Bagaimana hubungan manusia dengan alam dalam tunjuk ajar Melayu

Nama Penulis: Aura Zulvania ss
Mahasiswa Budidaya Perairan Universitas Riau

Hubungan Manusia dan Alam Dalam Budaya Melayu di Riau

Hubungan manusia Melayu itu dengan alam disebut interaktif dialogis atau hubungan dialog dengan alam. Kebudayaan Melayu mengekspresikan hubungan lingkungan itu dalam dua sikap. Pertama ada yang dinamakan kepatuhan referensial, kebudayaan Melayu itu dalam satu pola bergerak mengikuti gerak ekologis. Dalam hal itu,dicontohkannya, ada sejumlah bentuk ekspresi budaya itu menampilkan penerimaan alam semesta sebagaimana adanya, ditafsirkan dalam semangatkepatuhan yang dihidangkan dalam berbagai upacara ritual seperti semah laut, tolak bala dan lain-lain. “Ritual-ritual seperti itu salah satu contoh yang menunjukkan kepatuhan referensial manusia kepada gerak alam sekitarnya.

Inilah kita sebut alam terkembang menjadi guru. Alam berfungsi sebagaiguru. Berbagi pengalaman atau dialog itu tadi. Kreasi-kreasi dan ekpresi budaya bersumber dari nilai-nilai yang dibentuk melalui keakraban dengan alam itu.Misalnya, ada ekspresi budaya yang memperlihatkan hubungan harmonis manusiadan komuntias Melayu itu dengan lingkungannya. Jadi, antara manusia denganalam itu berbagi berkah, Jadi, ekologi alam sekitar dan ekspresi budaya serta nilai-nilainya jika dianalogikan ibarat hubungan sarang dan burung, antara tanah dan tumbuh-tumbuhan, air dan ikan, adanya penyatuan.

Keraifan Lokal Menjaga Hutan dan Lahan

Dinamika kebudayaan Melayu itu di mana lingkungan ruang hidup itu mempengaruhi kebudayaan Melayu yang berarti, berkembang atau terhambatnya perkembangan budaya Melayu itu bergantung kepada lingkungan baik lingkungan fisik, lingkungan biologis, flora, fauna dan lingkungan sosial.Makanya banyak sekali tunjuk ajar, petuah tetua dahulu terkait dengan larangan anak cucu untuk merusak hutan, tahu mana hutan yang boleh ditebang, mana yang kawasan larangan. Pedoman-pedoman tentang penggunaan hutan ditetapkan dengan teliti. Tentang menebang pohon diuraikan apa yang boleh ditebang,seberapa banyak, dan apa yang pantang ditebang.

Kearifan Orang Melayu dalam memilihara lingkungan

Orang tua-tua Melayu mengatakan, bahwa kehidupan mereka amat bergantung kepada alam. Alam menjadi sumber nafkah dan juga menjadi sumber unsur-unsur budayanya. Dalam ungkapan dikatakan: 

  Kalau tidak ada laut, hampalah perut 

  Bila tak ada hutan, binasalah badan 

Dalam ungkapan lain dikatakan: (Effendy, 

2004) 

  Kalau binasa hutan yang lebat, 

  Rusak lembaga hilanglah adat   

Ungkapan-ungkapan di atas secara jelas menunjukkan besarnya hubungan antara orang Melayu dengan alam sekitarnya.  

Kebenaran isi ungkapan ini secara jelas dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari.  Secara tradisional, mereka secara turun temurun hidup dari hasil laut dan hasil hutan atau mengolah tanah.  Secara turun temurun pula mereka memanfaatkan hasil hutan untuk berbagai keperluan, membuat bangunan, membuat alat dan kelengkapan rumah tangga, alat dan kelengkapan nelayan, alat berburu, alat bertani, dan sebagainya, termasuk untuk ramuan obat tradisional. 

Dalam konteks kearifan lingkungan , inti kebudayaan masyarakat Melayu   adalah konsep tanah adat. Tanah adat adalah ruang (space) tanah atau hutan yang diatur begitu rupa oleh masyarakat adat berguna untuk melangsungkan sistem kehidupan masyarakat Melayu. Diatas tanah adat inilah, diatur pembagian hutan menurut persukuan yang ada, kebun dan sumber asli. Hutan larangan adalah satu kewujudan daripada bahagian tanah ulayat Di situ juga termasuk aspek-aspek kebudayaan yang berhubungan dengan pengeluaran, penyaluran, dan konsumsi pangan. Oleh itu, setiap inti kebudayaan selalu berhubungan dengan ekosistem, ekonomi dan struktur sosial.  

Kearifan dalam melestarikan tanah adat orang Melayu  dipresentasikan dalam nilai sosial, norma adat, etika lingkungan, sistem kepercayaan, pola penataan ruang tradisional, peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan.Hubungan tanah dan warga Orang Melayu ditandai dengan produktivitas, sustainabilitas, equitabilitas, bijaksana, benar, tepat, serasi dan harmonis. 

Sistem tanah adat Orang Melayu  itu terwujud kedalam bentuk ide, aktivitas, dan material.  Pemeliharaan dan pemanfaatan tanah adat Orang  sudah ada sebelum Kerajaan Siak Sri Indrapura yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat Orang Melayu .  Keberadaan tanah adat berdampak positif bagi masyarakat Orang Melayu dengan alam dan lingkungan yang bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat.  Nilai-nilai yang terdapat dalam sistem tanah adat memiliki fungsi kearifan lingkungan terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. 

Namun bermula dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintahab kolonialisme yang kemudian di rekonstruksi oleh pemerintahan Indonesia  yang berorientasi kepada pandangan  kapitalistik dan antropologi telah memarjinalkan orang Melayu dan dagradasi lingkungan secara hebat. 

Sekian  bahasan mengenai Alam dan lingkungan melayu, semoga bahasan ini dapat bermanfaat dan bisa menambah wawasan para pembaca.

Terima kasih


Dalam ungkapan Tunjuk Ajar Melayu, Tenas Effendy memaparkan dalam bentuk pantun “banyak periuk dijerang orang//periuk besar tudungnya hitam//banyak petunjuk dikenang orang//tunjuk ajar mengandung alam,”  bahwa orang Melayu belajar dari alam semesta. Kiranya, berpantanglah seseorang jika berlaku merusak alam. Dari ungkapan ini, didapat simpulan bahwa Orang Melayu memandang alam sebagai ruang hidup yang sangat diperhatikan.

Orang Melayu hakikatnya hidup bersebati dengan alam lingkungannya. Alam bukan saja dijadikan alat mencari nafkah, tetapi juga berkaitan dengan kebudayaan dan kepercayaan. Dalam ungkapan Melayu dikatakan bahwa kehidupan mereka amat bergantung kepada alam. Alam menjadi sumber nafkah sekaligus menjadi sumber unsur-unsur budayanya. 

Kalau tidak ada laut, hampalah perut 
Bila tak ada hutan, binasalah badan 

Dalam ungkapan lain dikatakan: 

Kalau binasa hutan yang lebat, 
Rusak lembaga hilang adat

Kebenaran isi ungkapan ini secara jelas dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari teknologi tradisional yang diwariskan secara turun-temurun, tampak bahwa keseharian Orang Melayu hidup dari hasil laut dan hasil hutan serta dari hasil mengolah tanah. 

Dari hubungan yang erat itu, orang Melayu berupaya memelihara serta menjaga kelestarian dan keseimbangan alam lingkungannya. Dalam adat istiadat ditetapkan “pantang larang” yang berkaitan dengan pemeliharaan serta pemanfaatan alam, mulai dari hutan, tanah, laut dan selat, tokong dan pulau, suak dan sungai, tasik dan danau, sampai kepada kawasan yang menjadi kampung halaman, dusun, ladang, kebun, dan sebagainya. Ketentuan adat yang mereka pakai memiliki sanksi hukum yang berat terhadap perusak alam. Sebab, perusak alam bukan saja merusak sumber ekonomi, tetapi juga membinasakan sumber berbagai kegiatan budaya, pengobatan, dan lain-lain, yang amat diperlukan oleh masyarakat (Tenas Effendy, 2006).

UU Hamidy (2001 dan 2012) dan Tenas Effendy (2006) menjelaskan beberapa pembagian ruang alam dalam adat, dikenal sebagai pembagian hutan tanah dan kepemilikan pribadi,  suku dan kaum,  kerajaan, negeri, masyarakat luas, dan lain sebagainya. Dari segi peruntukan itu, maka hutan dan tanah senantiasa ditentukan menurut adat. Hal ini tercermin dari adanya hutan yang dilindungi yang disebut “rimba larangan”, “rimba kepungan”, atau “kepungan sialang”, dan lain sebagainya.

Kepatuhan

Wilayah adat kedatuan (ulayat) memiliki hutan di ujung negerinya yang disebut hutan simpanan dan hutan larangan. Kedua hutan ini sebagai penyanggah negeri yang di dalamnya tersimpan marwa dan jati diri negeri. Bila suatu negeri tidak memiliki hutan tanah, maka negeri itu dianggap tidak bermarwah dan bermartabat. 

Hukum adat demikian menciptakan kepatuhan orang Melayu terhadap penggunaan alam lingkungan. Di hutan adat, seseorang yang menebang kayu harus mendapat persetujuan negeri dan harus menanam kayu sejenis terlebih dahulu sebelum menebang. Peruntukan kayu yang ditebang itu juga tidak sebagai barang dagangan atau hanya boleh dipergunakan untuk rumah ibadah, sarana umum, bantuan sosial pada keluarga yang kurang mampu, dan peruntukan negeri. Selain peruntukan demikian, perbuatan menebang kayu di hutan adat dianggap sebagai pelanggaran dan kepadanya dijatuhkan denda atau sanksi.

SUSURI JUGA:  Talang Mamak dan Sistem Perbatinan

Dialogik 

Keterbukaan orang Melayu dalam menjaga alam lingkungannya telah berlangsung lama. Dialog antara manusia dengan alam lingkungannya tergambar dalam berbagai cara orang Melayu memanfaatkan alam dan memeliharanya. Pada kegiatan menumbai misalnya, orang Melayu tidak membunuh lebah yang melindungi madu di sarangnya. Mereka menempatkan lebah sebagai binatang yang patut dijaga dan disanjung. 

Manumbai adalah kegiatan mengambil madu lebah di pohon sialang yang dilaksanakan dengan serangkaian prosesi. Kegiatan ini umumnya dilaksanakan pada malam bulan gelap, di lokasi tumbuhnya sialang atau pohon tempat lebah bersarang.

Manumbai dipimpin oleh seorang dukun lobah (dukun lebah) yang disebut juagan (juragan). Ia dibantu oleh dukun sambut, yang bertugas mengumpulkan madu setelah juagan mengambil sarang dari dahan pohon. Di beberapa masyarakat adat, prosesinya dihadiri oleh kepala suku. 

Perlengkapan yang diperlukan antara lain: tunam yaitu suluh atau obor dari daun kelapa kering (untuk mengusir lebah dari sarangnya), tempayan (penampung madu dan lilin lebah), tali (untuk menurunkan tempayan yang berisi madu dan lilin lebah), dan tangga bambu (untuk memanjat pohon). 

Prosesi dilaksanakan dengan melantunkan nyanyian yang syair-syairnya berbentuk pantun,  menggambarkan situasi yang dihadapi dan dijalani oleh juagan. Tema utama prosesi sebagaimana tercermin dalam pantun-pantun ituadalah tamsilan kunjungan sosial seorang laki-laki kepada kekasihnya. Dalam hal ini, lebah dianalogikan sebagai gadis kekasih sang juagan. 

Kunjungan sosial tersebut berlangsung secara bertahap, sebagai berikut:

‘Meminta izin berkunjung ke rumah si gadis’. Pada tahap ini, juagan memulai dengan membaca mantera, kemudian perlahan-lahan menepuk batang sialang menunggu jawaban lebah-lebah. Dengung ribuan lebah adalah pertanda juagan diizinkan memanjat pohon. Tetapi jika tidak terdengar dengung, maka pemanjatan harus ditunda. 

‘Mengucap salam dan menghormati tuan rumah’. Setelah mendapat izin, sambil mengelilingi pohon sialang tiga kali, juagan menyanyikan lagu ritual menuo sialang yang berisi penghormatan kepada roh atau “tuan” pohon sialang. Salah satu versi pantun menuo sialang yaitu:

Pinjam tukul pinjam landean (pinjam pemukul pinjam landasan)
Untuk memukul kalakati (untuk memukul kalakati)
Pinjam dusun pinjam laman (pinjam dusun pinjam halaman)
Numpang memain sekolam ki (numpang bermain di kelam ini)

Popat-popat tana ibu (pepat-pepat tanah ibu)
Ma’i popat di tana tombang (mari dipepat di tanah tombang)
Nonap-nonap Cik Dayang tidou (lelap-lelap Cik Dayang tidur)
Juagan mudo di pangkal sialang (juagan muda di pangkal sialang)

SUSURI JUGA:  Hutan dalam Budaya Melayu

Cik Dayang menggulung daun (Cik Dayang menggulung daun)
Tagulung suat katoba (tergulung surat khotbah)
Tujuh musim sombilan tahun (tujuh musim sembilan tahun)
Buat kito jangan diubah (buat kita jangan diubah)

‘Menaiki rumah’. Juagan bersiap-siap memanjat pohon sambil menyanyikan lagu berikut:

Di ilei awang di ulu awang (di hilir awang di hulu awang)
Pandan tebuang di tongah-tongah (pandan terbuang di tengah-tengah)
Di ilei kasih di ulu sayang (di hilir kasih di hulu sayang)
Badan tebuang di tongah-tongah (badan terbuang di tengah-tengah)

Begitu mencapai dahan tempat sarang lebah, juagan menyanyikan lagu berikut:

Masak bua kombang mani (masak buah kembang manis)
Masak sabutie dijaut ungko (masak sebutir dijangkau ungka)
Kami batomu nan itam mani (kami bertemu dengan si hitam manis)
Mangulang da’a ke muko (menjulang darah ke muka)

Ketika makin mendekati sarang lebah, juagan menyanyikan:

Bukan elok ulu badik (bukan (main) elok hulu badik)
Untuk pa’uki baling-baling (untuk pengukir baling-baling)
Bukan elok tompat adik (bukan (main) elok tempat adik)
Tompat kito duduk besanding (tempat kita duduk bersanding)

‘Bertemu si gadis’. Ketika juagan telah di dekat sarang dan akan mulai menyingkirkan lebah-lebah, juagan menyanyikan lagu berikut:

Anak buayo mudik mendudu (anak buaya mudik mendudu)
Iyak sampai di pelabuhan (riak sampai di pelabuhan)
Putih Kuning bukakan baju (Putih Kuning bukakan baju)
Abang menengok betubuhan (abang menengok petubuhan)

Lalu juagan mengusap sarang lebah dengan tunam. Percikan api dari tunam diikuti oleh lebah-lebah ke tanah. Lebah-lebah yang jatuh itu tidak mati, dan menjelang siang mereka terbang kembali ke pohon. Setelah lebah-lebah meninggalkan sarangnya dan juagan mulai mengambil madu, ia menyanyikan lagu yang disesuaikan dengan situasi yang dihadapinya. Jika juagan menemukan sarang yang tidak bermadu, ia misalnya akan menyanyikan lagu berikut:

Banyak nyamuk sialang bandung (banyak nyamuk sialang bandung)
Duo kali tu’un ke tanah (dua kali turun ke tanah)
Apo mengamuk ati nan jantung (kenapa mengamuk hati dan jantung)
Itam mani indak di umah (hitam manis tidak di rumah)

Jika juagan menemukan sarang bermadu, ia mengambil lilin lebah, lalu dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan, kemudian diturunkan dengan tali dan disambut oleh pembantu-pembantu yang menunggu di bawah pohon bersama kepala suku. 

‘Menyampaikan salam perpisahan’. Bila pekerjaan mengambil madu hampir selesai, juagan menyanyikan lagu perpisahan sebagai berikut:

Apo tensu kayu diimbo (apa tensu kayu di rimba)
Mai ko buat papan penaik (mari kubuat papan penaik)
Adik bongsu jangan baibo (adik bungsu jangan berhiba)
Kolam esok naik balik (kelam besok naik balik)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA