Bagi jamaah haji yang berhubungan suami istri sebelum tahallul pertama maka ia harus menyembelih

Thursday, 02 Sep 2021 16:30 WIB

Denda Bagi Jamaah Haji yang Membayangkan Seksual Saat Ihram. Foto: Ilustrasi Kain Ihram

IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Diharamkan bagi pasangan suami istri di saat sedang ihram, melakukan setiap aktivitas yang termasuk bagian dari rafats (seksual). Jangankan melakukannya, membayangkannya juga tidak boleh, bagi orang yang berihram demi menjaga kesucian ibadah di Haji atau umroh.

Baca Juga

Dr Muhammad Utsman Al-Khasyt menjelaskan apa saja aktivitas yang mendekati seksual dan  hukuman yang berlaku, jika seseorang yang sedang berhaji melanggar larangan-larangan yang ada hubungannya dengan masalah seksual.

 1. Memikirkan atau membayangkan sesuatu yang berbau seksual. Menurutnya jika seseorang yang sedang mengerjakan Haji melakukan hal ini, baik sampai mengeluarkan mani atau tidak maka tidak ada kewajiban kifarat apa-apa pun atasnya. Sebab yang namanya pikiran atau bayangan itu merupakan sesuatu yang muncul pada diri manusia yang sifatnya alamiah. Karenanya tidak ada hukuman yang berkenaan dengannya, sebagaimana hal itu terjadi di saat seseorang tengah puasa.

Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW bersabda. "Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku keburukan yang terdetik dalam diri mereka selama mereka belum mengerjakannya atau belum mengucapkannya (HR Bukhari dan Muslim).

2. Memandang disertai syahwat dan sengaja untuk meneruskannya titik perkara yang demikian tidaklah merusak ibadah haji baik yang bersangkutan sampai mengeluarkan mani atau tidak, namun wajib membayar Dam denda titik adapun pandangan yang tanpa disengaja dan tidak diteruskan, maka tidak wajib atas orang yang bersangkutan untuk membayar denda meski Hal itu menyebabkan keluarnya mani. 

3. Mencium mulamasah, dan muda'abah tanpa dilanjutkan senggama. Jika seseorang yang sedang berhaji melakukan hal ini maka wajib atasnya membayar Dam, baik sampai keluar mani atau tidak. Dan, menurut pendapat yang lebih tepat hal tersebut tidak menyebabkan rusaknya ibadah haji. 

4. Jima senggama. Jika seseorang yang sedang berhaji melakukan jima, di mana jima tersebut dilakukan sebelum wukuf di Arafah maka hajinya rusak batal. Dan Jima yang menyebabkan batalnya haji adalah Jima yang dilakukan benar-benar dengan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita dengan sengaja dan atas kemauan sendiri tanpa ada paksaan dari pihak lain. 

"Jika pihak wanitanya melakukan zina lantaran dipaksa, maka menurut qaul yang lebih tepat hajinya tidak batal dan tidak ada kewajiban atasnya membayar Fidyah," kata Dr Muhammad.

Jika jimanya dilakukan sesudah dan sebelum tahallul awal, maka hajinya tidak batal, namun wajib atasnya menyembelih unta unta gemuk besar. Hal ini dikarenakan Nabi telah bersabda

"Haji manasik haji yang paling pokok itu Wukuf di Arafah." (HR.Ash.habus Sunan dan para Imam).

5. Jima dalam Ihram Umroh. Jika terjadi dalam Ihram umroh sebelum thawaf sebanyak empat putaran, maka umroh ini menjadi rusak, namun pelakunya tetap wajib meneruskan rangkaian umurnya hingga selesai. Dan selanjutnya di kesempatan mendatang ia wajib mengerjakan umrah baru sebagai ganti bagi umroh yang rusak itu.

"Dan disamping itu ia wajib menyembelih domba sebagai tebai denda," kata Dr. Muhammad

Dr Muhammad mengatakan,  bahwa itu lebih ringan statusnya daripada Haji, sehingga pelanggaran yang terjadi di dalam pun Harusnya juga lebih ringan, sehingga hanya wajib menyembelih kambing bukan unta. Jika gimana terjadi sesudah tawa, maka umurnya tidak rusak alias tetap sah. 

"Sebab rukun Umroh itu adalah tawaf dan dengan mengerjakan rukunnya, maka status sebenarnya sah namun demikian ia harus menyembelih kambing," katanya.

6. Meminang dan akad nikah. Orang yang sedang berihram hukumnya haram. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW. 

"Orang-orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau dinikahkan dan tidak boleh pula meminang." "HR muslim.

Jakarta -

Tahallul merupakan salah satu rukun haji yang harus dipenuhi. Selain dalam ibadah haji, tahallul juga berlaku dalam umrah.

Dikutip dari Buku Ajar Studi Fiqh oleh Aldila Septiana dan Firman Setiawan, secara bahasa tahallul artinya menjadi boleh (menjadi halal). Sedangkan, menurut istilah syara', tahallul adalah diperbolehkannya atau dibebaskannya seseorang dari pantangan ihram.

Menurut Jumhur Ulama (selain Syafi'iyah), tahallul adalah wajib. Sedangkan menurut Syafi'iyah tahallul adalah rukun haji. Sesuai urutan rukun haji, tahallul dikerjakan setelah sa'i.

Secara umum, tahallul dibedakan menjadi dua macam. Yaitu tahallul umrah dan tahallul haji. Sebagaimana dikutip dari buku Pintar Muslim dan Muslimah oleh Rina Ulfatul Hasanah, tahallul umrah merupakan tahallul yang hanya berkaitan dengan ibadah umrah.

Apabila seorang jama'ah umrah telah melaksanakan seluruh rangkaian wajib umrah, kemudian mengakhirinya dengan memotong rambut, maka gugurlah larangan semasa ibadah umrah. Tahallul dalam umrah adalah mencukur rambut. Dalam umrah, tahallul hanya dilakukan sekali saja.

Sementara itu, dalam ibadah haji tahallul dibedakan menjadi dua macam. Yaitu tahallul awal dan tsani. Berikut penjelasannya:

1. Tahallul Ashghar (Tahallul Awal)

Tahallul Asghar atau tahallul awal merupakan tahallul tahap pertama dengan ditandai gugurnya sebagian larangan bagi jama'ah haji. Tahallul awal bisa dilakukan dengan menjalankan dua dari tiga yaitu bercukur, melempar jumrah aqabah, dan thawaf ifadhah.

Setelah melakukan tahallul awal, semua larangan ihram diperbolehkan kecuali jima' dan hal-hal yang mendorong pada hal tersebut seperti mencium dan menyentuh dengan syahwat.

Menurut ulama kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah melakukan akad nikah juga masih dilarang setelah tahallul pertama. Sementara itu, ulama Malikiyah mengatakan, yang dilarang adalah jima' dan hal-hal yang mendorong pada jima' dan wewangian.

2. Tahallul Tsani (Tahallul Akhir)

Tahallul Tsani atau tahallul akhir merupakan tahallul yang dilakukan setelah terpenuhinya seluruh rangkaian ibadah haji. Tahallul tsani tercapai setelah melakukan tiga rangkaian lengkap yakni bercukur, melempar jumrah, dan thawaf ifadhah.

Dengan melakukan tahallul ini, maka seluruh larangan dalam ihram sudah diperbolehkan. Menurut Jumhur Ulama selain Hanafiyah, setelah melakukan tahallul tsani, jama'ah wajib melakukan wajib haji yang masih tersisa termasuk bermalam di Mina. Namun, statusnya tidak sedang berihram.

(lus/lus)

Reporter : Ahmad Baiquni

Berada di Tanah Suci selama 40 hari tentu bukan waktu yang sebentar.

Dream - Saat ini, sebagian umat Islam seluruh dunia khususnya Indonesia sedang melaksanakan ibadah haji. Mereka berada di Tanah Suci sekitar 40 hari dan menjalankan seluruh rangkaian haji yang puncaknya berlangsung pada 10 Zulhijjah.

Tidak sedikit pula yang menjalankan umroh bersama pasangannya. Waktu selama 40 hari tentu cukup lama bagi suami istri untuk menahan hasrat.

Saudi Tambah Syarat Masuk Jemaah Umroh, Wajib Negatif PCR atau Antigen

Ketika bersama pasangan, ada kalanya seseorang mungkin tidak sanggup menahan hasrat berhubungan suami istri. Lantas, bagaimana hukumnya apabila terjadi jimak ketika haji?

Dikutip dari NU Online, Imam An Nawawi dalam kitab Majmu' Syarh Al Muhadzdzab menyatakan salah satu larangan dalam ibadah haji maupun umroh adalah berjimak dengan pasangan. Jika terjadi, maka ibadah haji atau umroh sudah batal.

Pada haji, jimak baru dibolehkan apabila sudah prosesi haji hingga tahallul awal sebagai pertanda lepasnya larangan selama ihram. Tandanya, sudah melontar Jamratul Aqobah dan bercukur sesudahnya.

© Dream

Jika sebelum tahallul awal terjadi jimak, maka pasangan suami istri masing-masing terkena dam atau denda Tartib dan Ta'dil. Dendanya berupa menyembelih seekor unta, bisa diganti seekor sapi atau tujuh ekor kambing jika tidak mampu.

Apabila tidak mampu menyembelih hewan, bisa diganti dengan memberi makan fakir miskin di Mekah senilai satu ekor unta. Dan jika masih tidak mampu, diganti dengan puasa sebanyak hitungan 1 mud setiap hari.

Jumlah puasa yang harus dijalankan disesuaikan dengan harga makanan yang senilai dengan satu ekor unta. Denda ini harus dikerjakan sejak pelanggaran terjadi, rangkaian harus tetap harus dikerjakan dan wajib mengulang dari awal.

Selengkapnya...

(ism

Wednesday, 15 Jul 2020 15:15 WIB

Waktu Dihalalkan Berhubungan Suami Isteri untuk Jamaah Haji (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berhubungan suami isteri termasuk salah satu di antara hal yang yang dilarang ketika kita menjalankan ibadah haji maupun umroh. Untuk itu jamaah haji laki-laki dan perempuan supaya memperhatikan larangan ini agar tak melanggarnya. 

"Bahkan larangan ini (hubungan suami isteri) melebihi larangan-larangan yang lainnya," kata Pembimbing Ibadah Haji Kelompol Bimbimbingan Ibadah Haji (KBIH) Al Ittihad Ustaz Rafiq Zauhari,Lc saat berbincang dengan Republika.co.id, Rabu (15/7).

Ustaz Rafiq mengatakan, ketika kita berihram jika hanya sebatas potong kuku kemudian jamaah misalkan memakai wewangian, itu dikenakan hukuman damm yang hanya diberikan hukuman denda menyembelih kambing saja.

Akan tetapi jika melakukan hubungan suami istri, ketika sedang melaksanakan ihram baik itu ihram untuk haji ataupun umroh maka hukumannya menyembelih seekor unta. "Ini termasuk salah satu di antara hal yang terlarang," katanya.

Selain itu juga kata dia, larang itu tidak sebatas berhubungan suami istri yang terlarang bahkan Rasulullah SAW juga mengingatkan agar kita tidak melakukan perbuatan rafats, jidal, dan fusuk. 

Apa yang dimaksud dengan rafats? Ustaz Rafiq menuturkan, bahwa rafats itu adalah segala sesuatu yang mendekatkan pada hubungan suami istri entah itu berupa perkataan perkataan-perkataan jorok ataupun mungkin berupa perbuatan perbuatan-perbuatan yang mendekatkan pada hubungan suami istri.

"Ataupun mungkin dalam bentuk-bentuk yang lainnya itu termasuk hal yang sangat hendaknya kita perhatikanlah ketika kita sedang menjalankan ibadah umroh maupun haji," katanya.

Ustaz Rafiq mengatakan, ketika kita menjalankan ibadah umroh kapan kita diperbolehkan untuk kembali berhubungan suami istri? Jawabanya yaitu ketika kita sudah tahallul. 

Sedangkan untuk jamaah haji diperbolehkannya saat tahallul kedua. Karena ibadah haji itu ada dua tahallul. Tahallul pertama dan tahallul kedua maka diperbolehkannya lagi ketika sudah melaksanakan tahallul yang kedua. 

Ustaz Rafiq tahallul yang pertama itu disimbolkan dengan memotong rambut. Memotong rambut bisa kita lakukan mulai dari tanggal 10 Dzulhijah. Atau setidaknya ketika kita sudah melaksanakan dua dari empat kewajiban.

Dalam pelaksanaan ibadah haji ada empat kewajiban saat 10 Dzulhijah. Pertama ketika masuk tanggal 10 Dzulhijjah jamaah haji diwajibkan untuk melempar jumrah aqabah, kemudian yang kedua selain itu ada juga menyembelih kambing, menyembelih hanya untuk jamaah yang menjalankan ibadah haji secara tamattu ataupun secara qiron tetapi yang haji ifrad tidak perlu. 

"Kemudian yang ketiga tawad ifadah dan kemudian yang keempat potong rambut," katanya.

Ustaz Rafiq yang juga pemilik PPIU Taqwa Tours mengatakan, ketika kita sudah melakukan dua hal setidaknya yang paling mudah tanggal 10 Dzulhijah kita telah melempar jumroh aqobah kemudian potong rambut maka itu sudah dinamakan tahallul pertama.

Kata dia, ketika kita sudah melakukan tahallul pertama maka boleh bagi kita untuk ganti pakaian biasa yang tadinya masih memakai pakaian ihram kemudian bisa menggantinya yang laki-laki memakai baju, celana yang diperbolehkan. Kemudian mandinya bisa pakai sabun dan pakai wewangian sudah diperbolehkan. "Kecuali yang belum diperbolehkan hubungan suami istri," katanya.

Ia menegaskan, hubungan suami istri diperbolehkan kalau empat kewajiban ini sudah ditunaikan termasuk sudah sampai dengan masalah tawaf ifadah. Tawaf ifadah ini boleh kita lakukan tanggal 10 Dzulhijah langsung diselesaikan atau boleh tawaf ifadoh juga ditunda. "Ditunda Sampai kapan beberapa ulama berbeda pendapat," katanya.

Pendapat pertama batas akhir tawaf ifadah itu sampai akhir Dzulhijjah alasannya apa? Marena memang bulan haji itu dibatasi mulai dari bulan Syawal Zulkaidah dan Dzulhijjah dan Muharram sudah bukan masuk bulan haji lagi.

"Tetapi pendapat yang kedua mengatakan tawaf ifadah itu tidak ada batasnya," katanya.

Misalkan ada jamaah haji ketika jadwalnya pulang dia langsung pulang begitu saja belum melaksanakan tawaf ifadah boleh-boleh aja, tetapi nanti dia, masih punya tanggungan untuk tawaf ifadah sebelum dia tawaf ifadah, walaupun dia sudah pulang maka belum diperbolehkan berhubungan suami istri.

"Kembali ke pertanyaan tadi kapan diperbolehkan berhubungan suami istri? Yaitu ketika sudah melaksanakan seluruh kewajiban Haji termasuk yang terpenting adalah tawaf ifadahnya sudah ditunaikan," katanya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA