Melawan Penjajah

Oleh: Adnan Mahdi

A.  Pendahuluan

Indonesia sebagai salah satu negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, ternyata memiliki sebuah sistem pendidikan yang khas dan unik bernama pesantren. Dikatakan khas karena pendidikan model pesantren ini hanya berkembang pesat di Indonesia, sementara di negara lain akan sulit ditemukan model pendidikan pesantren ini. Sedangkan yang dimaksud unik, karena pesantren memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki secara lengkap oleh sekolah-sekolah umum, seperti kyai, santri, pondok, kitab kuning, dan masjid. Selain kekhasan serta keunikan tersebut, ternyata pesantren juga merupakan pendidikan Islam asli produk Indonesia.[1] Bahkan ada yang mengatakan bahwa pesantren itu adalah “bapak”-nya pendidikan Islam di Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata pesantren memiliki banyak kelebihan atau keunikannya sehingga sangat menarik apabila dibahas mulai dari sejarah kemunculannya hingga masa-masa perkembangannya. Sebab, dengan mengetahui perjalanan sejarahnya seperti itu, maka akan mudah menggambarkan sejauhmana kiprah, peranan, atau sumbangan yang telah diberikan pesantren terhadap sistem pendidikan nasional Indonesia selama ini. Untuk maksud tersebutlah, makalah ini ditulis.

B.   Mengenal Pesantren

Sebelum menguraikan perjalanan pesantren di dalam bentangan sejarah pendidikan Indonesia, perlu dijelaskan hal-hal penting yang melekat dengan kata “pesantren”, seperti pengertian, karakteristik, dan tujuannya, dengan maksud untuk lebih mengenal dan memahaminya secara kompleks dan integral dalam tulisan ini.

Pengertian Pesantren

Kata pondok dan pesantren adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan dalam pembahasannya, karena setiap membahas pesantren berarti kita sedang membahas konsep pondok di dalamnya. Dengan demikian, sebelum menjelaskan pengertian pesantren, berarti perlu dijelaskan terlebih dahulu arti dari kata pondok tersebut.

Istilah pondok, sebenarnya berasal dari kata dalam bahasa Arab, yaitu funduk, yang berarti rumah penginapan, ruang tidur, asrama, atau wisma sederhana. Dalam konteks keindonesiaan, kata pondok seringkali dipahami sebagai tempat penampungan sederhana bagi para pelajar atau santri yang jauh dari tempat asalnya.[2] Arti pondok menurut pendapat Sugarda Poerbawakatja,[3] adalah suatu tempat pemondokan bagi pemuda-pemudi yang mengikuti pelajaran-pelajaran agama Islam. Inti dan realitas pondok tersebut adalah kesederhanaan dan tempat tinggal sementara bagi para penuntut ilmu.

Adapun istilah pesantren, berasal dari kata santri. Ada yang mengatakan bahwa sumber kata santri tersebut berasal dari bahasa Tamil atau India yaitu shastri, yang berarti guru mengaji atau orang yang memahami (sarjana) buku-buku dalam agama Hindu. Ada pula yang mengatakan bahwa pesantren itu berasal dari turunan kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[4] Ada juga yang mengatakan bahwa istilah pesantren itu berasal dari bahasa Sankrit, yaitu sant dan tra. Sant berarti manusia baik, sementara tra berarti suka menolong, sehingga dari kedua kata tersebut terbentuklah suatu pengertian yaitu tempat pendidikan manusia yang baik-baik.[5] Sementara dari arti terminologinya, pesantren itu dimaknai sebagai lembaga pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, dimana kyai sebagai figur sentralnya, masjid sebagai pusat kegiatan yang menjiwainya, dan pengajaran agama Islam di bawah bimbingan kyai yang diikuti oleh santri sebagai kegiatan utamanya.[6]

Berbeda dengan Mastuhu,[7] ia mengartikan pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan sekaligus mengamalkan ajaran agama Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Abdurrahman Mas’ud mengartikan pesantren sebagai tempat di mana para santri mencurahkan sebagian besar waktunya untuk tinggal dan memperoleh pengetahuan.[8] Bagi Abdurrahman Wahid,[9] pesantren itu adalah a place where santri (student) live.

Berbedanya pengertian istilah pesantren di atas, disebabkan berbedanya kepentingan dan sudat pandang yang mereka gunakan. Namun, jika ditarik sebuah kesimpulan, maka pesantren dimaknai sebagai lembaga pendidikan sederhana yang mengajarkan sekaligus menginternalisasikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari agar anak didiknya (santri) menjadi orang yang baik-baik sesuai standar agama dan diterima oleh masyarakat luas. Dari pengertian pondok dan pesantren tersebut, dapat dirumuskan bahwa yang dimaksudkan dengan pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan dan menginternalisasikan ajaran Islam kepada santri-santrinya dalam lingkungan pondok-pondok sederhana agar mereka memiliki kemampuan agama dan berakhlak mulia yang bisa diterima kehadirannya oleh masyarakat.

Ciri Khas Pesantren

Indonesia ternyata tidak hanya terkenal dengan ragam suku dan budayanya saja, tetapi juga ragam dalam bahasanya. Keragaman bahasa khususnya, menyebabkan keragaman pula dalam penyebutan pesantren. Aceh menyebut pesantren itu dengan nama dayah atau rangkang, Minangkabau menyebutnya dengan surau, Madura biasa menyebutnya penyantren. Sementara di Jawa, umumnya menyebut dengan nama pondok pesantren.[10] Meskipun beragam sebutan untuk pesantren, namun ciri khasnya tetap sama, yaitu adanya unsur-unsur pokok dalam pesantren. Ciri khas atau unsur pokok dimaksud adalah: adanya kyai, masjid, santri, pondok, dan pengajaran kitab Islam klasik (atau kitab kuning[11]).

Kyai

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa.[12] Menurut asal-usulnya, sebutan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda, yaitu:

1)   Kyai merupakan tokoh sentral yang memberikan pengajaran.

2)   Kyai merupakan elemen paling esensial sebagai pendiri dan penentu pertumbuhan serta perkembangan pesantrennya.

3)   Kyai merupakan julukan atau gelar yang diberikan masyarakat bahwa pada umumnya tokoh-tokoh tersebut adalah alumni pesantren.[13] Kyai juga merupakan orang yang ahli di bidang agama Islam dan memiliki atau menjadi pimpinan pesantren serta mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada santrinya.

Adanya kyai dalam pesantren merupakan hal yang sangat mutlak, sebab dia adalah tokoh utama/sentral yang memberikan pengajaran. Dia juga menjadi orang yang paling dominan dalam kehidupan di pesantren. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai.[14]

Masjid

Menurut bahasa, masjid berarti tempat sujud. Sementara menurut istilahnya, masjid merupakan tempat yang digunakan untuk melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Selain itu, masjid juga dapat dipahami sebagai tempat pendidikan dan pembentukan moral keagamaan.[15] Dalam pesantren, masjid adalah salah satu elemen penting dan menjadi tempat strategis untuk mendidik santri dalam beberapa hal, seperti praktek shalat lima waktu, shalat Jum’at, khutbah Jum’at, pengajaran kitab Islam klasik, pengajian al-Qur’an, diskusi keagamaan, dan sebagainya.

Bahkan, dalam perkembangan terakhir ini, cukup banyak pesantren yang membangun masjidnya dengan dilengkapi ruang atau kelas-kelas secara terpisah. Tempat-tempat tersebut sering digunakan untuk kegiatan halaqah, pengajaran, diskusi-diskusi, dan sebagainya. Sementara di dalam masjidnya, belakangan ini sudah sering digunakan untuk i’tikaf, dzikir, rapat kelembagaan, bahkan di samping atau halaman masjid sudah banyak juga yang dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi.

Santri

Santri merupakan salah satu komponen penting di dalam pesantren, karena tanpa adanya santri, maka pesantren tersebut tidak akan memiliki fungsi dan makna yang utuh. Santri umumnya ada dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong adalah sebutan untuk santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren, jadi tidak sulit baginya untuk pergi-pulang dalam menuntut ilmu di pesantren. Sedangkan santri mukim merupakan santri yang menetap di dalam pondok pesantren untuk sementara waktu, dan biasanya mereka berasal dari daerah yang jauh dari lokasi pesantren. Pada waktu lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan bagi santri karena dia harus memiliki cita-cita yang penuh, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren.[16] Namun sekarang, tidak sedikit santri yang masuk pesantren dan menetap di dalamnya dengan maksud lain, seperti rehabilitasi pengguna narkoba, rehabilitasi kenakalan remaja, dan sebagainya. Maksud atau tujuan masuk pesantren dengan latar belakang atau alasan tersebut, tentu sudah jauh bergeser dari tujuan semula santri mukim dimaksud.

Pondok

Pondok merupakan tempat sederhana yang digunakan sebagai tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Besarnya pondok sangat tergantung dengan jumlah santrinya. Pemondokan santri ini dilakukan secara terpisah, pondok untuk santri laki-laki dibuatkan terpisah dengan pondok santri perempuan.

Pembangunan pondok ini biasanya menggunakan dana yang bersumber dari keuangan kyai atau bantuan masyarakat. Sangat jarang pondok-pondok ini dibangun oleh pemerintah, kecuali bantuan itu hanya ditujukan pada pembangunan ruang belajar (kelas) atau fasilitas belajar.

Tujuan pembangunan pondok selain tempat tinggal santri, juga bertujuan sebagai tempat latihan bagi mereka dalam rangka pengembangan keterampilannya untuk hidup mandiri agar mereka lebih siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.[17] Sistem pondok atau asrama santri ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain, seperti sistem pendidikan di Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan.[18]

Kitab Islam Klasik

Kitab Islam klasik yang sekarang dikenal dengan sebutan kitab kuning merupakan hasil karangan dari ulama terdahulu, yang isinya mengenai berbagai macam ilmu pengetahuna agama Islam dan bahasa Arab. Pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, terutama karangan ulama yang menganut faham Syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utama pengajaran tersebut adalah untuk mendidik calon-calon ulama.[19] Para santri yang bercita-cita menjadi ulama, mengembangkan keahliannya dalam bahasa Arab, melalui sistem sorogan, sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.

Adapun zaman sekarang ini, kebanyakan pesantren telah memasukkan pengetahuan umum dan tidak hanya mempelajari kitab-kitab Islam klasik semata. Meskipun demikian, pengajaran kitab klasik tetap menjadi fokus utama. Pada umumnya, pelajaran kitab-kitan Islam klasik itu dimulai dari yang paling sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam. Sebuah pesantren dapat diketahui kualitasnya dari kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan.[20]

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, yaitu: nahwu dan saraf; fiqh; usul fiqh; hadis; tafsir; tauhid; tasawwuf dan etika; dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan ke beberapa tingkatan, seperti tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan pada pesantren di Jawa umumnya sama.[21] Kesamaan kitab yang diajarkan itu dan sistem pengajarannya tersebut telah menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan di kalangan santri di seluruh Jawa dan Madura. Para kyai sebagai pembaca dan penterjemah kitab tersebut, bukan sekedar membaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari teks. Dengan kata lain, para kyai tersebut yang memberikan komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya. Oleh karenanya, para penerjemah tersebut haruslah menguasai tata bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam yang lain. Selain itu, para kyai juga harus menjadi teladan dan punya kharismatik, agar setiap penyampaiannya didengar dan diamalkan oleh santrinya.

Tujuan Pesantren

Pesantren adalah model pendidikan berasrama di Indonesia. Pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan agama Islam, khususnya melalui studi bahasa arab, tradisi penafsiran, hadis Nabi, hukum, dan logika.[22] Namun secara mendasar, tujuan dari pesantren adalah untuk membangun dan mengembangkan kepribadian muslim yang taat kepada Allah SWT dalam kondisi beriman dan bertakwa. Ketaatan ini, selanjutnya akan memancarkan kewajiban moral untuk menyebarkan ajaran dan spirit Islam di antara manusia.[23]

Dalam perspektif lain, M. Arifin membagi tujuan pesantren itu menjadi dua hal, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi mubaligh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Sedangkan tujuan khususnya adalah mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[24]

Berdasarkan uraian di atas, dapat diintisarikan bahwa tujuan pendidikan pesantren adalah untuk memperdalam pengetahuan agama Islam, membangun dan mengembangkan kepribadian muslim agar selalu taat dalam beriman dan bertakwa kepada Allah SWT di setiap kondisi, dan melaksanakan dakwah Islamiyah.

C.  Sejarah Awal Pertumbuhan Pesantren

Keberadaan pesantren masa awal pertumbuhannya tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Timur Tengah. Hal ini bisa dilihat dari aspek metode, materi atau kelembagaannya yang sangat diwarnai oleh corak pendidikan Islam di Timur Tengah pada Abad Pertengahan. Dalam konteks penyebaran Islam itulah, pesantren mulai terbentuk dan tumbuh di Indonesia.

Untuk menelusuri pertumbuhan pesantren pada masa awalnya di Indonesia, perlu dikemukakan terlebih dahulu sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Berdasarkan beberapa sumber, ada tiga versi yang secara jelas menerangkan terkait masuknya Islam ke Indonesia.

  1. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7:
    • Seminar masuknya Islam di Indonesia (di Aceh), sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al-Mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 M diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
    • Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalannya ke China.
    • Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya telah menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
    • Sayed Naguib al-Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
    • Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia pernah mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
    • S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan Hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
    • WP. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese Sources, menjelaskan bahwa Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Arab muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674), (Ta Shih = Arab Muslim).
    • T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
    1. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11:
      • Satu-satunya sumber ini adalah ditemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makamnya Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 1082 (dimasehikan).
      • Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13: Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M. K.F.H. Van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.

        J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit Hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.


        Beberapa sarjana Barat seperti R.A Kern, C. Snouck Hurgronje, dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, hal ini berdasarkan sudah adanya beberapa kerajaaan Islam di kawasan Indonesia.[25]

Berdasarkan sumber-sumber di atas, dapat dinyatakan bahwa argumentasi dan bukti yang cukup kuat mengenai masuknya Islam ke Indonesia adalah pada Abad ke 7 Masehi. Jika pada abad 7 tersebut Islam benar-benar mulai masuk ke Indonesia, berarti pada masa itu, peradaban Islam di Timur Tengah sedang cerah. Sebab, sekitar abad ke 6 – 7 Masehi, obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan peradaban Islam. Dalam lapangan kedokteran, muncul nama-nama terkenal seperti: Al-Hawi karya al-Razi (850-923) merupakan sebuah Ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya.[26]

Meskipun Timur Tengah sedang mengalami kemajuan pada abad tersebut, namun yang membawa Islam ke Indonesia adalah pedagang yang disinyalir orangnya hidup tidak selalu menetap. Artinya, setiap musim pelayaran, mereka pergi berdagang sesuai dengan arah mata angin. Apalagi ketika mereka memasuki wilayah Indonesia, kondisi masyarakatnya saat itu masih sangat sederhana dan banyak dipengaruhi oleh agama Hindu, sehingga diperkirakan ajaran Islam yang mereka sebarkan juga disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya.

Hal ini begitu terlihat pada saat Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam, kebudayaan masyarakat setempat sering dijadikan modal dasar bagi mereka untuk menyisipkan ajaran Islam. Misalnya saja Sunan Kalijaga menggunakan Wayang sebagai media dakwahnya. Islamisasi kebudayaan sebagai strategi penyebaran Islam tersebut tentunya sangat mempermudah diterimanya ajaran yang disampaikan. Oleh karena itu, dalam catatan sejarah, Wali Songo sangat berhasil menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di Indonesia.

Demikian pula dalam catatan sejarah, pada zaman Wali Songo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di Indonesia. Ketika itu, Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi. Padepokan Sunan Ampel inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Indonesia.

Salah seorang santri dari padepokan Sunan Ampel adalah Sunan Giri yang mendirikan pesantren Giri Kedaton, beliau juga merupakan penasehat dan panglima militer ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit. Keahlian beliau di bidang Fiqh menyebabkan beliau diangkat menjadi mufti se-tanah jawa. Santri dari Sunan Giri ini adalah Raden Patah yang kemudian menjadi raja pertama di kerajaan Demak, yang merupakan putra terakhir dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang dibimbing oleh para Wali Songo. Pada masa Raden Patah pula kerajaan Demak mengirimkan ekspedisi ke Malaka yang dipimpim Adipati Unus untuk merebut selat Malaka dari tangan Belanda.

Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Wali Songo tersebut, akan ditemukan bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada Sunan Ampel. Misalnya saja Sunan Kalijaga, beliau adalah santri dari Sunan Bonang yang merupakan Putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga. Semua mereka tersebut punya jasa yang sangat dalam penyebaran agama Islam.

Begitulah pesantren pada masa Wali Songo, ia digunakan sebagai tempat untuk menimba ilmu sekaligus untuk menempa para santri agar dapat menyebarluaskan ajaran agama Islam, mendidik kader-kader pendakwah guna disebarkan ke seluruh Nusantara. Hasilnya bisa dilihat sendiri, Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia dan bahkan bukan hanya itu, jumlah pengikutnya adalah yang terbanyak di dunia. Setelah itu muncul pula pesantren-pesantren lain yang mengajarkan ilmu agama diberbagai bidang berdasarkan kitab-kitab salaf.

D.  Pesantren di Masa Kolonial

Setelah periodesasi perkembangan pesantren yang cukup maju pada masa Wali Songo, masa-masa suramnya mulai terlihat ketika Belanda menjajah Indonesia. Pada periode penjajahan ini, pesantren selalu berhadapan dengan kolonialis Belanda yang sangat membatasi ruang geraknya. Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan politik pendidikan dalam bentuk Ordonansi Sekolah Liaratau Widle School Ordonanti. Melalui kebijakan tersebut, pihak Belanda ingin membunuh madrasah dan sekolah yang tidak memiliki izin. Selain itu, kebijakan formal Belanda tersebut juga bertujuan melarang pengajaran kitab-kitab Islam yang menurut mereka berpotensi memunculkan gerakan subversi atau perlawanan di kalangan santri dan kaum muslim pada umumnya. Setidaknya, tercatat empat kali pihak Belanda mengeluarkan peraturan yang bertujuan membelenggu perkembangan pesantren di Indonesia, yaitu pada tahun 1882, 1905, 1925, dan 1932.[27]

Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji. Selain itu, Belanda membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan negara-negara Islam lainnya. Hal-hal seperti ini pada akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat. Sebagai respons penindasan Belanda tersebut, kaum santri mulai melakukan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara tahun 1820-1880, telah terjadi pemberontakan dari kaum santri di Indonesia, yaitu:

  1. Pemberontakan kaum Padri di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol.
  2. Pemberontakan Diponegoro di Jawa
  3. Pemberontakan Banten akibat tanam paksa yang dilakukan Belanda.
  4. Pemberontakan di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro.

Akhirnya, pada akhir abad ke-19, Belanda mencabut resolusi yang membatasi jamaah haji sehingga jumlah peserta jamaah haji pun membludak. Hal ini menyebabkan tersedianya guru-guru pendidikan agama Islam dalam jumlah yang besar, karena selain berniat untuk menunaikan ibadah haji, para jamaah juga menuntut ilmu-ilmu agama, dan ketika mereka kembali lagi ke Indonesia, mereka mengembangkan dan menyebarluaskan ilmunya. Lantaran adanya niat ganda seperti ini, jumlah pesantren semakin meningkat dari tahun ke tahun. Adapun ulama-ulama Indonesia yang berkualitas internasional setelah melaksanakan ibadah Haji, diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib As-Sambasi, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz At-Tarmizi, Syekh Abdul Karim, dan lain sebagainya. Dari mereka itulah intisab keilmuan kyai-kyai Indonesia bertemu.

Setelah penjajahan Belanda berakhir, Indonesia dijajah kembali oleh Jepang. Pada masa penjajahan Jepang ini, pesantren masih saja berhadapan dengan kebijakan Saikere yang dikeluarkan pemerintah Jepang. Melalui kebijakan tersebut, setiap orang bumiputra diharuskan membungkuk 90 derajat ke arah Tokyo setiap pagi jam 07.00 untuk menghormati atau memuja Kaisar Jepang, Tenno Haika, yang diyakini sebagai keturunan Dewa Amaterasu. Disinilah peran karismatik K.H Hasyim Asy’ari terbukti ampuh. K.H Hasyim Asy’ari sangat menentang dan menolak ritual yang diatur oleh pemerintah Jepang itu sehingga ia ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan. Di luar dugaan pihak Jepang, penangkapan dan pemenjaraan kyai tersebut justru melahirkan aksi perlawanan di kalangan santri. Terjadilah demonstrasi besar-besaran yang melibatkan ribuan kaum santri untuk menuntut pembebasan K.H Hasyim Asy’ari dan menolak kebijakan Saikere.[28] Sejak itulah pihak Jepang tidak pernah mengusik dunia pesantren, walau kekejamannya terhadap kaum bumiputra lebih menyakitkan dibandingkan penjajahan Belanda.

Menjelang kemerdekaan, kaum santri telah dilibatkan di dalam penyusunan undang-undang dan anggaran dasar Republik Indonesia, yang diantaranya melahirkan piagam Jakarta. Namun, oleh golongan nasionalis sekuler, piagam Jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandas impian kaum santri untuk mendirikan negara Islam Indonesia.

E.   Pesantren di Masa Kemerdekaan

Pada masa awal kemerdekaan, kaum santri kembali berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut positif oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya yang dikomandoi Bung Tomo dengan semboyan “Allahhu Akbar! Merdeka atau Mati” tidak gentar menghadapi penjajah dengan persenjataan lengkapnya. Diperkirakan 10.000 orang tewas pada waktu itu, dan hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.

Pada sisi lain, muncul pula kekuatan massal Islam dalam bentuk organisasi ekonomi dan kemasyarakatan, seperti Serikat Dagang Islam, Persyarikatan Muhammadiyah, dan Nahdhatul Ulama. Lantaran itu, isu-isu strategis tergalang sangat cepat di kalangan umat Islam karena dikuatkan oleh fatwa-fatwa ulama yang mewajibkan umat Islam berjihad melawan penjajah.

 Setelah perang usai dan Indonesia dinyatakan merdeka, pondok pesantren kembali mendapatkan ujian, karena pemerintahan Soekarno yang dinilai sekuler itu telah melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional. Akibatnya pengaruh pesantren mulai menurun kembali, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besarlah yang mampu bertahan.[29] Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja, dan di samping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang yang bersekolah di sekolah tersebut.

Pada masa Orde Baru, bersamaan dengan dinamika politik umat Islam dan negara, Golongan Karya (Golkar) sebagai kontestan Pemilu selalu membutuhkan dukungan dari pesantren. Atas kebutuhan itulah pemerintah yang dikuasai Golkar menaruh sedikit perhatian pada dunia pesantren. Dari kalangan pesantren sendiri muncul intelektual santri yang secara sadar berusaha memperoleh pembiayaan pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berbagai gagasan mulai muncul dalam rangka mengajarkan keterampilan di pesantren, seperti peternakan, pertanian, kerajinan, dagang, dan lain-lain. Suasana pun tampak kondusif hingga terbit kebijakan SKB 3 Menteri (Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) tentang penyetaraan madrasah dengan sekolah umum. Di sisi lain, sesuai dengan dinamika politik dan dinamika dalam sistem pendidikan nasional, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) malah menolak alumni pesantren Gontor karena ijazah pesantren tersebut tidak diakui pemerintah. Pesantren Gontor memang mengatur sendiri kurikulum dan ijazah lulusannya. Padahal, untuk menjadi mahasiswa IAIN, kualitas alumnus pesantren Gontor diakui lebih baik dibanding lulusan Madrasah Aliyah versi SKB 3 Menteri.[30]

Dalam kasus di atas, jelas jasa dan peran pesantren masih belum diakui eksistensinya secara baik oleh pemerintah. Kalangan santri dari pesantren masih dianggap manusia kelas dua karena pendidikannya dinilai tidak sesuai dengan standar pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah. Bahkan, lulusan pesantren pada waktu itu tidak bisa diterima menjadi pegawai pemerintah. Kondisi nyata seperti itu mengakibatkan pesantren mengalami pasang surut perkembangannya hingga pada era pembangunan.

Meskipun demikian, pesantren tetap mampu melahirkan ulama-ulama hebat yang sangat berjasa dan menjadi orang penting di negara Indonesia ini. orang-orang di maksud di antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH. Saifuddin Zuhri, dan lain-lainnya.

F.   Potret Pesantren di Masa Sekarang

Setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang telah mampu berkuasa selama + 32 tahun, perbaikan-perbaikan sistem pendidikan Indonesia terus dilakukan. Perbaikan tersebut memberikan peluang yang cukup positif bagi perkembangan pesantren di Indonesia. Berdasarkan data pada tahun 2003/2004, Dirjen. Lembaga Islam Departemen Agama RI telah mengeluarkan data yang menjelaskan bahwa jumlah pesantren pada saat itu sudah mencapai 14.656 buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu yang telah mencapai lebih dari 230 juta jiwa. Namun, perkembangan pesantren terbilang cukup prospektif. Apalagi setelah terbitnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pendidikan pesantren mulai diakui pemerintah. Terbitnya undang-undang tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berbasis di pesantren selama ini.

Meskipun udara segar tersebut telah berhembus, namun pesantren selalu saja mendapatkan ujian. Salah satu ujian terberatnya saat ini adalah adanya penilaian miring terkait sistem pendidikan pesantren, bahwa pesantren itu dituduh sebagai sarangnya teroris. Pemerintah pun mulai menekan dan mengawasi pesantren dengan menyebarkan agen-agen intelijennya. Adapun ujian lainnya adalah semakin merebaknya paham-paham sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme yang dianggap virus oleh sebagian masyarakat, dan ironisnya yang gencar menyebarkan virus tersebut adalah alumni-alumni dari pesantren. Belum lagi dengan adanya penilaian rendah terhadap pesantren, bahwa kualitas pendidikan pesantren tersebut sangat rendah dibanding sekolah-sekolah umum saat ini.

Berdasarkan anggapan dan penilaian miring di atas, akhirnya pesantren “diwajibkan” oleh pemerintah untuk terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Seperti misalnya, pesantren diharuskan mengikuti SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang meliputi; Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan juga Standar Penilaian Pendidikan. Begitu pula mengenai kurikulum, pesantren diwajibkan untuk memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu pengetahuan alam, ditambah pendidikan seni dan budaya.

Berdasarkan adanya ketentuan di atas, banyak pesantren yang sudah melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan rasio 70% mata pelajaran umum dan hanya 30% saja mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.[31] Jika sudah demikian keadaannya, maka porsi untuk mengajarkan kitab-kitab klasik, baik yang bermuatan di bidang Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Ushul Fiqh, dan sebagainya akan semakin berkurang. Akibatnya, keunggulan pendidikan pesantren lama-kelamaan akan memudar dan kehilangan powernya.

Untuk menghindari hal tersebut, maka pesantren harus konsisten memegang prinsip utamanya, yaitu: al muhafadzah ‘ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Dengan cara berpegang teguh pada prinsip tersebut, pesantren akan bisa tetap eksis dan tidak dilindas perkembangan zaman. Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mempertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai pada jenjang Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa Inggris, dan berbagai skill lainnya.

G.  Kiprah Pesantren dalam Pendidikan Nasional

Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat dirasakan masyarakat dari waktu ke waktu. Khusus dalam bidang pendidikan, banyak hal yang telah disumbangkan pesantren di Indonesia. Sebagai lembaga pendidikan pertama dan tertua, tentu pendidikan pesantren menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh pendidikan dalam merumuskan sistem pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu, pendidikan pesantren telah banyak mencetak tokoh-tokoh intelektual pendidikan Indonesia, yang pemikiran mereka itu sangat berpengaruh dalam merumuskan sistem pendidikan nasional. Pada sisi lain, keberadaan pesantren ternyata memiliki tiga peranan penting di Indonesia, yaitu: sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, sebagai penjaga dan pemelihara terhadap keberlansungan Islam tradisonal, dan sebagai pusat reproduksi ulama.

Untuk sekarang ini, sumbangan yang begitu nyata dari sistem pendidikan pesantren terhadap pendidikan nasional adalah munculnya wacana untuk pendidikan karakter bangsa. Sebagaimana di ketahui, bahwa model pendidikan karakter di pesantren cukup berhasil dengan indikator telah banyaknya mencetak ulama-ulama Indonesia. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan pesantren tidak hanya mementingkan aspek kognitif semata, tetapi juga sangat mengutamakan pembentukan karakter atau akhlak santri-santrinya. Oleh karena itu, untuk masa-masa yang akan datang, pendidikan pesantren diprediksi memiliki peran sebagai model dalam Pendidikan Nasional, antara lain:

Peran Instrumental

Upaya Pendidikan Nasional tidak diragukan lagi memerlukan sarana-sarana sebagai media dalam mengejawantahkan tujuannya. Sarana-sarana tersebut di bentuk secara formal dan informal yang merupakan swadaya murni dari masyarakat. Dalam tatanan inilah pesantren sebagai alat intrumen Pendidikan Nasional sangat-sangat partisipatif-emansipatoris.

Peran Keagamaan

Pendidikan pesantren pada hakikatnya dikembangkan untuk mengefektifkan usaha dalam penyiaran dan pengalaman ajaran-ajaran agama. Tujuan intinya adalah mengusahakan terbentuknya manusia yang berbudi luhur dengan penglaman keagamaan yang konsisten. Sedang Pendidikan Nasional adalah untuk menciptakan manusia bertaqwa, sehingga untuk kepentingan tersebut, pendidikan agama dikembangkan secara terpadu melalui sekolah/madrasah.

Peran Mobilisasi Masyarakat

Dalam kenyataannya usaha-usaha Pendidikan Nasional secara formal belum mampu menampung seluruh hak pendidikan pesantren bagi putra-putrinya, demikian itu  mungkin karena biaya yang tidak serta anggapan bahwa pendidikan keagamaan sangat dibutuhkan. Jadi hal itu merupakan sumbangsih pesantren dalam menggerakkan gairah pendidikan nasional.

Peran Pembinaan Mental dan Ketrampilan

Sebagaimana tujuan pendidikan di dalam Model Pendidikan Nasional adalah menciptakan manusia Indonesia yang memiliki kepribadian mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, maka pendidikan pondok pesantren dikembangkan tidak hanya pada sektor agama saja, tapi juga ada pembinaan terhadap mental dan sikap para santri untuk mandiri, dan meningkatkan ketrampilan dan berjiwa entrepreneurship.[32]

Semua hal tersebut di atas membutuhkan sarana yang efektif dan efisien guna membina dan mengembangkan manusia dalam masyarakat dengan pendidikan yang teratur, rapi, berdaya guna dan berhasil guna. Oleh karena itu pendidikan Islam di Indonesia perlu diorganisasikan dan dikelola secara rapi, efektif dan efisien melalui model dan metode yang tepat guna dan berhasil guna.

H.  Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diklasifikasikan bahwa perkembangan pesantren di Indonesia telah mengalami empat periode, yaitu periode pertumbuhan, periode revolusi, periode benteng ideologi, dan periode media pembangunan umat Islam. Periode pertumbuhan ini dimulai sejak zaman Wali Songo hingga pada masa penjajahan. Periode revolusi antara tahun 1959-1965. Periode benteng ideologi antara tahun 1970-an dan 1980-an. Sedangkan periode media pembangunan umat Islam dimulai tahun 1990-an hingga sekarang.

Dalam bentangan sejarah yang cukup panjang, tentu pesantren telah banyak memberikan kontribusi bagi sistem pendidikan nasional di Indonesia. Peranan di maksud, antara lain: menjadi inspirasi dalam perumusan sistem pendidikan nasional, mencetak tokoh intelektual pendidikan, model pendidikan karakter, dan sebagainya.

 DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2001.

Abu Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufik Abdullah, Jakarta: Rajawali Press, 1983.

Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren di tengah Arus Ideologi-ideologi Pendidikan, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.

Amir Hamzah Wiryosukarto, et.al., Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis Pesantren Modern, Ponorogo: Gontor Press, 1996.

Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak Menjadi Buih, Bandung: Mizan, 2000.

Haedari Amin, Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II, no. 1 Juli  2007

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999.

//telusuri-web.blogspot.com/2011_04_01_archive.html, diakses tgl. 28 Oktober 2011

Imam Sarkowi, Pembaharuan Pemikiran Pesantren, dalam //saintek.uin-malang.ac.id/index.php/artikel-1/460-pembaharuan-pemikiran-pesantren.html, diakses tgl. 28 Oktober 2011.

Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Lenn E. Goodman, “Muhammad ibn Zakariyya al-Razi”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman Bandung: Mizan, 2003.

M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, Jakarta: Bina Aksara, 1995.

M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1986.

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1995.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1988.

Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2005.

Ronald Lukens-Bull, Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era, Journal of Arabic and Islamic Studies, Vol. 3, 2000.

Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Cet. III, Jakarta: Gunung Agung, 1982.

Tanaya Yuka, Proses Masuknya Islam di Indonesia (Nusantara), //sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, diakses tgl. 28 Oktober 2011

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 2000.

Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1984.

Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1995.

[1]Haedari Amin, Jurnal Pondok Pesantren Mihrab, vol. II, no. 1 Juli  2007, hlm. 34.

[2]Zamaksyari Dofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1995), hlm. 18. Lihat dalam Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (cet. II; Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 70. Lihat juga dalam Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986), hlm. 98-99.

[3]Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Cet. III, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 287.

[4]Zamaksyari Dofier, Tradisi…, hlm. 18.

[5]Abu Hamid, Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan, dalam Agama dan Perubahan Sosial, (ed.) Taufik Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 328.

[6]Amir Hamzah Wiryosukarto, et.al., Biografi KH. Imam Zarkasih dari Gontor Merintis Pesantren Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), hlm. 51.

[7]Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1988), hlm. 6.

[8]Abdurrahman Mas’ud menulis: the word pesantren stems from ‘santri’ which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge. Lihat dalam Ahmad Muthohar, AR, Ideologi Pendidikan Pesantren; Pesantren di tengah Arus Ideologi-ideologi Pendidikan, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007), hlm. 12.

[9]Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi; Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2001), cet. ke-1, hlm.17.

[10]Azyumardi Azra, Islam Substantif Agara Umat tidak Menjadi Buih, (Bandung: Mizan, 2000), Cetakan I (Azra, 2001:70). Lihat juga Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Mizan, Bandung, 1995), hlm. 17.

[11]Kitab Islam klasik disebut kitab kuning, karena lembaran atau kertas yang digunakan dalam kitab tersebut berwarna kuning, dan pada umumnya tulisan arab yang ada di dalamnya tidak diberi syakal atau harakat. Kitab seperti ini biasanya juga disebut tulisan arab gundul.

[12]Manfred Ziemek, Pesantren…, hlm. 130.

[13]Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), hlm. 55.

[14]Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 49 dan 144.

[16]Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren…, hlm. 52.

[17]Hasbullah, Kapita Selekta…, hlm. 46-47.

[18]Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, hlm. 45.

[20]Hasbullah, Kapita Selekta…, hlm. 144.

[21]Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren, hlm. 51.

[22]Lihat Ronald Lukens-Bull, Teaching Morality: Javanese Islamic Education in a Globalizing Era, (Journal of Arabic and Islamic Studies, Vol. 3, 2000), hlm. 48.

[23]Ismail SM dkk (ed), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 55.

[24]M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), cet. ke-3, hlm. 248.

[26]Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh dari Abu Bakar Muḥammad ibn Zakariyya al-Razi bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muhammad ibn Zakariyya al-Razi”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.

[27]Lebih lengkap lihat Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 24.

[28]Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi…, hlm. 13.

[30]Lihat lengkapnya dalam M. Ridlwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 90-102.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA