Mengapa pertambangan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan?

Sektor pertambangan adalah sektor pemanfaatan sumber daya alam (mineral dan batubara) yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Aktivitas pertambangan yang ideal harus menerapkan prinsip penambangan yang baik dan benar (good mining practice). Sebab, ada lingkungan yang harus dijaga supaya meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan. Untuk itu, sebuah penambangan harus memiliki izin menjalankan usaha dan beroperasi sesuai dengan standarisasi pengolaan limbah.

Apabila perusahaan tambang beroperasi tanpa izin atau ilegal, dapat beresiko merusak lingkungan karena tidak memiliki standar yang ditetapkan. Di bawah ini akan dibahas mengenai standar perizinan dan dampak bahaya yang disebabkan oleh penambangan ilegal terhadap lingkungan.

Baca Juga: Tantangan Industri Pertambangan di Indonesia

Standar Perizinan untuk Menjalankan Proyek Pertambangan

Sesuai dengan pasal 29 PP nomer 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara (selanjutnya akan disebut dengan PP PKUPMB), untuk bisa melaksanan pertambangan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Tahap Administrasi
  2. Teknis
  3. Lingkungan
  4. Finansial

Apabila penambangan tidak memiliki persyaratan seperti di atas, maka PP PKUPMB tersebut tidak memenuhi standar perizinan. Jika perusahaan tetap melakukan aktivitas pertambangan, maka aktivitas pertambangan tersebut terhitung ilegal.

Bahaya Penambangan Ilegal Terhadap Lingkungan

Apabila pertambangan tidak sesuai dengan prosedur yang telah tertulis dalam PP PKUPMB dan beroperasi secara ilegal, maka akan berdampak pada kerugian lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan yang dimaksudkan adalah seperti berikut.

1. Pencemaran Air

Umumnya, penambangan ilegal menggunakan merkuri pada proses produksi dan pengolahan emas. Seringkali pembuangan limbah merkuri tidak dilakukan sesuai prosedur yang disyaratkan. Akibatnya, emisi merkuri terkonsentrasi pada lingkungan dalam jumlah besar dan mencemari sumber air (sungai). Apabila ikan-ikan yang berada di sungai terkontaminasi merkuri dan dikonsumsi oleh manusia, maka dapat membahayakan kesehatan dan bahkan menyebabkan kematian.

2. Pencemaran Udara

Udara yang tercemar polutan yang berasal dari aktivitas maupun limbah penambangan ilegal sangat berbahaya bagi kesehatan. Polutan tersebut dapat meyebabkan berbagai penyakit permafasan seperti influenza, pneumonia, bronkitis, asma, dan penyakit kronis lainnya.

3. Pencemaran Tanah

Penambangan ilegal yang tak dilakukan sesuai standar perlindungan lingkungan dapat merusak vegetasi tanah dan profil genetik tanah yang ada, sehingga tanah yang awalnya subur dapat berubah kering dan tandus.  Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai juga dapat mengubah topogafi umum kawasan tambang secara permanen yang dapat berakibat longsong maupun banjir.

4. Mengancam Nyawa Masyarakat

Penggunaan merkuri di penambangan membuat beberapa bayi lahir cacat, seperti lahir dengan usus di luar perut, otak di luar tempurung kepala, tengkorak kepala tidak lengkap, tidak memiliki tulang rusuk dan kulit pembalut perut.

Tidak ada larangan untuk mendirikan perusahaan penambangan, namun penambangan ilegal memiliki resiko yang tinggi terhadap hidup dan lingkungan. Oleh karena itu, penambangan harus memiliki standar beroperasi dan izin supaya dapat mencegah kerusakan yang diakibatkan oleh distribusi limbah berbahaya pada lingkungan.

Baca Juga: Reklamasi Tambang: Pengembalian Fungsi Lahan Pascapenambangan

PT. Agincourt Resource merupakan perusahaan pengelola pertambangan di Martabe yang menerapkan praktik tambang berkelanjutan untuk memastikan bahwa masyarakat sekitar dan lingkungan area penambangan tetap terjaga kualitasnya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang praktik tambang berkelanjutan, klik di sini.

VIVA – Setiap kegiatan penambangan baik batu bara, ataupun yang lainnya pasti menimbulkan dampak positif dan negatif bagi lingkungan sekitar. Dampak positifnya adalah meningkatkan devisa negara dan pendapatan asil daerah serta dapat menampung tenaga kerja.

Sedangkan dampak negatifnya adalah merusak lingkungan sekitar serta dapat mengganggu aktivitas masyarakat setempat, dan juga berdampak terhadap sosial kemasyarakatan dari kegiatan penambangan batu bara yang ada di lingkungan sekitar.

Semua berawal dari sebuah ledakan di dalam tanah, bumi dikupas untuk diambil batu baranya. Meski disebut batu sesungguhnya ia adalah sisa tumbuh–tumbuhan yang mengendap dan tertimbun selama 200 hingga 300 juta tahun.

Batu bara diangkut dari sungai-sungai di pedalaman melalui tongkang-tongkang bermuatan rata-rata 8.000 ton ini dibawa melintasi sungai yang lebih besar.

Di lautan, sebagian dipindahkan ke Kapal Vessel dengan kapasitas hingga 50.000 ton ada yang diekspor ada juga yang langsung dikirim ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di dalam negeri. Di sini batu aara dibakar dan uapnya digunakan untuk membangkitkan turbin yang akan menghasilkan listrik-lisrik, lalu dialirkan hingga ke kamar kita.

Tetapi hal tersebut masih bagian kecil dari cerita besar tentang bagaimana sesungguhnya sumber energi ini dihasilkan, pencemaran adalah salah satu dampak yang dapat dirasakan secara langsung dalam penambangan batu bara. Adapun pencemaran yang dapat terjadi, seperti :

1.      Pencemaran Air

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.

Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam tersebut selayaknya dikelola dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented). Pengelolaan sumber daya alam yang memerhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia akan berdampak pada tercapainya mandat yang telah ditetapkan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Guna menegaskan pentingnya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan manusia, Pemerintah Indonesis mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.

UUPPLH ini melegitimasi instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Baku Mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan perizinan lingkungan. Namun demikian, walaupun peraturan perundangan telah memberikan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam, dalam realitasnya masih terjadi ketimpangan dan pelanggaran di dalam eksploitasi kekayaan alam Indonesia. Salah satunya terjadi dalam industri pertambangan mineral dan batubara.

Berdasarkan data JATAM, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Izin-izin ini telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap hak asasi manusia dan lingkungan. Catatan akhir tahun 2020 JATAM melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan, dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan.

Laporan ini diperkuat oleh temuan Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid yang menduga terjadinya pelanggaran hukum seperti kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pembiaran lahan pasca tambang tanpa reklamasi, serta pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup.

Temuan lainnya diungkapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda, Lilly Yurlianty menyatakan limbah yang dihasilkan sektor pertambangan sangat berdampak pada pencemaran lingkungan, misalkan seperti tercemar air sungai yang menjadi sumber bahan baku air minum, terancamnya ekosistem, dan kerusakan struktur tanah sehingga menimbulkan banjir.

Selain itu, ada beberapa dampak lain dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup, yaitu:

  1. Meningkatnya ancaman tanah longsor

Dilihat dari teknik penambangan secara tradisional, dimana penambang menggali bukit tidak secara berjenjang (trap-trap) namun asal menggali saja dan nampak bukaan penggalian yang tidak teratur, membentuk dinding yang lurus dan menggantung (hanging wall), berpotensi meningkatkan ancaman tanah longsor.

Penambangan dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan-lahan sudah dibebaskan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya banjir karena hutan di wilayah hulu yang semestinya menjadi daerah resapan air telah dibabat habis. Hal ini diperparah oleh buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir seperti hutan rawa.

Seperti pada saat pembakaran batu bara yang melepaskan senyawa beracun termasuk karbon monoksida, karbondioksida, methana, benzene, toluene, xylene, sulphur, arsenik, merkuri dan timbal. Selain itu penurunan kualitas udara disebabkan oleh pembongkaran dan mobilitas pengangkutan hasil tambang dan peralatan tambang dari dalam dan keluar lokasi penambangan.

  1. Sedimentasi dan menurunnya kualitas air

Tingginya kandungan bahan pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas penambangan dan pengolahan batu bara (proses pencucian batubara) dimana material bahan pencemar terbawa oleh air limpasan permukaan (surface run-off) ke bagian yang lebih rendah dan masuk ke badan air. Oleh karena itu air menjadi keruh dan pembuangan tanah sisa hasil pendulangan turut meningkatkan jumlah transport sedimen.

  1. Pencemaran lingkungan akibat limbah

Limbah pertambangan biasanya tercemar asam sulfat dan senyawa besi yang dapat mengalir keluar daerah pertambangan. Air yang mengandung kedua senyawa ini akan menjadi asam. Limbah pertambangan yang bersifat asam bisa menyebabkan korosi dan melarutkan logam-logam berat sehingga air yang dicemari bersifat racun dan dapat memusnahkan kehidupan akuatik.

Untuk mengatasi dampak yang terjadi di sector pertambangan mineral dan batubara, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU ini para legislator memasukkan nilai dan syarat lingkungan sebagai suatu proses yang tidak boleh diabaikan bagi pelaku pertambangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:

  1. Eksplorasi, di mana sebagai tahapan kegiatan usaha pertambangan, maka diperlukan informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.
  2. Studi Kelayakan mengharuskan AMDAL serta perencanaan pasca tambang.
  3. Operasi Produksi meminta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
  4. Reklamasi sebagai suatu kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.
  5. Kegiatan pasca tambang, kegiatan terencana, sistematis dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
  6. Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib melaksanakan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, termasuk kegiatan reklamasi dan pasca tambang, upaya konservasi sumber daya mineral dan batu bara dan pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha pertambangan dalam bentuk padat, cair, atau gas sampai memenuhi standar baku mutu lingkungan sebelum dilepas ke media lingkungan.
  7. Pemegang IUP dan IUPK menjamin penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik suatu daerah dan menjaga kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Untuk penghentian kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batu bara yang dilakukan di wilayahnya.
  9. Pengawasan dari aparat yang berwenang meliputi pengelolaan lingkungan hidup, reklamasi dan pasca tambang.

Apabila semua pihak konsisten dan menaati perintah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dampak-dampak negative industry pertamabangan seharusnya dapat dihindari atau diminimalisasi.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA