Jelaskan lembaga pendidikan Islam dan sikap dalam menghadapi tantangan modernisasi

Oleh: Dra.Rokiba Hasibuan, MA STAI UISU PEMATANG SIANTAR

Email:

Abstract Moral education is an important forum to address the issue of moral forming beings better. The emphasis of moral education in Islamic education is clear. This is because the Islamic Education aims to build and spawned beings as servants and caliphs of Allah on earth. This article discusses some of the problems associated with the current moral element in the globalization era. Of course, the impact of the development period will greatly affect the

character of each of these individuals. Thus it is very important in the world of education to apply Islamic education component.

1. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai globalisasi, pada umumnya banyak yang tidak mengetahui atau memahami makna globalisasi yang sebenarnya. Globalisasi sering dikaitkan dengan modernisasi dan teknologi canggih. Namun persoalannya ialah sejauh manakah globalisasi membawa arus modernisasi dan teknologi canggih yang sejajar dengan aturan dan tuntutan Islam?.

Globalisasi bertujuan untuk mensosialisasikan pola atau sistem tertentu yang dimiliki oleh sesuatu negara atau kelompok sehingga mempengaruhi seluruh dunia (Yusof al-Qardhawi, 2001). Globalisasi juga disebut dengan berbagai istilah seperti borderless world, global village dan open sky policy. Globalisasi bukan hanya mempengaruhi perubahan dalam bidang ekonomi, politik, sosial tetapi juga mempengaruhi bidang pendidikan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Mohd. Kamal Hassan (2003) yaitu: The phenomenon of globalization has transformed not only world trade, communications and economics in the later part of the last century but is having a profound impact on education at the beginning of this millennium.

Dari definisi di atas setidaknya terdapat point yang dapat diambil, terkait dengan pengertian/ciri-ciri globalisasi.
Pertama, adanya penyatuan umat manusia yang melampaui batas negara, bangsa, suku, ras, dan agama.

Dengan kata lain, globalisasi adalah menjadikan dunia tidak terbatas (borderless). Semua keperluan manusia dapat dipenuhi dengan melampaui ruang dan waktu. Dunia komunikasi dan teknologi/IT memainkan peran yang cukup signifikan baik dalam pemerintahan, bisnis, dan kemanusiaan. Kedua adalah krisis identitas. Semakin mudahnya penyebaran manusia ke berbagai pelosok dunia ternyata menciptakan proses asimilasi (penyesuaian) dan akulturasi budaya yang pada gilirannya menghilangkan keaslian budaya setempat. Globalisasi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan, baik aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain termasuk pendidikan. Proses globalisasi yang sedemikian berpengaruh bagi kelangsungan perkembangan identitas tradisonal dan nilainilai agama, tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja. Kalangan agamawan, pemikir, pendidik, bahkan penguasa harus merespon secara konstruktif terhadap

berbagai persoalan yang ditimbulkan sebagai akibat dari pengaruh globalisasi ini. Namun demikian tidak bisa kita pungkiri, bahwa globalisasi juga mempunyai pengaruh yang positif bagi kehidupan umat manusia. Kita ketahui bahwa globalisasi juga erat kaitannya dengan era informasi dan teknologi canggih. Era global atau informasi menjadikan semua transparan. Apa yang terjadi dibelahan dunia yang satu, di belahan dunia yang lain dapat dengan cepat diketahui. Hubungan seseorang dengan yang lainnya (teknologi komunikasi) menjadi sedemikian dekat, gampang, dan mudah. Informasi, pengetahuan, dan yang lainnya dengan mudah kita dapatkan dari berbagai media baik radio, televisi, internet, koran, majalah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, banyak hal yang dapat mendorong pendidikan untuk meningkatkan kualitas dirinya, baik dalam hal kelembagaan, tujuan, kurikulum, metode, dan lain sebagainya. Maka dari itu, dalam menyikapi pengaruh dari globalisasi tersebut umat Islam terbagi ke dalam tiga kelompok yang berbeda, yaitu menerima secara mutlak, menolak sama sekali, dan pertengahan, yakni menyikapinya secara proporsional.

Tantangan pendidikan islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan islam sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan, baik secara eksternal maupun internal. Tantangan pendidikan di zaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Secara internal, umat islam pada zaman klasik masih segar (fresh), masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran islam masih sangatlah dekat, serta semangat berijtihad dalam berjuang memajukan ajaran islam fiisabilillah masih sangat kuat. Secara eksternal, umat islam masih belum mampu menghadapi ancaman yang serius dari negara-negara lain yang sudah maju. Tantangan pendidikan islam di zaman sekarang, selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar di dunia sebagaimana negara-negara maju, seperti Amerika, Jepang, China, dan Eropa. Juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tidak ubahnya seperti badai besar (turbulence) atau tsunami. Pendidikan Islam diibaratkan sebagai dinamisator dari “mesin”. Bila pendidikan Islam mengambil posisi antiglobal, maka “mesin” tersebut tidak akan stationaire alias macet, dan pendidikan Islam pun mengalami intellectual shut down atau penutupan intelektual. Sebaliknya, bila pendidikan Islam terseret oleh arus global, tanpa daya

lagi identitas keislaman sebuah proses pendidikan akan dilindas oleh mesin tadi. Karenanya, pendidikan Islam menarik ulur global, yang sesuai ditarik bahkan dikembangkan, sementara yang tidak sesuai di ulur, dilepaskan atau ditinggalkan. Pendidikan sebagai bagian dari investasi jangka panjang (long-term investmen) untuk penyiapan generasi bangsa yang tangguh sesuai dengan jati diri bangsa dan komitmen dengan amanat para founding father bangsa ternyata mengalami persoalan yang tidak kalah rumitnya.

Pendidikan nasional, khususnya pendidikan Islam,lebih berkait dengan  pendidikan yang bersifat materialistik dan sekularistik. Pendidikan yang materialistik adalah buah dari kehidupan sekularistik yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh, yakni seorang „abidush shalih yang muslih. Hal ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

a) Paradigma pendidikan yang keliru. Dalam kehidupan sekuler, asas penyelenggaraan pendidikan juga sekuler. Pendidikan yang ditetapkan juga adalah buah dari paham sekularistik, yakni sekedar membentuk manusia manusia yang berpaham materialistik dan serba individualistik.

b) Kelemahan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni: 1. Kelemahan pada lembaga pendidikan formal yang tercermin dari kacaunya kurikulum serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah/kampus sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya, 2. Kehidupan keluarga yang tidak mendukung,

3. Keadaan masyarakat yang tidak kondusif.

2. PENDIDIKAN AKHLAK DAN ADAB Agama Islam sebagai ad-Deen atau way of life amat menekankan kepada pendidikan akhlak.7 Sesuai dengan hadis Rasulullah s.a.w yang bermaksud “Agama itu adalah nasihat” (Sahih Muslim, Jilid 1, Bil. 43); nasihat tentang yang betul dan yang salah. Tujuan utama perutusan Nabi Muhammad SAW oleh Allah SWT kepada manusia juga memperlihatkan kepentingan nilai akhlak tau moral dalam Islam, sebagaimana sabda baginda Rasulullah SAW yang bermaksud: “Sesungguhnya aku diutuskan untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Oleh itu, menurut kaca mata Islam nilai akhlak adalah sebagian daripada agama Islam itu sendiri. Dalam Islam manusia yang paling tinggi statusnya adalah manusia yang paling mulia akhlaknya dan tinggi sifat taqwanya. Malah, tidak sempurna iman seorang muslim itu sekiranya dia tidak memiliki nilai- nilai moral dan akhlak yang mulia dan terpuji. Banyak hadis yang menunjukkan kaitan iman dengan akhlak. Misalnya,“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya dan “Tidak sempurna iman seseorang itu sehingga dia mengasihi saudaranya sebagaimana dia mengasihi dirinya sendiri” (Sahih Bukhari, Jilid 1, Bil. 10). Peran keimanan umat Islam sangat diutamakan karena merupakan asas yang menentukan amalan dan perilakunya diterima oleh Allah SWT. Tidak ada gunanya seseorang itu berakhlak atau bermoral tinggi, namun dia tidak mempercayai dan patuh kepada peraturan dan hukum Allah SWT.

Selain daripada memahami, menghayati dan engamalkan akhlak, umat Islam dianjurkan supaya mengamalkan adab-adab mulia dalam kehidupan. Dalam akhlak kandungannya ialah adab, Adab yang kata akarnya addaba bermaksud mengajarkan adab. Adab juga dimaksud dengan adat kebiasaan.9 Dimana menggambarkan satu kebiasaan, budi pekerti dan perilaku yang dianggap sebagai contoh (Marwan Ibrahim al-Kaysi, 1997).

Dalam konteks Islam, sudah semestinya adab-adab yang digariskan adalah bersumberkan wahyu Ilahi. Namun, pelaksanaan adab mengikuti keadaan dan tuntutan masyarakat setempat asalkan ia tidak bertentangan dengan prinsip dan syariat Islam. Kesimpulannya, aspek akhlak sangat ditekankan dalam Islam, dan merupakan sebagian daripada agama Islam itu sendiri. Untuk memelihara kehidupan yang harmoni, maka penekanan sudut keagamaan dan kerohanian amatlah penting terutama dalam penekanan iman yang berlandaskan tauhid kepada Allah SWT. Kuat atau lemahnya iman seseorang dapat diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya.10 Iman yang kuat akan mewujudkan akhlak yang baik dan mulia, sedangkan iman yang lemah melahirkan akhlak yang buruk dan keji (Mohd.Kamal Hassan, 1987). Maka jelas di sini, peranan agama dan aspek rohani perlu ditekankan dalam bentuk pendidikan akhlak dan moral. Pendidikan akhlak berdasarkan nilai agama lebih sempurna dan menjamin melahirkan insan yang berkualitas sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Walaupun telah dijelaskan bahwa Islam mengambil peranan iman

dan rohani atau agama dalam pendidikan akhlak, namun terdapat berbagai pandangan yang menolak kepentingannya. Misalnya, masyarakat Barat kini tidak pasti akan peranan agama berhubung dengan pendidikan nilai, moral dan akhlak. Tidak keterlaluan jika dikatakan “masyarakat Barat yang tidak beriman”, yang menolak kepentingan agama secara menyeluruh. Di Indonesia, berbagai langkah telah diambil untuk menyadarkan masyarakat kembali kepada nilai-nilai mulia. Ini merupakan suatu petanda yang baik bagi pendidikan nilai moral dan pendidikan agama.

3. PENDIDIKAN ISLAM DAN KOMPONEN AKHLAK Pelaksanaan kurikulum Pendidikan Islam dapat dilihat dari perkembangan Islam di negara ini. Umumnya terdapat empat jenis sistem pendidikan Islam. Pertama, pembelajaran di rumah guru. Struktur dan kurikulum pendidikan Islam di rumah guru menekankan kepada pengajian membaca Al- Qur’an, disamping ilmu lain yang berkaitan dengan keagamaan seperti tawhid, fiqah, tasawwuf, sejarah Islam dan pengajaran yang mendatangkan kebaikan.11 Selain pendidikan di rumah guru, yang kedua ialah pengajian di institusi pondok yang dikenali sebagai pendidikan tradisional dan merupakan satu legacy  pendidikan Islam yang tertua dan berpengaruh dalam melahirkan pelajar

berpengetahuan agama, berakhlak tinggi serta dapat membimbing masyarakatnya (Ghazali Basri, 1991).

Sebenarnya istilah “pondok” berasal daripada perkataan Arab, funduq yang bermaksud rumah-rumah kecil tempat tinggal, untuk empat hingga lima orang pelajar bagi setiap rumah. Pondok-pondok itu didirikan atas usaha alim ulama dan masyarakat setempat.Tujuan utama adanya institusi pondok ialah melahirkan masyarakat yang dapat menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan sempurna.Kurikulum pengajian pondok lebih menumpukan kepada bidang keagamaan dan pengajarannya lebih bersifat penghafalan dan pemahaman. Dan jenis ketiga ialah sistem pendidikan berkonsepkan sistem madrasah yang lebih sistematik dan formal. Merupakan satu alternatif yang menarik perhatian masyarakat karena taraf pelajaran di madrasah tinggi dan kurikulumnya bersifat lebih komprehensif dan telah dimasukkan beberapa mata pelajaran lain dalam pendidikan Islam. Ini sesuai dengan pendapat kaum muda yang berpendapat bahawa umat Islam tidak seharusnya mementingkan akhirat semata-mata, tetapi perlu maju dalam aspek sosioekonomi dan politik agar menjadi umat yang berdaya saing dan progresif. Pertumbuhan madrasah sesungguhnya disebabkan anggapan bahawa sistem pondok tidak mampu berkembang mengikut kehidupan serba moden, di samping alasan untuk menyaingi pendidikan sekular yang ditumbuhkan oleh pendakwah Kristian seperti Sekolah Convent.Namun begitu, perlu ditegaskan bahawa kemunculan madrasah tidak melupuskan atau melemahkan sistem pondok yang ada; bersama-sama kedua-duanya ingin mengukuhkan kedudukan pendidikan Islam. Bahkan, kedua sistem pondok dan madrasah memainkan peranan penting dalam memelihara identitas Islam. Beberapa ahli berpandangan bahwa institusi pondok untuk masyarakat sebagai acuan bagi budaya dalam pendidikan dalam masyarakat Islam. Demi pendidikan Islam, semua sistem pendidikan yang terlibat memiliki kelebihan masing-masing dan patut dimanfaatkan oleh semua pihak. Sepanjang pelaksanaan kurikulum Pendidikan Islam (sebelumnya disebut Pengetahuan Agama Islam), dipantau mutu pelajaran Pengetahuan Agama Islam di sekolah-sekolah. Pengenalan komponen adab dan akhlak Islam dalam kurikulum Pendidikan Islam merupakan suatu usaha untuk memperkaya

pengajaran dan pembelajaran akhlak di sekolah. Yang antara lainnya untuk melahirkan pelajar yang mempunyai ciri-ciri iman yang kukuh dan taqwa sebagai benteng pertahanan diri, menguasai ilmu fardu’ain dan fardu kifayah, sebagai pedoman dan amalan hidup, mengamalkan tuntutan fardu’ain dan fardu kifayah serta tanggungjawab ibadah dan berakhlak mulia sebagai pelengkap diri. Begitu juga, perlu ditegaskan bahwa penampilan diri guru di sekolah memainkan peranan penting dalam menerapkan nilai-nilai akhlak Islam.

Dalam hal ini, guru atau pendidik perlu bertindak sebagai role model dan mengamalkan nilai-nilai moral dan adab yang baik untuk diteladani oleh pelajar. Sesungguhnya guru adalah pendakwah yang paling berkesan. Guru-guru
juga perlu untuk tidak hanya menceritakan ideological legend dalam Islam tetapi membicarakan model kehidupan dalam dunia (living models in real life). Guru tidak hanya menyampaikan fakta dan pengetahuan tetapi juga makna kemanusiaan dan teknologi di kalangan pelajar agar dapat menghadapi dan menangani zaman globalisasi dengan bijaksana.

KESIMPULAN Pembahasan di atas memperlihatkan pentingnya pendidikan akhlak dalam sistem pendidikan kebangsaan. Pendidikan Islam yang secara langsung berperanan mendidik dan membentuk individu muslim yang berakhlak dan beriman sentiasa mengalami perubahan dalam kebaikan dan meningkatkan pendidikan akhlak dan moral pelajar.Walaupun begitu, pendidikan akhlak dan moral yang dilaksanakan perlu dikaitkan khususnya dengan nilai Islam. Tanpa dilandasi dengan ini, insan yang bakal dilahirkan pasti tidak mempunyai kekuatan rohani dan mudah dihanyutkan oleh arus modernisasi yang bertolak belakang dengan prinsip Islam. Mereka akan mudah putus asa apabila berhadapan dengan sesuatu konflik dan masalah kerana tidak dilandasi agama yang memberi keyakinan tentang kekuasaan Allah SWT. Selain itu, pendidikan akhlak perlu menekankan kepada aspek penghayatan pelajar bukan hanya mementingkan aspek kognitif saja. Justru itu, suatu langkah yang lebih perlu difikirkan dan diambil dari segi akhlak dan moral. Suasana yang kondusif ke arah pembentukan akhlak dan moral yang baik perlu diwujudkan di sekolah, dalam keluarga dan masyarakat. Hanya dengan suasana yang saling mendukung ini, pelajar-pelajar yang berakhlak dan bermoral dapat dilahirkan. Di sekolah, selain pendidikan nilai Islam yang perennial, pelajar hendaklah menghayati pendidikan sepanjang hayat, kehidupan kekeluargaan, budaya dan ketamadunan Islam (Islam Hadhari), dan sebagainya. Tidak lupa juga psikologi dan psikoterapi Islam termasuk motivasi, konseling secara Islam dalam melengkapkan Pendidikan Islam. Pendidikan Islam perlu membalas secara proaktif dan kreatif terhadap fenomena globalisasi. Ini melibatkan juga cara berfikir dan ijtihad umat Islam pada masa kini dengan menerapkan perubahan dan modernisasi yang hadir

tanpa meninggalkan prinsip dan syariat Islam. Sesungguhnya keberhasilan seorang pelajar bergantung kepada pencapaian akademik dan kemuliaan akhlak dan moral. Ukuran keberhasilan seorang pelajar perlu diperjelaskan. Tidak hanya aspek akademik saja, bahkan juga aspek akhlak dan moral. Akhirnya, demi menjadikan hasrat murni yaitu melahirkan insan yang cemerlang, gemilang dan terbilang serta berilmu, beriman dan beramal, maka usaha dan komitmen dari berbagai pihak sangat diperlukan. Tanggungjawab kedua aspek dalam kehidupan yaitu amar makruf nahi mungkar perlu dilaksanakan secara menyatu dan berkesan.

Daftar Pustaka Abdul Mujib. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana; Prenadamedia Group, 2006. Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Arifin. M. Filsafat Pendidikan Islam, t.t.: Bina Aksara, 1991 Hittleman, James H. dan Norani Othman. ed.. Capturing Globalization. New York: Routledge, 2001. Ghazali Basri, (1991). Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Kebangsaan: Satu Analisis. Jurnal Pendidikan Islam, Jilid 4 Greenland, J. & Robinson, (1980). Problem of Teaching Moral Values in a Changing Society, International Review of Education, XXVI (2): 97-101. Ismail, Mohammad Saleh. “IT Usage: Challenge and Opportunies in Globalisation”, Symbiosis: Technology Park Malaysia, Oktober. 2001. M. Athiyah A. Al Tarbiyah Al Islamiyah Wafasilatuha. t.t.:Isa Al Babi Al Halabi, 1975. Ma’arif, Syamsul. Revitalisasi Pendidikan Islam. cet.1. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Majid, Abdul. Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012. Minhaji, Akh. dan Kamaruzzaman BA. Masa Depan Pembandingan Ilmu di Pergurua Tinggi agama Islam. cet. 1. Jogjakarta: Ar-ruzz, 2003. Mohammad, Mahathir. Globalisation and the New Realities. Selagor: Pelanduk, 2002. Muhaimin. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Muhaimin. Rekonstruksi Pendidikan Islam; dari paradigma pengembangan, manajmen kelembagaan, kurikulum hingga strategi pembelajar.cet. 2. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Marwan Ibrahim al-Kaysi, (1997). Adab Sopan dan Budi Pekerti Dalam Islam. (Terj.) Mohd. Kamal Hasan, (1987). Peranan Akhlak Dalam Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam. Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 2001 Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. cet. 1. Bandung: Angkasa, 2003. Nizar, Samsul. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Nucci, L., (1987). Synthesis of Research on Moral Development.Educational Leadership. February, 89-92. Omar Mts. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Presma UIN Kalijaga. Pendidikan Islam & Tantangan Globalisasi: buah pikiran seputar filsafat, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004.

Redja M. Filsafat Pendidikan Islam: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda, 2001.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA