Ilmu yang telah disusun para ahli hadis yaitu

Salah satu ulama dan imam yang terkenal di kalangan kaum muslimin adalah Imam Muslim penyusun Shahih Muslim. Umat Islam banyak membaca hadits-hadits yang beliau riwayatkan. Walaupun tidak semua orang merasa ingin tahu lebih jauh tentang nama yang mereka baca itu. Berikut ini biografi singkat dari Imam Muslim, mudah-mudahan menambah rasa cinta kita pada beliau.

Nasab dan Kelahiran

Nama beliau adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Ward bin Kusyadz al-Qusyairi an-Naisaburi. Qusyair adalah kabilah Arab yang dikenal. Sedangkan Naisabur adalah sebuah kota yang masyhur di wilayah Khurasan. Kota ini termasuk kota terbaik di wilayah tersebut. Kota yang terkenal dengan ilmu dan kebaikan.

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 206 H/821 M. Kun-yahnya adalah Abu al-Husein. Dan laqob (panggilan) atau digelari dengan al-Hafizh, al-Mujawwid, al-Hujjah, ash-Shadiq.

Masa Kecil

Imam Muslim dibesarkan di rumah yang penuh dengan ketakwaan, keshalehan, dan ilmu. Ayahnya, Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi, adalah seorang yang mencintai ilmu. Sang ayah rajin hadir di majelisnya para ulama. Ayahnya mendidiknya dengan semangat keshalehan dan cinta ilmu yang ia miliki itu.

Imam Muslim rahimahullah memulai perjalanan belajarnya di usia belia. Safar pertama ia lakukan saat ia berusia tidak lebih dari 18 tahun. Mulai saat itu, sang imam muda mulai serius mempelajari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam adz-Dzahabi mengatakan, “Kali pertama ia mendengar kajian sunnah (hadits) adalah saat usianya menginjak 18 tahun. Ia belajar dari Yahya bin Yahya at-Tamimi.”

Guru-Guru Imam Muslim

Imam Muslim memiliki guru yang banyak. Jumlahnya mencapai 120 orang. Di Mekah, ia belajar kepada Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabi. Ialah gurunya yang paling senior. Ia mengunjungi Kufah, Irak, al-Haramain (Mekah dan Madinah), dan Mesir untuk mempelajari hadits.

Di antara guru-gurunya adalah Yahya bin Yahya an-Naisaburi, Qutaibah bin Said, Said bin Manshur, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Khaitsamah Zuhair bin Harb, Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala, Abu Musa Muhammad bin al-Mutsanna, Hunad bin as-Sirri, Muhammad bin Yahya bin Abi Umar, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhali, al-Bukhari, Abdullah ad-Darimi, dll.

Murid-Muridnya

Kedudukan yang tinggi dalam keilmuan membuat pelajar dari segala penjuru datang untuk belajar kepada Imam Muslim. Di antara mereka adalah Ali bin al-Hasan bin Abi Isa al-Hilali, beliau adalah murid seniornya. Kemudian Husein bin Muhammad al-Qabani, Abu Bakr Muhammad bin an-Nadhar bin Salamah al-Jarudi, Ali bin al-Husein bin al-Juneid ar-Razi, Shalih bin Muhammad Jazrah, Abu Isa at-Turmudzi, Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abdullah bin Yahya as-Sarkhasi al-Qadhi, Nashr bin Ahmad bin Nashr al-Hafizh, dll.

Warisan Imam Muslim

Imam Muslim meninggalkan banyak karya tulis, ilmu yang luas, yang tak layak disia-siakan. Dari sekian banyak karya beliau, ada yang masih ada hingga sekarang. Ada pula yang telah hilang. Di antara karya tulis beliau adalah:

  1. Ash-Shahih (Shahih Muslim). Inilah karya beliau yang paling mashur di tengah kaum muslimin;

  2. At-Tamyiz,

  3. Al-‘Ilal,

  4. Al-Wuhdan,

  5. Al-Afrad,

  6. Al-Aqran,

  7. Su-alatihi Ahmad bin Hanbal,

  8. Kitab Amr bin Syu’aib,

  9. Al-Intifa’ bi Uhubi as-Siba’,

  10. Kitab Masyayikh Malik,

  11. Kitab Masyayikh ats-Tsauri,

  12. Kitab masyayikh as-Su’bah,

  13. Man Laysa Lahu Illa Rawin wa Ahadin,

  14. al-Mukhadhramin,

  15. Awlad ash-Shahabah,

  16. Awham al-Muhadditsin,

  17. ath-Thabaqat,

  18. Afrad asy-Syamiyyin.

Metodologi Imam Muslim Dalam Meriwayatkan hadits

Imam Malik rahimahullah menulis kitab al-Muwaththa. Sebuah kitab yang menjadi landasan hukum-hukum dari kitab ash-Shahih al-muttafaq ‘alaih. Buku hadits ini disusun berdasarkan bab-bab fikih. Imam Muslim meneliti kembali jalur sanad hadits-haditsnya yang berbeda-beda. Menyusun hadits-hadits dari beberapa jalur dan dari periwayat yang berbeda-beda. Demikian juga, beliau susun hadits-hadits dalam bab yang berbeda-beda sesuai dengan makna yang dikandungnya.

Kemudian datang Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Imamnya para ahli hadits. Ia memilah hadits-hadits, dan meriwayatkannya di dalam shahihnya dengan cara mengelompokkan jalur periwayatan dari kalangan penduduk Hijaz, Irak, dan Syam. Imam al-Bukhari memilih hadits-hadits yang disepakati keshahihannya dan meninggalkan hadits-hadits yang ke-shahihannya masih diperdebatkan. Ia mengelompokkan hadits-hadits dengan kandungannya masing-masing.

Setelah itu Imam muslim bin al-Hajjaj al-Qurasyiri rahimahullah menyusun pula kitab shahih. Beliau meniru langkah yang dilakukan Imam al-Bukhari. Yaitu hanya menukil hadits-hadits yang disepakati saja ke-shahihannya. Berbeda dengan Imam al-Bukhari, Imam Muslim menghapus riwayat yang berulang. Kemudian mengumpulkan jalan-jalan sanadnya di tempat yang sama. Dan mengelompokannya dengan bab fikih.

Imam Muslim menghabiskan waktu15 tahun untuk menyusun kitab Shahih-nya. Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku pernah bersama Muslim saat penulisan Shahih-nya. Lama penulisannya 15 tahun.” Ia menulis di negerinya. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam muqaddimah Fathul Bari. Ibnu Hajar mengatakan, “Muslim menulis kitabnya di kampung halamannya. Dengan menghadirkan inti kitabnya saat sebagian besar gurunya masih hidup. Muslim sangat menjaga lafadz hadits dan meneliti redaksinya.”

Pujian Para Ulama

Abu Quraisy al-Hafizh mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin Basyar mengatakan, ‘Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli dalam bidang hadits ada empat orang: Abu Zur’ah di Kota Ray, Muslim di Naisabur, Abdullah ad-Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Ismail (Imam al-Bukhari) di Bukhara.”

dinukil dari Abu Abdullah al-Hakim bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab al-Farra mengatakan, “Muslim bin al-Hajjaj adalah ulamanya seluruh kalangan. Ia seorang yang paling memahami ilmu.”

al-Hafizh Abu Ali an-Naisaburi mengatakan, “Tidak ada di kolong langit ini sebuah kitab dalam ilmu hadits yang lebih shahih dari kitabnya Muslim.”

Shiddiq bin Hasan al-Qanuji memuji Imam Muslim dengan mengatakan, “al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi al-Baghdadi adalah salah seorang imam dan hafizh. Salah seorang imamnya para ahli hadits. Imam masyarakat Khurasan dalam ilmu hadits setelah al-Bukhari.”

Ahmad bin Salamah mengatakan, “Aku melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim lebih mengunggulkan Muslim dalam pengetahuan ash-shahih dibanding ulama-ulama di zamannya.”

Wafat

Usia Imam Muslim bisa dikatakan tidak panjang. Hanya 55 tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di Naisabur pada tahun 261 H/875 M, rahimahullah rahmatan wasi’atan. Semoga Allah membalas jasa-jasa beliau terhadap umat Islam dengan sebaik-baik balasan.

Diterjemahkan secara bebas dari: //islamstory.com/-مسلم_بن_الحجاج_المحدث

Thu, 3 April 2014 07:02

Sejarah mencatat bahwa kitab hadits mulai berkembang cukup pesat pada akhir abad ke-2 hijriyyah. Muncul kitab-kitab hadits yang sampai sekarang masih bisa kita nikmati. Ada beberapa model ketika ulama menuliskan kitab hadits mereka, ada istilah jawami', sunan, mushannafat, muwattha'at dan lain sebagainya. Kitab-kitab hadits ini masuk dalam kategori ilmu hadits riwayat.

Sebelum itu, secara garis besar ilmu hadits terbagi dalam dua kategori; ilmu hadits riwayat dan ilmu hadits dirayat. Ilmu hadits riwayat adalah ilmu yang mempelajari tentang periwayatan secara teliti dan hati-hati terhadap sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat.

Sedangkan ilmu hadits dirayat adalah gabungan beberapa ilmu yang mempelajari tentang keadaan seorang perawi hadits dan sesuatu yang diriwayatkannya dari segi diterima atau tidaknya suatu hadits [1]. Ilmu hadits dirayat ini sering disebut dengan ilmu mushtalah hadits.

Fase Penulisan Ilmu Hadits Riwayat

Ilmu hadits riwayat jika kita telusuri sejarahnya, secara garis besar bisa dipetakan dalam beberapa fase:

1. Zaman Nabi, para shahabat dan tabiin awal. Pada fase ini, hadits belum tercatat dalam satu kitab khusus, kebanyakan hadits berpindah dengan sistem hafalan.

2. Awal abad ke-2 Hijriyyah. Pada masa ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H) memerintahkan kepada ahli hadits saat itu untuk menuliskan hadits. Ahli hadits pertama yang memenuhi permintaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (w. 124 H). Pada fase ini, sudah banyak ulama yang menulis hadits, tetapi kitab yang ditulis masih tercampur dengan perkataan-perkataan shahabat dan tabiin.

3. Awal abad ke-3 Hijriyyah. Di abad ini para ahli hadits sudah mulai memilih hadits yang benar-benar disandarkan kepada Nabi, memisahkannya dengan perkataan shahabat dan tabiin, dan juga mengumpulkan hadits shahih dalam satu kitab. Misalnya Imam Bukhari (w. 256 H) dengan kitab Shahihnya dan juga Imam Muslim (w. 261 H). Bisa dikatakan abad ke-3 ini adalah abad keemasan dalam penulisan sebuah kitab hadits.

4. Setelah abad ke-3 Hijriyyah. Corak penulisan hadits setelah abad ke-3 adalah penulisan hadits dalam satu bab saja, juga adanya inovasi dalam penataan bab dalam kitab. Misalnya munculnya penulisan hadits hanya dalam bab targhib wa at-tarhib dan hanya dalam hadits ahkam [2].

Model Penulisan Kitab Hadits

Sedangkan terkait metode penulisan kitab, ada beberapa model. Diantaranya yang bisa kita temui:

1. Model Jawami' atau Jami'.

Karakteristik kitab model jami' adalah kitab hadits tersebut mengumpulkan semua bab hadits; mulai dari aqidah, fiqih, sejarah, dan adab atau akhlaq.

Contohnya adalah kitab al-Jami' as-Shahih karya Imam Bukhari (w. 256 H), al-Jami' as-Shahih karya Imam Muslim (w. 261 H), Jami' at-Tirmidzi karya Imam at-Tirmidzi (w. 279 H).

2. Model Muwattha'at atau Muwattha'.

Muwattha' secara bahasa artinya yang dipermudah. Karakteristik kitab model muwattha' ini adalah penataan babnya sesuai dengan bab fiqih, dan juga hadits yang ditulis berupa hadits marfu', mauquf dan maqthu'. Artinya isi dari muwattha' ini berupa Hadits Nabi, Atsar Shahabat dan Tabiin. Pengertian muwattha' ini sama persis dengan pengertian mushannaf [3].

Contohnya adalah kitab Muwattha' karya Imam Muhammad bin Abdurrahman atau terkenal dengan Ibnu Abi Dziab (w. 158 H), kitab Muwattha' karya Imam Malik bin Anas (w. 179 H), kitab Muwattha' karya Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad al-Maruzi (w. 293 H).

Contoh mushannaf adalah Mushannaf Abu Salamah Hammad bin Salamah bin Dinar (w. 167 H), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235 H), Mushannaf Abu Bakar Abdurrazzaq (w. 211 H).

3. Model Musnad

Model musnad adalah model penulisan hadits yang pengumpulan haditsnya sesuai dengan perawi dari shahabi [4]. Artinya haditsnya dikumpulkan berdasarkan shahabat yang meriwatkan hadits tersebut.

Kitab model musnad ini sangat banyak. Urutannya pun beragam, ada yang urutan abjad nama shahabat, ada yang sesuai urutan masuk islamnya, ada juga sesuai dengan sukunya.

Contohnya: kitab Musad Imam Ahmad (w. 241 H), Musnad Abu Daud at-Thayalisi (w. 204 H), Musnad as-Syafi'i (w. 204 H), Musnad Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Musnad Abu Ya'la al-Mushili (w. 307 H) dan lain sebagainya. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam Musnadnya diawali dengan shahabat yang telah dijamin masuk surga, dari musnad Abu Bakar, musnad Umar, musnad Utsman, musnad Ali dan seterusnya.

4. Model Sunan

Sunan adalah bentuk plural dari kata sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan kitab hadits model sunan adalah kitab hadits yang dalam penulisannya sesuai dengan bab-bab fiqih, dan hanya hadits-hadits marfu' saja yang ditulis, berbeda dengan Muwattha' yang didalamnya masih terdapat atsar shahabat dan tabiin.

Contohnya: Sunan Said bin Manshur (w. 227 H), Sunan ad-Darimi (w. 255 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H), Sunan Abi Daud (w. 275 H), Sunan an-Nasai atau al-Mujtaba (w. 303 H), Sunan ad-Daraquthni (w. 385 H), Sunan Baihaqi (w. 458 H) dan lainnya.

5. Model Shihah

Shihah adalah bentuk plural dari shahih. Dari namanya diketahui bahwa model kitab shihah adalah kitab kumpulan hadits yang hanya menuliskan hadits-hadits shahih saja, paling tidak shahih menurut yang mengumpulkannya.

Contohnya: Shahih al-Bukhari (w. 256 H), Shahih Muslim (w. 261 H), Shahih Ibn Huzaimah (w. 311 H), Shahih Ibn Hibban (w. 354 H).

Selain itu, banyak juga kitab hadits yang disusun berdasar pada satu bab tertentu saja, misal tentang bab adab dan akhlaq. Ada juga kitab hadits yang hanya mengumpulkan hadits-hadits maudhu' saja, seperti kitab al-Maudhu'at karya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), kitab al-Maudhu'at karya Radhiuddin Hasan bin Muhammad as-Shagha'i al-Hanafi (w. 650 H), al-La'ali al-Mashnu'ah fi al-Ahadits al-Maudhu'ah karya Imam as-Suyuthi (w. 911 H).

Ada dua istilah lain yang juga menjadi model penulisan ulama terhadap hadits; mustadrak dan mustakhraj.

Mustadrak adalah kitab hadits dimana seorang penulis menambahkan hadits-hadits yang dianggap memenuhi syarat shahih kitab hadits tertentu. Misalnya Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim an-Naisaburi (w. 405 H). Imam Hakim menambahkan hadits-hadits lain yang tidak terdapat dalam dua kitab shahih; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Hadits itu beliau anggap menetapi syarat shahih hadits Bukhari dan Muslim.

Sedangkan Mustakhraj adalah kitab hadits dimana seorang penulis kitab hadits menuliskan kembali hadits-hadits kitab lain tetapi dengan sanad penulis sendiri, bukan sanad kitab lain. Misalnya: kitab al-Mustakhraj ala Shahih al-Imam Muslim karya Abu Naim al-Ashbahani (w. 430 H). Imam Abu Naim al-Ashbahani menuliskan hadits-hadits Shahih Muslim tetapi dengan sanad lain, bukan sanad Imam Muslim (w. 261 H).

waallahu a'lam bisshawab

Oleh: Hanif Luthfi, Lc

[1] Subhi Ibrahim Shalih (w. 1407 H), Ulum al-Hadits wa Mushthalahuhu, (Bairut: Daar al-Ilmi, 1984 M), hal. 107

[2] Imad Ali Jum'ah, al-Maktabah al-Islamiyyah, (Silsilat at-Turats al-Arabiy, 1424 H), hal. 100

[3] Abu Abdillah Muhammad al-Kattani, ar-Risalah al-Mustathrafah, (Daar al-Basyair, 1421 H), hal. 40

[4] Mahmud at-Thahhan, Ushul at-Takhrij, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, t.t), hal. 40

Page 2

Wed, 22 April 2015 09:42

‘Copas dari group sebelah’, sebuah kata-kata yang khas sering kita temui sekarang, jika ada temen yang menyebarkan sebuah info di group media sosial. Hal ini bisa baik, tetapi banyak buruknya. Baik jika memang informasi yang disebar itu memang valid, faktual dan bisa dipertanggungjawabkan.

Hanya sebagai seorang muslim, kita kehilangan satu karakter keilmuan yang dijaga oleh ulama Islam sejak zaman dahulu; validitas informasi.

Terlebih jika informasi itu hanya sekedar isu belaka. Maka, ikut menyebarkannya berarti ikut bertanggunjawab atas benar tidaknya isu tersebut.

Imam Muslim bin Hajjaj (w. 261 H) menuliskan sebuah hadits dari Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع) رواه مسلم

Rasulullah bersabda, “Cukup seseorang dianggap tukang bohong, jika selalu menyebarkan apapun yang didengar”. HR. Muslim

Validitas Informasi Dalam Keilmuan Islam

Dalam literatur sejarah keilmuan Islam, kita bisa temukan beberapa bukti bahwa para ulama dahulu sangat menjaga validitas informasi yang akan disampaikan kepada orang lain. Salah satunya adalah ilmu sanad. Sebenarnya ilmu sanad tidak hanya berlaku pada hadits Nabi saja, melainkan dalam setiap cabang keilmuan Islam.

Syeikh Mala Ali al-Qari (w. 1014 H) menyebutkan dalam kitabnya Syarah Nukhtbat al-Fikr:

ثم اعلم أن أصل الإسناد خصيصة فاضلة من خصائص هذه الأمة

Ketahuilah bahwa sanad itu keistimewaan yang khusus dari umat ini. (Mala Ali al-Qari w. 1014 H, Syarh Nukhbat al-Fikr, h. 617)

Lebih dari itu, dalam keilmuan musthalah hadits seorang periwayat hadits dituntut untuk mengetahui bagaimana dan dengan cara apa sebuah hadits didapat , dari Nabi sampai kepada periwayat terakhir hadits itu. Satu cabang ilmu musthalah hadits ini sering disebut dengan tahammul dan ada’.

Pengertian Tahammul dan Ada’

Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً  yang berarti menanggung, membawa[1], atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Secara terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu[2].

Sedangkan pengertian ada’, menurut etimologi adalah diambil dari kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ  yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya[3]. Adapun pengertiannya secara terminologi adalah sebuah proses meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada muridnya[4], atau bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid.

Ulama’ Hadits sejak dahulu telah menjelaskan bagaimana hadits itu didapat seorang rawi dari gurunya, syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh orang yang mendengar hadits dan menyampaikannya kembali, serta shighat/ lafadz yang digunakan dalam menyampaikan hadits.

Hal ini tidak lain untuk memastikan tersambungnya hadits sampai kepada Nabi Muhammad shallaallah alihi wa sallam, sehingga akan hilang keraguan dalam diri dan yakin bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Nabi. Hal itu menunjukkan bahwa begitu telitinya ulama hadits dalam menyeleksi kebenaran datangnya suatu hadits.

Sebuah informasi hadits yang diterima dari seorang rawi itu diteliti, apakah dengan mendengarkan langsung dari rawi sebelumnya, apakah mendengarkannya ketika sedang sendiri atau berjamaah dengan orang lain, atau sebenarnya tidak mendengarkan langsung tetapi menemukan di tulisannya.

Apa pentingnya mengetahui cara mendapatkan sebuah hadits? Seorang rawi yang terkenal sering melakukan tadlis dalam sanad, kita akan crosscek lebih lanjut lagi, apakah dia mendengarkan langsung dari orang sebelumnya atau sebenarnya dia tidak langsung mendengarkan tetapi dari orang lain. Tadlis sering diartikan dengan menampilkan sesuatu yang bagus dalam dzahirnya sanad, dan menyembunyikan aibnya.

Metode-metode Tahammul dan Shighat Ada’ Hadits

Secara ringkas, pada umumnya ulama membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi delapan macam, yaitu: 

  1. as-sama’ min lafdz as-syaikh: pembacaan oleh guru kepada murid
  2. al-qira’ah ‘ala as-syaikh: pembacaan oleh murid kepada guru
  3. al-ijazah: mengijinkan seseorang untuk menyampaikan sebuah hadits atau kitab
  4. al-munawalah: menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk diriwayatkan
  5. al-kitabah: menuliskan hadits kepada seseorang
  6. al-i’lam: seorang guru mengabarkan kepada muridnya bahwa ia mendengar suatu hadits
  7. al-washiyyah: mewasiatkan suatu kitab kepada orang lain tentang hadits yang telah diriwayatkannya
  8. al-wijadah: menemukan suatu tulisan dari seseorang yang di dalamnya terdapat hadits [5].

Dari kedelapan metode itu, dalam periode shahabat hanya yang pertama saja yang digunakan secara umum[6]. Para murid berada di sisi guru, melayaninya dan belajar darinya. Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah metode satu dan dua.

Footnote:

[1] Muhammad bin Mukram bin Mandzur, Lisanul Arab, (Baerut: Dar Shadir, t.t), juz 11, hal. 174

[2] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, (Jeddah: Makthabah al-Haramain, 1985 M), hal. 157

[3] Ibrahim Musthafa, Ahmad az-Zayyat dkk, al-Mu’jam al-Wasith, (Kairo: Dar ad-Dakwah Majma’ al-Lughat al-Arabiyyah, t,t), Hal.10

[4] Mahmud at-Thahhan, Taisir Musthalah al-Hadits, hal. 157

[5] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi (w. 911 H), Tadribu ar-Rawi fi Syarhi Taqribi an-Nawawi, juz 2, hal. 8

[6] M. M. Azami, Ma, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2003), hal. 45

Page 3

Wed, 4 June 2014 09:37

Apakah yang dimaksud dengan takhrij hadits?

Takhrij secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata kerja "خرّج, يخرّج, تخريجا". Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan, takhrij adalah: "menjadikan sesuatu keluar dari sesuatu tempat; atau menjelaskan suatu masalah

Sedangkan menurut pengertian terminologis, takhrij berarti;

التخريج هو الدلالة على موضع الحديث في مصادره الأصلية التي أخرجته بسنده. ثم بيان مرتبته عند الحاجة المراد بالدلالة على موضع الحديث

"Menunjukkan letak Hadits dari sumber-sumber aslinya (sumber primer), untuk kemudian diterangkan rangkaian sanadnya, dan dinilai derajat haditsnya jika diperlukan.

Jadi, ada dua hal yang dikaji dalam takhrij hadits. Pertama, menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer hadits. Kedua, menilai derajat hadits tersebut jika diperlukan.

Tujuan utama dari takhrij hadits adalah mengetahui derajat suatu hadits, apakah maqbul atau mardud. Sebenarnya takhrij tidak hanya untuk hadits saja, tetapi juga kepada perkataan yang disandarkan kepada shahabat dan tabi’in.
  1. Dapat diketahui banyak-sedikitnya jalur periwayatan suatu hadist yang sedang menjadi topik kajian.
  2. Dapat diketahui status hadist, apakah shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga akan dapat di ketahui istilah hadist mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.
  3. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah  mengetahui bahwa hadist tersebut adalah makbul (dapat di terima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa hadist tersebut tidak dapat diterima (mardud).
  4. Dapat diketahui pula hadits yang semula dhaif dari satu jalur, ternyata ada jalur lain yang hasan atau shahih.
Pertama yang jelas adalah Bahasa Arab. Karena literatur yang dipakai dalam takhrij hadits adalah kitab-kitab yang berbahasa Arab. Kedua, adalah ilmu Ushul al-Hadits atau lebih dikenal dengan Ilmu Mushthalah Hadits.Ketiga, lebih spesifik lagi adalah Ilmu at-Tarajum dan Ilmu al-Jarhi wa at-Ta’dil. Ilmu ini berkaitan dengan rawi dari setiap hadits yang akan kita takhrij, masa hidupnya dan penilaian ulama terhadapnya. Itulah kualifikasi dasar yang harus dimiliki seseorang jika ingin mencoba mentakhrij hadits Nabi. Bisa dikatakan iya, bisa tidak. Dikatakan ilmu baru karena memang ilmu ini belum berkembang pada masa awal Islam. Tetapi bisa dikatakan tidak baru, karena semangat dasar takhrij sudah ada sejak masa shahabat.Takhrij hadits dimaksudkan agar seseorang berhati-hati dalam menerima informasi hadits, apakah memang benar dari Nabi Muhammad atau palsu.

Bisa dikatakan Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama dari shahabat Nabi yang selektif dalam menerima informasi hadits dari Nabi, jika beliau tidak langsung mendengarnya. Hal itu sebagaimana komentar dari ad-Dzahabi (w. 748 H):

كان أول من احتاط في قبول الأخبار

(Abu Bakar as-Shiddiq) adalah orang pertama yang berhati-hati dalam menerima kabar dari Nabi. Sampai akhirnya takhrij hadits ini berkembang pesat pada abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.

Sebutkan contoh kitab-kitab takhrij dari ulama terdahulu?

Sebagaimana disebutkan diatas, masa keemasan ulama dalam menulis kitab takhrij adalah abad ke-8 dan ke-9 Hijriyyah.
  1. Taghliq at-Ta’liq, karya: al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini menerangkan tentang hadits-hadits yang disinyalir mu’allaq dalam kitab Shahih Bukhari yang jumlahnya sekitar 1341 buah hadits.
  2. Al-‘Ujab fi Takhrij ma Yaqulu fihi at-Tirmidizi, karya al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H).
  3. Nushbu ar-Rayah Li Ahadits al-Hidayah, karya: Abdullah bin Yusuf az-Zailaghi (w. 726 H). Kitab ini merupakan takhrij dari kitab al-Hidayah karya Ali bin Abu Bakar al-Marghinani (w. 593 H).
  4. Al-Badru al-Munir, karya: Sirajuddin ibn al-Mulaqqan (w. 804 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H). Kitab as-Syarhu al-Kabir ini merupakan syarah dari kitab al-Wajiz karya Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  5. At-Talkhish al-Habir, al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (w. 852 H). Kitab ini juga mentakhrij hadits-hadits yang ada di kitab as-Syarhu al-Kabir atau Fathu al-Aziz bi Syarhi al-Wajiz karya Abdul Karim ar-Rafi’i (w. 623 H).
  6. Al-Mughni an Hamli al-Asfar di al-Asfar, karya: al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhl al-Iraqi (w. 806 H). Kitab ini mentakhrij kitab Ihya’ Ulum ad-Din karya Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H).
  7. Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayani Katsirin min al-Ahadits al-Musytahirah ala al-Alsinah, karya: Syamsuddin as-Sakhawi (w. 902 H). Kitab ini mentakhrij hadits-hadits yang masyhur dalam masyarakat.

Sebutkan kitab-kitab yang membicarakan teori takhrij?

  1. Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, karya: Mahmud at-Thahhan.
  2. Kasyfu al-Litsam an Asrar Takhrij Sayyid al-Anam, karya: Abdul Maujud Muhammad Abdullatif.
  3. Thuruq Takhrij Haditsi Rasulillah, karya: Abdul Mahdi bin Abdul Qadir.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA