Bagaimana menghilangkan stigma tentang orang muslim itu teroris

Jakarta -

Ajaran agama manapun berpotensi disalahtafsirkan atau berpotensi dengan sengaja disalahtafsirkan oleh oknum tertentu dari agama tersebut untuk kepentingan yang sebenarnya tidak terkait dengan kebaikan yang diajarkan agama. Itulah yang sebenarnya terjadi pada kasus terorisme. Jadi kurang etis kiranya jika memaksakan pendapat yang mengatakan bahwa tidak perlu enggan mengakui adanya ajaran teroristik di dalam suatu agama tertentu.

Pandangan ini bisa menyesatkan dan disalahartikan oleh publik. Mengapa? Karena pandangan ini justru menghilangkan potensi penyalahgunaan ajaran agama oleh pihak tertentu untuk tindakan teroristik, dengan langsung mengonstruksi logika bahwa agama tertentu itulah yang menjadi penyebab aksi terorisme tersebut. Padahal, tidak ada ajaran agama yang mengajarkan tindakan terorisme.

Saya kira, pandangan seperti itu justru melahirkan reaksi yang setimpal pada ujungnya. Kebencian terhadap praktik dari ajaran agama tertentu yang disalahtafsirkan ternyata juga berpotensi melahirkan aksi teroristik balasan yang juga tak kalah brutalnya. Itulah yang terjadi pada kasus penembakan brutal di salah satu Masjid di New Zealand, beberapa tahun lalu, yang sebenarnya setara dengan aksi terorisme. Karena memandang praktik terorisme langsung terkait dengan agama tertentu, maka umat agama tertentu itu, yang sejatinya tak terkait dengan penyalahgunaan atau penyalahtafsiran ajaran agama, justru dirundung balasan teroristik yang tak semestinya ditanggung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jadi sikap para petinggi negara dan ormas-ormas Islam dalam menyikapi kejadian Makassar dan Trunojoyo perlu diapresiasi. Publik, terutama tokoh-tokoh tertentu, sebaiknya tidak perlu memaksa pemerintah atau ormas-ormas Islam untuk gamblang mengatakan bahwa memang ada ajaran teroristik di dalam agama Islam. Sudah pasti tak akan ada yang mengakui, karena memang tidak ada. Yang ada adalah penyalahgunaan atau penyalahtafsiran ajaran tertentu dalam Islam, yakni soal jihad, yang memang tidak sesuai dengan Islam.

Aksi terorisme sangat jelas faktanya. Tanpa membawa-membawa agama pun, faktanya bisa dilihat. Bom bunuh diri di Makassar atau kejadian di Trunojoyo, misalnya. Keduanya adalah fakta terorisme, yang jika tak dihubungkan dengan agama tertentu, tetap menjadi fakta terorisme. Dan jika kemudian dikatakan motivatornya adalah ajaran agama, maka sudah barang tentu bukan ajaran agama yang dimaknai secara benar.

Dengan kata lain, ajaran agama tertentu, yang sejatinya mengajarkan kebaikan, sejatinya secara logis tidak bisa dianggap sebagai penyebab, karena nyatanya penyalahgunaan dan penyalahtafsirannya lah yang menjadi penyebab. Batasnya memang terasa agak tipis. Tapi bagaimanapun, batas itu harus kita kedepankan, agar tidak terjadi penghakiman secara persepsional terhadap satu agama tertentu.

Jadi, bagi pemerintah fokus utama adalah pencegahan dan penindakan setiap aksi terorisme yang akan dan telah terjadi sesuai dengan hukum yang berlaku, yang didukung secara penuh oleh ormas-ormas Islam. Perkara ada atau tidak kaitannya dengan ajaran agama tertentu yang disalahgunakan, pemerintah harus mengambil batas secara tegas sehingga tidak mudah mencampurkan antara agama tertentu dan penyalahgunaan ajaran agama tertentu.

Yang perlu dibangun oleh pemerintah adalah komunikasi intens untuk memupuk kesepakatan bersama dengan semua elemen keagamaan bahwa terorisme adalah musuh semua agama di Indonesia. Sehingga, jika pemerintah mengambil sikap tegas terhadap teroris, maka itu tidak terkait dengan sikap pemerintah terhadap ajaran agama tertentu yang sejatinya mengajarkan kebaikan.

Dan bagi ormas, terutama ormas Islam yang memang sering dalam posisi dilema di saat ada aksi terorisme di Indonesia, perlu memastikan bahwa penyalahgunaan dan penyalahtafsiran ajaran agama Islam tidak terjadi terjadi di dalam ormas-ormas Islam yang ada dan di dalam lingkar pemahaman umat Islam Indonesia

Tentu ini bukan pekerjaan mudah, karena Islam di Indonesia juga berbeda-beda, baik dari sisi beberapa ajaran dasar dan pemahaman teknis maupun dari sisi organisasinya. Tapi yang harus dipastikan adalah bahwa tidak ada ormas Islam di Indonesia yang mengajarkan aksi terorisme dan semua masyarakat Islam Indonesia memahami ajaran itu.

Sehingga jika sampai ada yang menggunakan Islam sebagai landasan ideologis terorisme, maka dipastikan itu bukan ajaran Islam yang ada di Indonesia dan ormas-ormas Islam Indonesia wajib meminta pemerintah untuk menumpasnya, atas nama Islam. Komitmen-komitmen inilah yang harus ditegaskan dan dikedepankan hari ini, dari semua pihak, terutama pemerintah dan umat Islam, agar tidak terjebak ke dalam logika-logika yang justru memperkeruh suasana batin publik. Semoga.

Jannus TH Siahaan
Pengamat Pertahanan dan Keamanan

(gbr/gbr)

Tempo

Hafid Abbas
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017 dan Presiden Global Alliance of National Human Rights Institution di Asia Tenggara 2014-2015

Hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akhirnya terjadi. Pada 14 Desember lalu, atas kepeloporan Ilhan Omar, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Dewan mengegolkan Undang-Undang Anti-Islamofobia. Undang-undang itu kini tinggal menunggu persetujuan Senat.

...

Mulai dari

Rp.58.000*/Bulan

Akses tak terbatas di situs web dan mobile Tempo

Aplikasi Tempo Media di Android dan iPhone

Podcast, video dokumenter dan newsletter

Arsip semua berita Majalah Tempo sejak terbit 1971 dan Koran Tempo sejak edisi perdana 2001

Reporter: Apristia Krisna Dewi

Aula Student Centre, UIN Online – Islam merupakan agama damai dan toleran. Dengan berbekal pedoman Al-Qur’an dan Hadits, Islam telah menunjukkan kebenaran yang berlandaskan kasih sayang dan cinta damai kepada umat muslim. Ajaran tersebut berbeda dengan kelompok radikal yang kerapkali mengatasnamakan agama untuk melakukan gerakan jihad yang penuh dengan aksi teror dan kekerasan. Padahal, Islam melarang setiap umatnya untuk melakukan kekerasan terhadap orang lain dengan dalih agama.

Demikian rangkuman seminar dan diskusi publik bertajuk “Stigmatisasi Islam Terorisme vs Deradikalisasi Penafsiran” yang diadakan oleh BEMJ-Tafsir Hadits, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF), di Aula Student Centre, Senin (1/11). Turut hadir narasumber dari Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al-Khaththath, Peneliti Intitute For The Study of Cicilitation Fahmi Salim MA dan Ketua Bidang Kajian dan Keilmuan Rahmat Semesta Center Fahrur Razy MA.

Menurut KH Muhammad Al-Khaththath, masalah teroris kini bukan lagi yang berkaitan dengan pengeboman, tetapi stigmatisasi terhadap Islam. Teroris telah mencoreng pencitraan Islam sebagai agama yang mengajarkan jihad melalui kegiatan teroris padahal kenyataannya tidak. Dalam Islam itu sendiri teroris diharamkan dengan alasan apapun termasuk jihad.

“Hal itu dibuktikan dengan ditinjau dari istilah teroris yang jelas bukan dari kata Islami. Tetapi, sebenarnya dari bahasa barat yang dipopulerkan oleh mantan Presiden AS George W. Bush. Lalu mengapa Islam disalahkan? Dan inilah stigmatisasi yang menodai agama Islam,” kata Muhammad.

Muhammad juga menegaskan bahwa yang melakukan tindakan teroris merupakan segelintir orang yang salah penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga sering melakukan aksi terorisme atas nama agama. Hal itulah yang megakibatkan dampak yang luar biasa yaitu Islam dipandang sebagai agama teroris dan radikal.

Sementara itu pembicara Fahrur Razy mengungkapkan, bahwa tindakan terorisme muncul karena adanya ekstrimisme dan fanatisme di samping penyebab salah tafsir terhadap Al-Qur’an dan Hadits.

”Berawal dengan pemahaman teks keagamaan yang cenderung tekstual tanpa memperhatikan aspek mendalam  yang kemudian menjadi gerakan fanatisme berupa radikalisasi sehingga berimplikasi negatif pada pencitraan agama yang pada akhirnya menimbulkan berbagai dampak seperti Islam Phobia, umat Islam menjadi terpecah dan hilangnya kekuatan Islam,’ jelasnya.

Menurut Fahmi Salim, upaya deradikalisasi merupakan solusi terbaik bagi mereka yang terlibat teroris serta kelompok radikalis lainnya dengan menetralisir paham radikal melalui reedukasi dan resosialisasi serta menanamkan multikuralisme.

“Deradikalisasi pemahaman merupakan solusi efektif dibandingkan  menghukum pelaku teroris, baik hukuman penjara maupun hukuman mati. Oleh karena itu, dibutuhkan peran masyarakat beserta pemerintah untuk menyukseskan gerakan deradikalisasi sehingga para pelaku teroris kembali ke jalan yang benar dan Islam terbebas dari stigma negatif dari terorisme,” tandasnya.

 

unri.ac.id Gerakan radikal di Indonesia seringkali mengatasnamakan agama dan sudah berlangsung sejak abad pertengahan. Dalam kasus terorisme, misalnya karena pelakunya seorang muslim, maka timbul stigma di masyarakat bahwa terorisme identik dengan Islam. Namun, sebenarnya stigma tersebut salah, sebab Islam tidak mengajarkan demikian. Hal ini disampaikan mantan terorisme, Yudi, yang menjadi nara sumber penanggulangan terorisme dihadapan 6151 mahasiswa baru Universitas Riau (Unri) Tahun Ajaran 2018/ 2019 pada kuliah umum di lapangan terbuka depan komplek kampus Fakultas Pertanian Universitas Riau (Unri), Senin (27/8).

Yudi, menyampaikan gerakan radikal bukan berdasarkan agama tertentu, tetapi sekelompok garis keras yang protes terhadap politik suatu negara karena semua agama pernah dimuati paham radikal dan juga terjadi di seluruh dunia. Yudi menceritakan awal mula dia bergabung berawal dari hanya ingin belajar agama. Di tingkat akhir saat kuliah pada tahun 2006 dulu, ada teman pengajian yang mengajak untuk ikut ke suatu jemaah, kelompok pengajian yang lain.

Sumber: HUMAS Universitas Riau

Lebih lanjut seiring perjalan tersebut, Yudi, ditanamkan rasa kebencian dan paham intoleran yang selalu memvonis kesalahan tertuju kepada Pemerintah karena tidak bersandar pada hukum agama tertentu. Yudi juga mengungkapkan ayahnyalah yang membuatnya lepas dari cengkeraman ideologi menyimpang yang dipelajarinya dulu. Ayahnya, menyuruhnya membaca dua ayat Al-Quran untuk memberikan perbandingan dengan potongan ayat yang diindoktrinasi oleh gurunya.

“Dari peran keluargalah, terutama orang tua yang berpendidikan, berilmu, yang mampu menghilangkan doktrin yang saya terima. Butuh waktu sekurangnya lima tahun lamanya untuk menghilangkan ajaran-ajaran yang dikenalnya sejak tahun 2007 hingga 2010 tersebut,” kata Yudi.

Sumber: HUMAS Universitas Riau

Dari penjelasan tersebut, Yudi mengimbau kepada para mahasiswa agar menjauhi pemahaman-pemahaman yang mengarah kepada intoleransi dan merasa paling benar sendiri. “Jangan suka memvonis sesat di luar kelompok atau pemahamannya. Merasa paling benar, selalu menganggap kesalaham pemahaman dalam menyikapi perpolitikan dan sistem pemerintahan yang mengakibatkan pemikiran sempit. ini merupakan pondasi awal dan ini belum termasuk radikalisme. Kedua, mengobarkan kebencian dan permusuhan, ketiga, mempermasalahkan agama yag tidak sesuai dengan yang pelajari, dan terakhir, tidak mau makan sembelihan pasar karena tidak sesuai dengan tata cara penyembelihan agama,” tutupnya. (wendi.foto:roger) ***

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA