Mengapa Islam wasathiyah sebagai rahmatan lil alamin brainly

Urgenitas Paradigma Moderasi Islam dalam Dakwah

Oleh : Dr. Yusep Solihudien, M.Ag.

(Penyuluh Agama Fungsional /Sekum MUI Purwakarta)

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah dibangun dengan pengorbanan yang tulus dan ikhlas para pahlawan kita. Dalam lintasan sejarahnya, NKRI kita telah banyak diganggu oleh berbagai upaya dalam maupun luar negeri agar NKRI ini bubar. Rongrongan demi rongrongan untuk membubarkan NKRI akan terus berlanjut. Ditengah sudah bubarnya berbagai kekuatan negara kesatuan dibelahan negara lain. Menurut Puslitbang Kemenag RI, Ada dua faktor yang bisa menyebabkan terjadi konflik, Pertama faktor non agama,  kesenjangan ekonomi, kepentingan politik dan konflik sosial dan budaya. Kedua, faktor keagamaan, diantaranya, penyiaran agama, bantuan keagamaan luar negeri, perkawinan beda agama, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi info keagamaan dan pendirian rumah ibadah. Sisi lain, serangan teknologi informasi internet memberikan juga ancaman konflik antara pemeluk internal agama dan konflik antara agama makin terbuka lebar. Aneka konflik ini bisa berujung pada terancamnya NKRI dan disintegrasi bangsa.

Menurut Leopod Von Wiese (1987:89) bahwa konflik adalah suatu proses sosial dimana orang atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai dengan ancaman dan kekerasan. Salah satu sumber konflik yang dapat menggoyahkan NKRI itu antara lain, konflik yang bersumber dalam keagamaan. Motif agama akan menggoyahkan NKRI karena disertai makna “perang suci”. Realitas empiric konflik ditarik kedalam tataran klaim kebenaran dan perang suci atas nama tuhan yang akan menimbulkan konflik horizontal berdarah. Perang klaim kebenaran (truth claim) pemahaman keagamaan yang bersifat eklusif, ektrem dan mutlak menjadi akar konflik antara sesama umat Islam. Perang klaim kebenaran terjadi dalam dua wilayah keislaman, pertama dalam ruang limgkup perbedaan pemahaman yang bersifat variati-fiqhiyyah. Kedua, dalam aspek penyimpangan atau kesesatan pemahaman/ajaran.

Oleh karena itu perlu adanya paradigma pemahaman Islam yang bisa memberikan penguatan ukhuwwah Islamiyyah, wathaniyyah dan insaniyyah, salah satunya pendekatan moderasi Islam. Moderasi Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin yang berarti ke­sedang­an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah­tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip,wasathiyah bisa disebut wasith. Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Kata al-wasathiyah (الوسطية) dalam bahasa Arab adalah dari kata al-wasath (الوسط) yang diterjemahkan secara bahasa dengan makna pertengahan. Maka manhaj wasathiyah sering dimaknai sebagai pendapat pertengahan di antara dua atau lebih pendapat yang berbeda. Dan sering juga dianggap sebagai pendapat moderat. . Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.”. Kata ini terdapat pula dalam QSAl-Baqarah ayat 143. Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan… (Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”…). Bahkan kangjeng Nabi pernah mengeluarkan hadis, “ Sebaik-baiknya urusan yang pertengahan “..

Islam Wasathiyah, menurut MUI, ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin, rahmat bagi segenap alam semesta. Islam Wasathiyah adalah “Islam Tengah” untuk terwujudnya umat terbaik (khairu ummah). Allah SWT  menjadikan umat Islam pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama, seperti dalam hal kenabian, syariat dan lainnya. Pemahaman dan praktik amaliyah keagamaan Islam Wasathiyah memiliki 10 ciri-ciri sebagai berikut; Tawassuth (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama);Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan). I’tidal (lurus dan tegas), yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional; Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya; Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang.

Prinsip syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.Ishlah (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah ‘amah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashla.. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah; Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia. Dan Tahadhdhur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban.

Moderasi Islam merupakan pemahaman Islam moderat, dengan gagasan menentang segala bentuk kekerasan, melawan fanatisme, ekstrimisme, menolak intimidasi, dan terorisme. Moderasi Islam adalah Islam yang toleran, damai, dan santun, tidak menghendaki terjadinya konflik serta tidak memaksakan kehendak. Nurcholish Madjid atau biasa dikenal dengan panggilan Cak Nur, memberikan pemahaman terkait dengan "ummatan washatan", yaitu kelompok masyarakat yang punya karakteristik moderat, dengan sikap-sikap moderasi, sebagai ciri utamanya dalam menghadapi berbagai konflik dan konfrontasi yang disebabkan karena perbedaan. Moderasi Islam juga menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah ciri-ciri dari moderasi Islam yang saat ini semakin relevan untuk kita galakkan, tidak hanya dalam akidah, tapi juga dalam hal ibadah dan muamalah. Moderasi Islam adalah metode pemahaman keagamaan yang menekankan sikap washatan (jalan tengah); tidak terlalu ekstrim (melampaui batas). Ia berupaya menempatkan Islam sebagai solusi terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan menurut ruang dan waktunya. Islam harus bisa menjawab tantangan modernitas yang sedemikian kompleks, tetap berpegang kepada tradisi masa lalu dan bisa menerima nilai-nilai baru yang dianggap lebih baik.

Berdasarkan prinsip-prinsip moderasi Islam tersebut, maka ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan oleh para da’i dalam berdakwah antara lain, pertama, materia dakwah tentang urgensi toleransi (tasamuh) harus terus digelorakan, dan urgensi harus saling menguatkan ukhuwah Islamiyyah, ukhuwah wathaniyyah dan ukhuwah insaniyyah demi keutuhan NKRI dan terhindar dari disintegrasi bangsa. Para da’i harus menempatkan ukhuwah ditas segala perbedaan mazhab dan kemajukan bangsa. Kedua, pentingnya untuk terus menghampanyekan materi dakwah untuk menghargai perbedaan mazhab, adabul ikhtilaf, dan adanya teologi ekslusif dan teologis pluralis, “ pendapat kita benar, tapi pendapat yang lain juga mungkin juga benar “. Ketiga,  Penting untuk terus menggelorakan dakwah yang sejuk, indah, merangkul dan damai, sebagai agama  rahmatan lil ‘alamien. Keempat, para da’i harus terus mengembangkan dakwah bil IT untuk menguatkan narasi menguatkan kualitas akhlak karimah dan ibadah para jamaahnya, agar terwujud umat yang mempunyai kualitas keimanan dan keilmuan yang keren. Wallahu ‘alam bissawab 

Dibaca: 11.139 Kali

Diterbitkan tanggal 13 Juli 2018

Oleh: Dr. Ismail Yahya, M.A
(Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat/Dosen Fakultas Syariah)

#BanggaIAINSurakarta

Keberhasilan penyebaran Islam di wilayah Arab yang hanya dalam rentang waktu 22 tahun merupakan capaian terbesar dalam waktu paling singkat dalam sejarah umat manusia. Keberhasilan yang fenomenal itu lahir dari sosok pribadi yang sangat sederhana, santun, penyayang, yang melaluinya Allah menginginkan beliau dan agama yang dibawanya (Islam) menjadi rahmat bagi semesta alam. Sosok tersebut tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW. Bahkan di dalam sebuah Hadis disebutkan bahwasanya beliau adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh alam semesta.

Empat Khalifah Rasyidin meneruskan pembebasan (futuh) wilayah-wilayah lain semisal Persia, India, dan Afrika Utara. Usaha pembebasan ini kemudian diikuti oleh khilafah Umayah, Abbasiyah, dan Usmaniyah ke wilayah-wilayah lain seperti Andalusia (Spanyol), dan Asia Tengah. Berbeda dengan wilayah-wilayah Islam yang disebutkan di atas yang kebanyakan dibebaskan melalui peperangan, wilayah Asia Tenggara (Nusantara atau Kepulauan Melayu-Indonesia), sebagaimana kebanyakan sejarawan menyebutkan, menikmati perkembangan Islam lewat cara damai (pénétration pacifique) yaitu melalui usaha dakwah para sufi pengembara (the wandering derwishes). Bahkan lewat para sufi ini, sesungguhnya Islam berkembang secara luas di kepulauan ini (Al-Attas, 1963: 22; Johns, 1961: 13-17; dan Azra, 2004: 14-19).

Tasawuf, bahkan merupakan elemen aktif di dalam penyebaran Islam. Memang para sufi bersedia untuk menerima dan menggunakan elemen-elemen budaya lokal masyarakat Nusantara, namun mereka tetap menjaga prinsip-prinsip moral: mendorong berbuat kebajikan dan menahan diri dari melakukan kejahatan (Johns, 1961: 22). Keberhasilan para sufi dalam mengislamkan penduduk Nusantara ini juga disebabkan oleh “kemampuan mereka menyajikan Islam dalam bentuk yang atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian budaya-budaya lokal penduduk dengan ajaran Islam (continuity), ketimbang melakukan perubahan (change) terhadap kepercayaan dan praktik keagamaan lokal” (Azra, 2004: 14). Keberhasilan Islam tasawuf ini dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam dalam beberapa segi tertentu “cocok” dengan latar belakang masyarakat lokal yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan lokal. Di samping kecenderungan tarekat sufi bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktik lokal tersebut (Azra, 1989: XV). Kombinasi paham Sunni (Ahlussunnah waljamaah) ala teologi (kalam) Al-Asy’ari, fiqh mazhab Syafi’i dan tasawuf Al-Ghazali ini berkembang dan mengakar kuat di wilayah Nusantara hingga sekarang. Namun pada awal abad ke-19 M tepatnya pada akhir tahun 1803 atau di tahun 1804, tiga orang haji kembali dari Mekkah ke Minangkabau, Sumatera Barat. Mereka menyaksikan penaklukan Mekkah oleh Wahabi, sebuah kelompok puritan di dalam Islam di awal tahun 1803, yang satu abad kemudian menaklukan Mekkah kembali dan mendirikan negara Arab Saudi. Dari perspektif sejarah, gerakan Padri pada abad ke-19 M di Minangkabau mengawali gerakan radikal Muslim di Indonesia.

Dewasa ini pun berbagai pemahaman, pemikiran, ideologi, dan gerakan-gerakan yang terkait dengan Islam berkecambah bak jamur di musim hujan. “Kedamaian” masyarakat muslim Nusantara yang dulunya bangga dengan sejarah Islamisasi Nusantara dengan cara damai dan menghargai budaya lokal, mulai tergoyahkan. Di awal orde reformasi secara massif gerakan-gerakan radikal Muslim kembali bermunculan tidak hanya di Jawa, namun juga melebar ke Sulawesi dan Ternate, Maluku (Yahya, 2008: 142-143). Peristiwa bom Bali I 12 Oktober 2002, bom Bali II 1 Oktober 2005 dan aksi-aksi pemboman lainnya menyentakkan publik Indonesia khususnya umat Islam tentang apa yang sedang terjadi dalam pemahaman dan pemikiran sebagian umat Islam di Indonesia. Doktrin takfiri yaitu mengkafirkan orang Islam yang tidak sepaham dengan kelompok orang Islam lainnya berkembang di tengah masyarakat hingga masuk ke dalam buku pelajaran siswa sekolah menengah. Para ulama dan cendikiawan yang mengkhawatirkan perkembangan pemahaman dan pemikiran takfiri dan semisalnya ini di Indonesia yang kebanyakan diimpor dari wilayah-wilayah konflik di Timur Tengah berusaha mengembangkan pemahaman dan pemikiran Islam yang mengedepankan kasih sayang, kesantunan, toleransi, keseimbangan yang sejak dahulu sudah menjadi gerakan mainstream (utama) di Indonesia. Salah satu gagasan tersebut adalah Islam Rahmatan Lil’alamin. Kehadiran gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini menjadi penting di tengah menguatnya kontestasi wacana dan aksi di antara gerakan Islam di Indonesia. Untuk itu sebelumnya perlu kiranya diketengahkan penjelasan tentang makna Islam Rahmatan Lil’alamin tersebut.

Pengertian Islam Rahmatan Lil’alamin

Kata orang, sebuah pemikiran atau konsep merupakan anak zamannya, at-turats ibn ‘ashrih, lahir dari konteks zamannya. Demikian pula dengan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini. Secara bahasa kata Islam berasal dari kata salama atau salima yang berarti damai, keamanan, kenyamanan, dan perlindungan. Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri (2014: 74) dalam Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri, “seperti makna literalnya, Islam adalah pernyataan absolut tentang perdamaian. Dan sebagai agama, Islam adalah manifestasi damai itu sendiri. Dia mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.” Dari kata salima menjadi yaslaamu, salaaman, dan salaamatan, serta kata turunan lainnya, yang di dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap kata berasal, terderivasi, serta terkonjungasi dari kata Islam, secara esensial merujuk kepada pengertian damai, perlindungan, keamanan, dan kenyamanan (Tahir-ul-Qadri, 2014: 82). Hadis-hadis Nabi Muhammadρ banyak yang mengilustrasikan makna Islam sebagaimana pengertian di atas, antara lain:

Dengan tiga Hadis  ini cukuplah untuk mengatakan dari kajian bahasa bahwa Islam sebagai agama secara normatif memastikan terwujudnya kedamaian dan keselamatan untuk seluruh umat manusia, dan orang muslim tidak lain adalah mereka yang mewujudkan nilai-nilai luhur Islam tersebut. Istilah rahmatan lil’alamin terdiri atas dua kata rahmat yang berarti kasih sayang, dan lil’alamin yang berarti seluruh alam. Istilah ini sebagaimana tercantum di dalam surat Al-Anbiya’ (21): 107. Menurut Ath-Thabari (224-310/838-923) di dalam Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maksud ayat ini, apakah rahmat itu [diutusnya Nabi Muhammad] ditujukan kepada seluruh alam, termasuk orang-orang kafir? atau hanya kepada orang-orang beriman? Menurut Ath-Thabari yang paling benar adalah pendapat pertama. Adapun [rahmat] bagi orang beriman maka sesungguhnya Allah memberikan petunjuk kepadanya dan memasukkan keimanan ke dalam dirinya dan memasukkanya ke dalam surga dengan mengerjakan amal yang diperintahkan Allah. Adapun bagi orang kafir [maka rahmat] itu berupa penundaan bala’ sebagaimana yang diturunkan kepada umat-umat yang mendustakan rasul-rasul Allah sebelumnya.

Bisa dikatakan gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin ini masih konsep abstrak. Agar lebih operasional, pengertian Nur Syam berikut ini bisa menjelaskan gagasan Islam rahmatan lil’alamin tersebut, yaitu gagasan dan upaya orang Islam khususnya di Indonesia menjadikan: Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, bukan hanya keselamatan bagi manusia tetapi juga untuk alam lainnya. Yang diselamatkan adalah hablum minallah, hablum minan nas dan juga hablum minal alam. Keselamatan manusia tidak ada artinya jika alam tidak dalam keselamatan. Makanya Islam yang menyelamatkan adalah Islam yang memberikan keselamatan bagi semuanya.

Lebih lanjut Nur Syam mengatakan bahwa gagasan Islam rahmatan lil’alamin mengembangkan pola hubungan antar manusia yang pluralis, humanis, dialogis dan toleran, serta mengembangkan pemanfaatan dan pengelolaan alam dengan rasa kasih sayang. Pluralis dalam arti memiliki relasi tanpa memandang suku, bangsa, agama, ras ataupun titik lainnya yang membedakan antara satu orang dengan orang lain. Humanis dalam arti menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menghargai manusia sebagai manusia. Dialogis dalam arti semua persolan yang muncul sebagai akibat interaksi sosial didiskusikan secara baik dan akomodatif terhadap beragam pemikiran. Dan toleran dalam arti memberi kesempatan kepada yang lain untuk melakukan sebagaimana yang diyakininya, dengan penuh rasa damai. Kaitannya dengan profil manusia/siswa yang dihasilkan oleh institusi pendidikan agama Islam ke depan adalah bangunan Islam Indonesia yang berwajah menyelamatkan relasi antar manusia dan relasi antar manusia dengan alam, sebagai perwujudan Islam yang rahmatan lil alamin, yang dalam konteks dunia Islam pada umumnya dan Indonesia pada khususnya sedang mengahadapi persoalan yang berkebalikan dengan gagasan Islam rahmatan lil’alamin seperti kekerasan, ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

Ekstremisme/Ghuluw Tantangan Islam Rahmatan Lil’alamin

Sejak kasus serangan ke menara kembar WTC 9 September 2001, label radikal dan bahkan teroris sering dikaitkan tidak saja kepada orang Islam, bahkan kepada Islam itu sendiri. Ada yang beranggapan bahwa AlQur’an dan Hadis Nabi memang mengajarkan orang Islam untuk melakukan kekerasan kepada orang lain.12 Namun faktanya menyebutkan sebaliknya bahwa mayoritas masyarakat Islam di seluruh dunia tetap dalam pemahaman yang sama bahwa Islam adalah agama cinta perdamaian. Lahirnya pemahaman yang “menyelisihi” pemahaman mayoritas orang Islam tentang pesan damai Islam yang akhirnya membentuk pemahaman radikal/ekstrem (Arab: ghuluw) oleh sebagian kecil umat Islam, sebenarnya dari perspektif sejarah, sudah dimulai pada zaman Nabi masih hidup dilanjutkan oleh mereka-mereka yang membelot pada zaman Khalifah Usman dan Khalifah Ali yang kemudian disebut dengan Khawarij.

Secara umum bentuk ghuluw itu menurut Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq (1992: 70-77) di dalam “Al-Ghuluw fi ad-Din fi Hayah al-Muslimin al-Mu’ashirah” terbagi ke dalam dua bentuk: al-ghuluw al-kulli al-i’tiqadi (terkait masalah akidah) dan al-ghuluw fi al-juz’i al-‘amali (terkait masalah perilaku). Yusuf al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayna alJuhud wa at-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 29-49) menjelaskan kriteria seseorang dapat dianggap ekstrem dalam beragama: 1. Fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. 2. Mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka. 3. Memperberat yang tidak pada tempatnya. 4. Sikap kasar dan keras (kecuali di tengah medan perang dan dalam rangka pelaksanaan sanksi hukum). 5. Buruk sangka terhadap manusia. 6. Terjerumus dalam jurang pengafiran (takfiri). Melihat fenomena ekstremisme yang marak belakangan ini di dunia Islam, para peneliti telah banyak melakukan pengkajian terhadap fenomena ini. Dan banyak yang menyamakan perilaku ekstremisme sebagian orang Islam sekarang ini dengan apa yang dilakukan oleh Khawarij pada masa lalu. Hasil penelitian terhadap faktor-faktor penyebab ektremisme dalam beragama ini misalnya ditulis oleh Yusuf al-Qardhawi dalam Ash-Shahwah al-Islamiyyah bayna al-Juhud wa at-Tatharruf (terjemahan Indonesia: Membedah Islam “Ekstrem” 2001: 50-95). Menurutnya faktor-faktor ekstremisme itu: 1. Lemahnya pandangan terhadap hakikat agama 2. Kecenderungan zahiriyah/harfiyah dalam memahami nash-nash 3. Sibuk mempertetangkan hal-hal sampingan seraya melupakan problem-problem pokok 4. Berlebih-lebihan dalam mengharamkan 5. Pemahaman keliru dalam beberapa pengertian/istilah 6. Mengikuti yang tersamar (mutasyabihat) dan meninggalkan yang jelas (muhkamat) 7. Mengambil ilmu bukan dari ahlinya 8. Berpaling dari ulama 9. Lemahnya pengetahuan tentang sejarah Menjadi penting untuk mengupayakan langkah-langkah antisipatif menahan lajunya masalah ekstremisme ini, terutama di sekolah-sekolah. Sekolah/Kampus dan Pendidikan Islam Rahmatan Lil’alamin Para pemuda merupakan target strategis untuk disusupi dan diindoktrinasi oleh ekstremis. Nabi Muhammad sudah memberikan sinyalemen ke arah tersebut:

Menurut Muhammad Tahir-ul-Qadri (2014: 337) kata ahdas al-asnan dan sufaha al-ahlam dalam Hadis di atas bisa jadi bahwa Khawarij merupakan orang-orang muda atau menggunakan orang muda untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Agar terhindar dari infiltrasi dan indoktrinasi paham ini, oleh karena itu, sekolah –dalam hal ini gurumerupakan benteng kedua setelah orang tua dalam menyemai Islam Rahmatan Lil’alamin. Peran guru/dosen menjadi penting di dalam menjelaskan dan mencontohkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta dalam melahirkan generasi yang berkarakter pluralis, humanis, dialogis, dan toleran, serta menghargai alam. Guru/Dosen (Arab: mu’allim, muaddib, mudarris, syekh, imam) sebagai sumber belajar bagi para siswa/mahasiswa merupakan faktor paling penting dalam tradisi keilmuan Islam pada masa klasik. Mereka yang belajar tanpa guru, hanya melalui media tertulis atau audio-visual, diibaratkan oleh Kuntowijoyo sebagai “Muslim tanpa masjid” bahkan di dalam tradisi Sufi dikenal ungkapan “Man la syaikha lahu fa asy-syaithan syaikhun lah.” Kitab-kitab klasik dalam dunia pendidikan Islam seperti Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji (w. 591/1195) dan Tazkirah as-Sami’ wa al-Mutakallim karya Ibnu Jamaah (639-723/1241- 1325) menempatkan arti penting guru dalam pendidikan siswanya.

Setelah guru, metode pengajaran yang digunakan pada masa klasik Islam dengan membiasakan menghargai perbedaan pendapat, mengikuti dan mempelajari mazhab/aliran pemikiran tertentu yang masih berada dalam koridor agama dengan tidak fanatik,16 menempatkan wahyu dan akal secara proporsional, serta terdidik di dalam kehalusan budi dan batin di dalam akhlak/tasawuf, telah menjadi bukti dalam sejarah bagi perkembangan Islam yang toleran dan damai.17 Wallaahu a’lam…

Referensi:

Al-Qur’an dan Terjemahnya

Kitab-kitab Hadis di dalam Al-Maktabah al-Syamilah

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, Some Aspects of Sufism: as Understood and Practised Among the Malays. Singapore: Malaysian Sociological Research Institute, 1963.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Nusantara, edisi revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004.

………………….., Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana danKekuasaan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989.

Syam, Nur, Merumuskan Islam Rahmatan Lil’alamin di //nursyam.uinsby.ac.id/?p=514 …………………., Membangun Pendidikan Berbasis Islam Rahmatan Lil’alamin, ppt.

Tahir-ul-Qadri, Muhammad, Fatwa tentang Terorisme dan Bom Bunuh Diri. Jakarta: LPPI, 2014.

Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Mua’assasah arRisalah, 2000), Al-Maktabah asy-Syamilah.

Yahya, Ismail, Ancaman Kelompok Radikal: Mitos atau Realitas? Belajar dari Pengalaman Surakarta, dalam Generasi Baru Peneliti Muslim Indonesia: Mencari Ilmu di Australia. Canberra: Australia-Indonesia Institute, 2008.

Johns, A.H., “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History.” JSAH, Vol. 2, No. 2 (Jul. 1961): 10-23

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA