Apa yang kamu ketahui tentang fa hien dan i tsing

Fa Hsien atau Fa Hien, juga ditulis Faxian (Hanzi tradisional: 法顯; Hanzi sederhana: 法显; Pinyin: Fǎxiǎn; 337 – s. 422) adalah seorang biarawan berkebangsaan Tionghoa dan seorang penjelajah dari abad ke-5 Masehi. Ia adalah salah satu dari beberapa orang yang melaporkan keberadaan beberapa negeri pada masa awal periode Hindu-Buddha di Nusantara.

Sejarah mengenai Fa Hsien

Tokoh ini bermarga Kung, berasal dari Wu Yang yang terletak di Ping Yang, yang masih merupakan nama departemen besar di provinsi Shan-Si. Ia mempunyai 3 kakak laki-laki, tetapi mereka telah meninggal sebelum gigi mereka yang pertama baru akan tumbuh. Ayahnya menyuruhnya untuk melayani di lingkungan Buddhis dan menyuruhnya menjadi samanera. Namun, pada saat itu Fa Hsien sakit parah dan dibawa ke biara untuk diobati dan setelah sembuh Fa Hsien memutuskan untuk tidak kembali lagi ke rumah.

Ketika berusia 10 tahun, ayahnya meninggal dan pamannya terus mendukung dia untuk menjadi biarawan. Akan tetapi, Fa Hsien berkata kepada pamannya, ”Saya meninggalkan keluarga bukan karena harapan ayah saya, tetapi karena saya berharap menjauhi kehidupan yang pahit dan gaya hidup berdasarkan vulgarisme. Oleh karena itu, saya memilih hidup di jalan seperti biarawan”. Pamannya terpana dengan kata-katanya dan berhenti mendesaknya. Ketika ibunya telah meninggal beberapa lama setelah ayahnya meninggal, betapa hebatnya pengaruh dari ajaran ibunya kepadanya sehingga dia bersungguh-sungguh sekali ingin menjadi biarawan. Setelah pemakaman ibunya telah selesai, dia kembali menuju biara.

Perjalanan Hidup Fa Hsien

Pada tahun 399-414 M, dia melancong ke India, tepatnya di kota Khotan (Yu-Than), di mana dia menyaksikan dan menjadi saksi festival agama Buddha yang luar biasa dengan ditemani oleh Raja Hui dan penganut agama Buddha yang lain. Dari Khotan, dia juga mengunjungi Kashmir, Kabul, Kandahar, dan Punjab, lalu ke India bagian tengah, di mana dia sampai di sana pada tahun 405 setelah 6 tahun berkelana. Dia tinggal di India kurang lebih 10 tahun untuk mencari salinan Vinaya Pitaka yang lengkap dan mengumpulkannya untuk mengetahui kebenaran Vinaya Pittaka dan menginterpretasikan ke dalam bahasa mandarin bersama dengan Sramana-Buddha-Bhadra yang merupakan orang India. Setelah itu, dia pergi ke Ceylon, di mana dia menyalin teks-teks sakral. Lalu, dia tiba di Jawa dan sampai di Cina pada tahun 414. Di rumahnya di Cina, dia menulis tentang perjalanannya berjudul “Memoirs of Eminent Monks” dan “Memoirs of Marvellous Monks”. Jurnal yang dia buat berisi tentang deskripsi mengenai tempat-tempat sakral dan benda-benda sakral Buddha yang merupakan agama yang sangat dominan di India pada saat itu. Setelah Fa Hsien tiba di Cina menerjemahkan Vinaya Pittaka, dia kembali ke Biara Sin di mana itu merupakan tempat meninggalnya dia pada umur 88 tahun.

Laporan Pandangan Mata

Secara tersirat, Fa Hsien ingin sekali menebarkan Dhamma melalui Vinaya Pittaka yang telah ia temukan salinannya dan menerjemahkannya ke dalam bahasa mandarin untuk para biarawan mengerti tentang isi Vinaya Pittaka karena Vinaya Pittaka merupakan isi dari semua peraturan menjadi seorang Bhikku/Bhikkuni. Oleh karena itu, dia ingin mendalami hal tersebut dan menurut diri pribadinya sendiri jika menjalani apa yang ada di Vinaya Pittaka, maka dia akan mencapai Nibanna.

Referensi

Candi Muara Takus. (Dok. Kemendikbud).

Keberadaan prasasti-prasasti mandala yang melingkari kadatuan Sriwijaya membuktikan datu di pusat Sriwijaya mampu memperluas otoritasnya ke wilayah luar. Apa yang dibuktikan dalam prasasti itu ternyata sejalan dengan catatan biksu I-Tsing selama berada di Sriwijaya.

Setelah berlayar selama 20 hari dari Guangzhou, I-Tsing tiba di Sriwijaya (Foshi) pada 651 M. Dia belajar di Sriwijaya selama enam bulan. Raja membantunya untuk sampai ke Melayu dan tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia ke Kedah kemudian sampai India pada 673 M. Baru pada 675, dia memulai pengajarannya di Nalanda selama sepuluh tahun.

Baca juga: I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya

Advertising

Advertising

I-Tsing kembali berlayar ke Kedah dan tiba di Melayu untuk kedua kalinya. “Melayu kini telah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” catat I-Tsing.

Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689 M). Dia sempat terbawa pulang kapal ke Tiongkok. Namun dia kembali dan tinggal lagi di Sriwijaya selama lima tahun (689-695 M).

Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

Selama tinggal beberapa tahun di Sriwijaya itu, I-Tsing memberikan banyak petunjuk mengenai bentuk politik Sriwijaya. Berdasarkan kajian sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, tulisan-tulisan I-Tsing memuat dua istilah kunci yang relevan mengenai politik Sriwijaya.

Ada istilah zhou dan guo. Wolters mengartikan zhou sebagai kata Tionghoa yang dipakai sebagai terjemahan istilah Sanskerta dvipa atau tanah berbatas laut. “Yijing (I-Tsing, red.) menggunakan pulau sebagai padanan zhou,” tulis Wolters dalam “Restudying some Chinese Writings on Srivijaya”.

Sementara guo bisa diartikan sebagai kerajaan atau negara atau negeri. Guo juga berarti tempat tertentu berbentuk ibu kota.

Kata guo digunakan I-Tsing ketika menulis “negeri Melayu kini adalah negeri Srivijaya”. Dia menulisnya dengan guo Sriwijaya.

I-Tsing kembali mengulang pernyataan dalam catatannya yang lain. Di sana tertulis “guo Melayu kini telah menjadi Sriwijaya”.

Lalu dalam catatan ketiga, Mulasarvastivada-ekasata-karman, I-Tsing menyatakan: “Zhou Melayu kini telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya.”.

Baca juga: Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok

Berdasarkan tiga kutipan catatan I-Tsing itu, jelas kalau Melayu telah menjadi salah satu dari banyak guo Sriwijaya. “Sebuah fakta yang sepenuhnya diperkuat oleh Prasasti Karang Brahi yang sezaman di hulu sungai dari Melayu atau Jambi,” tulis Hermann Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya.

Karenanya tafsiran Wolters terhadap catatan I-Tsing mengatakan kalau istilah guo juga bisa merujuk pada politik yang tidak perlu sepenuhnya independen, baik sebagai negeri maupun kota. Guo juga mengacu pada suatu bagian dari politik yang lebih besar yang terdiri dari banyak guo lainnya. Wolters kemudian memadankan istilah guo dengan istilah mandala dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal yang sezaman.

Menurut Wolters kata-kata yang hampir identik tentang ‘banyak guo Srivijaya’ dan ‘semua mandala kadatuan-ku (Sriwijaya) dalam Prasasti Sabokingking (Telaga Batu), jelas sudah mengacu pada situasi sosial politik yang sama. “Kita dapat menduga bahwa penguasa Sriwijaya memiliki mandala sendiri (yang dianggap oleh I-Tsing sebagai guo) dan juga sebagai maharaja mandala lain di kadatuan-nya,” jelasnya.

Pada akhirnya, Wolters menyimpulkan berdasarkan catatan I-Tsing, Sriwijaya semata-mata hanyalah salah satu dari sejumlah guo di Sumatra. Pendapat ini sedikit berbeda dengan pendapat sejarawan Jerman, Hermann Kulke di Kadatuan Sriwijaya. 

Menurut Kulke, memang Sriwijaya pada awalnya juga sebuah mandala. Kawasan intinya yang berada di bawah seorang datu mungkin tetap menjadi guo atau mandala di sepanjang sejarahnya.

Namun, jelas ada yang membedakan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 M dari mandala-mandala Sumatra lainnya. Datu di pusat Sriwijaya ini mampu memperluas wilayah otoritasnya. Buktinya adalah prasasti-prasasti yang tersebar di radius ratusan kilometer darinya.

Kulke menyarankan untuk menyamakan istilah zhou yang dipakai I-Tsing dengan istilah bhumi seperti yang sering disebut dalam prasasti-prasasti Sriwijaya awal.

“Jika penyamaan fungsional dapat diterima, definisi sezaman I-Tsing tentang politi Sriwijaya memang menjadi sangat dekat dengan defisini politi berdasarkan prasasti-prasastinya,” catat Kulke.

Sebelumnya, berdasarkan kajian epigrafi, Kulke membuktikan Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi kerajaan-kerajaan lain yang mengakui kedaulatannya.

Baca juga: Sistem Politik yang Membuat Sriwijaya Bertahan Lebih dari Lima Abad

Kerangka politi Sriwijaya berdasarkan prasasti abad ke-7 M (Dok. Hermann Kulke)

Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Arkeolog dan sejarawan Prancis, Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya.

Kadatuan Sriwijaya yang diyakininya berpusat di Sumatra Selatan, diakui kedaulatannya oleh Kedah, Ligor, Semenanjung Malayu, Kota Kapur, Jambi, Lampung, dan Batu Raja. “Batu Raja adalah prasasti terakhir yang ditemukan tahun lalu di Ogan Kemering Ulu,” jelas Ninie.

Ninie pun menjelaskan bagaimana peran Sriwijaya dalam pembentukan pemerintahan maritim. Sebagaimana yang diungkapkan Kulke dalam Kadatuan Sriwijaya, bahwa terdapat masyarakat yang berdiam di tiap mandala. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” jelas Ninie.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA