KEWAJIBAN Setiap warga negara dalam bidang ekonomi dan PEMBANGUNAN dapat diwujudkan dalam hal

Jumat, 26 April 2019

Oleh : Drs. Panca Mugi Priyatno, M.Mhan

Pembina IV/a NIP. 196405231994031001

Analis Pertahanan Negara Madya Dit. Bela Negara

Pendahuluan

Dalam konteks kehidupan bernegara, hak warga negara dilindungi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Bukan hanya hak yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, perihal kewajiban juga demikian. Keseimbangan antara hak dan kewajiban perlu diselaraskan demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Negara kita, hak dan kewajiban warga negara diatur di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh warga negara adalah membayar pajak.

Keterlibatan warga negara dalam membayar pajak merupakan usaha pembelaan negara untuk memberikan kontribusi secara tidak langsung demi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa. Pembelaan negara tentunya dapat direalisasikan tidak saja melalui mengangkat senjata akan tetapi dapat dilakukan melalui pengabdian sesuai dengan profesi anak bangsa.

Pembayaran pajak sebagai cerminan Bela Negara

Pembayaran yang berasal dari pajak juga dapat menopang kedaulatan negara. Kedaulatan negara dapat diartikan secara global, sebagai wujud kemampuan negara dalam mengelola negaranya tanpa campur tangan pihak manapun. Sedangkan, konsep negara didasarkan pada wilayah, warga negara dan pemerintahan yang diakui oleh semua warga negara secara hukum. Dalam mempertahankan kedaulatan dan keamanan negara maka dibentuklah konsep bela negara sebagai wujud suatu pertahanan.

Kemandirian bangsa sangat dibutuhkan untuk menunjang ketahanan fiskal melalui pungutan pajak dari warga negara. Bangsa Indonesia harus menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Pembayaran pajak sebagai cerminan Usaha Pembelaan Negara akan membuat setiap warga negara bangga dan menimbulkan kesadaran memiliki Indonesia dan kecintaannya terhadap tanah air.

Pajak memiliki unsur-unsur antara lain sebagai berikut:

1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara baik dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksananya, sehingga dapat dipaksakan.

3. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Sebagaimana dinyatakan dalam UUD RI 1945 pasal 27 ayat 3 menyatakan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Artinya setiap warga negara memiliki wewenang menggunakan hak selaku warga negara dalam membela negara. Tidak ada hak untuk orang lain atau kelompok lain melarangnya. Demikian juga setiap warga negara wajib membela negaranya jika negara dalam keadaan bahaya. Misalnya ada ancaman dari dalam maupun dari luar, yang berupaya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Maka setiap warga negara harus membela dan mempertahankan tegaknya NKRI. Kata “Wajib” sebagaimana terdapat dalam UUD 1945, mengandung makna bahwa negara dapat memaksa warga negara untuk ikut dalam pembelaan negara.

Pembayaran pajak juga dapat menjadi mekanisme untuk menopang kedaulatan rakyat dalam praktek bernegara. Dalam penyelenggaraan negara, kedaulatan sebuah negara bisa diartikan secara umum sebagai kemampuan sebuah negara untuk mengelola negaranya sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak manapun. Sementara itu, untuk dapat mengelola sebuah negara, diperlukan dukungan finansial yang kuat agar dalam setiap pengelolaan negara tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh pihak lain. Sama dengan pertahanan wilayah, kekuatan keuangan negara juga harus selalu dijaga keamanannya dengan konsep ketahanan fiskal. Dengan kata lain, ketahanan fiskal sama pentingnya dengan ketahanan wilayah. Sehingga ketahanan fiskal dapat disebut sebagai Pertahanan Nirmiliter.

Dalam pengelolaan sebuah negara, sumber keuangan negara diperoleh melalui sumber daya yang dimiliki pada wilayah negara tersebut. Apabila negara tersebut kaya dengan sumber daya alam (minyak, batubara, gas dan energi, dan lain-lain) maka sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk memenuhi keuangan negara yang selanjutnya digunakan untuk kemakmuran rakyatnya. Ketika sumber daya alam yang dimiliki tidak mencukupi maka diperlukan suatu partisipasi aktif setiap warga negara dalam mewujudkan ketahanan fiskal demi kedaulatan sebuah negara. Pajak adalah satu bentuk partisipasi aktif warga negara dalam menopang kedaulatan negara. Oleh karena itu, bangsa yang mandiri sangat dipengaruhi oleh kekuatan fiskalnya. Indonesia yang juga menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, terus menerus berusaha untuk memperbaiki sistem perpajakannya. Namun semua upaya tersebut akan sia-sia apabila tidak ditunjang oleh niat Wajib Pajak (WP) untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan patuh dan benar.

Kewajiban membayar pajak merupakan bagian dari sumbangsih masyarakat dalam pembangunan bangsa. membayar pajak untuk keberlanjutan pembangunan merupakan ikhtiar dari bela negara. Dengan keuangan negara yang kuat maka pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang diharapkan mampu memberikan multiplier effect terhadap kesinambungan pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulan

Bela negara adalah hak dan kewajiban setiap warga negara. Sesungguhnya bela negara merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensinya, memiliki strategi mempertahankan eksistensinya. Dengan dinamika yang ada, bahwa negara kita yang sejak berdiri sudah menghadapi berbagai macam ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan maka bela negara merupakan suatu keharusan dalam mewujudkan pembangunan pertahanan negara.

Rekomendasi

Salah satu faktor yang menentukan ketahanan suatu negara adalah faktor finansialnya. Peningkatan Pendapatan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya berasal dari pajak. Untuk itu setiap warga negara senantiasa melakukan kewajiban membayar pajak sebagai salah satu upaya bela negara demi menunjang pelaksanaan program pembangunan,cinta tanah air serta upayah mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.

SUHARDI SURYADI 

7 November 2017

Informed Consent” adalah suatu kesepakatan atau persetujuan memilih dari seorang pasien atas tindakan medis oleh dokter terkait dengan penyakit yang diderita oleh pasien.

Persetujuan diberikan setelah memperoleh informasi detail keadaan penyakit dan implikasinya serta risiko yang terjadi jika tidak dilakukan tindakan. Hal ini didasarkan pada premis moral dan hukum terkait otonomi setiap orang bahwa setiap pasien memiliki hak memilih sendiri status kesehatannya yang berpengaruh terhadap  kehidupannya.

Konsep persetujuan memilih dalam dunia medis ini pada dasarnya dapat pula diterapkan pada bidang pembangunan yang lain, terutama jika menyangkut kegiatan yang berdampak langsung terhadap kondisi dan kelangsungan penghidupan seseorang dan warga. Dengan persetujuan pada awal secara penuh hati/sukarela atas setiap rencana pembangunan, baik dari pemerintah maupun swasta, warga dapat memutuskan untuk menerima atau menolaknya.

Hak warga

Selama ini berbagai rencana pembangunan kurang maksimal untuk meminta persetujuan warga di mana lokasi pembangunan berada karena anggapan membangun adalah hak pemerintah. Sepanjang  aturan hukum dan syarat administrasi dipenuhi, tak penting ada persetujuan warga atau tidak. Penegasian ini juga didasari sikap pemerintah yang acap bertindak sepihak dengan dalih kepentingan umum, berdampak positif bagi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat.

Di samping itu, orientasi pembangunan yang semata bertujuan peningkatan ekonomi cenderung melihat persetujuan warga menyita waktu dan membutuhkan biaya. Dengan kata lain, tak produktif dan efisien. Cukup melalui wakil rakyat baik di parlemen maupun tokoh masyarakat.

Kalaupun ada mekanisme meminta persetujuan  atas sebuah proyek melalui sosialisasi, acap kali prosesnya berlangsung artifisial dan hasilnya tak jarang manipulasi dan koersi akibat ada kontrol dan hambatan saat warga menentukan pilihannya.  Tak ayal ketika pembangunan dimulai ada protes atau penolakan.

Mekanisme musrenbang sebagai wadah menampung aspirasi dan usulan warga tentang pembangunan juga terkesan formalitas mengingat realisasinya jauh panggang dari api. Berdasarkan studi efektivitas musrenbang yang dilakukan  Wiyasti Dwiandini dan Roy Valiant Salomo, FISIP UI di Jakarta Timur tahun 2012, dari 203 usulan masyarakat, hanya  14 usulan (6,89 persen) yang diakomodasi dan dianggarkan menjadi  kegiatan.

Pemerintah acap kali  berkilah bahwa aspirasi warga sesungguhnya telah diakomodasi sebagai masukan dalam mengatasi atau mengurangi  risiko dan dampak negatif pembangunan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan melalui instrumen amdal.  Yang menjadi masalah, kajian amdal belum sepenuhnya obyektif  dan digunakan sebagai dasar menentukan kebijakan untuk menerima dan menolak rencana proyek.

Sebaliknya hasil amdal lebih bersifat dokumen  semata untuk kelengkapan administrasi bagi izin pelaksanaan. Karena itu, sekalipun berpotensi mengganggu kelangsungan penghidupan warga sekitar dan mengancam kelestarian lingkungan, tak jarang sebuah rencana pembangunan tetap dilanjutkan karena ada dokumen amdal.  Salah satu contoh, proyek reklamasi teluk Jakarta.

Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan yang lain, ketiadaan persetujuan awal warga pada dasarnya bukan karena persoalan kapasitas aparatur pemerintah yang rendah, melainkan akibat absennya kemauan politik (kehadiran negara). Penetapan sebuah pembangunan sering kurang mempertimbangkan aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi dari masyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan dunia usaha (korporat) dan politik.

Sebaliknya, berbagai rencana pembangunan yang diharapkan masyarakat dan cukup baik dari sisi teknis serta berdampak positif dari sisi sosial lingkungan, gagal diintegrasikan, dianggarkan dan diwujudkan menjadi kenyataan karena adanya kepentingan ekonomi politik dari elite di tingkat lokal dan nasional.

Menghargai hak setiap warga menentukan sendiri setiap rencana pembangunan sangat penting agar dapat dukungan warga dan tak menimbulkan konflik.  Warga perlu diberi kesempatan tanpa paksaan untuk menilai bahwa pembangunan yang direncanakan akan bermanfaat dan dapat membawa kemakmuran bagi penghidupannya.

Gagasan tentang hak warga atas pembangunan pada dasarnya bukan hal baru karena sudah  diakui secara internasional sejak 1986. Referensi formal tentang hak warga atas pembangunan, dalam arti “akta kelahirannya”, dapat dilihat dalam resolusi 4 (XXXIII), yang diadopsi Komisi Hak Asasi Manusia pada 21 Februari 1977 (Realizing the Right to Development. PBB, 2013).

Inisiatif Pulang Pisau

Pembangunan yang dianggap sebagai upaya memenuhi kebutuhan pribadi setiap orang perlu selaras dengan kondisi sosial masyarakat pada umumnya. Karena itu, pembangunan tak selalu menggunakan pendekatan yang tradisional, yaitu pertumbuhan ekonomi nasional atau peningkatan pendapatan per kapita.  Sebaliknya pembangunan penting dilihat dalam perspektif lebih besar mengenai penciptaan lingkungan kondusif bagi terwujudnya harapan warga secara penuh, termasuk didengar aspirasinya.

Di Indonesia,  upaya menggali aspirasi dan meminta persetujuan warga sebagai wujud dari hak atas pembangunan memang masih terbatas dilakukan. Salah satu contohnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.  Di wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG14), Badan Restorasi Gambut (BRG) merencanakan  membangun sekat kanal agar  tanah gambut dapat menahan air pada musim kemarau dan mengurangi risiko kebakaran lahan dan hutan di wilayah tersebut.

Sebelum dibangun, BRG terlebih dahulu meminta persetujuan di awal dari warga mencakup letak, bentuk, ukuran kanal, serta risiko dan dampak dari pembangunan sekat kanal. Termasuk persetujuan terkait waktu penutupan kanal primer, sekunder, dan tersier. Pendekatan ini ternyata mampu menghindari konflik antara warga dan pemerintah. Dalam kasus sebelumnya, warga merusak sekat kanal ketika  kanal gambut ditutup  tanpa konsultasi dan persetujuan warga.

Ini menunjukkan, hak warga atas pembangunan secara signifikan dipengaruhi oleh dua proses yang saling terkait dan tergantung: (1) munculnya kesadaran warga yang mencari status kesetaraan dan keadilan  dalam hubungan dengan pemerintah, terutama dalam menentukan sesuatu yang terkait dengan sumber penghidupan; dan (2) kegagalan nyata dari model pembangunan yang sebatas berorientasi keuntungan dan berpusat pada ekonomi  serta  menghilangkan kesejahteraan sosial.

Ke depan, membatasi, menghambat, apalagi menegasikan aspirasi dan hak warga dalam menentukan rencana pembangunan sudah tak lagi tepat. Sebaliknya, pemerintah harus mempromosikan dan memperluas penerapannya, terutama untuk pembangunan infrastruktur yang memiliki pengaruh nyata terhadap masa depan penghidupan warga. Dengan demikian, pembangunan mendapat legitimasi hukum dan sosial.  Jika tidak, selain dapat memicu konflik, pemerintah juga akan dianggap tak menghargai hak warga paling fundamental dalam proses pembangunan. 

Suhardi Suryadi

Direktur LP3ES 2005-2010; Konsultan Knowlegde Management Proyek Lestari, USAID

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA