Contoh rempah-rempah yang dihasilkan oleh Indonesia pada masa Hindu-Buddha adalah

Jakarta - Indonesia adalah negara kepulauan terluas di dunia, jauh sebelum abad masehi pada jaman romawi, Indonesia, sudah dikenal di seantero dunia walau tidak semua suku bangsa yang langsung datang untuk berniaga, namun produk rempah Indonesia yang diperdagangkan di Jalur Sutera hingga jalur Dupa Romawi atau Hindustan hingga Afrika Timur Ethiopia sekitar abad 5 SM hingga abad 11 Masehi yang dikenal dengan kekuasaan Laut Merah.

Pergolakan politik dan kekuasaan yang berubah dengan bangkitnya Dinasti Turki Utsmani 1453 M, yang menutup jalur darat perniagaan rempah-rempah ke Eropa, mendorong jalur maritim menjadi dominan serta menjadi awal ekspedisi bangsa eropa mencari sumber rempah-rempah ke nusantara.

Lada, cengkeh, pala, kapulaga, kunyit, jahe, kulit kayu nanis serta kapur barus (getah kamper) dan kemenyan mendorong petualangan bangsa Eropa di nusantara.

Indonesia sendiri memiliki 3 fase sejarah kebangsaan yang diawali dengan fase Hindu, Budha dan Islam hingga Kolonial pada fase Hindu dikenal dengan Kerajaan Majapahit sedang Budha dengan Sriwijaya dan fase Kesultanan Islam. 

Bangsa Eropa memulai ekspedisi mencari tempat asal rempah-rempah yang selama ini mereka dapatkan di negeri Mediterania atau Turki sekarang, namun karena pusat niaga di kota Constantinopel dikuasai dinasti Turki Ustmani dan jalur masuk rempah ke eropa terganggu yang memunculkan niat bangsa-bangsa eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda untuk mencari langsung sumber rempah dengan melakukan ekspedisi yang terkenal dengan sebutan Ekspedisi Timur Jauh.

Sejarah mencatat Ekspedisi Eropa pertama mendarat di Ternate adalah bangsa Portugis pada tahun 1512 setelah menaklukkan kota Malaka tahun 1511.

Armada Portugis yang dipimpin Alfonso de Albuquerque mengutus Antonio Albreu dan Francisco Serrao memimpin armada untuk menemukan sumber rempah di Maluku dalam perjalanan menuju Maluku armada ini singgah di Madura, Bali dan Lombok dengan menggunakan nakhoda-nakhoda jawa.

Akhirnya armada portugis tiba di Banda terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate, disambut Sultan Ternate serta diberi ijjn tinggal dan membangun benteng.

Bangsa Portugis adalah Bangsa Eropa yang pertama hadir di Maluku 1511 - 1570, melakukan kontak dagang sebelum 
diusir akibat perseteruan dengan Kesultanan Ternate dan Bangsa Belanda melalui serikat dagang VOC.

Penghujung abad 16 di awal abad 17 Peta Kekuasaan di jalur Rempah Nusantara berubah diawali dari bangkrutnya VOC Serikat Dagang Belanda yang selama ini mengasai semua sumber rempah nusantara beralih kepada Pemerintah Kolonial Belanda. 

Fase ini juga di ikuti dengan "Revolusi Industri" di Eropa yang turut membawa perubahan besar dari komoditas perkebunan, hal tersebut ditandai dengan pembukaan kebun-kebun yang memenuhi kebutuhan industri Eropa seperti karet, sawit dan kakao.

Indonesia di era Joko Widodo-Jusuf Kalla, bersama Kabinet Kerja, Kerja, Kerja sukses mewujudkan swasembada pangan terutama beras, jagung, bawang merah dan cabai, 4 komoditas ini dulu selalu membuat gonjang-ganjing harga karena lebih dari 50 persen kebutuhan dalam negeri harus di impor akibatnya angka inflasi menjadi ikut terdongkrak.

Kerja keras petani, penyuluh, pemda, stakeholder, sarana prasarana Pertanian, Bulog, Jajaran Kementerian Pertanian dan TNI/POLRI, dibawah  Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, belum tiga tahun 4 komoditas strategis dapat diselesaikan tuntas bahkan menorehkan sejarah baru untuk indonesia yang mampu mengekspor beras ke Papua Nugini 10.000 ton serta mengekspor bawang merah 5600 ton ke negara yang biasanya justru menjadi sunber impor bawang merah dan beras. 

Jagung, Indonesia rutin setiap tahun di sandari kapal-kapal kargo dari Amerika dan Argentina untuk membongkar jagung impor hingga 3,6 juta ton, namun sejak 2016 hingga saat ini rutinitas itu berubah, impor jagung kita 0 persen demikian juga dengan bawang merah dan cabai komoditas yang rutin meramaikan pasar impor, kini semua itu tinggal cerita walau masih ada kelompok-kelompok yang sulit percaya dengan segala daya upaya pemerintah sekarang ini.

11 Komoditas strategis yang menjadi target pemerintah sudah on the track, pencapaian pembangunan pertanian Indonesia malah mendapat apresiasi dari negara lain, peringkat ketahanan pangan dan keberlangsungan usaha tani Indonesia juga langsung melonjak bahkan berada diatas Amerika Serikat yang sudah jauh lebih maju dari Indonesia.

Kondisi rempah Indonesia saat ini memang menunjukkan tren penurunan ekspor, berdasarkan data BPS tahun 2016 periode Januari hingga November, nilai total ekspor rempah Indonesia 653, 3 juta USD turun dibandingkan nilai ekspor tahun 2015 pada periode yang sama 770, 42 juta USD, kecuali vanili yang naik dari 14,41 juta USD tahun 2015 menjadi 62,08 juta USD pada periode yang sama tahun 2016, 

Ketua Dewan Rempah Indonesia yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan 2009 - 2016. Gamal Nasir, mengatakan bahwa kondisi perkebunan rempah milik rakyat sudah memprihatinkan pada umumnya kurang terawat dan usia tanaman sudah melewati batas usia tanaman membuat produktivitas menurun ditambah kondisi cuaca yang tidak kondusif mengakibatkan serangan hama meningkat pada akhirnya kualitas produksi juga turut menurun.

Gamal Nasir, menyambut baik program pemerintah untuk tanaman rempah dan hortikultura dengan alokasi anggaran 5,5 Triliun untuk itu dewan rempah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Pemda dalam pemetaan komoditas serta lahan-lahan petani yang harus segera mendapatkan penanganan untuk memperbaiki kondisi perkebunan rempah rakyat, Gamal Nasir, menambahkan bahwa komoditas perkebunan termasuk tanaman rempah adalah primadona ekspor pertanian Indonesia, kita tidak boleh melupakan sejarah, sumbangsih komoditas perkebunan seperti karet, sawit, kakao, kopi dan tanaman rempah adalah sumber devisa negara, menyumbang PDB Nasional rata-rata 20 persen sejak 1970 hingga sekarang.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, bergerak cepat melaksanakan Instruksi Presiden, mengumpulkan semua Kepala Dinas dari sentra-sentra produksi rempah Indonesia. Provinsi Aceh hingga Papua dan berkoordinasi dengan Kepala Daerah, Mentan meminta agar anggaran yang disediakan benar-benar dimanfaatksn untuk meningkatkan produksi serta fokus hanya di wilayah sentra produksi, bahkan bila respon pemerintah daeah kurang lebih baik tidak di ikutkan dalam program "Mengembalikan Kejayaan Rempah Nusantara", anggaran ini khusus "Kita tidak akan melakukan kesalahan seperti yang lalu-lalu, anggaran dibagikan tanpa melihat potensi dan respon pemerintah daerah, ini uang rakyat tegas Mentan hampir disetiap kegiatan. 

Andi Amran juga sangat berhati-hati hingga meminta seluruh aparat hukum terlibat mulai dari penyediaan bibit tanaman, "Saya sedih ada wilayah di Sumatera" yang mendapatkan bantuan pemerintah namun setelah 4 tahun usia tanaman baru diketahui bahwa bibit yang diterima petani 70 persen palsu dan tidak dapat berproduksi, jangan pernah terulang hal seperti ini. Bibit hasil penangkaran petani tidak masalah untuk digunakan "Saya meminta Dinas Perkebunan mengawal bibit hasil penangkaran petani" segera sertifikasi bila layak dan memenuhi spesifikasi bibit, tegas Mentan Andi Amran Sulaiman pada saat Rapat Koordinasi Teknis di daerah sentra produksi rempah baru-baru ini. Saya akan kawal kegiatan ini mulai dari awal hingga pertanaman, sama dengan program Upsus Pajale yang sudah kita laksanakan.

  Ilustrasi jejak pelaut Aceh. Foto: Dok. History Nusantara

Paruh kedua abad 17, kompetisi internasional untuk menguasai komoditas-komoditas berharga dari Asia Tenggara hanya tinggal menyisakan beberapa pemain saja.

Anthony Reid, peneliti sejarah Asia Tenggara, dalam bukunya Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia (1996) mencatat berbagai hal menarik yang membuat perburuan rempah ke kepulauan timur Nusantara di abad ke-15 melonjak pesat.

Sekitar 1390, setiap tahunnya, cengkeh yang masuk ke Eropa mencapai sekitar 6 metrik ton. Sedangkan buah pala sekitar 1,5 metrik ton. Satu abad kemudian terjadi lonjakan kapasitas. Cengkeh melonjak hingga 52 metrik ton, sedangkan pala 26 metrik ton.

Catatan itu didapat dari pedagang-pedagang Venesia yang membelinya di pasar-pasar yang ada di Mesir dan Beirut. Pedagang-pedagang Muslimlah yang membawa komoditas itu melewati Samudera Hindia. Setelah memasuki Laut Merah, komoditas itu dibawa melalui Sungai Nil menuju ke Mediterania.

Catatan itu tentu saja hanya sebagian kecil dari perdagangan Asia Tenggara yang berkembang pada waktu itu. Abad ke-15 adalah zaman meningkatnya populasi dan perdagangan internasional. Tidak hanya ke Mediterania, tetapi juga ke pasar terbesarnya yakni Cina.

Kekuasaan Dinasti Ming yang kedua di bawah Kaisar Yongle (1403-22) adalah periode yang berperan penting dalam peningkatan perdagangan cengkeh dan lada. Meningkatnya pasokan rempah-rempah di pasar Cina pada zaman itu membuat gaji pegawai kerajaan dan tentara dinasti MIng dibayar dengan lada dan gaharu.

Pelayaran besar Admiral Cheng Ho, yang rekam sejarahnya terserak di dua Samudera, terjadi pada zaman ini. Ironisnya, pelayaran besar ini sebenarnya dilakukan pada masa munculnya kebijakan Kaisar untuk melarang pedagang-pedagang Cina melaut dengan bebas. Kebijakan itu dinamakan Haijin atau larangan melaut.

Larangan itu adalah larangan untuk melaut secara bebas. Melaut dengan inisiatif dan biaya sendiri tidak diperkenankan. Sebagai konskuensinya Dinasti Ming membentuk armada pelayaran 'nasional' yang paling besar dalam sejarah. Armada inilah yang dipimpin Cheng Ho dengan misi utama memberantas bajak-bajak laut dan penguasa-penguasa pelabuhan yang memberontak terhadap kekuasaan Dinasti Ming.

Renaisance dan Kebutuhan Rempah

Setelah Dinasti Cordoba runtuh di Andalusia, catatan-catatan penting sarjana-sarjana Muslim dipelajari dengan seksama oleh Eropa. Salah satunya adalah Al Kanun fit Tib karya Ibnu Sina. Kitab babon kedokteran yang ditulis di zaman kemajuan Dinasti Fatimiyah inilah yang dipelajari di biara-biara Katolik Venesia. Salah satu bab dalam kitab Ibnu Sina ini menjelaskan tentang tanaman-tanaman penting yang berguna bagi pengobatan dan kesehatan.

Seperti banyak diketahui, setelah zaman Reconquesta, Eropa mengalami zaman Renaisance atau Zaman Pencerahan. Salah satunya adalah berkembangnya ilmu kedokteran dan pengobatan. Akibatnya muncul kebutuhan yang tinggi terhadap tanaman-tanaman rempah yang selama dua ratus tahun sebelumnya hanya bisa diperoleh dari tangan pedagang-pedagang Islam.

Hal inilah yang membuat pelaut-pelaut Iberia, masih dengan spirit Reconquesta, mengitari Tanjung Harapan untuk mencari sumber muasal rempah eksotis di tanah Hindia. Hal ini pula yang kemudian membuat mereka bisa sampai ke "benua baru" Amerika.

Sejarah komoditas rempah abad ke-15, hingga saat ini masih memerlukan studi yang lebih mendalam. Sumber-sumber kesejarahan yang ada pada masa ini sebagian besar masih harus dipelajari dengan seksama.

Periode satu abad sesudahnya di awal abad 17 relatif lebih jelas penggambarannya. Periode ini adalah saat Belanda dan Inggris ikut bersaing dengan  Portugis dan Spanyol berkompetisi dengan para pemain lama seperti orang-orang Arab, Persia, India, Jepang, dan Cina untuk berburu lada, cengkeh, pala, kayu manis, gaharu, getah dan minyak pinus, sutera, blacu, hingga kulit rusa.

Monopoli Kolonial

Saat Portugis menguasai Malaka, para ahli sejarah mencatat periode ini sebagai pembawa perubahan berikutnya. Distribusi rempah dari kepulauan Nusantara di timur menuju pasar besar di barat harus mengikuti kemauan penguasa Selat.

Berkembangnya kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang menjadi penantang kekuasaan Portugis di Selat Malaka menandai sebuah zaman 'perubahan besar' yang sedang terjadi di tiga bagian kepulauan Nusantara.

Kerajaan Aceh Darussalam, Kerajaan Demak Bintara, dan Kerajaan Ternate adalah pembawa spirit antikolonialisme yang akan menentukan arah zaman beberapa abad sesudahnya. Zaman ini pula yang menandai perubahan besar-besaran struktur masyarakat di beberapa wilayah Nusantara yang sebelumnya masih mengacu pada warisan kerajaan Hindu-Buddha.

Paruh kedua abad 17, kompetisi internasional untuk menguasai komoditas-komoditas berharga dari Asia Tenggara hanya tinggal menyisakan beberapa pemain saja. Jepang menarik diri dari kompetisi lewat ditandai dengan Dekrit Tokugawa pada 1635. Pedagang-pedagang Gujarat, Persia, dan Arab-Hadrami yang sudah berkompetisi ratusan tahun merasa kekuatan Eropa di Asia Tenggara terlalu kuat. Perlahan mereka menarik diri dari konfrontasi langsung.

Puncaknya Portugis yang menjadi rezim penjaga benteng kekuasaan kalah oleh kemunculan Verenigde Ost Indische Company atau VOC yang datang dengan kapital dan organisasi armada laut yang lebih modern pada 1641.

Pada periode ini lah muncul monopoli, yang telah lebih dulu dilakukan VOC pada komoditas pala di tahun 1621. Menyusul di tahun 1650-an cengkeh juga dikenakan monopoli.

Berbagai produk-produk selain dua rempah berharga itu sebenarnya masih bisa menggerakkan iklim kompetisi. Tetapi kekuatan dan kekayaan VOC yang sangat dominan membuat banyak pelaku perdagangan tidak lagi melihatnya sebagai pangsa yang menguntungkan.

Hingga periode-periode berikutnya, VOC yang menjadi perusahaan swasta paling kaya di sepanjang zaman menerapkan kebijakan monopoli dan tanam paksa yang mengubah warna perdagangan dunia. Sampai dengan abad 18 produk-produk baru muncul dari Asia Tenggara dalam skala yang selalu lebih besar dari masa sebelumnya. Beberapa di antaranya  adalah gula, kopi, dan tembakau.

Pada periode ini pelaku sesungguhnya adalah perpaduan antara kekuatan kapital Eropa dengan kekuatan pekerja dari Cina. Pada masa inilah, opium atau candu telah menjadi satu komoditas yang paling banyak ditukarbelikan dengan komoditas-komoditas berharga Asia Tenggara.

Produk-produk sutera, katun, dan blacu yang sebelumnya menjadi andalan pemain besar di Samudera Hinda menjadi kalah bersaing. Pada masa inilah kekayaan terbesar VOC dihasilkan. (Y-1)

  Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Indonesia.go.id

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA