Jelaskan urutan shaf dalam pelaksanaan Shalat jenazah apabila terdiri 6 orang makmum

Ilustrasi (deshebideshe.com)

Dalam menggapai kesempurnaan, pelaksanaan shalat berjamaah harus sesuai dengan berbagai ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’. Sebab, jika terdapat salah satu hal yang dimakruhkan dalam shalat berjamaah, maka akan berpengaruh terhadap fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah.

Salah satu ketentuan yang harus diperhatikan dalam shalat berjamaah adalah tentang pengaturan shaf anak kecil dalam shalat berjamaah. Sebab jika anjuran ini tidak diperhatikan maka akan berakibat pada hilangnya fadhilah shaf pada shalat jamaah, bahkan menurut sebagian pendapat fadhilah shalat berjamaah menjadi hilang.

Sebelum menjelaskan tentang posisi shaf anak kecil dalam shalat berjamaah, patut diketahui bahwa anjuran syara’ dalam hal penempatan para makmum secara umum dalam shalat berjamaah adalah dengan cara menempatkan makmum laki-laki yang dewasa (sudah baligh) pada barisan paling depan (shaf awal) lalu ketika shaf awal tidak cukup maka dilanjutkan pada shaf selanjutnya, lalu di belakang barisan laki-laki dewasa ditempati oleh anak kecil laki-laki yang belum baligh, lalu shaf selanjutnya ditempati oleh khuntsa (orang berkelamin ganda), lalu shaf selanjutnya ditempati oleh para wanita. Ketentuan seperti inilah yang dianjurkan oleh syara’ agar pelaksanaan shalat berjamaah menjadi sempurna. 

Berdasarkan ketentuan di atas, sebaiknya anak kecil tidak menempati shaf-shaf awal selama masih ada laki-laki dewasa yang akan menempatinya. Karena tempat shaf bagi mereka adalah di belakang laki-laki dewasa. Barulah ketika shaf awal tidak penuh, anak kecil boleh untuk menempati shaf-shaf awal yang sejajar dengan laki-laki yang dewasa dalam rangka menyempurnakan shaf. 

Ketentuan tidak bolehnya anak kecil menempati shaf paling depan dalam penjelasan di atas mengecualikan ketika anak kecil memang datang terlebih dahulu dibandingkan dengan orang-orang yang telah baligh, maka dalam hal ini anak kecil diperkenankan untuk menempati shaf depan, dan tidak perlu disingkirkan pada shaf di belakangnya, sebab mereka masih dianggap satu jenis dengan laki-laki yang telah baligh. ketentuan di atas tercantum dalam kitab Mauhibah dzi al-Fadhal:

ـ (ويقف) ندبا فيما إذا تعددت أصناف المأمومين (خلفه الرجال) صفا (ثم) بعد الرجال إن كمل صفهم (الصبيان) صفا ثانيا وان تميزوا عن البالغين بعلم ونحوه هذا (إن لم يسبقوا) أي الصبيان (إلى الصف الأول فان سبقوا) إليه (فهم أحق به) من الرجال فلا ينحون عنه لهم لأنهم من الجنس بخلاف الخناثى والنساء ثم بعد الصبيان وان لم يكمل صفهم الخناثى 

“Lelaki (dewasa) disunnahkan untuk berdiri di shaf belakang imam (shaf pertama) ketika banyak makmum yang ikut berjamaah. Lalu setelah shaf lelaki penuh maka selanjutnya shaf yang di isi oleh anak-anak kecil. Termasuk dari anak kecil ini adalah anak (yang belum baligh) yang dapat dibedakan dari lelaki yang telah baligh dengan cara diketahui atau yang lainnya. Ketentuan ini ketika mereka (anak kecil) tidak mendahului mendapatkan shaf awal. Jika mereka mendahului pada shaf awal (dari orang baligh) maka mereka lebih berhak untuk menempati shaf awal dari lelaki yang telah baligh. Maka mereka tidak boleh diusir dari shaf awal karena mereka masih satu jenis (laki-laki). Berbeda halnya bagi khuntsa (orang yang berkelamin ganda) atau perempuan.” 

ـ (ثم بعدهم وان لم يكمل صفهم النساء) للخبر الصحيح ليلينى منكم أولوا الاحلام والنهى اى البالغون العاقلون ثم الذين يلونهم ثلاثا ومتى خولفا لترتيب المذكور كره وكذا كل مندوب يتعلق بالموقف فإنه يكره مخالفته وتفوت به فضيلة الجماعة كما قدمته فى كثير من ذلك

“Lalu yang menempati shaf dibelakang anak kecil laki-laki, meskipun shaf mereka tidak penuh, adalah khuntsa, lalu setelah khuntsa adalah orang perempuan, mekipun shafnya khuntsa tidak penuh. Hal ini berdasarkan hadis shahih “hendaknya mengiring-ngiringi barisan kalian (imam) orang-orang yang telah baligh, lalu setelah itu orang-orang yang mengiringi kalian” (kata-kata ini diucapkan tiga kali oleh Rasulullah). Ketika ketentuan tertibnya shaf di atas dilanggar maka hukumnya makruh. Begitu juga kemakruhan ini juga berlaku pada melanggar segala kesunnahan yang berhubungan dengan tempat berdiri. Kemakruhan ini dapat menghilangkan fadhilah jama’ah, seperti yang telah saya (Mushannif) jelaskan dalam berbagai keterangan yang berkaitan dengan hal ini.” (Syekh Mahfudz at-Turmusi, Mauhibah dzi al-Fadhal Hasyiyah at-Turmusi, Juz 3, Hal. 59-62)

Maksud dari “anak kecil” dalam pembahasan shaf tersebut bermakna umum, sehingga mencakup seluruh anak yang masih belum baligh, baik itu sudah tamyiz (bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya) ataupun belum tamyiz (belum bisa membedakan hal yang baik dan buruk bagi dirinya). 

Namun ketentuan penempatan shaf di atas berubah ketika keadaan anak kecil sangat agresif dan hanya dapat shalat dengan tenang ketika bersanding dengan orang tuanya atau orang lain yang ditakutinya. Yakni, sekiranya anak kecil itu shalat berada jauh dari pengawasan mereka maka ia akan berpotensi ramai sendiri atau mengganggu (tasywis) terhadap jamaah lain. Dalam keadaan demikian sebaiknya ia ditempatkan di samping orang tuanya atau orang yang ditakutinya. 

Pengecualian lain juga berlaku ketika keadaan anak kecil masih belum tamyiz dan butuh pendampingan, seperti anak yang masih berumur sekitar dua atau tiga tahun yang masih belum berani jauh dari jangkauan orang tuanya. Hal yang paling maslahat dalam hal ini adalah menyandingkan anak kecil tersebut dengan orang tua atau orang lain yang biasa menjadi tumpuannya, agar anak kecil tidak merasa khawatir ketika jauh dari orang tuanya. Lebih maslahat lagi ketika orang tua dari dua anak kecil dari kategori di atas agar mengalah untuk menempati posisi shaf di belakang laki-aki dewasa, dengan begitu ia dapat mengontrol anaknya sekaligus menjalankan anjuran penempatan shaf bagi anak kecil secara benar. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa posisi shaf yang benar bagi anak kecil adalah berada di belakang laki-laki dewasa, sekiranya laki-laki dewasa diprioritaskan agar menempati shaf yang berada di depan dan shaf-shaf yang mengiringinya. Baru setelah itu anak kecil ditempatkan pada shaf di belakangnya atau sejajar dengan shaf laki-laki dewasa ketika memang isi shaf tidak penuh. Ketentuan demikian dapat berubah ketika keadaan anak kecil akan ramai atau masih butuh pendampingan orang lain maka baiknya adalah bersanding dengan orang yang menjadi tumpuannya. 

Bagi para takmir masjid hendaknya memperhatikan dan mengamalkan ketentuan ini, agar shalat berjamaah para makmum yang shalat berjamaah di masjid benar-benar mendapat fadhilah shaf sekaligus fadhilah shalat berjamaah secara sempurna. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)

Amalan-Amalan Bulan Sya'ban

Bagaimana posisi imam dan makmum dalam shalat jenazah yang menyalatkan hanya dua orang? Jazakumullahu khairan.

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Sebagian ulama berpendapat, jika yang berjamaah menyalati jenazah adalah dua orang lelaki, keduanya berjamaah dengan dua shaf; imam berdiri sendiri di depan dan makmum berdiri sendiri di belakangnya, bukan satu shaf dengan berdiri sejajar seperti halnya pada shalat-shalat lainnya. Ini pendapat yang dipilih oleh al-Albani dalam kitab Ahkamul Jana’iz (hlm. 128).

Pendapat ini berdalil dengan hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma,

أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ دَعَا رَسُوْلَ اللهِ إِلَى عُمَيْرِ بْنِ أَبِيْ طَلْحَةَ حِيْنَ تُوُفِّيَ، فَأَتَاهُ رَسُوْلُ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ فِيْ مَنْزِلِهِمْ، فَتَقَدَّمَ رَسُوْلُ اللهِ وَكَانَ أَبُوْ طَلْحَةَ وَرَاءَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ وَرَاءَ أَبِيْ طَلْحَةَ، وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ غَيْرُهُمْ

“Sesungguhnya Abu Thalhah mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah ‘Umair bin Abi Thalhah ketika wafatnya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya dan menyalatinya di rumah mereka, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maju ke depan, sedangkan Abu Thalhah di belakangnya dan Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah, tidak ada orang lain selain mereka.” (HR . al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabarani)

Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz (hlm. 126).

Al-Albani semakin memperkuatnya dengan hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh Ahmad yang semakna dengannya.

Sebagian fuqaha Hanabilah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk berpendapat disyariatkan bagi makmum bershaf seorang diri untuk merealisasikan tiga shaf saat menyalati jenazah.

Maksudnya, jika yang hadir Cuma tiga orang, lebih utama bershaf sendiri-sendiri; shaf imam, satu makmum di belakang imam, dan satu makmum di belakang makmum tersebut.

Ibnu Rajab al-Hanbali menukilnya sebagai pendapat al-Qadhi Abu Ya’la dan Ibnu ‘Aqil. Begitu pula al-Mardawi dalam kitab al-Inshaf menukil hal yang sama dari sebagian fuqaha Hanabilah tersebut.

Adapun mazhab Hanbali yang merupakan pendapat jumhur fuqaha Hanabilah—sebagaimana ditegaskan dalam kitab al-Inshaf—menyatakan tidak boleh dan tidak sah seorang makmum bershaf seorang diri secara mutlak, yakni baik pada shalat fardhu, shalat sunnah, maupun shalat jenazah. Walau dengan alasan ingin merealisasikan tercapainya tiga shaf dalam pelaksanaan shalat jenazah—yang menurut mazhab Hanbali disunnahkan berjamaah tiga shaf pada shalat jenazah—tetapi jika tiga shaf itu hanya dapat direalisasikan dengan bershaf sendiri-sendiri, hal itu tidak sah.

Pendapat ini yang benar, insya Allah, kendati tidak ada nash (dalil langsung dalam masalah ini) yang tsabit (tetap) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun hadits yang diriwayatkan sebagai nash dalam masalah ini adalah hadits yang keliru. Dalam kitab Fathul Bari, syarah hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa dia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kuburan, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalati jenazah yang sudah terkubur itu dari atas kuburannya dan para sahabat bershaf di belakangnya, Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Hadits ini telah dikeluarkan pula oleh ad-Daraquthni dari jalan riwayat Syarik dari asy-Syaibani dengan sanad tersebut. Dia mengatakan pada haditsnya,

.فَقَامَ فَصَلَّى عَلَيْهِ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِيْنِهِ

“Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menyalatinya, kemudian aku berdiri (sejajar) di sebelah kirinya. Beliau lalu memindahkanku ke sebelah kanannya (sejajar dengannya).”

Ini adalah lafadz tambahan yang ganjil/keliru. Aku tidak mengetahui rawi lain yang menyebutkannya selain Syarik padahal dia bukan hafizh (penghafal hadits). Seandainya riwayat ini benar, tentulah akan dijadikan dalil bahwa sifat susunan shaf pada shalat jenazah sama dengan sifat susunan shaf pada shalat-shalat lainnya. Dalam masalah ini, sahabat-sahabat kami (fuqaha Hanabilah –pen.) telah berbeda pendapat.”

Kemudian Ibnu Rajab menukil pendapat sebagian fuqaha Hanabilah yang menyatakan sama dengan sifat shaf pada shalat fardhu dan itu adalah lahiriah ucapan al-Imam Ahmad rahimahullah. Ini yang telah kami sampaikan di atas sebagai mazhab Hanbali.

Ibnu Rajab juga menukil pendapat sebagian fuqaha Hanabilah lainnya yang telah kami sampaikan pula di atas.[1] Jadi, yang menjadi dalil dalam masalah ini adalah keumuman makna hadits-hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sifat susunan shaf dalam shalat berjamaah.

Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa jika shalat berjamaah didirikan oleh dua orang lelaki saja, imam dan makmum berdiri sejajar dalam satu shaf; imam di sebelah kiri dan makmum di sebelah kanannya.

Hadits-hadits tersebut adalah:

  1. Hadits Jabir radhiallahu ‘anhu yang meriwayatkan safarnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada safar itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat, Jabir radhiallahu ‘anhu meriwayatkan,

ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ فَأَخَذَ بِيَدِيْ فَأَدَارَنِيْ حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُوْلِ اللهِ، فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ  بِيَدِنَا جَمِيْعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

“Lalu aku datang hingga berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sejajar dengannya), lantas beliau memegang tanganku dan menggeserku ke sebelah kanannya (sejajar dengannya). Selanjutnya datang Jabbar bin Shakhr, lalu dia berwudhu, kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (sejajar dengannya), lantas Rasulullah memegang tangan kami berdua dan mendorong kami (ke belakang) hingga beliau memosisikan kami di belakangnya.” (HR. Muslim)[2]

  1. Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa ia pernah bermalam di rumah khalahnya (bibinya), Maimunah radhiallahu ‘anha yang merupakan salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun melaksanakan shalat malam.

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

.فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَجَعَلَنِيْ عَنْ يَمِينِهِ

“Kemudian aku datang dan berdiri di sebelah kirinya (sejajar dengannya), lantas beliau menggeserku ke sebelah kanannya (sejajar dengannya).” (Muttafaq ‘alaih)

Kaidah syariat menyatakan bahwa hukum yang berlaku pada shalat wajib berlaku pula pada shalat sunnah, kecuali ada dalil yang membedakan. Begitu pula sebaliknya, hukum yang berlaku pada shalat sunnah berlaku pula pada shalat wajib, kecuali ada dalil yang membedakan.

Artinya, keumuman makna hadits-hadits ini menunjukkan hukum yang sama untuk sifat susunan shaf dalam shalat berjamaah pada seluruh jenis shalat; shalat wajib, shalat sunnah, dan shalat jenazah.

Pendalilan dengan keumuman makna hadits-hadits ini lebih kuat—insya Allah—daripada pendalilan pendapat pertama dengan hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma dan hadits Anas radhiallahu ‘anhu yang keduanya memiliki kelemahan dari segi riwayat.

Benar, hadits ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma telah dinyatakan sahih oleh sebagian ahli hadits. Al-Hakim menyatakannya sahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim, dibenarkan oleh adz-Dzahabi. Al-Muhaddits al-Albani dalam Ahkam al-Jana’iz meluruskan bahwa hadits ini sahih menurut syarat Muslim saja[3].

Namun, guru besar kami al-Muhaddits Muqbil Al-Wadi’i menyatakan hadits ini dha’if (lemah) dalam Tatabbu’ Auham al-Hakim[4] dengan alasan sanadnya mursal[5], karena ‘Abdullah bin Abi Thalhah radhiallahu ‘anhuma adalah sahabat kecil. Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha mengandungnya ketika Perang Hunain, sebagaimana dalam Tahdzib at-Tahdzib.

Artinya, dia belum mumayyiz (berakal) pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga belum paham dengan apa yang terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jadi, dia memiliki kemuliaan persahabatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi riwayatnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terputus (mursal) dan hukumnya seperti mursal tabi’i (murid sahabat).

Adapun hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu sanadnya dha’if (lemah), karena pada sanadnya ada periwayat lemah bernama ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari[6] dan periwayat majhulah (tidak dikenal) bernama Ummu Yahya[7].

Kesimpulannya, pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan sifat susunan shaf pada shalat jenazah sama dengan shalat-shalat lainnya. Jika shalat berjamaah didirikan oleh dua orang lelaki saja, imam dan makmum berdiri sejajar dalam satu shaf; imam di sebelah kiri dan makmum di sebelah kanannya.

Wallahu a’lam.

[1] Lihat kitab Fathul Bari, syarah kitab al-Adzan, Bab “Wudhu’i ash-Shibyan” (8/24—25) karya Ibnu Rajab dan al-Inshaf karya al-Mardawi (2/289—290) dan (2/515).

[2] Adapun amalan Jabbar bin Shakhr radhiallahu ‘anhu pada hadits ini, hal itu karena pada mulanya disyariatkan bagi imam yang berjamaah dengan dua orang atau lebih agar berdiri satu shaf. Namun, hukum tersebut mansukh (dihapus) dengan hukum baru yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini, yaitu imam berdiri sendiri di depan dan para makmum (minimal dua lelaki) bershaf di belakangnya.

[3] Karena al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits ‘Imarah bin Ghuzayyah kecuali dalam bentuk ta’liq, yaitu dengan membuang sanadnya sehingga tidak termasuk hadits musnad yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.

[4] Lihat kitab Tatabbu’ Auham al-Hakim al-Lati Sakata ‘Alaiha adz-Dzahabi fi al-Mustadrak (1/513—514).

[5] Sanad yang mursal adalah sanad yang terputus antara periwayat tabi’i (murid sahabat) dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tabi’i tidak mendapati zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[6] Lihat kitab Taqrib at-Tahdzib, dan ini salah satu dari faedah yang kami dapatkan dari guru besar kami al-Muhaddits al-Imam Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari berderajat dha’if. Walhamdulillah.

[7] Al-Haitsami berkata dalam Majma’ az-Zawa’id (3/52, no. 4168, Maktabah Syamilah), “Diriwayatkan oleh Ahmad. Pada sanadnya ada Ummu Yahya dan aku tidak menemukan seorang pun yang menyebutkan biografinya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata dalam Ta’jil al-Manfa’ah bi Zawa’id Rijal al-Aimmah al-Arba’ah (1/564, Maktabah Syamilah), “Ummu Yahya tidak dikenal dan yang meriwayatkan darinya adalah ‘Abdullah bin ‘Umar al-’Umari.”

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA