Masyarakat indonesia ada yang berprofesi sebagai petani, pedagang, peternak, nelayan dan lain-lain.

Siswa belajar dari rumah didampingi orangtua, Selasa (31/3/2020). Kunci Jawaban Tema 8 Kelas 4 SD Halaman 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Tematik Subtema 1 Pembelajaran 3.

TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini soal dan jawaban Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013 edisi revisi 2017 Kelas IV SD/MI Tema 8 Subtema 1 Pembelajaran 3.

Buku Tematik Kelas 4 Tema 8 berjudul Daerah Tempat Tinggalku.

Sementara Subtema 1 mempelajari materi berkaitan Lingkungan Tempat Tinggalku.

Dalam artikel, terdapat kunci jawaban halaman 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, dan 30.

Pembahasan Buku Tematik Tema 8 Kelas 4 ini hanya sebagai panduan bagi orang tua dalam membimbing anak belajar.

Baca juga: KUNCI JAWABAN Tema 8 Kelas 6 SD Halaman 120 121 122 123 124 Buku Tematik: Kalender Masehi & Hijriah

Baca juga: Kunci Jawaban Tema 7 Kelas 3 SD Halaman 63, 64, 67, 70 Subtema 2 Pembelajaran 1

Berikut kunci jawaban Buku Tematik Kelas 4 SD Tema 8 halaman 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, dan 30:

Halaman 22

Bali sangatlah terkenal hingga di luar negeri sebagai ikon pariwisata Indonesia. Bali memiliki potensi pariwisata, seperti wisata alam, wisata seni, Tabanan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Bali. Wilayah Kabupaten Tabanan didominasi oleh pegunungan dan pantai. Selain itu, Tabanan terkenal sebagai penghasil beras dan sayuran. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Namun, penduduk yang tinggal di pantai bermata pencaharian sebagai nelayan. Keadaan alam suatu tempat memengaruhi mata pencaharian penduduknya. Ayo, kita cari tahu lebih lanjut.

Namaku Dayu. Aku dan keluargaku berasal dari Bali. Saat di Bali, aku tinggal di daerah Tabanan. Bagaimana kondisi lingkungan tempat tinggalku? Ayo, kita cari tahu! dan budaya. Provinsi Bali terbagi atas 8 kabupaten dan 1 daerah kota.

Ayo Membaca

Arif Satria memberanikan diri menulis pengetahuan dan pengalamannya terkait sosiologi masyarakat pesisir dalam sebuah buku yang berjudul Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Pada tahun 2015, Yayasan Pustaka Obor Indonesia mencetak buku tersebut untuk kedua kalinya. Tentu melawati proses revisi dari edisi pertamanya yang diterbitkan oleh Cidesindo pada 2002.

Arif Satria merupakan dosen di Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia mengajar beberapa mata kuliah, di antaranya ialah Sosiologi umum, Ekologi Manusia, Politik Sumberdaya Alam, Pengelolaan Sumberdaya Alam berbasis Masyarakat, dan lain sebagainya. Saat ini ia menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor untuk periode 2017-2022. Selain aktif di kampus, Arif juga sering dilibatkan dalam tim penyusun peraturan/perundang-undangan dan perumus program kebijakan daerah maupun nasional, terkhusus di bidang kelautan dan perikanan.

Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir ditulis penulis melihat minimnya sosiolog yang menaruh perhatian pada masyarakat pesisir. Menurutnya, kondisi tersebut terjadi akibat pilihan politik pembangunan masa lalu yang terlalu pro-darat dan terkesan mengabaikan kelautan. Sehingga, menurutnya, masyarakat pesisir kurang berkembang dan terus dalam posisi marjinal. Secara garis besar, dalam buku ini Arif mengevaluasi praktik pelaksanaan pembangunan serta pengelolaan di wilayah pesisir, khususnya imbas yang dialami oleh masyarakat didalamnya.

Konstruksi bahasan yang disajikan penulis dalam buku ini cukup lengkap dan sistematis. Buku ini terdiri atas delapan bab. Diawali dengan bahasan tentang pentingnya mempelajari sosiologi masyarakat pesisir, serta kerangka teoritis tentang karakter dan struktur sosial masyarakat pesisir. Bab selanjutnya membahas dinamika dan transformasi sosial masyarakat pesisir di tengah perubahan teknologi perikanan. Kemudian penulis berupaya mengulas kasus seputar konflik dan realita sosial yang terjadi di komunitas masyarakat pesisir, serta diakhiri dengan opini penulis tentang opsi pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat sebagai alternatif solusi dari permasalahan yang terbahas pada bab-bab sebelumnya.

Hal di atas rasanya sesuai dengan kata awal yang terdapat pada judul buku, “Pengantar”. Ditambah lagi bahasa yang dipakai relatif mudah untuk dipahami. Penulis menggunakan kata “Pengantar” pada judul buku ini mungkin diartikan sebagai dasar atau fondasi pembaca dalam memahami konteks sosiologi pada masyarakat pesisir. Jika benar seperti itu, kerangka berpikir yang disampaikan di awal buku seharusnya disampaikan dengan jelas, agar fondasi pemahaman yang dicerna oleh pembaca tidak keliru. Sehingga pembaca terhindar dari kegagalpahaman.

Terdapat kekeliruan yang saya alami sebagai pembaca pemula dalam memahami kerangka pikir yang dibangun oleh penulis pada buku ini. Pada bab awal, misalnya, penulis beberapa kali menyebutkan adanya perbedaan masyarakat pesisir dengan masyarakat pedesaan yang basisnya adalah kegiatan pertanian di darat.

“Sosiologi pedesaan berbasis society, sementara sosiologi masyarakat pesisir lebih berbasis sumberdaya. Kajian-kajian sosiologi di dalamnya bersumber dari berbagai aktivitas masyarakat yang terkait dengan sumberdaya perikanan.” (hal. 5, bab I)

“Secara sosiologis, karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris karena perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi. Masyarakat agraris yang direpresentasikan oleh kaum tani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, yakni pengelolaan lahan untuk produksi suatu komoditas dengan hasil yang relatif bisa diprediksi. Sifat produksi yang demikian memungkinkan tetapnya lokasi produksi.

“[…] Karakteristik tersebut berbeda sama sekali dengan nelayan. Nelayan menghadapi sumberdaya yang hingga saat ini masih bersifat akses terbuka (open access). Karakteristik sumberdaya seperti ini menyebakan nelayan mesti berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal.” (hal. 7, bab II)

Namun pada penjelasan selanjutnya, penulis menggunakan kerangka pikir Raymond Firth (1946) dalam Malay Fishermen: Their Peasant Economy, yang menerangkan bahwa kondisi masyarakat nelayan sama seperti masyarakat petani.

“[M]asyarakat nelayan tersebut memiliki kemiripan dengan masyarakat tani, yakni bahwa sifat usahanya bersifat kecil dengan peralatan dan organisasi pasar yang sederhana; eksploitasi yang sering berkaitan dengan masalah kerja sama; sebagian besar menyandarkan diri pada produksi yang bersifat subsisten; dan memiliki keragaman dalam tingkat perilaku ekonominya.” (hal. 8, bab II)

Walaupun logis secara teori, tapi pernyataan tersebut terkesan janggal karena kontradiktif dengan logika berpikir pada pernyataan sebelumnya. Dengan ditekankannya pernyataan “masyarakat nelayan yang sama dengan masyarakat petani” pada bahasan selanjutnya yang menggunakan kerangka pikir Redfield (1941) tentang tipe komunitas, penjelasan Arif terasa semakin ambigu. Pada akhirnya, buku ini menggolongkan masyarakat nelayan dalam komunitas desa petani (peasant village) dan desa terisolasi (tribal village), serta memiliki karakteristik yang sama dengan folk-society.

Kerangka berpikir yang dibangun dengan landasan teori yang senada, sekiranya akan lebih menghasilkan pemahaman yang bulat. Meminimalisir kemungkinan adanya gagal paham, terlebih jika ditujukan untuk pemula. Setidaknya tidak terlalu merujuk pada kesimpulan “Nelayan dan Petani: Berbeda tapi Tak Berbeda”.

Walau terdapat kerancuan khususnya pada bab awal, setidaknya buku ini menghasilkan banyak pengetahuan baru. Terlebih tentang kondisi masyarakat pesisir di Indonesia, seputar dinamika  sosial; tipologi konflik; serta permasalahan kemiskinan dan relevansinya dalam konteks masyarakat pesisir. Maka dari itu, buku ini sangat direkomendasikan, utamanya pada orang-orang yang hendak mendalami isu pembangunan dan pengelolaan pesisir maupun pulau-pulau kecil.

Selamat membaca.

AH
Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB)

Judul Buku: Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir Pengarang: Arif Satria Penerbit: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Tahun terbit: 2015

Tebal buku: 150 hlm; 14,5 x 21 cm

KOMPAS.com - Letak geografis suatu daerah sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Tidak hanya dalam segi kehidupan sosial budaya, letak geografis juga berpengaruh pada jenis pekerjaan masyarakatnya.

Secara garis besar, letak geografis bisa dibagi menjadi tiga jenis, yaitu wilayah dataran tinggi, dataran rendah serta perairan. Ketiga jenis letak geografis ini memiliki karakteristik serta jenis pekerjaannya masing-masing.

Dataran tinggi

Dilansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), daerah dataran tinggi memiliki ketinggian lebih dari 700 meter di atas permukaan air laut. Contohnya perbukitan dan pegunungan.

Daerah dataran tinggi bisa dimanfaatkan menjadi lahan pertanian, perkebunan serta kehutanan. Selain itu, daerah dataran tinggi juga sering digunakan sebagai tempat rekreasi. 

Baca juga: Nama-nama Pekerjaan dalam Bahasa Inggris

Bagaimana dengan jenis pekerjaannya?

Masyarakat yang hidup di lereng pegunungan sebagian besar bekerja sebagai petani, karena ada banyak potensi alam yang bisa digunakan. Contohnya lahan yang besar bisa ditanami kentang atau tanaman lainnya.

Selain itu, masyarakat di dataran tinggi juga memanfaatkan perkebunan untuk menanam teh dan kopi. Potensi alam yang ada terus di kembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Agen wisata juga menjadi salah satu jenis pekerjaan yang bisa ditemui di daerah dataran tinggi. Mayoritas dari mereka berjualan, membuka tempat penginapan, menjadi pemandu wisata, menyediakan jasa tour, dan lain-lain.

Berbeda dengan dataran tinggi, daerah ini hanya memiliki ketinggian 200 hingga 300 meter di atas permukaan air laut. Hawa atau udaranya tidak sesejuk daerah dataran tinggi.

Jenis pekerjaan di dataran rendah lebih bervariasi dibanding dataran tinggi. Karena letak geografisnya yang sesuai dengan berbagai aktivitas ekonomi, seperti pertanian, peternakan, perikanan, perkantoran, industri, perdagangan, perkebunan, dan lain-lain.

Contoh jenis pekerjaan yang ada di dataran rendah ialah peternak, petani, wartawan, karyawan, guru, dosen, dokter, perawat, sopir kendaraan umum, dan lainnya.

Baca juga: Pengertian Surat Lamaran Pekerjaan

Mayoritas pekerjaan di dataran rendah ada di bidang produksi barang dan pelayanan jasa. Untuk bidang produksi barang, contohnya industri makanan dan industri pakaian. Sedangkan di bidang jasa, contohnya pelayanan jasa transportasi, pegawai bank, dan lainnya.

Perairan

Perairan merupakan daerah yang dipenuhi air, seperti laut, sungai, danau dan rawa. Jenis pekerjaannya pun berbeda dengan pekerjaan di dataran tinggi serta dataran rendah.

Mayoritas masyarakat yang hidup di perairan, bekerja sebagai nelayan. Mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan berlayar dan menangkap ikan, baik untuk dikonsumsi sendiri atau dijual di pasar ikan.

Selain menjadi nelayan, banyak masyarakat di daerah perairan yang bekerja sebagai petani garam. Mereka memproduksi garam dari air laut yang dikeringkan dengan bantuan panas matahari. Garam ini nantinya mereka jual untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Pedagang, pemandu wisata, penyedia tempat penginapan dan penyedia jasa tour juga termasuk dalam jenis pekerjaan di daerah perairan, khususnya daerah yang menjadi tempat wisata. Contohnya Pantai Kuta di Bali, sebagai salah satu destinasi wisata terkenal di Indonesia.

Baca juga: Cara Petani Hidroponik Mengatasi Tantangan, Jawaban Soal TVRI 6 Mei

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA