Bagaimana bisa terjadi khilafiyah perbedaan pendapat di kalangan ulama atau umat Islam?

Kamis, 09 Januari 2020 - 14:38 WIB

Bagaimana Sikap Kita Menyikapi Khilafiyah? Begini Kata Ustaz Ajib

Persoalan khilafiyah (perbedaan pendapat) dalam pelaksanaan syariat dan ilmu fiqih bukanlah hal baru dalam Islam. Banyak di antara umat muslim sering berbeda pendapat bahkan berdebat hanya karena masalah ikhtilaf (perbedaan).

Lalu, bagaimana sikap kita menyikapi masalah khilafiyah ini? Berikut penjelasan Ustaz Muhammad Ajib , pengajar di Rumah Fiqih Indonesia (RFI) yang menguasai persoalan khilafiyah empat mazhab terpopuler. Beliau mengulas masalah khilafiyah dalam bukunya berjudul "Masalah Khilafiyah 4 Mazhab Terpopuler".

Apa yang Dimaksud dengan Khilafiyah Terpopuler?

Khilafiyah terpopuler adalah masalah perbedaan yang sering diperbincangkan dan ditanyakan semua kalangan pada saat ini. Masalah khilafiyah 4 mazhab ini paling sering dibahas dalam kajian-kajian ilmu dan ditanya oleh jamaah dalam sebuah pengajian atau ta'lim.

"Pengalaman saya ketika mengisi pengajian di sekitar Jakarta dan Bekasi sering muncul pertanyaan yang sama soal khilafiyah ini," kata Dai lulusan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta Konsentrasi Ilmu Syariah ini.

Perbedaan pendapat di kalangan ulama laksana sebuah taman yang dipenuhi aneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Taman tersebut terlihat indah dan tidak membosankan. Berbeda kalau taman itu hanya berisi satu macam bunga saja, ia terlihat monoton, kaku, dan tidak sedap untuk terus dipandang mata.

Allah subhanahu wata'ala menciptakan manusia dengan berbagai variasi warna kulit, bahasa, tabiat, dan bentuk tubuh. Dalam keragaman inilah terdapat keindahan dan kesempurnaan. Dengan kata lain, perbedaan merupakan fitrah dan kehendak Allah SWT. Allah berfirman dalam Surat al-Maidah ayat 48:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Artinya: “Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.”

Seorang ulama bermazhab Syafi’i bernama Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi al-Syafi’i menegaskan bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat bagi umat. Sebab, mereka telah berijtihad dengan mengerahkan sekuat tenaga guna mencari kebenaran. (Lihat Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Kairo: Al-Maktabah al-Taufiqiyyah, t.t. halaman 13).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, perbedaan pendapat sangat jarang terjadi. Sebab, Rasulullah merupakan tokoh sentral, tempat rujukan segala permasalahan yang dialami oleh para sahabat. Jika para sahabat berselisih pendapat, mereka segera mengembalikannya kepada Rasulullah, dan Rasul pun kemudian menjelaskan pendapat yang benar.

Para sahabat pernah berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ العَصْرَ إِلَّا فِي بَنِيْ قُرَيْظَة

“Janganlah seseorang melakukan shalat Ashar kecuali di Bani Quraidhah” (HR. Bukhari Muslim).Sebagian dari mereka tetap menjalankan shalat Ashar pada waktunya, meskipun belum sampai di Bani Quraidhah. Kelompok ini memaknai hadits di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Sementara sebagian lain baru menjalankan shalat Ashar setelah sampai di Bani Quraidhah sesuai makna harfiah hadits. Perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasulullah, dan beliau tidak mencaci salah satu dari kedua pendapat tersebut. Artinya, Rasul membenarkan kedua pendapat tersebut.

Akan tetapi, setelah Rasulullah wafat, bibit-bibit perbedaan pendapat mulai tumbuh dan berkembang. Berawal dari perbedaan pendapat tentang benar atau tidaknya berita meninggalnya Rasulullah, sampai perbedaan tentang siapakah khalifah pengganti beliau. Perbedaan pendapat ini semakin melebar pada periode Tabi’in, dan mencapai puncaknya pada periode imam mazhab. (Lihat Taha Jabir al-Alwani, Adabul Ikhtilaf fil Islam, Qatar: Ri’asah al-Mahakim al-Syar’iyyah wa al-Syu’un al-Diniyyah, 1405 H, halaman 33-54).

Hanya saja, perbedaan tersebut tidak muncul karena mengikuti hawa nafsu atau karena kepentingan duniawi belaka, melainkan karena beberapa sebab, sebagaimana ditulis oleh syaikh Musthafa Said al-Khin dalam bukunya Atsarul Ikhtilaf fil Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilafil Fuqaha, meliputi:

 

Pertama, perbedaan qira’at (bacaan). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam satu tipe qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. Banyaknya tipe qira’at ini turut serta dalam menciptakan perbedaan pendapat ulama dalam hukum Islam, misalnya firman Allah SWT:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ      

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

Imam Nafi’, Ibnu Amir, dan Kisa’i membaca lafadz “wa arjulakum” dengan i’rab nashab, sedangkan imam Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan jer, yaitu “wa arjulikum”. Mayoritas ulama fiqih mengikuti bacaan nashab, sehingga mereka menyatakan kewajiban membasuh kaki dalam wudhu, bukan mengusapnya. Sedangkan ulama Syi’ah Imamiyyah memilih bacaan jer, dan menegaskan kewajiban mengusap kaki dalam wudhu.

Kedua, tidak mengetahui adanya hadits Nabi. Para sahabat berbeda intensitasnya dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka berbeda dalam mengetahui hadits-haditsnya. Ada sahabat yang mengetahui banyak hadits, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui sedikit hadits. Perbedaan pengetahuan tentang hadits ini menyebabkan perbedaan pendapat ulama. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq tidak memberi hak waris bagi seorang nenek, sampai sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Muslimah bersaksi bahwa Nabi memberinya bagian seperenam dari harta warisan.

Begitu pula Abu Hurairah menghukumi batalnya puasa orang yang junub, sampai beliau mendengar hadits riwayat Aisyah dan Ummu Salamah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُ فِي رَمَضَان.


“Bahwa pada pagi hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, lalu beliau melanjutkan puasanya.” (H.R. Bukhari Muslim).
(Baca juga: Dialog Para Imam Mazhab soal Hadits)
Ketiga, ragu-ragu akan kesahihan sebuah hadits. Para ulama tidak langsung mengamalkan hadits yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadits menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih. Misalnya, Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang yang junub tidak boleh bertayammum, dan tidak boleh shalat sampai dia mendapatkan air lalu mandi besar. Beliau tidak mengambil hadits riwayat Ammar bin Yasir yang menjelaskan keabsahan tayammum bagi orang junub, karena menurut Umar hadits tersebut tidak sahih.

Begitu pula hukum puasa bagi orang yang makan atau minum di siang hari puasa karena lupa, di mana menurut mayoritas ulama puasanya tetap sah dan tidak wajib mengqadha, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا أَوْ شَرِبَ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ  

“Apabila seseorang yang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka sesungguhnya itulah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidaklah ia berkewajiban mengqadha’ (menggantinya). (HR. Al-Daruquthni).

Sedangkan Imam Malik tidak menganggap hadits di atas sebagai hadits sahih, sehingga ia berpendapat bahwa hukum puasa orang yang makan atau minum karena lupa adalah batal, dan ia wajib mengqadhanya. Wallahu A’lam.

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.

Bersambung ke: Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Ulama (2-Habis)

Islam adalah agama yang membawa Rahmat ilahi berupa persatuan dan kebersamaan (i’tilaf dan ta’awun) berdasarkan pada standar dan parameter kebenaran (Realitas Ketuhanan) yang merupakan ujian pilihan bagi seluruh manusia. Islam bukan sekedar alternatif, tetapi merupakan kewajiban mutlak (taklif) bagi setiap jin dan manusia. Karena Islam adalah kumpulan kebenaran imani (ideologis-konseptual), satuan kebenaran lapangan (realitas-praktis) dan totalitas kebenaran bersikap (Etis). Adapun persatuan yang bersifat alami; di mana manusia tak memiliki pilihan padanya. Seperti persatuan karena faktor nasab, suku, ras, bangsa dan negara tetap dijaga dalam Islam.

Namun sebatas tidak merusak sikap loyal (wala’) kepada Islam. Artinya, persfektif dan ajaran serta norma-norma Islam harus mengungguli dan mengatur semua jenis dan faktor-faktor persatuan tersebut tanpa adanya sikaf ektrim (ta’asub) berlebihan. Kenapa demikian, karena Islam itu menyatukan dan mengakurkan; sama sekali tidak senang mempertentangkan, apalagi melanggengkan sikap bercerai berai. Namun, perlu dipahami dari awal bahwa persatuan yang berefek pada persaudaraan dan sikap saling menghargai yang diinginkan oleh Islam adalah persatuan dalam kebenaran Islam. Selama keadilan Islam tidak diwujudkan, maka tak ada kata persatuan dan tidak ada kompromi sedikit pun. Karena Islam adalah oposisi kebatilan.

A. Perbedaan (Keragaman); Tabiat Kehidupan.Hidup ini secara realitas adalah wujud keberagaman ciptaan Allah yang menunjukkan kehebatan Allah ta’alaa sebagai sang kreator maha hebat tanpa batas (badi’us samawati wal ard). Sebuah fakta penciptaan (dalil al-ikhtiraa) yang berpadu dengan fakta perhatian Allah (dalil al-inayah) yang senantiasa aktual pada diri setiap makhlukNya. Inilah yang membuktikan Allah itu esa, tiada duaNya. Tanpa pasangan (istri) ; tak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dialah Zat yang paling unik dan tidak mungkin ada yang menyerupaiNya apalagi selevel denganNya.

Keberagaman (perbedaan) yang menjadi tabiat kehidupan itu minimal bisa dilihat dari 2 lingkup berikut :

(1). Antara keistimewaan Allah dan keberagaman sang hamba (makhluk).Semua makhluk ditetapkan oleh Allah berpasangan. Jenis laki dan perempuan ditemukan pada hampir semua ragam makhluk; manusia, binatang, tumbuhan dll. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan rahasia keberlangsungan makhluk melalui mekanisme perkawinan. Sehingga susah mudah, sedikit banyak, baik buruk, halal haram, tinggi rendah, tua muda, jauh dekat ; sebagai identifikasi yangmemudahkan manusia agar tidak terjatuh pada sikap ambigu dan sikap serba relativistik. Belum lagi keragaman warna dengan gradasinya yang menakjubkan. Hingga unsur-unsur pun beragam; dari Ho2, Co2 dll. Sehingga makhluk dikenal dengan keberpasangannya (zaujiyah), sementara identitas khusus Allah dikenal dengan keesaanNya (Ahadiyah) dan ketergantungan makhluk padaNya (Shamadiyah).(2). Peluang Keragaman Pada Level Kebenaran (Agama)

Bahkan, bukan hanya pada level keberagaman makhluk yang menunjukkan adanya perbedaan. Hingga pada level agama sebagai standar kebenaran di bumi, apalagi di langit, tetap terbuka. Di samping Allah menegaskan tidak adanya paksaan dalam berislam, juga Allah tetap memberikan opsi pilihan dan kebebasan bagi manusia dan jin untuk menentukan pilihan mereka secara bebas, tapi tetap harus dalam koridor tanggung jawab. Tiada lain kecuali sebagai bentuk ujian seleksi; antara yang taat dan maksiat, kafir dan beriman dll, Penentuan tingkat kelas ketaatan dan level kemaksiatan. Kalau Allah mau, niscaya manusia seragam dalam hal kebenaran. Namun, hal itu bertentangan dengan hikmahNya dalam kehidupan sebagai lahan ujian. Sehingga keburukan diizinkan bukan karena Allah ridha, tapi murni ujian dan pemberian hak-hak kebebasan yang menunjukkan bahwa manusia memang dicipta oleh Allah sekaligus perbuatan mereka. Namun, potensi perbuatan tersebut tetap berada dalam kendali dan kebebasan manusia yang suatu saat nanti akan dimintai pertanggungjawaban atas semuanya secara total.

B. Jenis-jenis Perbedaan Secara umum.Minimal perbedaan itu bisa dilihat sekilas berdasarkan kategorisasi berikut :[1]. Hati (Akidah).

Perbedaan hati berupa perbedaan iman sehingga menghasilkan sikap loyal (wala’) dan sikap disloyalitas (bara’). Dari sisi eksternal (non muslim) ini mutlak terjadi. Cuman, jika dari sisi internal kita kaum muslimin, inilah yang sangat disayangkan. Walaupun demikian, Perbedaan internal kita antara sesama Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mencakup Atsariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah tetap harus dibedakan secara bijak dengan non Ahlu Sunnah seperti khawarij, Syi’ah. Muktazilah, Jahmiyah dll.

[2]. Sikap (Perbuatan).
Masalah perbuatan kita secara praktis yang menghasilkan 4 Mazhab fiqih dalam lingkup Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang mencakup Hanafiah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah, tentu masih sangat relevan. Karena perbedaan mereka hanya berkisar pada sumber-sumber referensi fiqih seperti amal ahli Madinah, maslahah mursalah, Syar’u man Qablana, Saddu Dzara’i, istishab, dll.

Adapun dalam hal referensi utama, seperti al-Qur’an, as-Sunnah Ijma’ dan Qiyas tetap mereka sepakat. Walaupun cara pandang tentang qath’i-dzanni teks-teks tersebut dari sisi otensititas (wurud) dan maknanya (dilalah) masih juga terjadi perbedaan. Demikian pula dari sisi interpretasi, mereka kadang juga berbeda-beda. Nanti ini diperluas pada babnya secara khusus, in syaa Allah.

Masalah pendekatan dan metodologis ini menghasilkan 2 cara pengambilan hukum (istinbath) antara metode Mutakkalimin dan metode Fuqaha. Walaupun ada juga metode sintesis yang dipraktekkan oleh imam lain selain imam Ibnu Qudamah dalam kitab Raudhatun Nazhir ilaa Jannatil Munazhir.

[3]. Etika (Moral).
Perbedaan di sini mencakup 3 mazhab; Mazhab Irfani, Mazhab Falsafi dan mazhab Akhlaqi. Mazhab Akhlaqi adalah mazhab spesial Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. 2 mazhab lainnya, terutama Mazhab Falsafi sangat terkontaminasi oleh pemikiran luar.

[4]. Pemikiran (Ideologi dan Filsafat)
Perbedaan ini umumnya terjadi karena masalah referensi pengetahuan yang dikenal dengan istilah filsafat ilmu pengetahuan. Di sini, istilah Efistemologi Islam dengan kajian hakikat ilmu (Ontologis) dan kegunaan ilmu (Aksiologis) ikut berperan secara komparatif dengan hal yang sama dengan apa yang ada di luar Islam.

Dari semua Perbedaan di atas, minimal bisa diringkas dengan dua jenis perbedaan berikut :
(1). Perbedaan Variatif (Tanawwu). Yaitu perbedaan hanya dari sisi istilah sekalipun substansi sama. Seperti tafsiran ash-Shirat al-Mustaqim dengan Islam, Qur’an dan Islam. Biasanya perbedaan ini akibat dari minimnya penggunaan takwil dalam sebuah mazhab. Karena takwil hanya dibatasi oleh makna kebahasaan (semantik/filologi) dalam tradisi Arab dan tradisi Islam. Adapun takwil yang mulai mengakomodasi makna lain yang ada di peradaban lain, lalu dicampuradukkan dengan persfektif Islam, maka disinilah takwil menjadi bencana. Seperti takwil yang banyak dilakukan oleh kalangan filosof, ahlul Kalam dan ahli tasawuf. Akhirnya, takwil bukan lagi sekedar tafsir konvensional seperti yang ada di era terbaik (Salaf), tapi mulai merambah tafsir dengan makna bathin dan isyari yang tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku di era sebelumnya. Ini yang menjadi pintu masuk semua pengikut hawa nafsu dan kreativitas tak berdasar (bid’ah) ke dalam ranah intelektual Islam.

(2). Perbedaan kontradiktif (Tadhad). Adalah perbedaan yang timbul akibat diperluasnya cakupan takwil. Sehingga makna makin beragam hingga ke tahap saling menafikan. Umumnya terjadi antara Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dengan pemikiran non Ahlu Sunnah. Seperti perbedaan masalah nikah mut’ah yang terjadi antara mazhab Ahlu Sunnah dan Syi’ah. Juga seperti perbedaan makna tauhid antar internal Ahlu Sunnah. Ada yang menegaskan semua sifat-sifat Allah tanpa kecuali. Ada pula yang menetapkan sebagian (20 atau hanya 7). Juga perbedaan antara Ahlu Sunnah dengan Muktazilah. Yang mana, Muktazilah menafikan semua sifat-sifat Allah karena dianggap potensial memperbanyak makna Qadim (ta’addudul qudama’) di sisi Allah yang berefek pada kesyirikan. Sehingga tauhid versi Muktazilah adalah Allah dengan nama-namaNya tanpa predikat sifat sedikit pun.

C. Perbedaan (Ikhtilaf) dan Perselisihan (Iftiraq).
Tentu tidak semua perbedaan berakhir pada mesin perselisihan. Jika sifatnya hanya perbedaan Variatif, tentu sah-sah saja. Namun, jika perbedaan itu sudah mengarah ke perbedaan kontradiktif, di sinilah dipastikan perselisihan itu terjadi. Jadi, berbeda tidak harus berselisih. Namun, perselisihan sudah pasti membeda-bedakan.

D. Perbedaan dalam Masalah Fiqhiyah.
Inilah inti Pembahasan kita sekarang. Ranahnya adalah Fiqih di internal mazhab Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Secara umum, perbedaan di sini bisa dipersempit antara mazhab tekstual (ma’tsur) yang diwakili oleh imam Malik di Madinah sebagai pusat riwayat dan mazhab kontekstual (dirayah) yang dipresentasikan oleh imam Abu Hanifah yang bermarkas di Baghdad.

Inti perbedaan di sini adalah seputar Ar-Ra’yu (rasionalitas). Selama ini, Mazhab Maliki sering dianggap minus ra’yu (rasionalitas) karena fokus riwayat. Sementara mazhab Hanafi dituduh berlebihan dalam aspek ra’yu karena fokus Qiyas (Analogi). Berikut ini titik perbedaan dan persamaan antara kedua mazhab secara global :

  1. Inti dari penggunaan ra’yu dalam ranah fiqih Islam basisnya adalah mewujudkan maslahat manusia dunia akhirat berdasarkan pada tingkatan hirarkis tujuan Syariah (maqashid Syariah).
  2. Sedang ruang pemberdayaan ra’yu terkait peristiwa dan kejadian yang terjadi dalam lingkup realitas masyarakat bisa dipetakan sebagai berikut :A. Teks-teks pasti (qath’i) baik sumber maupun maknanya. Tentu ra’yu tidak punya akses di sini. Rasio hanya sebatas alat memahami.B. Peristiwa yang tidak memiliki sandaran teks (Nash), namun para Mujtahid di zaman tertentu telah bersepakat tentang status hukumnya (ijma’) maka di sini pun ra’yu tak diberi akses.

    C. Peristiwa yang tidak memiliki pijakan teks, namun belum menjadi kesepakatan kalangan Mujtahid masa lalu, maka ruang ini terbuka untuk pemberdayaan ra’yu (ijtihad).

  3. Perbedaan ra’yu yang tergolong terpuji (mahmud) dan ra’yu yang tersandera oleh hawa nafsu busuk (mazmum) adalah bahwa ra’yu terbaik itu ada pada pemberdayaan nalar dan rasio kalangan sahabat dan tabi’in. Substansi pemikiran rasional mereka ada pada upaya menampilkan kebenaran pada setia peristiwa yang terjadi. Penalaran yang didasari oleh upaya penarikan kesimpulan hukum (istinbath) terhadap suatu peristiwa berdasarkan tuntunan teks dengan analogi (Qiyas). Yang serupa disatukan hukumnya dengan yang semisalnya (Qiyas tamtsil) dan yang berbeda di satukan sesuai dengan tingkat perbedaannya (Qiyas ‘Aksi-Tharadi). Ra’yu dengan pola seperti ini merupakan hasil dari pemahaman maksimal (detil) yang disertai ketinggian tingkat Intuisi (bashirah) yang berhasil dicontohkan oleh kalangan Terbaik ummat ini.
  4. Seputar maslahat, semua Mazhab Fiqih memberdayakannya dalam penentuan hukum fiqih. Juga perlu ditegaskan bahwa bukan hanya imam Malik dan imam Ahmad yang mendominasi maslahat dlm ijtihad mereka. Betul, mereka berdua mengunggulkan masalahat dalam penarikan hukum. Dan, kita pun sangat memahami mereka sangat komitmen dengan manhaj salaf dan Sunnah. Maka, tuduhan bahwa imam Malik terlalu ekstrim dalam pemberdayaan maslahat sampai tarap menghalalkan pembunuhan dan pencurian harta karena tuntunan maslahat yang dianggap kokoh secara nalar, sekalipun tanpa dasar; sangat kurang tepat. Tidak ada dalam karya beliau yang mengindikasikan hal tersebut. Demikian pula dalam karya intelektual para sahabat-sahabatnya setelah beliau.
  5. Masalah istihsan, juga diberdayakan oleh semua Mazhab. Imam Syafi’i hanya menolak istihsan yang tidak didasari oleh petunjuk dalil secara resmi. Tapi dibangun murni berdasarkan hawa nafsu, semangat intelektual kebablasan dan seenaknya sendiri. Bahkan, istihsan model seperti terakhir ini tidak ada yang melakukannya. Sehingga bisa dikatakan, perbedaan beliau dalam masalah istihsan ini hanya bersifat kebahasaan saja (lafzi). Imam Syafi’i hanya menggunakan istilah lain yang substansinya sama dengan istihsan itu sendiri.
  6. Terkait prinsip Saddu Dzara’i sebagai basis ra’yu dan ijtihad, sebenarnya berdasarkan pada pandangan jauh ke depan yang menjadi efek dan akhir suatu tindakan. Sehingga tindakan tertentu dikategorikan secara hukum berdasarkan efek masa depan tersebut; baik disengaja oleh pelaku atau tidak. Jika ternyatasuatu tindakan sesuai dengan harapan syari’at atau mengandung maslahat standar; tentu itu yang diharapkan. Jika tidak demikian, artinya ada kerusakan atau keburukan, ; jika demikian tentu hukumnya terlarang. Di sini, niat pelaku sama sekali tidak diperhitungkan. Tapi yang dianggap adalah hasil akhir sebuah tindakan tersebut. Karena tindakan atau perbuatanlah yang akan menjadi objek pujian atau celaan sesuai hasilnya.7.Terkait prinsip istishab, ternyata ia menjadi prinsip penting dalam mazhab imam Malik dan semua sahabatnya. Tetapi, itu jika tidak ada dalil yang lebih kokoh darinya. Dan, istishab itu sendiri tidak bisa naik ke level prinsip rasional (ra’yu) yang setara dengan prinsip-prinsip yang telah dibahas sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian ulama seputar pemberdayaan istishab ini, ternyata akses ra’yu sangat minim pada istishab. Sehingga ditemukan bahwa ulama Mazhab yang banyak memanfaatkan perangkat ra’yu (penalaran) pada mekanisme ijtihad mereka dipastikan sedikit mengakses istishab. Karena setiap kali perangkat ra’yu begitu banyak, maka banyak pula faktor yang potensial merubah hukum baru dari hukum asal (istishab). Tentu ini adalah karakteristik mazhab imam Abu Hanifah rahimahullah.

    Sebaliknya, ulama Mazhab yang sedikit sekali membuka peluang ra’yu dalam perangkat ijtihad mereka, dipastikan sangat kokoh mengandalkan istishab. Ini tentu menegaskan sikap imam Malik rahimahullah.

  7. Prinsip pemberdayaan ‘urf ternyata juga didasari oleh kepentingan dan maslahat masyarakat agar mereka mendapatkan kemudahan, sekaligus mereka terbebas dari beban masalah yang menghimpit. Sehingga ‘urf ini menjadi basis penting dalam madrasah Madinah.
  8. Secara komparatif, ra’yu di Mazhab imam Malik merepresentasikan realitas dan kenyataan hidup yang jauh dari prediksi kejadian atau kemungkinan terjadinya suatu peristiwa di masa depan. Sedang ra’yu di mazhab Abu Hanifah mengarah ke personifikasi masalah secara prediktif di masa depan. Hal ini menegaskan bahwa ra’yu di Mazhab Malik sangat bernuansa atsar. Mereka tidak melirik ra’yu kecuali jika teks-teks syari’at dan pendapat sahabat dan tabi’in sangat minim terkait suatu peristiwa atau kejadian. Maka, mereka lebih banyak memburu hadits dan atsar dibanding mencari illat yang menjadi alasan penemuan hukum. Sedang Mazhab Abu Hanifah fokus mencari illat hukum sejak awal, maka tak mengherankan jika teks-teks hadits dan atsar minim pada mekanisme ijtihad mereka. Sementara pemberdayaan ra’yu dan pemanfaatan nalar sangat kokoh di internal mereka.

Sebab-Sebab Terjadinya Perbedaan.

  1. Perbedaan pendapat tentang validitas dan otensititas periwayatan sebuah hadits. Shahih, Hasan dan dhaif.
  2. Perbedaan cara interpretasi, cara mengkompromikan, tata cara tarjih, cara abrogasi (nasikh mansukh) dll.
  3. Perbedaan sumber referensi terhada masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
  4. Perbedaan pendapat akibat perbedaan tempat, situasi dan kondisi. Maka fatwa potensial berubah seiring dengan tuntutan perubahan zaman, tempat dan kondisi lingkungan.
    Selain itu, perbedaan juga potensial terjadi akibat dari :
  5. Adanya lafazh Al-Qur’an atau hadits yang memiliki multi makna (musytarak). Seperti kata quru’.
  6. Adanya perbedaan menentukan Sam khas, mutlaq muqayyad, mujmal mubayyan. Belum lagi perbedaan cara mengidentifikasi lafazh umum yang bermaksud khusus dan lafazh khusus yang berkonotasi umum. Demikian pula lafazh umum yang tetap pada koridor keumumannya. Dan, lafazh khusus yang tetap eksis pada kandungan khasnya.
    Adapun cara dan adab menyikapi perbedaan serta hikmah di balik adanya perbedaan tersebut bisa dicari di sumber-sumber lain yang relevan. Demikian, semoga bermanfaat.

Referensi :

  1. Ar-Ra’yu wa Atsaruhu Fii Madrasah al-Madinah, Karya, Dr. Abu Bakar Ismail Muhamad Miqa.
  2. Mauqif Al-Ittijah al-Aqlani al-Islami al-Muashir Min an-Nash asy-Syar’i, Karya Dr Sa’ad bin Bajjad al-Utaibi.
  3. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat (Ikhtilaf) Ahli Hukum, Karya Ust. Andi Muhammad Hidayat, Lc.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA