Kasih sayang terhadap sesama manusia harus dilakukan dengan

Tidak ada yang pernah meragukan sifat humanisme KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sifat yang diwujudkan melalui kasih sayang terhadap semua manusia ini terus diperjuangkan Gus Dur hingga akhir hayatnya. Tulisan “Here Rest a Humanis” (di sini istirahat seorang humanis) yang terpatri di nisan Gus Dur merupakan penghargaan tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusiaan yang diterapkan oleh Gus Dur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga diintegrasikan dengan nilai-nilai agama sehingga tidak kering moral. Artinya, penghargaan dan penguatan iman seseorang, apapun agamanya sejurus dengan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, apapun agamanya. Di sinilah Gus Dur kerap membela kaum-kaum tertindas dan terpinggirkan, baik minoritas non-Muslim maupun kelompok-kelompok tertentu.

Terkait perjuangan humanismenya ini, pada tahun 1996 di sebuah forum, Gus Dur dikritik karena kedekatannya dengan non-Muslim dan pembelaan dirinya yang kerap ditujukan kepada mereka. Si pengkritik Gus Dur tersebut mengutip ayat:

“Muhammadur Rasulullah, walladzina ma’ahu asyiddaau ‘alal kuffari ruhamau bainahum...” (Muhammad adalah Rasulullah, dan bersama beliau adalah orang yang (bersikap) keras/tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi (bersikap) ramah tamah/kasih sayang di antara sesama (Muslim)... (QS Al-Fath: 29)

Menurut si pengkritik itu, Gus Dur tidak mengikuti ayat ini sebab beliau justru terbalik, ramah tamah terhadap non-Muslim dan sering mengkritik tegas terhadap sesama Muslim.

Dalam forum yang diselenggarakan di Masjid Sunda Kelapa Jakarta itu, Gus Dur menjawab santai dan tenang seperti biasa. Menurutnya, pergaulan bisa dilakukan dengan siapa saja. Hal itu diteladankan oleh Rasulullah sendiri, bahkan Rasulullah SAW tidak pernah membenci kaum Quraisy yang kala itu masih dalam kekafiran. Gus Dur juga menegaskan, sifat kasih sayang bisa dalam bentuk ketegasan, bukan hanya dalam bentuk kehalusan dan keramahan terhadap sesama.

Dalam pernyataan yang dikutip Muhammad AS Hikam dalam Gus Dur Ku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (2013), Gus Dur mengatakan:

“Ayat Al-Qur’an hendaknya dipahami ilmu tafsirnya. Tidak dimaknai secara harfiah. Tegas di dalam ayat 29 QS Al-Fath berarti tegas dalam keimanan, bukan dalam pergaulan. Kita sebagai Muslim (apalagi dalam kondisi mayoritas) tentu harus tetap ramah terhadap orang non-Muslim sebagai minoritas. Kalau saya sering bersikap kritis terhadap sesama gerakan Islam di Indonesia, ya karena dalam semangat ‘tawashou bil haq’. Memberikan pembelajaran internal, memang beda dengan pembelajaran keluar. Justru ‘ruhama’ atau kasih sayang itu saya ekspresikan dengan cara kritik. Kadang-kadang terdengar keras, tetapi saya tak memonopoli kebenaran seperti kebanyakan ormas dan tokoh-tokoh Islam lainnya.” 

Jadi, menurut Gus Dur kalau soal iman, maka sebagai seorang pemeluk Islam yang teguh, beliau tidak ada kompromi mengenai kebenaran keyakinannya. Namun jangan menutup mata juga bahwa ajaran Islam mengenal prinsip hablun minannas atau bergaul dengan sesama manusia, apalagi sesama anak bangsa, pemilik sah negeri ini. Di sini Gus Dur tidak mau membedakan antara Muslim dan non-Muslim dalam berangkulan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebaikan seperti yang diajarkan agama.

Nilai-nilai kemanusiaan universal yang dilakukan oleh Gus Dur juga bersifat global. Ini ditunjukkan Gus Dur di antaranya ketika terus berjuang untuk kedaulatan rakyat Palestina dari penjajahan Israel. Ini terjadi saat malam sekitar tahun 1980-an. Kal itu, Gus Dur memangku gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.

Gadis kecil yang saat ini akrab disapa Yenny Wahid tersebut mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan kaos bertuliskan “Palestina”. Dalam momen itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman, di antaranya Sutardji Calzoum Bachri. (Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa, 2017)

Simpati kemanusiaan terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin) adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur. Apapun agama, keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar negeri.

Peran dan pergaulannya yang luas membuat setiap orang mempunyai kesan mendalam terhadap Gus Dur. Bahkan, kasih sayangnya yang tercurah kepada semua manusia membuatnya terus dikenang oleh setiap elemen bangsa ketika dirinya telah tiada. Bahkan, Soka University Tokyo milik Soka Gakkai yang didirikan Daisaku Ikeda hingga saat ini masih menjadikan Gus Dur sebagai ikon penggerak kebudayaan modern. (Fathoni)

Kumpulan Khutbah Jumat tentang Iman

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

Ilustrasi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pernahkah Anda bayangkan sebuah kehidupan antar manusia tanpa rasa cinta dan kasih sayang?

Psikolog Bona Sardo mengatakan, cinta dan kasih sayang merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar dalam hidup manusia.

"Manusia secara psikologis, antara lain juga memiliki kebutuhan untuk diterima, diakui, mencintai dan dicintai, merupakan salah satu dari beberapa kebutuhan mendasar," kata Bona saat dihubungi Kompas.com.

Sejak lahir, manusia bahkan sudah seharusnya mendapat cinta dan kasih sayang yang berkaitan dengan relasi atau interaksi manusia. Misalnya, bayi baru lahir mendapatkan cinta kasih dari orangtuanya yang merawatnya.

Tanpa cinta dan kasih sayang, hal-hal negatif dapat terus mengintai kehidupan. Hal yang bersifat negatif lebih banyak merugikan manusia itu sendiri.

Bona mengatakan, berdasarkan sebuah penelitian, orang-orang yang mengumbar kebencian, termasuk di media sosial, cederung lebih depresif dan secara kepribadian lebih banyak mengalami kecemasan dan kebencian.

Kebencian itu tak hanya terhadap orang lain, tetapi bisa juga terhadap dirinya sendiri.

"Kalau orang-orang yang lebih dominan menebarkan kata-kata atau hal yang sifatnya positif, netral, dan penuh cinta kasih, secara kepribadian lebih terbuka dengan pengalaman, tidak kaku, jadi terbuka dengan berbagai hal yang berbeda," tutur Bona.

Untuk itu, lanjut Bona, menumbuhkan cinta dan kasih sayang bisa dimulai dari keluarga. Caranya harus sangat konkret, misalnya makan bersama-sama di meja makan sambil membicarakan hal yang positif.

Bisa juga dengan mengungkapkan rasa cinta dan kasih dengan kata-kata dari orangtua ke anak dan sebaliknya.

Pada orang dewasa, menumbukan cinta dan kasih sayang bisa dimulai dengan berbuat baik dan menebar hal positif. Cobalah bertanya pada diri sendiri, adakah gunanya saling membenci sehingga kurang rasa cinta dan kasih sayang?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Bulan Februari sering disebut sebagai bulan kasih sayang karena ada peringatan Valentine’s Day setiap tanggal 14 Februari. Ada banyak pihak yang memanfaatkan bulan ini untuk berbicara secara mendalam tentang kasih. Perayaan hari kasih sayang pun dikemas dengan berbagai bentuk. Ada yang isinya bicara soal kasih sayang pada pasangan, keluarga, komunitas bekerja, rekan pelayanan, bahkan ada juga yang berbicara tentang mengasihi Tuhan di momen hari kasih sayang ini. Namun tidak sedikit juga yang memakai momen hari kasih sayang untuk melakukan hal-hal tidak baik. “Valentine nih, kita holiday berdua yuk,” kata seseorang kepada pacarnya, kemudian berujung dengan melakukan free sex. Ma, hari Valentine nih, jalan-jalan yuk!” kata seorang anak pada ibunya. “Mama kasih uang ya, kamu pergi aja sama mba atau teman-teman kamu,” jawab ibunya. Benarkah tindakan demikian merupakan bentuk mengasihi antara satu orang kepada yang lain?

Orang Kristen sangat identik dengan ajaran kasih karena ajaran utama Yesus tentang hukum kasih. Ajaran ini seringkali dilihat sebagai ajaran yang menguatkan ketika dunia lebih banyak mengajari manusia untuk mengurus diri pribadi dan tak perlu memedulikan orang lain. Namun tak jarang juga ajaran ini dilihat sebagai hal utopis yang tidak mungkin dilakukan manusia. Hukum kasih hanya dilihat sebagai aturan yang kalau mampu dilakukan, kalau tidak mampu, dilewatkan saja. Tetapi mari kita melihat hukum ini untuk mencari kekuatan dalam mengasihi sesama.

Mengasihi Allah dengan Hati, Jiwa dan Akal Budi

Dalam Matius 22: 37-40, termuat perkataan Yesus yang menjadi inti dari ajaran Kristen yakni hukum kasih yang biasa juga disebut hukum yang terutama. Pada bagian ini Yesus sedang menjawab pertanyaan seorang Farisi sekaligus ahli Taurat yang sedang menguji-Nya. Maksud sang ahli Taurat bertanya demikian adalah untuk mencari-cari kesalahan Yesus. Jika Yesus menjawab salah satu aturan dari hukum Taurat juga turunan-turunannya (pada zaman itu orang-orang Yahudi juga berpegangan pada hukum turunan yang merupakan hasil penafsiran dari hukum Taurat yang isinya lebih praktis) sebagai hukum yang terutama, pasti mereka telah menyiapkan bahan untuk menyalahkan jawaban dari Yesus.

Sayangnya prediksi ahli Taurat terhadap Yesus ternyata keliru, sebab Dia merupakan sosok yang cerdas. Ia menyebutkan inti dari hukum Taurat sebagai hukum yang terutama. Ia tidak terkecoh oleh pertanyaan ahli Taurat tersebut. Yesus mengatakan demikian: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia  seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Dari jawaban Yesus, kita dapat melihat bahwa Ia memahami apa yang Ia hayati sebagai hukum Tuhan. Hukum Taurat bukan hanya dilihat secara teknis, tetapi juga secara filosofis dan mendalam. Ia berteologi lewat hukum yang diberlakukan dalam kehidupan beragama. Saat ini sikap yang sedang populer di kalangan masyarakat justru sikap yang bertentangan dengan apa yang Yesus lakukan. Banyak orang beragama hanya secara praktis, hanya menelan mentah-mentah apa yang tertulis, apa yang diterapkan sebagai aturan. Banyak orang beragama tanpa menggunakan nalar dan penghayatan. Hal inilah yang membuat pemaknaan tentang beragama menjadi semakin sempit. Orang-orang yang berjuang untuk mengasihi Allah lewat ketaatannya terhadap aturan keagamaan menjadi orang-orang yang salah arah. Mereka tidak lagi mengasihi Allah, mereka hanya mengasihi aturan keagamaan yang dipandang begitu penting dan suci.

Seperti apa yang Yesus katakan, kita diminta untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi. Artinya kita harus berusaha untuk menjadi pribadi yang mau mengolah rasa, mengolah emosi, maupun mengolah pengertian kita akan Allah. Kita mengasihi-Nya dengan keseluruhan diri kita. Kita tidak bisa mengasihi Allah jika hanya melakukan aturan-aturan keagamaan secara praktis tetapi hati dan pikiran kita tidak menghendakinya.

Mengasihi Diri Sendiri untuk Mengasihi Sesama

Hukum Taurat merupakan hukum yang dianugerahkan Allah pada umat-Nya untuk menjaga relasi antara manusia dengan Allah serta manusia dengan sesamanya. Yesus menyadari bahwa dua bagian tersebut ada dalam satu kesatuan. Sama-sama penting dan tidak dapat dibandingkan mana yang lebih utama. Keduanya adalah hukum yang sama-sama utama. Mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri merupakan hukum yang sama pentingnya dengan mengasihi Allah.

Bagian yang kedua ini seringkali secara cepat dimaknai bahwa kita harus berbuat baik pada sesama. Itu memang benar, tetapi mari kita soroti kalimat Yesus tadi secara lebih seksama. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Seseorang tidak dapat mengasihi sesamanya jika ia tidak mengasihi dirinya sendiri. Kemudian bagaimanakah kita semestinya mengasihi diri kita? Secara prinsip, sama seperti yang Yesus katakan tentang mengasihi Allah yakni dengan segenap hati, segenap jiwa, dan segenap akal budi. Kita perlu belajar untuk mengasihi diri sendiri. Hal ini tidak diartikan sebagai bentuk egoisme atau tindakan narsistik. Mengasihi diri sendiri merupakan sebuah bentuk penerimaan atas apa yang ada dan terjadi dalam diri kita. Dengan menggunakan hati, jiwa, dan akal budi, kita belajar untuk memahami apa yang lebih dan kurang dari diri kita. Kita belajar untuk menerima dan berdamai dengan keadaan diri sendiri. Kita tidak terus menerus menyalahkan diri jika kita salah. Kita juga tidak perlu membandingkan diri kita dengan orang lain dan terus menuntut diri kita agar sama seperti orang lain. Kita perlu belajar percaya pada diri sendiri, percaya bahwa diri kita pun baik adanya. Diri kita diciptakan Tuhan bukan dengan asal-asalan. Ketika kita dapat percaya pada diri kita, maka kita sedang percaya bahwa kebesaran dan cinta kasih Tuhan yang berkarya atas diri kita.

Kasih yang kita upayakan pada diri sendiri itulah yang akan menuntun kita untuk dapat mengasihi sesama. Hanya seseorang yang dapat menerima dirinyalah yang dapat menerima orang lain dengan tulus. Hanya seseorang yang dapat menjaga dirinyalah yang dapat menjaga orang lain. Hukum Taurat yang dianugerahkan oleh Allah pada manusia tentang relasinya dengan sesama manusia bukanlah suatu tuntutan semata agar manusia berperilaku baik pada orang lain, tetapi juga agar manusia berperilaku baik pada dirinya sendiri. Allah katakan jangan mencuri. Perintah itu bukan hanya menghindarkan orang dari perbuatan yang merugikan orang lain (membuat orang lain kekurangan materi), tetapi juga menghindarkan seseorang dari rasa ketidakpuasan dan ketakutan. Mencuri adalah tindakan yang lahir dari kondisi tidak puas akan apa yang ia miliki. Ketika ia mencuri, ia pun tidak akan merasa puas, ia justru menjadi takut karena memperoleh sesuatu yang bukan haknya. Allah ingin menghindarkan manusia dari kondisi-kondisi yang tidak baik, makanya Ia menganugerahkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia denganNya dan sesamanya.

Ketika seseorang mengasihi Allah dan dirinya dengan sungguh dan penuh, maka kasih itu akan memancar pada sesamanya. Ia akan dimampukan Allah untuk menyatakan kebaikan-kebaikan yang menenangkan dirinya dan sesamanya. Ia tidak akan punya alasan untuk tidak mengasihi sesamanya. Ia tidak akan kelelahan untuk terus memahami dan mengasihi orang lain. Bahkan, ia akan terus mencari orang-orang yang perlu ia kasihi.

Praktek Mengasihi di Hari Valentine

Berkaca dari penghayatan ajaran hukum kasih yang diajarkan Yesus, semestinya kita memiliki banyak pilihan untuk merayakan kasih sayang di hari Valentine. Cinta kasih diantara pasangan tidak boleh lagi dimaknai secara sederhana dengan melakukan tindakan tidak senonoh seperti seks bebas. Cinta kasih diantara keluarga tidak boleh lagi dikecilkan hanya dengan memberikan uang atau biaya harian pada anak tetapi tidak pernah memberikan waktu untuk saling memperhatikan. Cinta kasih pada rekan kerja tidak boleh lagi dipraktikkan hanya sekadar kerja bersama kemudian justru menjelek-jelekan satu sama lain di belakang. Cinta kasih mesti kita rayakan secara utuh yakni dengan hati, jiwa, dan akal budi. Cinta kasih kepada Allah dan diri sendiri yang memancar pada sesama sudah semestinya mewujud dalam praktik paling sederhana. Lewat sapaan, senyuman, pengertian, kesediaan membantu, pemberian waktu untuk mendengarkan keluh kesah, bahkan sampai keberanian untuk menyuarakan hak-hak kemanusiaan. Cinta kasih itu semestinya kita rayakan dengan utuh dan lebih sungguh bersama pasangan, keluarga, rekan kerja, juga orang-orang yang membutuhkan meski tidak kita kenal secara intim. (Ester Novaria/ PKK)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA