Who searo tentang pelecehan seksual

Suara.com - Kekerasan seksual pada perempuan tidak hanya berdampak pada psikisnya, tetapi juga bisa memicu penyakit jangka panjang.

Setelah seorang perempuan mengalami kekerasan seksual, ia akan berada dalam pengalaman traumatiknya segera setelah kejadian.

Tetapi, tak banyak yang tahu bahwa kekerasan seksual ini bisa menimbulkan efek yang berkelanjutan pada kesehatan perempuan, termasuk dalam bentuk penyakit jantung.

Sayangnya, dampak jangka panjang kekerasan seksual pada kesehatan perempuan ini jarang sekali dipertimbangkan atau berusaha dicegah sejak dini.

Baca Juga: Menderita Diabetes, Dokter Imbau Lakukan Cek Kesehatan Mata Secara Rutin

Rebecca B Lawn dan rekan-rekannya dari Universitas Harvard di AS dan Rumah Sakit Umum Massachusetts pun berusaha menunjukkan dampak jangka panjang kekerasan seksual perempuan pada kesehatannya.

Kekerasan Seksual (pixabay)

Statistiknya benar-benar mengejutkan. Satu dari tiga wanita di seluruh dunia melaporkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangannya (berupa psikologis, fisik dan seksual) dan bukan pasangan.

Sampai sekarang, para peneliti fokus pada kekerasan yang kaitannya dengan kesehatan mental.

Tapi faktanya, kekerasan seksual berkaitan dengan banyak hal, termasuk kondisi seperti diabetes, nyeri kronis, penyakit kardiovaskular, dan kanker serviks.

Serangan seksual telah dikaitkan dengan peningkatan risiko penyempitan arteri, gangguan tidur kronis, dan penyakit pembuluh darah yang memicu stroke di otak.

Baca Juga: Penderita Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) Berisiko Tinggi Mengalami Masalah Jantung dan Mengidap Diabetes Tipe 2

Kita tidak bisa mengabaikannya. Kekerasan laki-laki menempatkan perempuan pada risiko penyebab utama kematian seperti penyakit kardiovaskular, stroke dan demensia.

Pelecehan seksual di tempat kerja adalah hal yang biasa dialami oleh empat dari lima wanita di seluruh dunia.

Pelecehan seksual di tempat kerja sangat buruk bagi kesehatan wanita, karena menempatkan mereka pada risiko tekanan darah tinggi.

Sedangkan dilansir dari Mirror UK, tekanan darah tinggi adalah akar dari banyak penyakit lain, termasuk penyakit kardiovaskular dan stroke.

Laporan Amerika ini menyerukan agar segala bentuk kekerasan terhadap perempuan diselidiki, termasuk kekerasan verbal atau psikologis.

MENURUT World Health Organization (WHO), kasus kekerasan seksual merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. Kasus-kasus ini mampu mengganggu dan merusak fisik, mental, dan kesehatan alat reproduksi seseorang, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal karena dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak memandang usia maupun jenis kelamin. 

Besarnya insiden yang dilaporkan di setiap negara berbeda-beda. Kasus kekerasan seksual juga menjadi isu yang penting untuk diselesaikan di Indonesia. Satu hal yang cukup menyita perhatian publik ialah kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi. Data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. 

Hal ini juga merujuk pada survei yang dilaksanakan Kemendikbud pada 2020, yang menunjukkan bahwa 77% dosen di Indonesia mengatakan di lingkungan universitas kekerasan seksual pernah terjadi. Sayangnya, sebanyak 63% tidak melaporkan kejadian tersebut. Hal itu dapat digambarkan seperti fenomena gunung es, yaitu hanya terlihat apa yang ada di permukaan saja. Padahal terdapat bongkahan besar di dasar. Para korban cenderung tak melaporkannya karena takut akan memunculkan stigma negatif yang akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Mempublikasikan cerita mengenai pelecehan seksual di media sosial (medsos) menjadi pilihan alternatif untuk mencari sebuah keadilan atau setidaknya mendapatkan dukungan. Akan tetapi, apakah korban harus membuat cerita mereka terkenal terlebih dahulu agar dilihat pemerintah? Sejauh ini belum ada langkah masif secara terpusat yang dapat dijadikan pedoman kampus-kampus di Indonesia untuk mengantisipasi isu tersebut. 

Berjalan lamban Padahal sejak 2012 Komnas Perempuan dan jaringan masyarakat sipil sudah berusaha agar Indonesia punya payung hukum yang komprehensif untuk menangani kasus kekerasan seksual. Namun sayangnya sejak menginisiasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2012, DPR meminta naskah akademiknya empat tahun kemudian. Tidak hanya berhenti di situ, pada periode 2014-2019 proses pembahasan terkait RUU PKS berhenti begitu saja pada pembahasan tingkat I. Lalu akhirnya pada 2021, RUU PKS yang berganti nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) kembali masuk prolegnas prioritas 2021, setelah pada Juni 2020 dikeluarkan dari daftar prolegnas prioritas 2020.   Sementara itu, berdasarkan data yang dilansir Komnas perempuan bahwa pada kurun waktu 2011-2019 telah terjadi 46.698 kasus pelecehan seksual kepada perempuan, baik personal maupun di lingkungan publik. Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengatakan bahwa dari jumlah kasus yang terjadi pada lingkungan publik yaitu 23.021 kasus; perkosaan sebanyak 9.039 kasus, pelecehan seksual 2.861 kasus, dan kejahatan melalui internet 91 kasus.  

Berdasarkan jumlah kasus yang tertera pada data tersebut menunjukan bahwa RUU mengenai pelecehan seksual tersebut seharusnya menjadi prioritas dan segera disahkan. Tetapi faktanya pengesahan RUU tersebut selalu diperlambat, sehingga kasus-kasus pelecehan seksual pun menumpuk seperti dikatakan Mendibudristek Nadiem Makarim selayaknya 'puncak gunung es'. 

Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi idealnya dibentuk setelah pengesahan RUU TPKS. Seharusnya hal ini jadi tamparan juga buat pejabat publik betapa mendesaknya payung hukum terkait pelecehan seksual.

Etika pejabat publik dalam menghadapi tuntutan ini menjadi sebuah pertanyaan. Etika dan moralitas menjadi panduan, tatanan dan pengendali tingkah laku atau menjadi norma yang mengikat warga masyarakat dalam pergaulan sosial yang terus dihidupi oleh berbagai institusi terutama institusi agama, pendidikan, dan keluarga. Hal ini sejalan dengan etika terapan yang merupakan implementasi dari norma moral dasar dengan membahas mengenai perilaku manusia terhadap lingkungan hidupnya yang berkaitan dengan permasalahan etis yang terdiri dari isu-isu moral yang spesifik, konkret, dan kontroversial. 

Etika keadilan

Etika terapan berorientasi pada penanganan masalah moral, praktik, dan kebijakan dalam kehidupan sosial masyarakat dan juga pemerintahan dan mengarahkan perilaku manusia kepada sikap yang menjunjung tinggi moralitas terhadap manusia lain serta lingkungannya. Memahami etika administrasi dalam praktik, para pejabat publik tidak semestinya terbatas pada ruang hampa. Para birokrat harus bertindak sesuai dengan nilai-nilai etis yang ada. Sedangkan dalam konteks penanganan isu kekerasan seksual, para pejabat publik belum bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan etika yang berlaku di masyarakat, terutama nilai kedaulatan rakyat, keadilan, dan kepentingan umum. 

Jika ditinjau berdasarkan nilai kedaulatan rakyat, seharusnya pemerintah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Pemerintah seharusnya membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi baik secara langsung maupun perwakilan. Namun dalam penanganan kasus kekerasan seksual, nilai ini belum diimplementasikan oleh pejabat publik. 

Komnas Perempuan dan juga masyarakat telah berupaya menyampaikan aspirasi dan keresahan mereka. Tujuannya agar pejabat publik mampu mengeluarkan payung hukum yang jelas untuk melindungi dan mengurangi korban kekerasan seksual. Akan tetapi DPR mengatakan bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual ini dianggap merupakan suatu hal yang mustahil untuk dihapus. Sikap inilah yang menyebabkan para pejabat publik terus mengendur dan tidak pernah memberikan kepastian terkait kapan akan disahkannya RUU PKS. 

Nilai keadilan merupakan nilai yang terkandung pada sila kelima pancasila. Nilai keadilan di sini menjunjung tinggi ketidakberpihakan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Sebagai negara hukum, Indonesia sudah sepatutnya dapat memberikan kepastian dan perlindungan keamanan secara adil kepada semua warga negaranya. Namun pada kenyataannya, para korban kekerasan seksual ini tidak memiliki keberanian untuk melapor karena takut akan diserang balik atau dicemooh pelaku yang terkadang memiliki kekuatan lebih tinggi. 

Ketakutan korban untuk melapor bersumber dari tidak adanya perlindungan yang tegas dari birokrat baik berupa payung hukum maupun proses pengaduan. Selama ini Indonesia hanya memiliki hukum yang mengatur tindak pidana perkosaan dan perbuatan cabul yang tertulis dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP). Pada pengaturan yang tertuang di KUHP pun belum mencakup segala jenis kekerasan seksual yang banyak terjadi seperti sekarang ini. 

KUHP dinilai tidak berfokus kepada apa yang menjadi kepentingan korban. Seharusnya KUHP melihat korban sebagai pihak yang dirugikan dan membutuhkan perlindungan dan juga pemulihan atas kejadian yang menimpanya. Penghapusan RUU PKS dari Prolegnas 2020 pun menjadi cerminan bahwa DPR tidak menilik urgensi dari permasalahan ini. 

Selain itu, laporan mengenai permasalahan ini yang harus disertai bukti sulit untuk dipenuhi korban. Pada akhirnya, korban mendapat titik balik berupa cemooh dari pejabat publik. Tak jarang mereka mempermasalahkan pakaian korban atau sikap korban yang ‘memancing’. Krisis etika para pejabat publik dalam memproses masalah tersebut mengikis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Oleh karena itu, selain tak mendapat dukungan dari lingkungan sosial, mereka juga tidak dilindungi oleh pemerintah sehingga lebih memilih untuk tutup mulut.

Nilai kepentingan umum di sini yaitu bahwa pemerintah harus mengorientasikan kepentingan masyarakat bersama. Masyarakat tentu saja ingin mendapatkan rasa aman serta nyaman dalam menjalankan segala aktivitasnya. Pasal 29 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berbunyi 'Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya. Jika dikaitkan dengan keputusan pemerintah dengan penundaan dan penghapusan RUU PKS ini, dinilai tidak sejalan dengan keinginan masyarakat. 

Bahkan dengan adanya penghapusan justru terdapat kenaikan signifikan kasus kekerasan seksual. Itu bisa dikomparasi dengan data Komnas Perempuan bahwa ada 2.500 kasus pengaduan di 2021 dibandingkan tahun sebelumnya mencapai 2.300 kasus. Hal ini tentu juga menimbulkan keresahan di masyarakat dikarenakan semakin maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan mereka. Terlebih belum adanya hukum yang dapat melindungi para korban. Kehadiran pemerintah diperlukan untuk membuat kebijakan yang dapat memberikan rasa aman seluruh lapisan masyarakatnya tanpa terkecuali.  

Untuk menjawab ketakutan masyarakat terlebih pada lingkup pendidikan, Permendikbusristek Nomor 30 Tahun 2021 tertanggal 31 Agustus 2021, lahir atas keresahan masyarakat yang tidak mendapatkan rasa aman saat mengenyam pendidikan. Menurut survei bahwa 89% kasus kekerasan seksual yang korbannya adalah perempuan dan 4% di antara korbannya yaitu laki-laki. Dari sini bisa dilihat kekerasan seksual tidak memandang gender. 

Selain itu, Menteri Agama juga berpendapat bahwa kekerasan seksual dapat menjadikan suatu penghalang untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Nadiem (2021) menegaskan bahwa terdapat tiga esensi penting yang terdapat dalam kebijakan ini, yaitu; 1. Keberadaan satuan gagasan yang bertugas untuk menertibkan dengan melakukan pelaporan, perlindungan, pengawasan, dan pemulihan. Satgas ini juga memberikan rekomendasi sanksi terhadap pelaku. 2. Terdapat pembaruan atas definisi mengenai kategori kekerasan seksual secara spesifik yang dilakukan secara langsung maupun dalam media. 3. Adanya peran aktif dari sivitas akademika terhadap pengimplementasian kebijakan ini. 

Permendikbud Ristek PPKS, sekali lagi, idealnya dibentuk setelah pengesahan RUU TPKS. Harusnya permendikbud ini menjadi 'tamparan' bagi pejabat negeri betapa mendesaknya payung hukum terkait penindakan kasus pelecehan seksual. Peraturan ini tak memiliki kekuatan karena tidak ada dasar hukum. Mengacu pada UUD Pasal 8 Ayat 2 menyatakan peraturan menteri dapat mengikat dengan kekuatan hukum apabila diatur oleh peraturan perundangan yang posisinya lebih tinggi. 

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA