Jelaskan bagaimana Indonesia mempertahankan kemerdekaan pada masa awal kemerdekaan

Monumen Bandung Lautan Api. Foto: Istimewa

Jakarta:  Pascakemerdekaan, Indonesia masih mengalami banyak peperangan untuk mempertahankan kedaulatan negara.  Yuk kita simak artikel di bawah ini untuk mengenal macam-macam perjuangan bersenjata untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, seluruh negara jajahan Jepang di Asia Tenggara diambil alih oleh pasukan sekutu, yaitu AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies). Tugas AFNEI adalah menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan tentara Sekutu yang ditahan Jepang, melucuti serta mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan ke negerinya. Dikutip dari laman Ruangguru, kedatangan tentara sekutu ternyata juga disertai dengan kedatangan NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang bertujuan ingin kembali menegakkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Tentara AFNEI bersama NICA sampai ke Indonesia pertama kali pada tanggal 16 September 1945 di Tanjung Priok.

Kemudian, Indonesia melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kemerdekaan.  Salah satunya dengan melalui perjuangan bersenjata. 

1. Pertempuran Surabaya

Pertempuran arek-arek Surabaya dengan pihak Sekutu bersama NICA diawali oleh insiden bendera di Hotel Yamato, Surabaya, tanggal 19 September 1945. Salah seorang tentara Belanda menurunkan bendera merah putih lalu menggantinya dengan bendera Belanda. Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Surabaya. Arek-arek Surabaya menurunkan bendera Belanda dan merobek warna biru agar menjadi warna bendera Indonesia. Selain peristiwa perobekan bendera, kedatangan pasukan Sekutu ke Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S. Mallaby memicu kemarahan arek-arek Surabaya. Hal ini terjadi karena tentara Sekutu membebaskan tahanan di penjara di Kalisosok, menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, dan Gedung Internatio. Para pemuda pun melawan dan menimbulkan pertempuran bersenjata yang menewaskan Brigjen A.W.S. Mallaby. Peristiwa ini kemudian membuat hubungan Inggris dan Indonesia merenggang.  Sehingga Inggris mengeluarkan ultimatum agar para pemuda menyerah paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00 WIB. Namun, para pemuda Surabaya tetap bertempur membela tanah kelahirannya.

Baca juga:  Fisika Kelas 9: Mengapa Bisa Terjadi Petir?

Tokoh yang sangat berperan dalam membakar semangat pada pemuda saat itu adalah Bung Tomo. Hampir tiga minggu para pemuda mempertahankan Surabaya hingga banyak korban jatuh akibat pertempuran ini. Untuk mengenang peristiwa ini kemudian setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Pertempuran Ambarawa disebabkan karena adanya penindasan dan teror terhadap penduduk Magelang yang menimbulkan perlawanan dari TKR. Perlawanan ini terjadi sejak 23 November 1945 hingga 12 Desember 1945, dengan dipimpin oleh Imam Adrongi dan Letkol M. Sarbini.

Pertempuran Ambarawa berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dan NICA ke Ambarawa, lho! Letkol Isdiman, Mayor Suharto, dan Kolonel Sudirman juga ikut terlibat dalam pertempuran Ambarawa. Pasukan Sekutu dan NICA yang terdesak pada tanggal 15 Desember 1945 akhirnya meninggalkan daerah Ambarawa dan menandai berakhirnya pertempuran Ambarawa. Untuk mengenang peristiwa ini setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri.

Pada bulan Oktober 1945, pasukan Sekutu dan NICA mulai datang serta melakukan pendudukan terhadap kota Bandung. Pasukan Sekutu dan NICA segera mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Bandung untuk menyerahkan senjata milik mereka, sehingga memicu kemarahan. Pertempuran bersenjata kemudian berlangsung selama kurun waktu November 1945-Maret 1946.  Puncak pertempuran terjadi ketika tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu dan NICA mengeluarkan ultimatum untuk mengosongkan kota Bandung. Komandan Divisi III Siliwangi A.H. Nasution bersama pemuda mengambil inisiatif untuk mengosongkan kota Bandung dan membakar seluruh kota beserta infrastruktur penting pemerintahan ataupun militer pada tanggal 24 Maret 1946.

Salah satu tokoh yang berperan dalam pertempuran ini adalah Moh. Toha yang harus gugur ketika berupaya meledakkan gudang mesiu milik NICA di Bandung Selatan. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Peristiwa Bandung Lautan Api.

Pertempuran Medan Area terjadi karena beberapa peristiwa. Pertama adalah insiden yang dilakukan oleh salah satu penghuni hotel di Jalan Bali, Medan tanggal 13 Oktober 1945, yang menginjak lencana merah putih. Para pemuda Indonesia yang marah kemudian menyerang hotel tersebut sehingga timbul banyak korban.  Kedua adalah adanya ultimatum dari pimpinan tentara Sekutu di Sumatera Utara, yaitu T.E.D. Kelly tanggal 18 Oktober kepada rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini memicu perlawanan antara rakyat Medan dengan sekutu. Terlebih pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Peristiwa ini menimbulkan pertempuran yang lebih besar antara rakyat Medan melawan Sekutu. Sekutu bersama NICA melancarkan aksi besar-besaran sejak 10 Desember 1945, serta mengusir dan menindas rakyat Indonesia.

Rakyat Medan merespons pada 10 Agustus 1946 dengan membentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area untuk melanjutkan perlawanan terhadap Sekutu dan NICA. Pertempuran Medan Area berakhir tanggal 1 Desember 1946 setelah pihak NICA mengajukan gencatan senjata kepada pihak Republik.

Sejak Maret 1946, Belanda berhasil menduduki beberapa daerah di Bali. Perlawanan muncul di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai dibantu oleh TRI-Laut Kapten Markadi.

Pada masa itu, Indonesia telah menyepakati perjanjian Linggarjati di mana secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa dan Madura. Ngurah Rai tetap berusaha mengusir Belanda dari Bali dengan melakukan long march dan bergerilya melawan musuh.

Puncak serangan pasukan Belanda terjadi tanggal 20 November 1946. Pasukan Belanda mengepung desa Marga tempat I Gusti Ngurah Rai bersembunyi.

Walaupun terdapat ketidakseimbangan kekuatan antara tentara Indonesia dan Belanda, I Gusti Ngurah Rai tetap bertempur hingga titik darah penghabisan. Pada 29 November 1946, Ngurah Rai gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Pertempuran sengit antara Belanda dan tentara Indonesia di Bali dikenal dengan Perang Puputan (pertempuran habis-habisan).

Editor : Citra Larasati



KONTAN.CO.ID -  Jakarta. Ada lima pertempuran besar yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia. Pertempuran tersebut terjadi untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dari penjajah yang ingin menguasai wilayah Indonesia.  Bersumber dari situs Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, kekalahan Jepang terhadap sekutu membuat Belanda kemudian bekerja sama dengan sekutu untuk merebut kembali Indonesia.  Pada tanggal 29 September 1945, pasukan sekutu, Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI), mulai mendarat di Tanjung Priok yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison.  Awalnya pasukan sekutu disambut baik oleh pihak Indonesia, namun mengetahui pasukan sekutu diboncengi oleh Netherland Indies Civil Administration (NICA), pihak Indonesia kemudian berubah curiga dan mulai melakukan perlawanan.  Pasukan NICA datang di bawah pimpinan Van Der Plass sebagai wakil Van Mook kala itu. Berikut ini rangkuman perjuangan untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Baca Juga: Mengenal sistem pernapasan manusia mulai dari struktur organ dan proses pernapasan Pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan ini terjadi saat pasukan sekutu mendarat di Semarang, Jawa Tengah.  Pasukan yang dipimpin oleh Bridjen Bethel ini mendarat pada tanggal 20 Oktober 1945 dan bergerak menuju Magelang untuk membuat kerusuhan.  Karena hal ini lah masyarakat Magelang memboikot dan menyerang pasungan sekutu yang datang. Akibat perlawanan ini, pasukan tersebut dipaksa mundur ke Ambarawa. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Kol. Soedirman melakukan pengejaran dan pengepungan di wilayah Ambarawa.  Selama empat hari yaitu pada tanggal 12-15 Desember 1945, terjadi pertempuran yang dikenal dengan nama "Palagan Ambarawa".  Pertempuran tersebut berhasil dimenangkan oleh TKR pada tanggal 15 Desember 1945. Tanggal tersebut kemudian dijadikan sebagai Hari Juang Kartika TNI-AD. Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran yang etrjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Tentara sekutu di bawah komando Brigjen A.W.S. Mallaby tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tiga hari setelahnya, yaitu pada tanggal 28 Oktober 1945, terjadi pertempuran antara pasukan sekutu dan rakyat Surabaya yang menewaskan A.W.S. Mallaby.  Tewasnya A.W.S. Mallaby membuat sekutu murka dan memberikan ultimatum terhadap rakyat.  Mereka meminta rakyat bersenjata untuk menyerahkan diri pada tanggal 9 November 1945 sebelum pukul 18.00. Jika tidak dipenuhi, sekutu akan menyerang Surabaya pada 10 November 1945.  Alih-alih menuruti perintah tentara sekutu, Bung Tomo justru membakar semangat rakyat untuk melakukan perlawanan terhadap sekutu.  Pertempuran akhirnya tidak bisa dihindari. Pada tanggal 10 November 1945, berkobar pertempuran berdarah di Kota Surabaya. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Baca Juga: Ini resep jamu yang bantu tingkatkan imun, bisa untuk hipertensi dan diabetes


 A. Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan dengan Kekuatan Senjata


www.smkkehutananrimbataruna.sch.id

PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN DENGAN KEKUATAN SENJATA

1.       Pertempuran Surabaya

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan sekutu. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasikan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional perlawanan nasional terhadap kolonialisme.

Tentara sekutu mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945, dibawah pimpinan Brigjen Aubertin Walter Sothern (A.W.S) Mallaby yang berkebangsaan Inggris. Kedatangan pasukan sekutu disambut baik oleh Gubernur Jawa Timur R.M.T.A Soeryo. Kemudian antara wakil-wakil pemerintahan RI dan Brigjen AW.S Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut :

§  Inggris berjanji mengikut sertakan Angkatan Perang Belanda

§  Disetujui kerjasama kedua belah pihak untuk menjamin keamanan dan ketentraman

§  Akan dibentuk kontak biro agar kerja sama berjalan lancar

§  Inggris hanya akan melucuti senjata jepang

Pada tanggal 26 Oktober 1945 pasukan sekutu melanggar kesepakatan terbukti melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan para tawanan Belanda diantaranya adalah Kolonel Huiyer. Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamphlet-pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad akan mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak  akan menyerahkan senjata mereka.

Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang gemilang walaupun dipihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung Karno beserta Jenderal D.C Hawthorn tiba di Surabaya. Dalam perundingan antara pemerintahan RI dengan Mallaby dicapai kesepakatan untuk menghentikan kontak senjata. Kesepakatan ini dilanggar oleh pihak sekutu.

Pada tanggal 30 Oktober 1945 terjadi pertempuran yang hebat di Gedung Bank Internatio dan Jembatan Merah. Pertempuran itu menewaskan Brigjen A.W.S Mallaby. Kematian Brigjen A.W.S Mallaby itu mejadi dalih bagi Inggris untuk menggempur rakyat Surabaya dan menuntut “menyerah tanpa syarat”.

Pada tanggal 7 November 1945, pemimpin tentara Inggris yang baru, Mayjen E.C Marsergh memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya, dengan isi ultimatumnya adalah :

§  Rakyat Surabaya harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Brigjen A.W.S Mallaby.

§  Rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata dan mengibarkan bendera putih sebagai tanda “menyerah”.

Batas waktu yang ditentukan untuk ultimatum ini adalah paling lambat tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 WIB. Jika ultimatum tidak dilaksanakan, maka pasukan Inggris akan mengerahkan pasukan infantri dengan senjata berat untuk menyerbu Surabaya dari darat, laut, maupun udara.

Ultimatum ini dirasa menghina terhadap bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena tepat pukul 22.00 tanggal 9 November 1945 rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Soeryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 November 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No. 4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya dan menciptakan pekik persatuan demi revolusi yaitu “merdeka atau mati”. Di samping itu juga merupakan titik balik bagi Belanda karena mengejutkan pihak Belanda yang tidak menyangka kekuatan RI mendapat dukungan rakyat. Rakyat Surabaya tidak takut dengan gempuran Sekutu. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. pasukan sekutu dibawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu divisi infantri sebanyak 10.000 - 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “mosquito” dan  “Thunderbolt”.

Pertempuran berlangsung selama tiga minggu. Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, maupun TKR laut dibawah komandan pertahanan Kota, Soengkono. Peristiwa 10 November ini juga tidak lepas dari peran kaum ulama. Ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, serta kyai – kyai pesanren lainnya yang mengerahkan santri – santri merekan dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan. Akibat pertempuran tersebut ± 6.000 rakyat Surabaya gugur. Pengaruh pertempuran Surabaya berdampak luas di kalangan internasional, bahkan masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB tanggal 7-13 Februari 1946.

Kota Surabaya memang hancur, tetapi pertempuran ini menunjukkan suatu semangat serta sikap pantang mundur para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang perjuangan arek – arek Surabaya, di kota ini kemudian dibangun Tugu Pahlawan dan setiap tanggal 10 November di peringati sebagai Hari Pahlawan.

2.       Pertempuran (Palagan) Ambarawa

Kedatangan sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro karena akan mengurus tawanan perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka bersama-sama NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan perang Ambarawa dan Magelang. Hal ini menimbulkan kemarahan pihak Indonesia, maka konflik bersenjata tidak bisa dihindari.

Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka tanggal 2 November 1945  Presiden Soekarno dan BrigJend Bethtel mengadakan perundingan gencatan senjata. Berikut ini 3 dari 12 butir kesepakatan antara pemerintah RI dan pihak sekutu :

§  Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang dalam rangka menyelesaikan tugas pokoknya, yaitu mengurus para tahanan, tetapi dengan jumlah yang terbatas.

§  Jalan raya antara Magelang dan Semarang tetap dibuka bagi lalu lintas tentara sekutu dan masyarakat Indonesia.

§  Sekutu tidak akan mendukung aktifitas NICA dalam badan – badan yang berada di bawah kekuasaannya.

Dalam kenyataannya pihak sekutu melanggar kesepakatannya, salah satunya adalah menambah jumlah pasukannya di Magelang. Pertempuran Ambarawa dimulai dari insiden yang terjadi di Magelang pada tanggal 26 Oktober 1945. Pada tanggal 20 November 1945 di Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pertempuran Ambarawa mengakibatkan gugurnya Letkol Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Posisi Letkol Isdiman kemudian digantikan oleh Letkol Soedirman. Kehadiran Letkol Soedirman memberikan nafas baru kepada pasukan – pasukan RI. Koordinasi diadakan kepada para komandan - komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh.

Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah  dibawah pimpinan Letnal Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa. Pasukan  Angkatan muda dibawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat  pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang sekutu di desa Lambu. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan dibenteng Willem, yang terletak ditengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Kerena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.

Pertempuran di Ambarawa sering dikenal dengan peristiwa “Palagan Ambarawa”. Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangun Monumen Palagan Ambarawa di tengah kota Ambarawa. Selain itu tanggal 15 Desember diperingati sebagai hari jadi TNI AD atau Hari Juang Kartika.

3.       Pertempuran Medan Area

Berita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hasan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oelh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatra dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu.

Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di Sumatra Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal E.T.D. Kelly. Awalnya mereka diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Akan tetapi, serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Hal ini menimbulkan konflik dengan TKR dan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) pimpinan Achmad Tahir yang merupakan bekas seorang perwira tentara sukarela.

Sebuah insiden terjadi di hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan NICA. Setelah kejadian tersebut pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan bertuliskanFixed Boundaries Medan  Area (Batas Resmi Wilayah Medan) di berbagai sudut pinggiran Kota Medan. Tulisan ini semacam “garis polisi”, yang diyakini akan menghambat pergerakan para pemuda dan TKR terhadap pasukan sekutu.

Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat  tempur. Pada bulan April 1946 pasukan inggris berhasil mendesak pemerintahan RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Laskar Rakyat Medan Area.

Selain di daerah Medan, di daerah-daerah sekitarnya juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukit Tinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwaKrueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arief. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian diseluruh Sumatra rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.

4.       Peristiwa Merah Putih di Manado

Peristiwa Merah Putih terjadi tanggal 14 Februari di Manado. Para pemuda tergabung dalam pasukan KNIL Kompeni VII bersama laskar rakyat dari barisan pejuang melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan di Manado, Tomohon, dan Minahasa. Sekitar 600 orang pasukan dan pejabat Belanda berhasil ditahan. Pada tanggal 16 Februari 1946 mereka mengeluarkan surat selebaran yang menyatakan bahwa kekuasaan diseluruh Manado telah berada di tangan Republik Indonesia. Untuk memperkuat kedudukan Republik Indonesia, para pemimpin dan pemuda menyusun pasukan keamanan dengan nama Pasukan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Mayor Waisan. 

Bendera Merah Putih dikibarkan diseluruh pelosok Minahasa hampir selama satu bulan, yaitu sejak tanggal 14 Februari 1946. Dr. Sam Ratulangi diangkat sebagai Gubernur Sulawesi bertugas untuk memperjuangkan keamanan dan kedaulatan rakyat Sulawesi. Ia memerintahkan pembentukan badan perjuangan pusat keselamatan rakyat. Dr. Sam Ratulangi membuat petisi yang ditandatangani oleh 540 pemuka masyarakat Sulawesi. Dalam petisi itu dinyatakan bahwa seluruh rakyat Sulawesi tidak dapat dipisahkan dari Republik Indonesia. Oleh karena petisi itu, pada tahun 1946, Sam Ratulangi ditangkap dan dibuang ke Serui (Irian Barat dan sekarang Papua).

5.       Peristiwa Bandung Lautan Api

Terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api diawali dari datangnya Sekutu pada tanggal 17 Oktober 1945. Pada waktu itu para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang gencar-gencarnya merebut senjata dan kekuasaan dari tangan Jepang. Oleh Sekutu, senjata dari hasil pelucutan tentara Jepang supaya diserahkan padanya. Bahkan pada tanggal 21 November 1945, TKR dan badan – badan perjuangan melancarkan serangan terhadap wilayah kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preager yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, sekutu menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia paling lambat tanggal 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga keamanan. Oleh para pejuang, ultimatum tersebut tidak diindahkan dan mendorong pasukan TRI untuk melakukan operasi “bumi hangus”. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3).

Sekutu mengulangi ultimatumnya pada tanggal 23 Maret 1945 yakni agar TRI meninggalkan kota Bandung. Menghadapi ultimatum tersebut para pejuang kebingungan karena mendapat dua perintah yang berbeda. Pemerintah RI di Jakarta yang diwakili oleh Komandan divisi III TRI Kolonel Abdul Haris Nasoetion memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung. Sementara markas TRI di Yogyakarta menginstruksikan agar Bandung tidak dikosongkan. Akhirnya para pejuang mematuhi perintah dari Jakarta. Pada tanggal 23-24 Maret 1946 para pejuang meninggalkan Bandung walaupun dengan berat hati. Namun sebelum meninggalkan kota Bandung, terlebih dahulu para pejuang Republik Indonesia menyerang ke arah kedudukan - kedudukan Sekutu sambil membumihanguskan kota Bandung bagian Selatan. Tujuannya agar Sekutu tidak dapat menduduki dan memanfaatkan sarana-sarana yang vital. Peristiwa ini dikenal dengan Bandung Lautan Api. Sementara itu para pejuang dan rakyat Bandung mengungsi ke luar kota.

Dalam peristiwa Bandung Lautan Api gugur seorang pahlawan yang bernama Moh. Toha dan Ramdan  dua milisi Barisan Rakyat Indonesia (BRI). Untuk mengabadikan terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api, seorang komposer yang bernama Ismail Marzuki menciptakan lagu “Halo - Halo Bandung”.

6.       Pertempuran Puputan Margarana

Salah satu isi perundingan Linggajati pada tanggal l0 November 1946 adalah bahwa Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda harus sudah meninggalkan daerah de factopaling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya ± 2000 tentara di Bali, ikut pula tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai Komandan Resimen Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI. Sementara itu perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati di mana Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Rakyat Bali merasa kecewa terhadap isi perundingan ini. Lebih-lebih ketika Belanda membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946 I Gusti Ngurah Rai memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan.

Konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai (yang dikenal dengan nama pasukan Ciung Wanara) ditempatkan di Desa Adeng Kecamatan Marga. Belanda menjadi gempar dan berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 dengan kekuatan besar Belanda melancarkan serangan dari udara terhadap kedudukan Ngurah Rai di desa Marga. Pertempuran hebat terjadi pada tanggal 29 November 1946 di Margarana, sebelah utara Tabanan. Karena kalah dalam persenjataan maka pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan.

Dalam keadaan kritis, Letkol I Gusti Ngurah Rai mengeluarkan perintah “Puputan” yang berarti bertempur sampai habis-habisan (fight to the end) demi membela Nusa dan Bangsa. Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur beserta seluruh anggota pasukan dalam pertempuran tersebut sebagai kusuma bangsa. Jenazahnya dimakamkan di desa Marga. Pertempuran tersebut terkenal dengan nama Puputan Margarana. Gugurnya Letkol I Gusti Ngurah Rai telah melicinkan jalan bagi usaha Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Timur.

Untuk mengenang jasa Letkol I Gusti Ngurah Rai, maka nama I Gusti Ngurah Rai diabadikan menjadi sebuah nama bandara di Denpasar, Bali. Nama Bandara tersebut adalah bandara “Ngurah Rai”. Di samping itu juga dianugerahi sebagai Pahlawan Anumerta.

7.       Peristiwa Westerling di Makassar

Sebagai Gubernur Sulawesi Selatan yang diangkat tahun 1945, Dr. G.S.S.J. Ratulangie melakukan aktivitasnya dengan membentuk Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi yang bertujuan untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah dipimpin oleh Manai Sophian.

Sementara itu pada bulan Desember 1946 Belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Raymond Westerling. Kedatangan pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi Selatan dari pejuang-pejuang Republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT).

Di daerah ini pula, pasukan Australia yang diboncengi NICA mendarat kemudian membentuk pemerintahan sipil di Makassar, karena Belanda melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampillah pemuda-pemuda pelajar seperti A. Rivai, Paersi, dan Robert Wolter Monginsidi melakukan perlawanan dengan merebut tempat-tempat strategis yang dikuasai NICA. Selanjutnya untuk menggerakkan perjuangan dibentuklah Laskar Pemberontak Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tokoh - tokohnya Ranggong Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Djarung, dan Robert Wolter Monginsidi sebagai Sekretaris Jenderalnya.

Sejak tanggal 7 – 25 Desember 1946 pasukan Westerling secara keji membunuh beribu-ribu rakyat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11 Desember 1946 Belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan perang dan hukum militer. Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di desa-desa yang mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban.

8.       Serangan Umum 1 Maret 1949

Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada bulan Desember 1948 ibu kota RI Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta beserta sejumlah menteri ditawan oleh Belanda. Belanda menyatakan bahwa RI telah runtuh. Namun di luar perhitungan Belanda pada saat yang krisis ini terbentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat oleh Syarifudin Prawiranegara. Di samping itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mendukung RI sehingga masyarakat Yogyakarta juga memberikan dukungan kepada RI. Pimpinan TNI di bawah Jenderal Sudirman yang sebelumnya telah menginstruksikan kepada semua komandan TNI melalui surat Perintah Siasat No. 1 bulan November 1948 yang isinya adalah :

1)    Memberikan kebebasan kepada setiap komandan untuk melakukan serangan terhadap posisi militer Belanda

2)    Memerintahkan kepada setiap komandan untuk membentuk kantong-kantong pertahanan (wehrkreise)

3)    Memerintahkan agar semua kesatuan TNI yang berasal dari daerah pendudukan untuk segera meninggalkan Yogyakarta untuk kembali ke daerahnya masing-masing (seperti Devisi Siliwangi harus kembali ke Jawa Barat), jika Belanda menyerang Yogyakarta. Untuk pertahanan daerah Yogyakarta dan sekitarnya diserahkan sepenuhnya kepada pasukan TNI setempat yakni Brigade 10 di bawah Letkol Soeharto.

Dengan adanya agresi Militer Belanda maka dalam beberapa minggu kesatuan TNI dan kekuatan bersenjata lainnya terpencar-pencar dan tidak terkoordinasi. Namun para pejuang mampu melakukan komunikasi melalui jaringan radio, telegram maupun para kurir. Bersamaan dengan upaya konsolidasi di bawah PDRI, TNI melakukan serangan secara besar-besaran terhadap posisi Belanda di Yogyakarta. Serangan ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 1949 dipimpin oleh Letkol Soeharto. Sebelum serangan dilakukan, terlebih dahulu meminta persetujuan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam serangan ini, TNI memakai sistem kantong-kantong pertahanan (wehrkreise).

Untuk memudahkan penyerangan, maka dibentuk beberapa sektor yaitu :

§  sektor Barat dipimpin oleh Mayor Ventje Sumual

§  sektor Selatan dan Timur dipimpin oleh Mayor Sardjono

§  sektor Utara dipimpin oleh Mayor Kusno

§  sektor Kota dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki

Pada malam hari menjelang serangan umum, pasukan-pasukan telah merayap mendekati kota dan melakukan penyusupan-penyusupan. Pagi hari tanggal 1 Maret 1949 sekitar pukul 06.00 WIB tepat sirene berbunyi, serangan dilancarkan dari segala penjuru kota. Letkol Soeharto langsung memimpin penyerangan dari sektor Barat sampai batas Jalan Malioboro. Rakyat membantu memperlancar jalannya penyerangan dengan memberikan bantuan logistik. Serangan umum ini membawa hasil yang memuaskan sebab para pejuang dapat menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam yakni jam 06.00 sampai jam 12.00 dan setelah itu pasukan TNI mengundurkan diri. Hal ini sesuai dengan rencana yang ditentukan sejak awal. Bersamaan dengan itu bantuan Belanda tiba dengan kendaraan lapis baja serta pesawat terbang. Belanda melakukan serangan balasan.

Berita Serangan Umum ini disiarkan RRI yang sedang bergerilya di daerah Gunung Kidul, yang dapat ditangkap RRI di Sumatera, selanjutnya dari Sumatera berita itu disiarkan ke Yangoon dan India. Keesokan harinya peristiwa itu juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke PDRI di Buktitinggi melalui radiogram dan juga disampaikan pula kepada Maramis. (diplomat RI di New Delhi, India) dan L.N. Palar (Diplomat RI di New York, Amerika Serikat). 

Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta ini mempunyai dua arti penting yaitu :

§  Ke dalam

a.       Meningkatkan semangat para pejuang RI, dan juga secara tidak langsung memengaruhi sikap para pemimpin negara federal buatan Belanda yang tergabung dalam BFO.

b.      Mendukung perjuangan secara diplomasi, yakni Serangan Umum ini berdampak adanya perubahan sikap pemerintah Amerika Serikat yang semula mendukung Belanda selanjutnya menekan kepada pemerintah Belanda agar melakukan perundingan dengan RI.

§  Ke luar

a.       Menunjukkan kepada dunia Internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan untuk melakukan serangan

b.      Mematahkan moral pasukan Belanda. Untuk mengenang para pejuang dan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 maka pemerintah Yogyakarta membangun “Monumen Yogya Kembali”

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA