Bagaimana prospek teknologi keuangan di masa depan

PERKEMBANGANinternet yang demikian cepat dan perubahan gaya hidup generasi muda membawa dampak pada dunia finansial melalui teknologi keuangan yang dikembangkan secara luar biasa di Indonesia. Namun sejarah mencatat, 10 tahun yang lalu pengguna internet di Indonesia hanya berkisar 20 juta, sangat jauh dari sekarang yang mencapai 132 juta pengguna.

Saat ini, dengan pengguna internet yang jumlahnya melebihi penduduk negara-negara Asia Tenggara, bahkan sebagian besar negara-negara di Asia, Indonesia menjadi pangsa pasar yang besar, baik dalam hal penggunaannya maupun pengembangannya.

Setelah e-commerce laris manis dan menjadi primadona transaksi perdagangan dalam beberapa tahun terakhir, pasar keuangan digoyang dengan kehadiran bisnis-bisnis rintisan baru dalam bidang keuangan.

Konsep dan paradigma mengenai dunia keuangan yang baru menjadi senjata bagi banyak pengusaha muda untuk memulai usaha ini. Meskipun dianggap baru, Bill Gates pernah menyampaikan pada 1994, ”Banking is necessary. Banks are not.”

Hal itu menggambarkan, aktivitas perbankan meskipun dibutuhkan, wujud fisiknya tidak lagi penting. Pernyataan yang dulu dinilai kontroversial itu seperti mengingatkan dunia perbankan untuk bersiap-siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang radikal. Jika tidak, akan tergantikan oleh bentuk baru dari perbankan.

Peristiwa mantan CEO Nokia Stephen Elop yang pernah menangisi nasib Nokia saat diserahkan ke Microsoft kurang lebih mengingatkan kita akan perubahan pasar yang dinamis. Saat itu dia mengatakan, ”We didnít do anything wrong, but somehow, we lost”. Meskipun sebagai pemimpin pasar saat itu Nokia tidak melakukan kesalahan apa pun, tetapi tetap kalah dalam kompetisi.

Keistimewaan sebagai posisi pemimpin pasar sering kali meningkatkan kenyamanan sehingga kemampuan untuk men-disrupsi dirinya sendiri kurang berani. Bahkan untuk mencoba sistem operasi baru saja muncul resistensi yang kuat di internal organisasi.

Jika dalam organisasi perbankan juga muncul penolakan yang sama seperti dialami Nokia, pasar masa depan bukan saja tidak dapat diraih bahkan pasar saat ini bisa saja terlepas. Financial technology (fintech) di Indonesia saat ini bergerak dengan cepat.

Nilai pembiayaan fintech di Indonesia dilaporkan terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2016, nilai pembiayaannya berkisar Rp 190 triliun, sedangkan tahun 2017 setara dengan Rp 247,65 triliun. Bahkan diprediksi nilai pembiayaan pada 2021 akan naik menjadi Rp 494 triliun.

Fintech di Indonesia

Istilah financial technology (teknologi finansial) muncul secara tidak sengaja bersamaan dengan pembentukan Financial Services Technology Consortium pada 1993. Namun salah satu editor Sunday Times pernah menggunakan istilah tersebut pada 1980.

Menurut Forbes, teknologi finansial sudah berkembang lebih dari 65 tahun yang lalu sejak kemunculan kartu kredit, anjungan tunai mandiri, dan penjualan saham elektronik. Selanjutnya keberadaaan internet dan e-commerce memunculkan berbagai produk finansial berbasis internet.

Kini, berbagai bentuk fintech yang dapat menjembatani aktivitas finansial dalam masyarakat bermunculan, dari ebanking, dompet elektronik (e-wallet), uang elektronik (e-money), gerbang pembayaran (payment gateway), peminjaman dan pengumpulan dana, serta perencanaan keuangan.

Dengan kelebihan akses yang tidak terbatas, bisa digunakan atau dikunjungi setiap saat, tidak berbatas lokasi dan bisa komunikasi secara langsung ke masingmasing pribadi, menjadikan teknologi finansial segaris dengan karakteristik generasi muda yang mandiri dan gadget oriented.

Tidak heran beberapa pengusaha di bidang teknologi seperti Apple dan Google berlomba-lomba masuk ke bidang ini karena merasa lebih memahami perilaku pengguna teknologi. Di Indonesia, lebih dari 180 perusahaan telah dikembangkan dengan bidang teknologi finansial.

Berdasarkan KataData.co.id, sebagian besar dari perusahaan tersebut bergerak di bidang pembayaran (40%). Bidang pinjaman 23 persen, agregator 12 persen, perencanaan keuangan dan crowdfunding masing-masing 7 persen, bidang lain 11 persen.

Tujuan penggunaan teknologi sejatinya untuk membuat hidup lebih mudah. Hal ini juga sejalan dengan prinsip dari inovasi disruptif yang fokus pada hal yang lebih cepat, lebih murah, lebih mudah, dan sering kali lebih sederhana.

Karena itu, pengembangan teknologi finansial juga punya beberapa hal yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah saat ini. Dengan tetap melihat keunggulan perbankan dalam keamanan dan privasi, diharapkan pemanfaatan teknologi finansial dapat meningkatkan kemudahan dalam persetujuan dan transaksi, menurunkan biaya transaksi, mempercepat dana sampai tujuan, mempermudah kustomisasi dengan kebutuhan, serta dapat memanfaatkan teknologi yang saat ini banyak digunakan masyarakat.

Bagi dunia pendidikan, mereka akan sangat terbantu dengan keberadaan teknologi finansial, terutama dalam hal pengelolaan keuangan perkuliahan siswa atau mahasiswa, layanan tambahan di sekolah atau kampus, pencarian sponsor kegiatan, pembiayaan aktivitas sekolah, serta pengembangan jiwa kewirausahaan. Memahami kebutuhan masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan pengembangan bank dalam mengembangan teknologi finansialnya . (49)

Prof DrRidwan Sanjaya, guru besar Sistem Informasi Unika Soegijapranata.

Sumber : Wacana Nasional Suara Merdeka, e-paper Suaramerdeka Suara Merdeka 1 Februari 2018

Kategori: Media Cetak, Media OnLine, Tulisan

Sebagai negara dengan pertumbuhan pengguna Internet yang esat dan memiliki pertumbuhan kelas menengah yang tinggi, Indonesia cepat lambat akan menjadi pasar buat industri FinTech (financial technology). Perlu ada kolaborasi antara Fintech dengan bank dan lembaga keuangan supaya manfaatnya bisa optimal buat masyarat. Dibutuhkan dukungan dari regulator supaya terdapat aturan main yang jelas yang memberikan perlidungan bagi konsumen.

FinTech adalah kolaborasi antara finansial/keuangan dan teknologi. Cepatnya kemajuan teknologi membantu para startup membangun inovasi produk keuangan yang berbeda dari perbankan konvensional. Di banyak negara, inovasi keuangan dari startup tersebut terbukti tidak hanya memunculkan solusi-solusi baru yang inovatif buat konsumen, tetapi sekaligus menggoyang industri keuangan yang sudah mapan.

Menurut survei McKinsey di bulan Maret 2015, masyarakat Asia sedang dengan cepat beralih ke online banking. Konsumen sangat terbuka untuk pindah dari pelayanan via cabang ke digital, jika memang tawarannya yang menarik.

Buat Indonesia, luasnya kondisi geografis, masih rendahnya penetrasi produk keuangan, dan tingginya pertumbuhan kelas menengah adalah pasar yang subur buat perkembangan FinTech. Belum lagi semakin terjangkaunya harga smartphone.

Kontribusi FinTech

Sejauh ini, keberadaan aplikasi keuangan yang digawangi startup di Indonesia sudah mulai bermunculan. Kita bisa melihat aplikasi perbandingan produk keuangan, seperti CekAja, AturDuit, atau HaloMoney yang membantu calon konsumen memilih produk dengan lebih mudah. Ada pula layanan pinjaman online yang menjanjikan proses cepat.

FinTech punya peluang sangat besar di Indonesia karena bisa memberikan solusi yang tidak ditawarkan oleh perbankan konvensional.

Alasan pertama, layanan FinTech menawarkan kecepatan. Dengan teknologi big data, penggunaan algoritma, dan proses online, keputusan kredit bisa diambil dalam rentang waktu sangat cepat jika dibandingkan bank konvensional. Pengisian aplikasi dilakukan sepenuhnya melalui online dengan desain teknologi yang sangat memahami perilaku para penggunanya. Pinjaman diproses tanpa perlu tatap muka dengan nasabah.

Wonga, startup pelopor pinjaman online dari Inggris, memberikan keputusan dan mencairkan pinjaman ke rekening peminjam dalam hitungan detik. Di Indonesia, sebuah startup pinjaman online sudah bisa mencairkan pinjaman dalam waktu 1 jam. Sangat berbeda dengan perbankan atau multifinance yang membutuhkan waktu beberapa hari buat nasabah menerima pencairan dana.

Kedua, layanan FinTech menawarkan solusi keuangan yang tidak bisa ditawarkan oleh bank. Karena biaya operasional yang cukup besar, bank memiliki keterbatasan dalam hal minimum pinjaman dan jangka waktu pinjaman. Sementara, kebutuhan masyarakat seringkali lebih rendah dari batasan minimum tersebut.

Dalam ceruk pasar yang ditinggalkan bank ini, FinTech masuk dengan menawarkan produk pinjaman dengan plafond lebih rendah dan jangka waktu pendek karena mereka memiliki proses operasional dan teknologi yang lebih simpel dan efisien. Contohnya, sebuah perusahaan pinjaman online di Jakarta menawarkan plafond di rentang 1.5 juta sd 2 juta dengan masa kredit 10 hari sampai 30 hari.

Ketiga, layanan FinTech memanfaatkan analisis big data secara komprehensif. Salah satu kekuatan FinTech adalah penggunaan data. Dalam hal pinjaman, credit scoring digunakan sejak awal dan dalam setiap fase keputusan kredit.

Penggunaan big data membuat keputusan menjadi lebih cepat serta akurat, dan menghemat biaya operasional karena prosesnya dijalankan secara otomatis dengan sedikit intervensi.

Yang menarik adalah data yang digunakan tidak lagi terbatas pada data finansial dan demografi, layaknya perbankan konvensional, tetapi juga sudah mulai memanfaatkan data-data dari media sosial.

Di beberapa negara ditemukan bahwa perilaku di media sosial ternyata punya korelasi dengan karakter serta kualitas pinjaman. Media sosial tampaknya akan menjadi indikator penting dalam mengevaluasi kelayakan kredit seseorang.

Kolaborasi dan Regulasi

Ada dua pekerjaan rumah FinTech, yaitu kolaborasi dan regulasi. Kolaborasi dengan bank dan lembaga keuangan akan membantu masing-masing pihak fokus pada kekuatan masing-masing, sehingga bisa memberikan produk terbaik buat masyarakat.

Sebagai contoh, fitur e-cash dan e-money yang sekarang sedang gencar ditawarkan oleh perbankan bisa menjadi alternatif alat pembayaran dalam transaksi online. Salah satu aplikasi ojek online memberikan pilihan fitur kepada konsumen untuk membayar menggunakan e-cash.

Namun, regulasi keuangan perlu mendukung proses bisnis FinTech. Contohnya, regulasi pembukaan e-cash mewajibkan tatap muka dengan calon konsumen. Sementara, dalam transaksi online, tatap muka tidak dilakukan lagi, digantikan dengan cara verifikasi lain.

Dalam industri keuangan, regulasi menjadi sangat penting karena regulasi yang memadai akan menjamin perlindungan konsumen dan kesehatan sistem keuangan. Para pelaku perlu bersama membahas dengan regulator keuangan bagaimana perlu segera bersiap, mengidentifikasi pola bisnis serta risiko-risiko dari jenis usaha FinTech ini. Menyiapkan aturan main yang sesuai dengan karakter bisnis mereka.

Cepat atau lambat bisnis FinTech tidak akan terbendung dan akan menjamur di Indonesia. Saat itu datang, harapannya semua sudah siap.

- Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh blogger keuangan Rio Quiserto. Rio mengelola blog keuangan pribadi Duwitmu dan bisa dihubungi melalui Twitter @duwitmu.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA