Apakah produk suplemen tersebut dapat dikategorikan sebagai makanan fungsional?

Makanan yang dikonsumsi sehari-hari berfungsi untuk mencukupi kebutuhan tubuh akan energi dan zat-zat gizi, baik makro maupun mikro. Namun seiring dengan perkembangan zaman, semakin meningkat pula berbagai penyakit degeneratif, yang penyebabnya diduga antara lain berasal dari perubahan pola konsumsi makanan, dan pola hidup. Kemajuan teknologi menyebabkan orang mulai beralih kepada konsep makanan siap saji, proses pengolahan makanan dengan menggunakan bahan tambahan pangan, makanan yang mengandung kadar lemak atau kadar gula yang tinggi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis makanan memiliki peran dalam mencegah maupun mengobati penyakit. Berawal dari konsep ini, maka lahirlah makanan fungsional. Secara sederhana, makanan fungsional didefinisikan sebagai makanan yang mempunyai fungsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dasar bagi tubuh, tetapi juga memiliki fungsi lainnya (Tapsell, 2009). Konsep makanan fungsional mula-mula berasal dari filosofi Hipropcates yaitu, “Let your food be your medicine and let your medicine be your food” (jadikanlah makananmu sebagai obatmu dan obatmu sebagai makananmu). Makanan fungsional ini sering disebut juga dengan makanan yang mempunyai fungsi kesehatan, khususnya untuk pencegahan (prevention) penyakit. Istilah makanan fungsional digunakan pertama kali oleh para peniliti di Jepang pada sekitar tahun 1984, ketika pemerintah Jepang mulai memikirkan anggaran untuk kesehatan bagi lansia yang menjadi tanggung jawab pemerintah, dan semakin lama semakin meningkat populasi lansia, sehingga diantisipasi dengan konsumsi makanan fungsional untuk mencegah berbagai penyakit dan meningkatkan kualitas hidup. Di Jepang, makanan fungsional ini diberi nama FOSHU (Food for Specified Health Uses), yaitu sebuah klaim bagi makanan yang diketahui secara ilmiah mengandung komponen yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan.

Jenis-jenis makanan fungsional Makanan fungsional dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu berdasarkan sumber makanan dan cara pengolahan. Berdasarkan sumbernya, makanan fungsional dibedakan menjadi makanan fungsional nabati dan makanan fungsional hewani. Makanan fungsional nabati adalah makanan fungsional yang berasal dari tumbuhan, contohnya: kedelai, beras merah, tomat, bawang putih, anggur, teh dan sebagainya. Makanan fungsional hewani adalah makanan fungsional yang berasal dari hewan, contohnya: ikan, susu dan produk-produk olahannya. Berdasarkan cara pengolahannya, makanan fungsional dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: makanan fungsional alami, makanan fungsional tradisional dan makanan fungsional modern. Makanan fungsional alami adalah makanan yang tersedia di alam dan tidak mengalami proses pengolahan, contohnya adalah buah-buahan dan sayur-sayuran yang dimakan segar. Makanan fungsional tradisional adalah makanan fungsional yang diolah secara tradisional, contohnya: tempe, dadih, dan sebagainya. Makanan fungsional modern adalah makanan fungsional yang dibuat secara khusus dengan menggunakan perencanaan dan teknologi khusus. Contohnya adalah makanan khusus untuk penderita diabetes seperti Diabetasol dan Diabetamil. Produk ini mengandung serat dan senyawa fungsional lain yang dapat menurunkan respon gula darah sehingga sangat baik untuk penderita diabetes. Komponen makanan fungsional Komponen makanan fungsional dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: zat gizi dan non gizi. Zat gizi dapat berupa zat gizi makro yang mempunyai efek fisiologis (contoh : resistant starch atau asam lemak omega 3) atau zat gizi mikro yang jumlah konsumsinya melebihi rekomendasi konsumsi per hari. Komponen non gizi contohnya adalah mikroorganisme atau bagian kimia dari tumbuhan. Komponen bioaktif dari makanan fungsional adalah: a. Zat gizi: asam amino, beberapa jenis protein, asam lemak tak jenuh ganda (PUFA = polyunsaturated fatty acids), vitamin, mineral, dsb.

b. Non gizi : serat pangan, prebiotik, probiotik, fitoestrogen, fitosterol dan fitostanol, poliphenol dan isoflavon, gula alkohol, bakteri asam laktat, dsb.

Contoh senyawa-senyawa fungsional, sumber dan fungsinya masing-masing, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Senyawa-senyawa fungsional, sumber dan fungsinya

*contoh bukan merupakan daftar yang termasuk seluruhnya **FDA menyetujui klaim kesehatan terhadap senyawa tersebut

***Bentuk provitamin A ditemukan pada makanan yang berasal dari hewan. Provitamin A karotenoid banyak terdapat pada buah-buahan dan sayur-sayuran berwarna hijau gelap dan menjadi sumber vitamin A utama bagi vegetarian.

Sumber : IFIC

Pembuatan atau produksi makanan fungsional Produk makanan dapat dibuat menjadi fungsional dengan menggunakan beberapa pendekatan: 1. Menghilangkan komponen yang diketahui atau diidentifikasi menyebabkan efek merugikan saat dikonsumsi. 2. Meningkatkan konsentrasi komponen yang secara alami terdapat dalam bahan makanan sampai pada kadar dimana dapat menghasilkan fungsi yang diinginkan (contoh: fortifikasi dengan zat gizi mikro untuk mencapai konsumsi harian yang lebih tinggi dari rekomendasi asupan yang dianjurkan namun sesuai dengan anjuran pedoman diet untuk mengurangi resiko penyakit) atau meningkatkan konsentrasi komponen non gizi pada tingkat yang diketahui dapat meningkatkan manfaat yang diinginkan. 3. Menambahkan komponen yang tidak umum terdapat pada sebagian besar bahan makanan, tidak selalu berupa zat gizi makro atau zat gizi mikro namun mempunyai efek yang telah terbukti menguntungkan (contoh: vitamin non antioksidan, atau prebiotik fruktan). 4. Mengganti komponen, biasanya komponen zat gizi makro (contoh: lemak), yang umumnya dikonsumsi secara berlebih sehingga dapat menyebabkan efek yang merugikan, diganti dengan komponen yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan [contoh: chicory inulin seperti Rafticream (ORAFTI, Tienen, Belgium)]. 5. Meningkatkan bioavibilitas atau stabilitas dari komponen yang diketahui dapat menghasilkan efek fungsional atau menurunkan resiko yang merugikan dari bahan makanan.

(Agustina dan Surono, 2009)

Secara praktis, makanan fungsional dapat berupa: – Bahan makanan alami, tanpa mengalami proses pengolahan atau modifikasi – Bahan makanan yang salah satu komponennya ditingkatkan melalui kondisi khusus, perkembangbiakan atau secara bioteknologi – Penambahan komponen untuk menghasilkan potensi menguntungkan dari bahan makanan – Menghilangkan komponen dalam bahan makanan dengan menggunakan teknologi atau bioteknologi untuk menghasilkan potensi yang menguntungkan yang sebelumnya tidak tersedia – Mengganti komponen dalam bahan makanan dengan komponen lain yang lebih menguntungkan – Memodifikasi komponen dalam bahan makanan secara enzimatis, kimiawi atau teknologi tertentu untuk menghasilkan potensi yang menguntungkan – Memodifikasi bioavalibilitas komponen makanan – Kombinasi dari teknik-teknik di atas

(Agustina dan Surono, 2009)

Tren Pasar Makanan Fungsional Saat ini tren pasar makanan dan minuman fungsional di dunia telah meningkat secara dinamis. Jepang merupakan pasar terbesar di dunia (US$ 11.7 milyar), diikuti oleh Amerika Serikat dan Eropa. Tidak hanya di negara maju, permintaan makanan fungsional juga telah meningkat di negara berkembang seperti India, Brazil dan China. Diprediksi bahwa permintaan pasar terhadap makanan fungsional kemungkinan akan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun mendatang. Meningkatnya permintaan terhadap makanan fungsional dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain meningkatnya pendapatan, gaya hidup yang berhubungan dengan penyakit, dan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah kesehatan. Meningkatnya kesadaran terhadap gaya hidup sehat dapat terlihat dengan adanya produk-produk makanan dengan klaim kesehatan seperti baik untuk kesehatan pencernaan, pengaturan berat badan, pengelolaan stress, dan sebagainya.

Daftar Pustaka

Agustina, R. dan Surono, I.S. 2009. Nutrition in Food Industry. SEAMEO – RECFON, University of Indonesia. Subroto, M.A. 2008. Real Food, True Health. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Tapsell, L.C. 2009. Nutrients, Foods and Diets: Challenging Functional Food Development. Aust. J. Dairy Technology. 64:5-7.

//www.ific.org.

(Yulia, S.TP., M.Gizi)

Oleh: Elvira Syamsir

Berbagai kajian epidemiologi, penelitian maupun data klinis menunjukkan bahwa beberapa makanan dan/atau komponen pangan tertentu bisa memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan.  Sejalan dengan perbaikan ekonomi dan pemahaman terhadap pengaruh pangan terhadap kesehatan, maka tuntutan konsumen terhadap makanan yang akan dikonsumsinya tidak lagi hanya sekedar harus mempunyai komposisi gizi yang baik, atau penampakan dan cita rasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Tuntutan ini menyebabkan pangan fungsional saat ini tumbuh dan berkembang pesat.  Banyak pangan tradisional kita yang bisa dikategorikan sebagai pangan fungsional.  Bisakah dikembangkan menjadi pangan fungsional ‘modern’?

Pangan Fungsional

Menurut Badan POM, pangan fungsional adalah pangan yang secara alamiah maupun telah diproses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Untuk dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional, maka pangan tersebut haruslah bisa dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau minuman dengan karakteristik sensori seperti penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen serta tidak memberikan kontraindikasi maupun efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya pada jumlah penggunaan yang dianjurkan.  

Walaupun mempunyai manfaat bagi kesehatan, pangan fungsional bukanlah obat ataupun suplemen makanan sehingga bukan merupakan kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami.  Pangan fungsional dapat dikonsumsi bebas seperti makanan dan minuman pada umumnya, tanpa adanya batasan dosis tertentu.  Bila obat digunakan untuk mengobati suatu penyakit, maka pangan fungsional lebih ditujukan untuk penurunan risiko, perlambatan atau pencegahan penyakit tertentu.  Yang paling utama adalah mencegah penyakit degeneratif dan meningkatkan daya tahan tubuh khususnya pada proses pemulihan pasca sakit.



Pangan fungsional bisa mengandung serat makanan, asam lemak, vitamin atau mineral tertentu, produk pangan yang ditambahkan dengan komponen bioaktif seperti komponen fitokimia atau komponen antioksidan lainnya atau mengandung probiotik.  Dilihat dari ada tidaknya proses pengolahan, maka pangan fungsional bisa dalam bentuk segar atau dalam bentuk pangan olahan.  Pada pangan olahan, karakteristik sebagai pangan fngsional bisa muncul karena adanya komponen aktif di dalam bahan baku, terbentuknya komponen aktif karena proses pengolahan dan atau adanya penambahan komponen aktif ke dalam produk.  
Buah dan sayur yang dikonsumsi segar merupakan bentuk sederhana dari suatu pangan fungsional.  Selain itu, rempah-rempah juga merupakan gudang senyawa bioaktif dengan berbagai manfaat bagi kesehatan.  Sehingga, produk-produk olahan berbasis bahan-bahan ini bisa dikelompokkan sebagai pangan fungsional, sepanjang proses pengolahannya tidak merusak komponen aktif tersebut.

Produk pangan fungsional olahan yang cukup populer bagi konsumen misalnya susu probiotik (yoghurt, yakult, kefir, coumiss); makanan sarapan, roti dan produk bakery lainnya yang diperkaya serat pangan, mie dan produk pasta yang diperkaya dengan berbagai vitamin dan mineral dan/atau serat makanan; minuman yang mengandung serat; serta susu kaya rendah lemak dan kaya kalsium.  

Yang Tradisional dan Fungsional

Pangan yang dapat dikatakan sebagai pangan fungsional bukan hanya pangan yang diolah secara modern atau yang menggunakan bahan-bahan impor.  Produk pangan tradisional kitapun, sangat banyak yang mengandung komponen bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan dan karenanya dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional.  

Apa itu pangan tradisional? Pangan tradisional adalah makanan dan minuman termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia.  Produk biasanya memiliki citarasa spesifik yang disukai oleh masyarakat setempat, dan dibuat dengan menggunakan resep warisan dari generasi ke generasi, dengan menggunakan bahan-bahan dari sumber lokal.  

Bahan pangan segar yang banyak dijumpai di Indonesia, banyak yang kaya dengan komponen fitokimia dan serat makanan sehingga bersifat menyehatkan ketika dikonsumsi dalam kondisi segar.  Sebagai contoh, buah jambu biji, pepaya, pisang dan sirsak serta sayuran seperti wortel dan tomat serta sayuran lain yang dimakan sebagai lalapan atau karedok, gado-gado dan acar seperti daun kemang, kangkung, paria, daun singkong, labu siam, leunca, bayam, daun katuk, terong, kacang panjang, daun kedondong, kecipir, daun selasih dan lain sebagainya.  

Umbi-umbian banyak digunakan dalam resep-resep produk jajanan tradisional.  Selain mengenyangkan, umbi-umbian kaya akan serat dan beberapa juga kaya oligosakarida, sehingga dapat digunakan sebagai pangan fungsional untuk serat dan/atau prebiotik.  Disamping itu, ketiadaan gluten dalam umbi-umbian membuat produk olahannya dapat dikonsumsi oleh orang-orang yang sensitif terhadap gluten.

Dari segi bumbu, penggunaan rempah-rempah dalam jenis dan jumlah yang banyak adalah ciri khas dari pangan tradisional Indonesia.  Selain memberi nilai labih pada aspek sensorik, tanaman rempah sudah sejak lama dikenal mengandung komponen fitokimia yang berperan penting untuk pencegahan dan pengobatan berbagai penyakit.  Sehingga, penggunaannya di dalam produk tradisional tanpa disadari ikut memberi andil dalam mempertahankan kesehatan.  

Beberapa produk olahan pangan tradisional juga dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional.   Produk-produk tersebut bisa berasal dari bahan nabati atau hewani, dalam bentuk makanan ataupun minuman.  Dari kelompok makanan, contohnya adalah tempe, tape, dangke (keju lunak dari daerah Enrekang, Sulawesi), cincau,  brem, peyeum, tauco, tempoyak dan acar.  Dalam bentuk minuman kita mengenal minuman beras kencur, temulawak, kunyit asam, bir pletok (minuman rempah dari darah Sunda), sekoteng dan bandrek, dadih (susu kerbau fermentasi dari Sumatera Barat) dan lainnya.  Produk-produk ini dapat memberikan efek menyehatkan bagi tubuh bila dikonsumsi.

Mengembangkan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional  

Bisakah pangan tradisional diproses menjadi pangan fungsional modern?  Jawabannya: bisa.  Adanya bukti ilmiah yang menunjukkan keberadaan komponen bioaktif di dalam suatu produk tradisional, menjadi pintu pembuka untuk lebih serius mengembangkan produk pangan fungsional berbasis pangan fungsional.  Tentu saja, untuk dapat mengembangkan produk pangan fungsional tersebut, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Konsep yang harus selalu diingat adalah bahwa pangan fungsional merupakan produk pangan, sehingga harus bisa dikonsumsi secara bebas, seperti halnya pangan sehari-hari.  Oleh karena itu, produk yang dikembangkan dalam bentuk tablet, kapsul, kaplet dan bubuk dengan batasan dosis pemakaian, tidak bisa dikatakan sebagai pangan fungsional.  

Produk tradisional yang dikembangkan sebagai pangan fungsional sebaiknya dimulai dari produk pangan tradisional populer yang telah sejak lama dikonsumsi secara turun-temurun dan secara epidemiologis maupun penelitian telah terbukti bermanfaat bagi kesehatan.  


 Pengembangannya dilakukan dengan tetap mengacu pada kebiasaan makan masyarakat dan atribut yang menjadi ciri pangan tradisional sebaiknya tetap dipertahankan.  

Karena banyak komponen bioaktif yang bersifat rentan terhadap berbagai kondisi proses pengolahan, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan komponen bioaktif selama proses produksi produk.  Hal ini penting diperhatikan agar klaim sebagai pangan fungsional untuk suatu efek kesehatan tertentu dapat terpenuhi.  Informasi mengenai hal ini dapat diperoleh dari literatur atau hasi-hasil penelitian.

Mengembangkan proses produksi pangan yang baku untuk memperoleh produk dengan mutu yang konsisten.  Standarisasi dlakukan dalam hal pengadaan ingridien dan bahan tambahan pangan, juga tahapan proses pengolahan, penyimpanan dan distribusi produk.  selain itu, aspek higiene, sanitasi dan cara pengolahan pangan yang baik mutlak harus dilakukan untuk menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi.

Setelah poin-poin diatas, maka satu hal lagi yang penting dilakukan adalah memperhatikan aspek pemasarannya.  Prestise pangan fungsional berbasis pangan tradisional ini perlu diangkat agar dapat berpenetrasi ke dalam masyarakat yang lebih luas dan mampu bersaing dengan produk luar.  Untuk hal ini, maka aspek penyajian/penampilan, pembentukan image dan promosi produk menjadi sangat penting untuk diperhatikan.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA