Apa peran Indonesia dalam konflik Thailand dan Kamboja?

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Konflik antara Kamboja dan Thailand terjadi pada tahun 2008. Konflik ini disebabkan oleh perebutan Kuil Preah Vihear. Thailand menganggap kuil tersebut merupakan bagian dari wilayah negaranya, sedangkan Kamboja menganggap kuil itu adalah warisan raja mereka sehingga Kuil Preah Vihear adalah milik Kamboja. Kuil Preah Vihear secara geografis terletak diantara Distrik Kantharalak di Provinsi Sisaket dan Distrik Choam Khsant di Provinsi Preah Vihear. Posisi kuil ini berada di perbatasan negara Kamboja dengan Thailand. Indonesia berperan sebagai tuan rumah dan menyelenggarakan Informal ASEAN Foreign Ministers Meeting (IAFMM) pada tanggal 22 Februari 2011 di Jakarta. Tujuan dari IAFMM adalah menyelesaikan konflik antara Kamboja dengan Thailand dengan jalan damai.

Jadi, jawaban yang tepat adalah A.

Rezky Ramadhan Antuli, Dudy Heryadi, Teuku Rezasyah



Konflik berkepenjangan yang melibatkan Thailand dan kamboja banyak mendapatkan sorontan dunia Internasional. Banyak pihak yang ingin menjadi pihak ketiga sebagai mediator dalam konflik tersebut salah satunya Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik melalui pendekatan National Role Conception. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Berdasarakan kerangka konseptual dengan menggunakan konsepsi peran nasional, Indonesia bertindak sebagai mediator-integrator dengan melakukan upaya shuttle diplomacy sebagai konsep peran nasionalnya dan memfasilitasi berbagai macam pertemuan bilateral maupun multilateral sebagai bentuk nyata tindakan Indonesia dalam upaya penyelesain konflik.



Konflik, Konsepsi Peran Nasional, Penyelesaian Konflik


DOI: //doi.org/10.24114/jupiis.v11i2.14131

Abstract view : 913 times PDF - 471 times

DOI (PDF): //doi.org/10.24114/jupiis.v11i2.14131.g12409

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 JUPIIS: JURNAL PENDIDIKAN ILMU-ILMU SOSIAL


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

PLE Priatna

Tentara Thailand dan Kamboja kembali bentrok senjata. Menurut harian Bangkok Post (24/4), beberapa tentara tewas, luka-luka, dan sebagian penduduk di Distrik Phanom Dong Rak, Provinsi Surin, dievakuasi. Artileri berat dan tambahan pasukan disiagakan di perbatasan.

Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa sebagai Ketua ASEAN pun segera merespons dengan menyerukan agar Thailand-Kamboja menghentikan konflik bersenjata dan menempuh jalan damai dalam menyelesaikan konflik.

Menlu Thailand Kasit Piromya bersedia merundingkan kembali masalah perbatasan dalam empat atau lima hari mendatang. Artinya, perundingan baru dilakukan sepekan menjelang pertemuan puncak KTT ASEAN ke-18 di Jakarta, 4-8 Mei 2011.

Pertemuan Informal Menlu ASEAN di Jakarta, 22 Februari lalu, telah menghasilkan kesepakatan kedua pihak untuk melakukan gencatan senjata secara permanen dengan keterlibatan Indonesia sebagai penengah.

Perundingan bilateral

Indonesia memfasilitasi dan membantu pihak yang berseteru untuk kembali berunding di tempat netral, Istana Bogor, 7-8 April 2011. Pemerintah Kamboja diwakili Menteri Pertahanan Tea Banh menyambut baik rencana itu. Namun, petinggi militer Thailand yang diwakili Menhan Prawit Wongsuwon menginginkan perundingan bilateral oleh pejabat militer tanpa keterlibatan Indonesia dan tidak berlangsung di Indonesia.

Menhan Prawit bahkan mengancam tidak akan hadir jika sidang dilakukan di Indonesia. Di sisi lain Pemerintah Kamboja tetap ingin perundingan dilakukan di Indonesia dan dihadiri Indonesia sebagai penengah.

Perubahan sikap Thailand, terutama posisi petinggi militer Thailand—yang akhirnya didukung PM Abhisit—tentu menimbulkan kerumitan baru. Thailand secara tegas menolak tawaran tenaga bantuan pemantau militer (Indonesia) yang tidak bersenjata untuk ditempatkan di perbatasan wilayah sengketa. Tanpa mengungkap alasannya, militer Thailand tidak menghendaki keterlibatan pihak ketiga, termasuk hadirnya pemantau.

Perbedaan pandangan Kemlu Thailand dengan petinggi militer semakin kentara sehingga PM Abhisit harus menyangkalnya. Belakangan PM Abhisit mendukung sikap militer Thailand.

Page 2

Namun, dari kasus bentrok senjata yang kembali terjadi minggu lalu terbukti bahwa tanpa pemantau asing yang mengawasi sekaligus mengawal proses gencatan senjata, konflik bisa meletus setiap saat.

Bentrokan senjata kali ini membuktikan lagi bahwa sikap (militer) Thailand yang menginginkan proses gencatan senjata berlangsung sendiri antara tentara Thailand dan Kamboja tanpa penengah atau pemantau netral adalah tuntutan keliru yang mengada-ada. Tuntutan ini memang sarat kepentingan politik domestik Thailand menjelang pemilu dan dibubarkannya parlemen, Mei ini. Sementara pihak Kamboja tetap konsisten bahwa proses gencatan senjata bisa berlangsung mulus jika dipantau dan diawasi wasit netral.

Bisa dikatakan, sesungguhnya pemantau yang netral ini adalah kunci sekaligus kendali bagi proses gencatan senjata. Tim pemantau dari Indonesia nanti menjadi pemegang kendali proses perdamaian dan gencatan senjata agar berlangsung seperti yang diharapkan.

Posisi ASEAN

Dalam konteks ini, sekarang adalah saatnya bagi ASEAN kembali menegakkan posisi dan mengingatkan bahwa konflik Thailand-Kamboja bukan perkara yang bisa diselesaikan secara bilateral murni.

Bilamana Thailand memaksakan kehendak untuk menggunakan jalur bilateral yang sesungguhnya sudah buntu—dengan kata lain tidak menginginkan Indonesia atau ASEAN menengahi—hanya ada satu opsi awal yang akan diangkat kembali oleh Kamboja, yaitu meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan sekalipun ASEAN tidak menghendaki. Thailand tentu juga tidak berharap kasus ini menginternasional dengan kehadiran penjaga perdamaian PBB sebagai penengah.

Lucunya, ketika Kamboja mengadukan kasus dan menyampaikan surat kepada Dewan Keamanan PBB untuk turun tangan, Thailand menolak perkara ini dibawa ke tingkat PBB dan meminta penyelesaian bilateral dalam kerangka ASEAN.

Solusi yang paling bisa diterima dan logis saat ini adalah sebagaimana posisi yang ditawarkan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2011. Thailand akhirnya menerima pengaturan bantuan tenaga perwira pemantau yang akan ditempatkan sebagai pihak netral di kawasan sengketa kedua wilayah. Tanpa pemantau, kawasan ini akan menjadi sumber instabilitas baru yang menjadi sorotan internasional.

PLE Priatna Alumnus FISIP UI dan Monash University, Melbourne; Bekerja di Jakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

AQIL, ACHMAD (2013) PERAN INDONESIA SEBAGAI KETUA ASEAN DALAM MENGELOLA KONFLIK PERBATASAN KAMBOJA –THAILAND TERKAIT WILAYAH SEKITAR KUIL PREAH VIHEAR TAHUN 2011. Other thesis, University of Muhammadiyah Malang.

Abstract

Pembimbing I: Ayusia Sabhita Kusuma, M.Soc.SC, Pembimbing II: Dra. Tutik Sulistyowati, M.Si. Klaim kepemilikan wilayah sekitar kuil Preah Vihear antara Kamboja-Thailand merupakan perbedaan penafsiran atas keputusan Mahkamah Internasional tentang kepemilikan Kuil Preah Vihear yang telah diputuskan menjadi miik Kamboja. Perbedaan penafsiran tersebut membuat Kamboja-Thailand mengalami situasi konflik yang pasang surut meskipun perundingan secara bilateral sudah ditempuh. Melihat konflik perbatasan Kamboja-Thailand yang berlangsung dalam waktu yang cukup lama, Indonesia yang terpilih sebagai ketua ASEAN melibatkan diri untuk berperan menjadi mediator dalam mengelola konflik perbatasan Kamboja-Thailand. Peran Indonesia mengelola konflik perbatasan Kamboja-Thailand dilakukan dengan tujuan agar stabilitas hubungan negara anggota ASEAN tetap terjaga. Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian ini berupaya memberi gambaran mengenai fenomena-fenomena konflik perbatasan Kamboja-Thailand. Yang berkaitan dengan bagaimana peran Indonesia dalam mengelola konflik perbatasan Kamboja-Thailand. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran Indonesia ditingkat ASEAN dalam mengelola konflik perbatasan Kamboja-Thailand terkait wilayah sekitar Kuil Preah Vihear. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa peran Indonesia sebagai mediator dalam mengelola konflik perbatasan Kamboja-Thailand adalah untuk mewujudkan tujuan didirikannya ASEAN yang dimana telah disepakati oleh negara anggota ASEAN untuk menciptakan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Peran Indonesia mempertemukan, memfasilitasi, dan memberikan rekomendasi kepada Kamboja-Thailand guna mencari solusi agar Kamboja-Thailand mau sama-sama mengutamakan jalan damai. Pada awalnya peran Indonesia sebagai mediator diterima oleh Kamboja-Thailand. Kemudian pada upaya mempertemukan Kamboja-Thailand berikutnya ditolak oleh Thailand karena Thailand memandang bahwa Indonesia belum bisa membujuk Kamboja menarik pasukannya di perbatasan. Upaya Indonesia dalam mempertemukan Kamboja-Thailand berikutnya dilakukan pada sela-sela KTT ASEAN ke 18 yang kemudian pasca upaya mempertemukan Kamboja-Thailand yang dilakukan Indonesia pada KTT ASEAN ke 18 menghasilkan kesepakatan dalam pertemuan bilateral antara Kamboja-Thailand. Dalam hal ini, Konflik perbatasan Kamboja-Thailand akan berakhir atau justru akan berlanjut tergantung dari Kamboja-Thailand. Peran Indonesia menjadi mediator sesuai dengan prosedur ASEAN yang mana kewenangan ASEAN hanya dapat melakukan upaya-upaya mengatasi konflik melalui perundingan dan tidak dapat menjadi hakim yang mempunyai hak untuk memutuskan perkara.

Actions (login required)

View Item

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA