Bagaimana menurut anda tentang ruu jika dihubungkan dengan pancasila

Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila belakangan tengah menjadi sorotan. RUU ini memicu sejumlah tanggapan politisi dan agamawan yang menganggapnya tak memiliki urgensi dibahas di masa pandemi. Ormas keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah juga menilai RUU ini dapat menjadi celah bangkitnya ideologi tertentu di luar Pancasila.

Salah satu titik permasalahan RUU ini adalah di dalamnya tidak mencantumkan TAP MPRS 25/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis di Indonesia serta larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme Leninisme. Selain itu, frasa pada Pasal 7 yang memeras Trisila dan Ekasila dapat ditafsirkan “liar” karena lima sila Pancasila saling berkaitan.

Menanggapi isu menarik ini Pusat Studi Hukum (PSH) FH UII mengadakan diskusi daring membahas urgensi dan masa depan RUU ini. Dua pemateri yang hadir yaitu M. Rusydan Annas selaku staf peneliti PSH FH UII dan Anang Zubaidy, S.H., M.H. dosen FH UII.

Dalam perjalanan sejarah, kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara mengalami pasang surut. Pancasila merupakan dasar falsafah pendirian Indonesia. Falsafah merupakan pewujudan watak dan keinginan dari suatu bangsa, segala aspek kehidupan bangsa tersebut harus sesuai dengan falsafahnya. Demi memperkuat falsafah dan penafsiran sila-sila sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara ini maka dibentuklah RUU HIP.

Anang Zubaidy menegaskan kembali jika RUU HIP ini disahkan, maka indoktrinasi Pancasila atas nama upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila sangat mungkin untuk dilakukan. “Negara akan masuk bagaimana caranya masyarakat itu menjadi terinternalisasi nilai-nilai Pancasila yang pada akhirnya menjadi tafsir tunggalnya penguasa”, ujarnya.

Menurutnya, RUU ini memiliki kesan untuk membangkitkan aura dan kharisma Soekarno kembali untuk dihadirkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia saat ini.
“Seolah-olah hal tersebut ingin menafikkan tokoh-tokoh lain di luar Soekarno, karena Pancasila bukan hanya hasil dari kesepakatan Soekarno namun juga kesepakatan dari negarawan-negarawan lain yang tergabung dalam the founding fathers kita”, jelasnya.

Ia juga khawatir apabila RUU HIP justru menghambat tumbuhnya demokrasi karena campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat akan semakin besar. Dengan internalisasi cukup kuat maka kebebasan masyarakat untuk berekspresi menjadi semakin kecil. Karena demokrasi pada hakikatnya adalah hak untuk berbeda pandangan atau pendapat maka RUU HIP ini juga potensial akan menghapus indikator tersebut.

Sementara itu, Rusydan Annas menyoroti hal yang patut dipermasalahkan lain yaitu kejanggalan pada hirarki peraturan perundang-undangan “Dalam bidang hukum, Pancasila merupakan sumber hukum materiil, setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya, tetapi dalam RUU ini Pancasila malah diletakkan pada undang-undang dan undang-undang ada di bawah Pancasila, sehingga ada ketidaksesuaian penalaran hukum mengenai hirarki tersebut.” jelasnya.

Ia menilai apabila RUU HIP ini disahkan di kemudian hari, lantas bagaimana jika ada RUU yang ingin diterbitkan setelah UU HIP bertentangan dengan Pancasila, dan bagaimana sistem pengujian undang-undang tersebut yang pada hakikatnya undang-undang tidak boleh saling menguji undang-undang lainnya.

“Selain permasalahan hirarki tersebut, nilai-nilai yang ada dalam Pancasila hanya akan berdasarkan pada UU HIP tersebut, pemahamannya akan menjadi kaku dan tidak fleksibel.” pungkasnya. (MRA/ESP)

YOGYAKARTA – UUD 1945 yang mengalami amandemen empat kali dinilai tidak berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Pasalnya ditemukan inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antarpasal dan ayat dalam undang-undang tersebut. Akibatnya, negara terjebak pada kekuasaan oligarki, praktik penyelenggaraan lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum, namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.

Demikian yang mengemuka dalam Sarasehan Kebangsaan "Mewujudkan UUD Berdasar Pancasila", Rabu (12/2), di Kampus UGM. Sarasehan yang digagas Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM ini menghadirkan para pakar dan intelektual seperti Ketua PSP UGM Prof. Dr. Sudjito, Tokoh Masyarakat Prof. Dr. Ahmad Safii Maarif, Guru Besar Ilmu Filsafat UGM Prof. Dr. Kaelan, dan Sosiolog UGM Prof. Dr. Sunyoto Usman.

Guru Besar Filsafat UGM, Prof. Dr. Kaelan mengatakan amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang Negara Hukum, Tujuan Negara, dan Demokrasi, tidak menunjukkan adanya hubungan yang koheren dengan nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam esensi staatsfundamentalnorm yaitu nilai-nilai Pancasila. “Hasil penjabaran dari amandemen UUD lebih memprioritaskan aspek politik dan hukum sementara tujuan negara welfare state tidak dijadikan prioritas,” katanya.

Kaelan mencontohkan beberapa pasal UUD 1945 misalnya, ayat 4 pada pasal 33 yang mengatur perekonomian Indonesia bertentangan dengan tiga ayat sebelumnya. “Yang intinya menyebutkan demokrasi ekonomi dan dalam prakteknya diterapkan ekonomi liberal. Pasal ini tidak koheren dengan pembukaan UUD 1945, Pancasila dan Pasal 1 UUD 1945,” katanya.

Pasal lainnya, seperti Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik, lalu pada ayat 2 Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Namun berdasarkan sistem demokrasi hasil amandemen, kekuasaan eksekutif dan legislatif, menunjukkan representasi kekuasaan rakyat berhenti pada presiden, DPR dan DPD.

Apabila sebelum amandemen MPR merupakan representasi kekuasaan dan kedaulatan, dengan hasil amandemen UUD tugas MPR hanya praksis melantik Presiden dan Wakil Presiden saja, “Struktur kekuasaan negara yang ada saat ini, MPR itu ibarat macan ompong. Setelah tugasnya melantik, kemudian tidur selama 5 tahun,” selorohnya. 

Menurut Kaelan, jika kedaulatan rakyat berhenti pada presiden dan DPR maka tujuan negara tentang kesejahteraan sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila akan mustahil terwujud.

Selain itu pada pasal 22E UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Umum juga menunjukkan kontradiksi, dimana proses demokrasi berprinsip liberalisme-individualisme, karena semua dilaksanakan secara langsung berdasarkan pada prinsip matematis tanpa memberi ruang musyawarah dan mufakat.

Senada, Ahmad Syafii Maarif menilai hasil pemikiran amandemen UUD 1945 saat ini jauh menyimpang pada nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, titik pangkal persoalan ada pada perilaku elit negara yang tidak bersikap negarawan. “Amandemen UUD itu karena ada euforia begitu rupa. Amandemen 4 kali itu tidak sehat, sarat emosional,” ujarnya.

Untuk meluruskan kembali UUD 1945 yang berdasarkan pada Pancasila, Safii Maarif mengusulkan agar bisa merujuk hasil dokumen konstituante 1956-1959. “Perlu ungkap kembali, 90 persen isinya bagus,” katanya.

Kepala PSP UGM, Prof. Sudjito, mengatakan amandemen UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang ada saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Pancasila. Sebab, wakil rakyat dahulunya tidak diajarkan tentang ilmu dan norma-norma dasar filsafat Pancasila. “Jika norma dasarnya salah, tataran praksis akan tetap salah,” tambahnya.

Diakui Sudjito, banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan hanya menyesuaikan pada kepentingan partai, kelompok, dan tidak jarang mencomot ideologi asing. (Humas UGM/Gusti Grehenson)

Penulis: Danu Umbara - Kanwil DJKN Banten

Pancasila Sebagai Philosopische Grondslag

Bangsa Indonesia memperingati tanggal 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Referensi histori dari “kelahiran” Pancasila pun dapat kita temui baik dalam bentuk sumber/bahan kepustakaan maupun media elektronik visual yang berkembang pesat saat ini. Namun, terkadang kita sering lupa untuk menelaah tidak hanya dari sisi “seremonial” perayaan kelahirannya, tetapi selayaknya kita perlu juga untuk memahami secara lebih komprehensif mengenai kedudukan Pancasila. Bahkan mungkin diantara kita masih berpendapat bahwa Pancasila hanya merupakan sebagai ideologi negara. Apakah pendapat ini sudah tepat?

Soekarno menyebut Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Pancasila memiliki dua kepentingan yaitu:

a. Pancasila diharapkan senantiasa menjadi pedoman dan petunjuk dalam menjalani keseharian hidup manusia Indonesia baik dalam berkeluarga, bermasyarakat maupun berbangsa.

b. Pancasila diharapkan sebagai dasar negara sehingga suatu kewajiban bahwa dalam segala tatanan kenegaraan entah itu dalam hukum, politik, ekonomi maupun sosial masyarakat harus berdasarkan dan bertujuan pada Pancasila.

Pancasiila dalam kedudukannya sebagai kristalisasi nilai-nilai yang dimiliki dan diyakıni kebenarannya oleh bangsa Indonesia, telah dirumuskan dalam alinea keempat pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, memiliki fungsi utama sebagai dasar negara Indonesia. Dalam kedudukannya yang demikian Pancasila menempati kedudukan yang paling tinggi, sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional dalam tata hukum di Indonesia.

Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber hukum dasar nasional, menjadikan Pancasila sebagai ukuran dalam menilai hukum yang berlaku di negara Indonesia. Hukum yang dibuat dan berlaku di negara Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan rasa keadilan yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hukum di Indonesia harus menjamin dan merupakan perwujudan serta tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan interpretasinya dalam tubuh UUD 1945 tersebut.

Pancasila dalam posisinya sebagai sumber semua sumber hukum, atau sebagai sumber hukum dasar nasional, berada di atas konstitusi, artinya Pancasila berada di atas UUD 1945. Jika UUD 1945 merupakan konstitusi negara, maka Pancasila adalah Kaidah Pokok Negara yang Fundamental (staats fundamental norm).

Kaidah pokok yang fundamental itu mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat dan tidak berubah bagi negara tersebut. Pancasila tidak dapat diubah dan ditiadakan, karena Ia merupakan kaidah pokok yang fundamental. Bung Karno menyebut Pancasila itu sebagai philosofische grondslag (fundamen filsafat), pikiran sedalam-dalamnya, untuk kemudian di atasnya didirikan bangunan “Indonesia merdeka yang kekal dan abadi”.

Secara yuridis formal berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, konstitusi sebagai hukum dasar memungkinkan adanya perubahan. namun Pancasila dalam kedudukannya sebagai kaidah pokok negara (staats fundamental norm) sifatnya tetap kuat dan tak berubah. Staats fundamental norm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi.

Pancasila sebagai staats fundamental norm diletakkan sebagai dasar asas dalam mendirikan negara, maka ia tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena ia sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Mengubah Pancasila berarti mengubah dasar atau asas negara. Kalau dasar asas atau fundamental dari negara tersebut diubah maka dengan sendirinya negara yang diproklamasikan hasil perjuangan para pahlawan bangsa akan berubah atau tidak ada sebab dasarnya atau fundamennya tidak ada.

Kedudukan Pancasila Dikaitkan Dengan Theorie Von Stafenufbau Der Rechtsordnung

Hans Kelsen (1881 – 1973), ahli hukum dan filsuf Austria, terakhir berkarir di University of Berkeley Amerika Serikat, dan dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, memiliki gagasan yang dikenal dengan stufenbau theorie yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk membuat kerangka suatu bangunan hukum yang dapat dipakai dimanapun[2], dalam perkembangan selanjutnya diuraikan oleh Hans Nawiasky (ahli hukum berkebangsaan Jerman, “murid” dari Hans Kelsen) dengan theorie von stufenfbau der rechtsordnung yang menggariskan bahwa selain susunan norma dalam negara adalah berlapis-lapis dan berjenjang dari yang tertinggi sampai terendah, juga terjadi pengelompokan norma hukum dalam negara.

Tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada basic norm atau grundnorm (norma dasar),yaitu berupa konstitusi, tetapi konstitusi dimaksud adalah dalam pengertian materiil, bukan konstitusi formil.

Menurut Kelsen, norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam sistem suatu norma, ke dalam tatanan normatif tertentu, dapat diuji hanya dengan mengonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut.[3]

Konsep norma dasar Kelsen, kemudian diafirmasi oleh Nawiasky meskipun dengan sebutan lain yaitu staats fundamentalnorm. Nawiasky menegaskan, staats fundamental norm atau norma fundamental negara (norma dasar) adalah norma tertinggi dalam suatu negara dan norma ini merupakan norma yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, tetapi bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam negara dan merupakan norma yang menjadi tempat bergantungnya norma-norma hukum di bawahnya. Bahkan Nawiasky juga menegaskan bahwa isi norma fundamental negara merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar.[4]

Apabila mencermati maksud norma dasar menurut Kelsen dan atau norma fundamental negara menurut Nawiasky maka Pancasila merupakan norma dasar yang menginduki segala macam norma dalam tatanan norma di Indonesia. Untuk memperjelas kedudukan norma dasar dalam tatanan hukum suatu negara, Kelsen juga menjelaskan pola hubungan antarnorma melalui teorinya stufenbau atau hirarkis norma. Kelsen menjelaskan hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” yang merupakan kiasan keruangan.

Norma yang menentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah.[5] Menurut Achmad Ali, stufenbau theorie Kelsen merupakan peraturan hukum keseluruhannya dari norma dasar yang berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar. Norma dasar teratas adalah bersifat abstrak dan semakin ke bawah semakin konkrit. Dalam proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, berubah menjadi sesuatu yang “dapat” dilakukan.[6]

Teori Kelsen tentang hirarkis norma kemudian dikembangkan oleh muridnya Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehere. Nawiasky menegaskan bahwa sistem norma hukum di negara manapun selalu berlapis dan berjenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Nawiasky kemudian memberi gagasan baru tentang sistem norma tersebut yaitu dengan adanya pengelompokan norma.

Menurut Nawiasky, pengelompokan norma dalam suatu negara terdiri atas empat kelompok besar yaitu: kelompok pertama, Staats fundamental norm atau norma fundamental negara. Kelompok kedua, Staatgrundgesetz (aturan dasar/pokok negara). Kelompok ketiga, Formell Gesetz (Undang-Undang). Kelompok keempat, Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana & aturan otonom).[7]

Berdasarkan gagasan Kelsen dan Nawiasky di atas tentang stufenbau theorie atau teori tata urutan norma, dapat dipahami bahwa norma dasar atau norma fundamental negara berada pada puncak piramida. Apabila dikaitkan dengan Pancasila, maka dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai norma dasar berada pada puncak piramida norma. Dengan demikian, Pancasila kemudian menjadi sumber tertib hukum atau yang lebih dikenal sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Hal demikian, telah dikukuhkan oleh memorandum DPR-Gotong Royong yang kemudian diberi landasan yuridis melalui Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 jo Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978[8]. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dimaksudkan sebagai sumber dari tertib hukum negara Indonesia. Menurut Roeslan Saleh, fungsi Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mengandung arti bahwa Pancasila berkedudukan sebagai:

1. Ideologi hukum Indonesia;

2. Kumpulan nilai-nilai yang harus berada di belakang keseluruhan hukum Indonesia;

3. Asas-asas yang harus diikuti sebagai petunjuk dalam mengadakan pilihan hukum di Indonesia;

4. Sebagai suatu pernyataan dari nilai kejiwaan dan keinginan bangsa Indonesia, juga dalam hukumnya.[9]

Keberadaan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum kemudian kembali dipertegas dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 1 TAP MPR itu memuat tiga ayat:

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan;

2. Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan hukum tidak tertulis;

3. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

Pengaturan TAP MPR di atas lebih memperjelas maksud dari istilah sumber hukum dalam sistem hukum di Indonesia bahwa yang menjadi sumber hukum (tempat untuk menemukan dan menggali hukum) adalah sumber yang tertulis dan tidak tertulis. Selain itu, menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dari pembuatan segala macam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, tidak lagi ditemukan istilah Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Hal ini memang tidak mengganggu keberadaan Pancasila sebagai norma dasar yang menginduki segala norma tetapi tentu mengurangi supremasi dan daya ikat Pancasila dalam tatanan hukum.

Dikatakan demikian, karena nilai-nilai Pancasila seperti sebagai pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum dan cita-cita moral tidak lagi mendapatkan legitimasi yuridis. Terutama, sistem hukum modern sudah banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran positivisme hukum yang hanya mengakui peraturan-peraturan tertulis. Untuk itu, adalah suatu kekeliruan apabila tidak menerangkan secara eksplisit mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.

Menariknya, supremasi Pancasila dalam sistem hukum kembali ditemukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 ini disebutkan “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara”. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 (sebagaimana terakhir diubah sebagian dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019) yang mengatur tentang hal yang serupa.

Pada Pasal 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 ini tetap menegaskan hal yang sama sebagaimana dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dengan demikian, keberadaan Pancasila kembali menjadi supreme norm dalam sistem hukum negara Indonesia sehingga Pancasila sebagai suatu pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum maupun cita-cita moral bangsa terlegitimasi secara yuridis.

Kesimpulan

Pancasila sebagai philosopische grondslag atau pandangan hidup bangsa Indonesia memiliki kedudukan sebagai staats fundamental norm yang merupakan dasar asas dalam mendirikan negara, besifat tetap, tidak dapat diubah. Hukum di Indonesia tidak membenarkan perubahan Pancasila, karena ia sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber hukum dasar nasional di Indonesia. Penegasan serta legitimasi kedudukan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara (kaitannya dengan theorie von stufenfbau der rechtsordnung) selain telah secara jelas termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, juga telah secara jelas tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019.

Semoga dengan diperingatinya hari kelahiran Pancasila ke-75 pada tanggal 1 Juni 2020 ini tidak hanya sekedar mengulang kegiatan yang sifatnya hanya “seremonial” saja, namun juga dapat “melahirkan” penelahaan dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai tujuan dan kedudukan Pancasila yang harus diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk juga dalam pelaksanaan birokrasi pemerintahan.

Penulis menutup kajian singkat ini dengan sebuah adagium dari Descartes, “Cogito Ergo Sum”, semoga memberikan inspirasi untuk rekan-rekan yang membaca kajian ini.

DAFTAR REFERENSI

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Vol. 1 Pemahaman Awal, Jakarta, Kencana Premedia Group, 2009.

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (diterjemahkan dari buku Hans Kelsen, Generaly Theory of Law and State ; New York: Russel and Russel, 1971), Bandung: Nusa Media, 2014.

Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum : Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.

Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Yogyakarta, PT. Kanisius, 2007.

Roeslan Saleh, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta, Aksara Baru, 1979.

Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Serang, Suhud Sentrautama, 2010.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA