Ketertinggalan akan pemanfaatan teknologi dapat berpotensi menimbulkan titik-titik di masyarakat

Jakarta – Masyarakat dunia, terutama di Indonesia, seketika ramai memperbincangkan keberadaan semesta metaverse sejak Oktober 2021 lalu, Mark Zuckerberg, pemilik sekaligus pendiri Facebook, secara resmi mengubah nama perusahaan media sosial ‘sejuta umat’ itu menjadi Meta.

Padahal sebenarnya istilah metaverse sendiri bahkan sudah diperkenalkan pertama kali oleh penulis sekaligus perancang permainan asal Amerika Serikat (AS), Neal Stephenson, pada tahun 1992 silam, lewat novel fiksi ilmiahnya, berjudul Snow Crash.

Dalam novel tersebut, konsep metaverse digambarkan sebagai tempat atau dunia (semesta) dalam ruang virtual tiga dimensi yang menjadi tempat bertemunya manusia satu dengan yang lain dalam wujud avatar.

Bukan yang pertama, konsep yang digambarkan Neal ini pada dasarnya merupakan bentuk baru atau semacam penyempurnaan dari konsep-konsep serupa yang pernah muncul dengan berbagai nama di sejumlah novel fiksi cyberpunk pada tahun 1980-an awal.

Namun harus diakui bahwa pada akhirnya Zuckerberg lah yang terbukti mampu ‘membumikan’ konsep metaverse dengan memanfaatkan Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) untuk membangun semesta virtualnya sendiri. Dan tak hanya Facebook, satu per satu perusahaan besar dunia pun berlomba-lomba membangun semesta metaversenya sendiri. Sebut saja Google, Binance, Microsoft hingga Tencent, tak ragu menggelontorkan dana investasi ‘jumbo’ untuk dapat berkiprah di industri metaverse.

Tak hanya perusahaan teknologi, hampir sebagian besar pemain utama di berbagai sektor industri bisa diklaim juga telah tertarik dan mulai membangun ‘jalan’nya sendiri guna mulai menapai bisnis di dunia metaverse. Misalnya saja di industri fashion, brand ternama dunia, Gucci dan juga Victoria Secret, diketahui sudah mulai sibuk berbenah di semesta metaverse. Begitu pun perusahaan media global, Disney, atau juga raksasa bisnis F&B, McDonald’s, juga telah bersiap memperluas cakupan bisnisnya ke dunia metaverse. Belum lagi jejaring Walmart dan Nike serta ekosistem musik, Warner Music Group, yang semuanya berlomba-lomba menancapkan bisnisnya di semesta metaverse.

Potensi Besar

Mengingat metaverse merupakan ‘duplikat’ dari dunia nyata, maka dengan berbondong-bondongnya dunia usaha masuk ke metaverse menimbulkan kebutuhan lahan di semesta virtual itu seketika melonjak drastis.

Lembaga riset penyedia data dan informasi tentang dunia metaverse yang berbasis di Amerika Serikat (AS), MetaMetric Solutions, mencatat bahwa penjualan properti virtual di empat platform utama metaverse di sepanjang tahun 2021 lalu telah mencapai US$501 juta.

Maka dengan asumsi nilai tukar rupiah terhadap dollar di level Rp14.300 per dollar AS saja, maka total nilai transaksi properti di metaverse sepanjang 2021 lalu mencapai Rp7,164 triliun! Sedangkan di tahun ini, pada Bulan Januari saja MetaMetric mencatat transaksi yang terjadi sebesar US$85 juta, atau setara dengan Rp1,21 triliun.

Dan dengan mengandaikan tren pertumbuhan yang terjadi dapat terjaga hingga akhir tahun, maka proyeksi nilai penjualan properti metaverse pada tahun 2022 ini bakal mencapai US$1 miliar, atau senilai Rp14,3 triliun! Sebuah nominal yang menunjukkan betapa kencangnya arus perputaran uang di dunia metaverse, dengan catatan bahwa asumsi di atas masih belum memperhitungkan geliat bisnis di masing-masing sektor industri yang turut mulai eksis di semesta metaverse.

Gula dan Semut

Dengan banyaknya ‘gula’ berupa dana yang berputar di semesta metaverse, maka tak heran bila kemudian ‘semut’semut’ mulai berdatangan. Tak terkecuali lembaga perbankan yang pada prinsipnya memang akan selalu hadir di mana uang berpoter.

Dan raksasa perbankan sekaligus investasi internasional asal AS, JPMorgan, menjadi yang paling gesit dalam memanfaatkan momentum dengan menjadi bank pertama yang hadir di semesta metaverse.

Februari 2022, JPMorgan secara resmi meluncurkan lounge virtual yang dibangun di salah satu platform metaverse paling populer di dunia, yaitu Mal Metajuku milik Decentraland. “Ada banyak klien yang berminat mempelajari lebih lanjut dan mengeksplorasi peluang yang tersedia di metaverse,” ujar Kepala Kripto dan Metaverse JPMorgan, Christin Moy, Rabu (23/2).

Sebagaimana dilansir Fortune, pihak JPMorgan meyakini ada sedikitnya US$1 triliun peluang pasar yang dapat dimenangkan dari segi pendapatan tahunan dari segala aktivitas ekonomi yang terjadi di semesta metaverse. Salah satunya melalui potensi bisnis turunan dari transaksi properti virtual di metaverse, seperti layanan kredit, hipotek hingga perjanjian sewa lahan dan/atau bangunan virtual.

Sementara, lounge virtual JPMorgan kini hadir dengan layanan pembayaran crossborder, transaksi valuta asing, penciptaan aset keuangan, layanan transaksi perdagangan dan tentunya tabungan sebagai layanan dasar jasa perbankan.

“Kami percaya lanskap game virtual yang ada memiliki elemen paralel dengan perekonomian global. Di titik inilah kompetisi inti lama kami dalam pembayaran lintas batas, valuta asing, penciptaan aset keuangan, perdagangan serta penyimpanan, selain pijakan konsumen skala besar kami, dapat memainkan peran utama dalam ekosistem metaverse,” tambah Moy.

Tak mau ketinggalan, salah satu lembaga keuangan terbesar di Korea Selatan, KB Kookmin Bank, juga dilaporkan telah menggandeng pengembang konten VR asal Negeri Ginseng, Sharebox, untuk membangun layanan perbankan virtual di semesta metaverse.

“Tujuannya adalah untuk secara pre-emptive mengantisipasi perubahan keuangan di era metaverse yang akan datang, dan untuk menginternalisasi eksperimen layanan keuangan baru dan kemampuan teknologi,” ujar Vice President of Tech Group di KB Kookmin Bank, Jinsoo Yoon.

Langkah KB Kookmin Bank ini diperkirakan tak lepas dari tekad Pemerintah Korea Selatan yang demikian getol mendorong perkembangan metaverse di negara.

Salah satu bukti  nyatanya adalah gelontoran investasi hingga 3,9 miliar won, atau sekitar Rp45,76 triliun untuk menjadi Seoul sebagai kota besar pertama di dunia yang bakal masuk dalam dunia virtual metaverse.

Di belakang JPMorgan dan KB Kookmin Bank, masih ada lagi sederetan nama ‘Si Berat’ di industri perbankan yang juga sedang antusias melebarkan ekspansinya ke semesta metaverse. Ada Hana Bank, Industrial Bank of Korea (IBK), NH Nonghyup hingga Bank of america, BNP Paribas, Bank of Kuwait sampai Mecrobank dari Swedia, yang diketahui telah sibuk melakukan sinkronisasi sistem IT-nya agar lebih compatible terhadap teknologi metaverse.

“Ada begitu besar ketertarikan dari mereka (perbankan), meski semua teknologi yang memungkinkan bisa jadi belum tersedia. Tapi (layanan perbankan di) metaverse sangat masuk akal, tinggal membuat segala sesuatunya saling terkoneksi. Seperti menghubungkan titik-titik dari begitu banyak teknologi,” ujar Founder Shinta VR, Andes Rizky, dalam sebuah diskusi virtual, beberapa waktu lalu.

Berkecambah

Shinta VR sendiri merupakan developer teknologi metaverse asli Indonesia, yang diantaranya dipercaya menggarap semesta metaverse milik selebriti kondang Raffi Ahmad, RansVerse. Tak hanya sendiri, Shinta VR merupakan salah satu dari sederetan nama startup yang merupakan bagian dari ekosistem metaverse dalam negeri.

Sebut saja Indonesia Digital Millenial Cooperative (IDM Coop) yang menghandle sisi teknis pembuatan NusantaraVerse, semesta metaverse yang digagas Anang Hermansyah dan istrinya, Ashanty. Hingga WIR Group, perusahaan teknologi augmented reality (AR) yang bahkan tengah bersiap memperkenalkan prototipe Metaverse Indonesia ke dunia internasional dalam perhelatan Presidensi G20 Indonesia 2022, di Bali, Oktober mendatang.

Dengan banyaknya ekosistem metaverse yang mulai ‘berkecambah’, maka tidak mengherankan bila penggunaan dan pemanfaatan teknologi metaverse di Indonesia seolah hanya tinggal ‘menghitung hari’. Dan salah satu industri yang dinilai paling dekat dan sangat mungkin memanfaatkan keberadaan semesta metaverse ternyata adalah industri perbankan. “Kenapa (perbankan)? Karena pengalaman imersif yang ditawarkan semesta metaverse mampu menciptakan new experience (pengalaman baru) yang mendalam dan otentik, sehingga itu bisa meningkatkan customer satisfaction (kepuasan pelanggan),” tutur Andes.

Dan benar saja. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) menjadi yang pertama, disusul oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), menjadi pioneer bagi perbankan nasional untuk melangkah masuk ke dunia virtual metaverse, selain juga PT Bank Danamon Indonesia Tbk dari kalangan pelaku swasta, yang juga telah menyampaikan ketertarikan serupa.

Bagi kelompok perbankan ini, metaverse merupakan sebuah tempat/dunia/semesta yang memungkinkan orang untuk berkumpul, berkomunikasi dan tentunya berpotensi untuk terjadinya sebuah transaksi.

(Lagi-Lagi) Tertinggal Lagi

Dari sana lah, keberadaan sebuah lembaga perbankan seolah menjadi ‘puzzle terakhir’ yang melengkapi jejaring ekosistem yang telah ada sebelumnya.

“(Hadirnya bank di metaverse) Ini bahkan bisa menjadi game changer terhadap inklusi keuangan di Indonesia. Ke depan, nasabah bisa memilih layanan sesuai preferensi masing-masing, baik layanan fisik, digital hingga virtual melalui semesta metaverse,” ujar Head of Research & Development Team sekaligus Chief Innovation Officer WIR Group, Jeffrey Budiman.

Berbagai pilihan tersebut, menurut Jeffrey, merupakan tuntutan jaman yang tidak bisa lagi dielakkan oleh perbankan seiring dengan kehidupan masyarakat dewasa ini yang semakin dinamis.

Sayang, pemahaman ini sepertinya sama sekali tidak dipahami oleh regulator, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mungkin juga melibatkan Bank Indonesia (BI).

Hal ini terlihat jelas bahwa meski kalangan perbankan telah demikian jauh melangkah di semesta metaverse, OJK rupanya justru jauh tertinggal dengan masih sebatas sibuk dalam tahap mencermati dan mempelajari gelombang tren yang tengah terjadi. “Metaverse banking ini kita bisa lihat telah menjadi tren baru di industri. Sejauh ini kami masih mempelajari perkembangannya. (Kami) Belum menyiapkan regulasi, masih akan kami pelajari lebih lanjut,” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat, dalam kesempatan terpisah.

Respon lambat dari OJK ini, mau tak mau, justru menjadi penghambat perkembangan metaverse bank di Indonesia. Hal ini diakui oleh Overseas Development Director WIR Group, Yasha Chatab, yang menyebut bahwa ketiadaan regulasi yang memayungi membuat segaal aktivitas perbankan yang bisa dilakukan di semesta metaverse menjadi sangat terbatas.

“Ya memag karena regulasinya belum ada, maka transaksi perbankan di metaverse otomatis belum boleh (dilakukan),” keluh Yasha.

Padahal sebagaimana diketahui, WIR Group merupakan pihak yang dipercaya menggarap layanan metaverse milik BRI dan BNI. Hanya saja, lantaran regulasi belum tersedia, maka fase awal yang bisa dilakukan perbankan baru sekadar promosi, membangun branding atau image bahwa ke depan mereka akan segera memiliki layanan perbankan di metaverse.

“Sementara baru itu yang bisa dilakukan (di metaverse), atau paling sekadar virtual assistant untuk menerima komplain dari nasabah saja. Tidak lebih,” papar Yasha.

Kondisi yang demikian tentu cukup mengecewakan, karena bila mau jujur, fase mencermati dan mempelajari harusnya sudah bisa dilakukan sejak sebuah tren telah mulai berkembang di negara lain.

Dalam kasus metaverse bank ini, langkah yang telah dilakukan oleh JPMorgan, KB Kookmin Bank, Hana Bank hingga BNP Paribas dan sebagainya yang telah lebih dulu merangsek masuk ke semesta metaverse harusnya telah cukup untuk menggerakkan regulator guna melakukan pengkajian, mengevaluasi, membuat studi kasus dan berbagai upaya lain, yang bertujuan memahami betul perubahan kondisi industri yang sedang terjadi.

Harapannya, dengan serangkaian langkah antisipasi tersebut, maka regulasi dan kebijakan yang diperlukan sudah akan tersedia dan siap diterapkan ketika gelombang perubahan itu benar-benar sampai di Indonesia.

Kelambanan regulator dalam bersikap ini seolah mengulang kembali serangkaian kesalahan serupa. Misalnya saja tentang kebutuhan regulasi yang memayungi penggunaan tandatangan digital saat kemunculan bank digital yang sudah dimulai sejak kehadiran layanan Jenius milik PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) pada tahun 2016 dan Digibank milik DBS Bank pada tahun 2017.

Namun OJK baru meresponnya pada pertengahan tahun 2020, alias beberapa tahun setelah Jenius dan Digibank beroperasi. Betapa pelaku industri telah beriktikad baik melakukan sejumlah inovasi untuk perkembangan industri perbankan nasional, namun bukannya mendapatkan dukungan atau insentif, malah terhambat oleh gerak lambat regulatornya sendiri. Maka, pertanyaan paling sederhana untuk dilayangkan pada regulator, sampai kapan mau terus seperti ini? (TSA)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA