Bagaimana keterkaitan prasangka dengan sikap dan berpikir sosial

Oleh: Dr. Diana Rahmasari,  SPsi MSi (Dosen Jurusan Psikologi FIP Unesa)

Tribratanewspoldajatim.com: Salah satu penyebab konflik antar kelompok adalah adanya prejudice atau prasangka. Prasangka antar kelompok berkembang menjadi sebuah bentuk prasangka sosial. Prasangka secara sekilas merupakan hal remeh dan sederhana yang tidak memiliki dampak besar. Padahal konflik yang berujung pada kekerasan, pertikaian dan kerusuhan berawal dari prasangka yang seringkali tidak mengacu pada bukti, fakta yang objektif, realistis dan otentik.

Berawal dari prasangka sosial dapat memiliki dampak buruk yang bahkan memicu perang dunia. Hitler dengan prasangka sosial yang kuat terhadap kaum Yahudi adalah golongan yang akan menjatuhkannya, golongan yang akan menghalangi setiap rencananya. Oleh karenanya, Hitler melakukan pembantaian besar-besaran terhadap kaum Yahudi yang pada akhirnya memicu dapat  memiliki dampak buruk yang bahkan memicu perang dunia ke- 2. Secara khusus di Indonesia, konflik Sampit 2001 merupakan konflik antara etnis Dayak dan madura serta Poso 1998 merupakan dua konflik besar yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa yang tidak sedikit. Prasangka antar etnis dan agama merupakan pemicu terjadinya pertikaian pada kedua peristiwa tersebut.

Sejarah Amerika, negara Adidaya yang memproklamirkan diri sebagai negara paling demokratis tidak terlepas dari sejarah kelam prasangka stereotipe sosial orang kulit putih terhadap orang kulit hitam. Penelitian Dovidio, dkk (2002) yang diterbitkan oleh American Psychological Association, menjelaskan bahwa orang-orang kulit putih lebih menunjukkan terdapat bias persepsi pada diri dari orang kulit putih dalam perilaku verbal terhadap orang kulit hitam. Bahkan menurut Anderson (dalam Dovidio, dkk, 2002) mayoritas orang kulit hitam di Amerika dewasa ini memiliki ketidakpercayaan yang sangat besar terhadap polisi dan sistem hukum, terutama ketidakpercayaan terhadap orang-orang kulit putih.

Konflik antar kelompok TNI dengan Polri akhir-akhir ini juga sering terjadi. Meminjam penjelasan Sarifah dalam penelitiannya (2016) yang menuliskan bahwa berdasarkan catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang dilansir dalam kompasiana.com menyebutkan bahwa sejak tahun 2005 hingga April 2012 terdapat kasus 27 kasus yang melibatkan aparat TNI dan Polri. Dari catatan tersebut, disebutkan 7 personel polisi tewas sementara 32 lainnya terluka akibat perseteruan dengan TNI. Sementara dari TNI, 3 meninggal dunia dan 15 orang terluka. Berdasarkan data Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad, konflik TNI dan Polri pada 2014 tercatat terjadi sebanyak delapan kali. Bila dihitung dalam kurun 1999-2014, jumlah insiden hampir mencapai 200 kasus dengan korban tewas sebanyak 20 orang (www.bbc.com).

Hasil penelitian Sarifah sendiri (2016) menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara identitas sosial pada prajurit TNI AD di Pusdikbekang maka semakin tinggi pula kecenderungan prasangkanya terhadap anggota kepolisian. Prasangka sosial antar kedua kelompok penjaga keamanan dan pertahanan NKRI ini merupakan salah satu penyebab munculnya konflik antara TNI AD dan Polri akhir-akhir ini.

Mengacu pada berbagai fenomena tersebut diatas, dapat dipahami bahwa prasangka dapat menjadi pemicu konflik yang menjadi muara terjadinya tindak kekerasan, perilaku agresif dan pertikaian antar kelompok. Prasangka sosial karenanya menjadi hal yang perlu dipahami pengertian, penyebab, proses serta bagaimana mengelola prasangka agar prasangka dapat dicegah berkembang menjadi bentuk konflik yang memicu pertikaian dan tindak kekerasan. AM Rose (dalam Gerungan, 2010) mengemukakan kerugian-kerugian yang bisa terjadi akibat adanya prasangka sosial yaitu :

1.            Potensi-potensi dalam masyarakat tidak dapat berkembang, munculnya tindakan diskriminatif yang hanya menguntungkan sebagian golongan namun dapat merugikan masyarakat sebagai keseluruhan.

2.            Tindakan distkriminatif menimbulkan konflik-konflik sosial yang memerlukan usaha-usaha dan waktu tambahan bagi pemerintah untuk meredakannya. Usaha-usaha dan waktu yang sebenarnya dapat dihemat dan dikerahkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih produktif.

3.            Prasangka sosial yang timbul akan menyebabkan hambatan dalam pergaulan antar golongan dan kemudian dapat memecah-belah kerjasama yang wajar antar golongan .

4.            Pada akhirnya prasangka sosial itu dapat menjadi “outlet”,    pelepasan dari frustasi-frustasi yang dialami orang lalu menjelma ke dalam tindakan-tindakan agresif terhadap suatu golongan yang menjadi kambing hitamnya sehingga masyarakat mengalami kekacauan.

II.            Pembahasan

Menurut Ahmadi (2007) prasangka sosial adalah suatu sikap negatif yang diperlihatkan oleh individu atau kelompok terhadap individu lain atau kelompok lain. Taylor dkk., (2012) menjelaskan bahwa prasangka sosial merupakan evaluasi negatif atas suatu kelompok atau seseorang berdasarkan pada keanggotaan orang itu dalam suatu kelompok.

Prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang berbeda dengannya atau kelompoknya.

Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada objel yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut. AM Rose (dalam Gerungan, 2010) menuliskan bahwa prasangka sosial merupakan sikap-perasaan individu terhadap golongan individu tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan, yang terdiri atas sikap-sikap sosial yang negatif terhadap golongan individu yang lain tadi.

Sikap-sikap perasaan negatif ini lama kelamaan akan menjadi tindakan yang  “diskriminatif’ yakni tindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan bahkan mengancam kehidupan pribadi individu yang bersangkutan terhadap golongan individu yang lain tadi. Sikap-sikap perasaan negatif ini lama kelamaan akan menjadi tindakan yang “diskriminatif” yakni tindakan yang bercorak menghambat, merugikan perkembangan bahkan mengancam kehidupan pribadi individu yang diprasangkai tesrsebut. Prasangka berkaitan dengan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Para pakar psikologi sosial umumnya membedakan 3 komponen antagonisme kelompok. Komponen Kognitif yaitu “Stereotipe”, merupakan keyakinan tentang sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok atau kategori sosial tertentu. Stereotip bisa menjadi destruktif bila mengabaikan bukti realitas dan digenarilisasikan terhadap semua anggota kelompok.

Komponen Afektif yaitu “ Prasangka”, merupakan penilaian terhadap suatu kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkann pada keanggotaan kelompok orang tersebut. Prasangka mempunyai kualitas tambahan berupa penilaian pendahuluan (prejudgement).

Komponen perilaku yaitu “Diskriminasi”, merupakan perilaku menerima atau menolak seseorang berdasarkan (atau setidaknya dipengaruhi oleh) keanggotaan kelompoknya. Prasangka dan stereotip mempengaruhi persepsi tentang individu anggota kelompok sasaran. Tekanan psikologis terhadap konsistensi psikologis sering menyebabkan kita membentuk sikap yang konsisten dengan prasangka kita. Bila terdapat ambiguitas tentang situasi yang nyata, kebutuhan konsistensi akan mendorong orang untuk membiaskan persepsi sesuai dengan prasangka.

Prasangka juga mempengaruhi respon politik terhadap kelompok minoritas. Sikap berprasangka juga dapat menimbulkan perilaku diskriminasi dengan cara yang lebih nyata tetapi tidak langsung. Misalnya prasangka orang tua dapat mempengaruhi anaknya.

Bentuk prasangka sosial dikelompokkan menjadi dua yaitu prasangka terang-terangan dan prasangka halus. Prasangka terang-terangan dikenal sebagai prasangka gaya lama, sementara prasangka halus dikenal sebagai prasangka modern. Pettigrew dan Meertens (Brown, 2005) mengemukakan tentang penilaian serupa bentuk dikotomi prasangka modern dan gaya lama ini.

 Mereka menyebutnya sebagai prasangka yang “subtle” (tidak terang-terangan/halus/tersembunyi) dan yang “blatant” (terang-terangan). Terdapat perbedaan komponen yang menyusun subtle prejudice and blatant prejudice (De Caroli dkk., 2012). Subtle prejudice disusun oleh tiga komponen yaitu pertahanan nilai tradisional (the defence of traditional value), melebih-lebihkan perbedaan budaya (the exaggeration of cultural differences), dan penolakan emosi-emosi positif (the denial of positive emotions). Sementara blatant prejudice disusun oleh dua komponen yaitu ancaman dan penolakan terhadap out-group (the threat and rejection of outgroup) dan anty-intimacy).

Terdapat empat faktor utama penyebab timbulnya prasangka sosial (Baron dan Byrne dalam Hanurawan, 2010). Keempat faktor tersebut yaitu :

1.            Konflik antar kelompok secara lansung. Prasangka sosial dapat timbul karena adanya kompetisi dalam mendapatkan kekuasaan atau sumber daya. Hal ini dijelaskan dalam teori konflik kelompok realistik (realistic group conclict theory). Teori ini menyatakan bahwa prasangka muncul karena terdapat kelompok-kelompok yang saling memperebutkan kekuasaan atau sumber daya yang jumlahnya terbatas.

2.            Pengalaman belajar dimasa awal. Seseorang dapat berprasangka karena lingkungan atau kelompoknya telah mempersiapkannya untuk berprasangka. Hal ini dijelaskan dalam teori belajar sosial. Menurut teori ini, prasangka sosial merupakan sesuatu yang dipelajari sama halnya belajar nilai-nilai sosial yang lain.

III.           Kategori sosial. Seseorang akan cenderung menyederhanakan lingkunngannya dengan membuat kategori, yaitu dengan cara mengklasifikasikan objek atau manusia ke dalam kelompok-kelompok. Hal ini dijelaskan dalam teori kategorisasi sosial. Teori kategorisasi sosial mengemukakan bahwa individu membagi dunia sosialnya menjadi dua kategori ekstrim yang saling terpisah. Kategori sosial membuat individu melakukan kategorisasi kelompok  sesuai kriteria yang menjadi sumber prasangka sosialnya. Analog sederhana dalam teori kategorisasi sosial adalah adanya kasta atau strata dalam kelompok sosial. Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderunan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group).

a)            In group adalah kelompok sosial di mana individu merasa dirinya 

dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”), sedangkan

b)            Out Group adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”).

Proses pembentukan prasangka sosial menurut Mar’at (1981) dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1.            Pengaruh Kepribadian

2.            Pendidikan dan Status

3.            Pengaruh Pendidikan Anak Oleh Orangtua

4.            Pengaruh Kelompok

5.            Pengaruh Politik dan Ekonomi

6.            Pengaruh Komunikasi

7.            Pengaruh Hubungan Sosial

Hidayat (2013) secara gamblang dalam penelitiannya menuliskan berbagai pandangan dan konsep teoritis yang menyebabkan seseorang memiliki prasangka sosial adalah sebagai berikut :

a.            Allport (1954) dan Tajfel (dalam Turner & Giles, 1985) memandang munculnya prasangka karena adanya proses kategorisasi dalam diri individu. Ditegaskan pula bahwa kategorisasi sosial merupakan basis psikologis dari munculnya prasangka. Kategorisasi tersebut mencakup etnisitas dan kecenderungan menjaga jarak sosial dengan orang-orang yang dianggap outgroup.

b.            Selain itu prasangka terkait dengan berbagai jenis kepribadian antara lain ; otoriter, konsep diri, self-esteem dan orientasi dominasi sosial. Dalam salah satu teorinya, Adorno (dalam Faturrohman, 1993) menyatakan bahwa, prasangka berhubungan dengan pola kepribadian seseorang. Menurut Adorno individu yang memiliki prasangka yang tinggi biasanya memiliki kepribadian otoriterisme. Hubungan positif antara self-esteem dan identitas sosial yang dengan prasangka, dikemukakan oleh Fien & Spencer (1995) bahwa ancaman terhadap identitas sosial dan self -esteem mendorong untuk mengembangkan   penilaian prasangka terhadap orang lain. Orientasi dominasi sosial (social dominance orientasion) adalah seseorang yang berkeinginan untuk memiliki dominasi sosial (social dominance orientation) adalah seseorang yang berkeinginan untuk memiliki dominasi sosial yang tinggi cenderung bersikap negatif terhadap beberapa kelompok yang marginal seperti etnis minoritas, feminis, kelompok homoseksual (Whitley, 1999).

c.             Faktor lain berperan dalam terjadinya prasangka adalah hasil proses belajar (social learning theory). Menurut teori ini prasangka pada dasarnya  dipelajari oleh individu dari perilaku individu lain di sekitarnya dan dari norma-norma sosial yang terdapat di dalam masyarakat kebudayaannya. Berbagai penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa orang-orang Amerika yang berasal dari bagian selatan lebih berprasangka. Selain itu orang tua kulit putih lebih berprasangka daripada orang muda kulit putih, karena mereka pernah hidup dalam zaman yang diskrimatif dan segregatif (Sears dll, 1991).

d.            Hal lain yang mempengaruhi prasangka adalah keinginan untuk berkompetisi terutama untuk mendapatkan sumber daya yang sangat berharga tetapi pada kenyataannya persediaannya hanya dalam jumlah yang sangat terbatas, misalnya pekerjaan, daerah kekuasaan atau jabatan. Menurut teori realistic group conflict, kompetisi akan menimbulkan permusuhan serta penilaian yang negatif terhadap kelompok lain (outgroup).

e. Teori norma kelompok yang dikemukakan oleh Sherif dan Sheris (dalam Candall dkk, 2002) menggambarkan tentang perkembangan prasangka yang dikaitkan dengan norma sosial kelompok dan adanya tekanan agar individu dapat dapat conform terhadap norma kelompok tersebut. Menurut teori ini, sikap, nilai-nilai, keyakinan dan prasangka merupakan bagian dari proses sosialisasi; “the attitude of prejudice is a product of group membership” (Sherif; dalam Crandall dkk, 2002). Menurut Sherif (dalam Crandall dkk, 2002) sikap, nilai-nilai dan prasangka bukan merupakan hasil dari pilihan-pilihan individu yang diperoleh selama hidupnya. Hal tersebut merupakan hasil kontak dengan anggota dari kelompok lain, yang kemudian distandarisasikan lalu diinternalisasikan menjadi nali-nilai kelompoknya. Kepatuhan seseorang pada nilai-nilai in-groupnya akan mengarahkan pada munculnya prasangka.

Ciri-ciri dari prasangka sosial berdasarkan penguatan perasaan in group dan out group adalah :

1.            Proses generalisasi terhadap perbuatan anggota kelompok lain

  Menurut Ancok dan Suroso (1995), jika ada salah seorang individu dari kelompok luar berbuat negatif, maka akan digeneralisasikan pada semua anggota kelompok luar. Sedangkan jika ada salah seorang individu yang berbuat negatif dari kelompok sendiri, maka perbuatan negatif tersebut tidak akan digenaeralisasikan pada anggota kelompok sendiri lainnya.

2.            Kompetisi sosial

Kompetisi sosial merupakan suatu cara yang digunakan oleh kelompok untuk meningkatkan harga dirinya dengan membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain dan menganggap kelompok sendiri lebih baik daripada kelompok lain.

3.            Penilaian ekstrem terhadap anggota kelompok lain.

Individu melakukan penilaian terhadap anggota kelompok lain baik penilaian positif ataupun negatif secara berlebihan. Biasanya penilaian yang diberikan berupa penilaian negatif.

4.            Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu.

Pengaruh persepsi selektif dan ingatan masa lalu biasanya dikaitkan dengan stereotipe. Stereotipe adalah keyakinan (belief) yang menghubungkan sekelompok individu dengan ciri-ciri sifat tertentu atau anggapan tentang ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota kelompok luar. Jadi, stereotipe adalah prakonsepsi ide mengenai kelompok, suatu image yang pada umumnya sangat sederhana, kaku, dan klise serta tidak akurat yang biasanya timbul karena proses generalisasi. Sehingga apabila ada seorang individu memiliki stereotype yang relevan dengan individu yang mempersepsikannya, maka akan langsung dipersepsikan secara negatif.

5.            Perasaan frustasi (scone goating)

Menurut Brigham (1991), perasaan frustasi (scope goating) adalah rasa frustasi seseorang sehingga membutuhkan pelampiasan sebagai objek atas ketidakmampuannya menghadapi kegagalan. Kekecewaan akibat persaingan antar masing-masing individu dan kelompok menjadikan seseorang  mencari pengganti untuk mengekspresikan frustasinya kepada objek lain. Objek lain tersebut biasanya memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan dirinya sehingga membuat individu mudah berprasangka.

6.            Agresi antar kelompok

Agresi biasanya timbul akibat cara berpikir yang rasialis, sehingga menyebabkan seseorang cenderung berprilaku agresif.

7.            Dogmatisme

Dogmatisme adalah sekumpulan kepercayaan yang dianut seseorang berkaitan dengan masalah tertentu, salah satunya adalah mengenai kelompok lain. Bentuk dogmatisme dapat berupa etnosentrisme dan favoritisme. Etnosentrisme adalah paham atau kepercayaan yang menempatkan kelompok sendiri sebagai pusat segala-galanya. Sedangkan, favoritisme adalah pandangan atau kepercayaan individu yang menempatkan kelompok sendiri sebagai yang terbaik, paling benar, dan paling bermoral.

IV.          Kognisi sosial. Selanjutnya faktor terakhir yang dapat menyebabkan timbulnya prasangka adalah faktor kognisi sosial. Prasangka juga dapat berkembang dari bagaimana cara individu berfikir mengenai individu lain. Gejala kognisi sosial yang berkontribusi bagi timbulnya prasangka adalah korelasi ilusif, yaitu adanya keseragaman dari kelompok luar (kelompok lain). Hal tersebut dikenal dengan istilah efek homogenitas kelompok luar (outgroup homoge-neity effect).

c.             Kesimpulan dan Rekomendasi

Prasangka sosial membuat seseorang atau sekelompok orang mengingkari adanya kesamaan dan persamaan  hak (Koeswara, 1988). Menurut Allport (1954) dengan prasangka, seseorang atau sekelompok orang menganggap buruk atau memandang negatif orang lain secara tidak rasional. Prasangka dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berpikir, merasa dan bertindak dengan cara-cara yang menentan atau menjauhi dan bukan menyokong atau mendekati orang lain. Dengan demikian prasangka menyangkut kecenderungan untuk menjauhi orang dengan mengambil jarak atau tidak berhubungan erat dengan mereka serta kecenderungan untuk merugikan dan tidak membantu mereka (Newcomb, 1985).

Mengingat prasangka sosial merupakan kondisi yang muncul dalam proses interaksi sosial, maka Hanurawan (2011) menjelaskan bahwa adanya kesempatan melakukan interaksi sosial secara intensif melalui berbagai cara dengan kelompok lain. Kontak menyebabkan orang atau suatu kelompok dapat lebih mengenal kelompok lain yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali. Informasi dan memori negatif yang telah disimpan sebelumnya terkait kelompok yang menjadi target prasangka akan dibandingkan dengan informasi baru yang mereka dapatkan dari kontak secara langsung. Namun sebuah kontak yang dapat mengurangi prasangka sosial harus memenuhi empat kondisi, diantaranya status kelompok yang setara di dalam suatu situasi, pencapaian yang sama, kerja sama antar kelompok, dan dukungan dari yang berwenang.

Terdapat sejumlah  cara oleh karenanya untuk mengatasi prasangka yang ada di sekitar kita :

1.            Memutuskan siklus prasangka : belajar tidak membenci karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatik.

2.            Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda : i) contact hypothesis – pandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended contact hypothesis – sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut. Implikasinya intensitas interaksi sosial dalam bentuk melakukan kegiatan bersama dalam program sosial, gathering sosial bersifat informal, pertemuan rutin untuk menjalin kontak keakraban. Kontak keakraban yang dapat mengurangi prasangka sosial harus memenuhi empat kondisi, diantaranya status kelompok yang setara di dalam situasi, pencapaian yang sama, kerja sama antar kelompok, dan dukungan dari berwenang.

3.            Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group.

4.            Intervensi kognitif : memotivasi orang lain tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).

5.            Pengaruh sosial untuk mengurangi prasangka.

6.            Ciri-ciri pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka sosial padanya, antara lain pada orang-orang yang berciri-ciri toleransi, memupuk khayalan-khayalan yang agresif, kurang mengenal akan dirinya sendiri, kurang berdaya cipta, tidak merasa aman dll. Upaya untuk mengurangi prasangka sosial adalah dengan melakukan sosialisasi, kontak antar kelompok, berpendidikan tinggi, dan rekategorisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. (2009). Psikologi sosial, edisi revisi. Jakarta: Asdi Mahasaty

Allport, Gordon. 1954. The Nature of Prejudice. New York : Doubleday Books.

Baron, R.E. & Byrne, D. (2004). Psikologi Sosial, Ed. 10 jilid 1. Alih Bahasa; Drs. Ratna Djuwita, Dipl. Psychl. Dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga

Gerungan, WA. (2010). Psikologi sosial. Bandung : Refika Aditama.

Hanurawan, Fattah. 2011. Psikologi Sosial Terapan dan Masalah-Masalah Perilaku Sosial.

Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.

Hidayat, Dede Rahmat. 2013. Faktor0faktor Penyebab Kemunculan Prasangka Sosial (Social Prejudice) Pada Pelajar. Jurnal ilmiah Mimbar demokrasi. Volume 12 nomer 2 April 2013.

Robert A. Baron & Donn Byrne. 2003. Psikologi Sosial Edisi 10. Jakarta. Penerbit Erlangga; PT Gelora Aksara Pratama.

Sarifah, Rusdah. 2016. Identitas Sosial Dengan Prasangka Pada Prajurit Tni Ad Terhadap Anggota Kepolisian. Jurnal Ilmiah Psikologi terapan. ISSN: 2301-8267 Vol. 04, No.01, Januari 2016. Bandung. UIN Sunan Gunung Djati.

Suardiman, Siti Partini. 2014. Psikologi Sosial. Yogyakarta

//id.wikipedia.org/wiki/Prasangka

htpp://sumberilmupsikologi.blogspot.com/2015/10/pengertian-dan-sebab-sebab-terjadinya.html

htpps://www.kompasiana.com/maulana_zulvian/552e4a9f6ea8344388b4609/stereotip-prasangka sosial

htpps://media.neliti.com/media/publications/128643-ID-none.pdf (*/mbah)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA