Untuk menanggulangi pencemaran akibat tumpahan minyak bumi ilmuwan memanfaatkan bakteri dari genus

PLANET Bumi, memiliki cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar, yang terperangkap jauh di bawah permukaannya. Terkadang, cadangan ini mengalami peretasan sehingga sejumlah minyak atau gas merembes keluar. Peristiwa alami ini turut adalah salah satu penyebab kerusakan besar bagi ekosistem lingkungan.

Di sisi lain, ada kalanya masalah yang sama terjadi akibat kegiatan manusia, terutama tumpahan minyak yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain aktivitas pelayaran, penangkapan ikan dan sumber daya hayati laut lainnya, pengeboran minyak dan gas lepas pantai (offshore), hingga kecelakaan-kecelakaan tumpahan minyak dari kapal tanker, dan kebocoran pipa anjungan minyak lepas pantai. Berbagai kecelakaan di laut yang menyebabkan tumpahan minyak yang masif, seperti Showa Maru di Selat Malaka (1975), Exxon Valdez di Alasca (1989), Amoco Cadiz di Selat Inggris (1978), blow up di sumur minyak Macondo milik British Petroleum (BP) di Teluk Meksiko (2010), dan kebocoran anjungan minyak Montara di Laut Timor (2009).

Tidak hanya ketika terjadi kecelakaan, operasional kapal dan kapal tanker juga memberikan kontribusi besar terhadap pencemaran laut, khususnya watter ballast (air penyeimbang) dalam kapal tanker minyak, yang selalu harus dikeluarkan pada saat loading.

Dari rekam jejak persitiwa tumpahan minyak yang pernah terjadi, salah satu bencana tumpahan minyak terbesar adalah bencana Exxon Valdez, yang terjadi pada tahun 1989 di Alaska. Diidentifikasi 250.000 burung laut, 2.800 berang-berang laut, ribuan spesies ikan dan hewan laut lainnya terbunuh dalam peristiwa tumpahan minyak tersebut.

Tak hanya itu, peristiwa ini membutuhkan waktu 10 tahun supaya daerah tersebut benar-benar pulih dari tumpahan minyak yang mempengaruhi wilayah hingga seluas 1300 mil persegi. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk aktivitas pembersihan minyak mencapai 10.000 responder plus personel militer, dan lebih dari seribu kapal dikerahkan, hingga ratusan pesawat terbang. Perkiraan biaya yang dihabiskan untuk upaya pembersihan tumpahan minyak di wilayah ini mencapai US$2 miliar. Peristiwa ini jelas menunjukkan bahaya serius yang ditimbulkan, serta total biaya yang dibutuhkan sangat besar.

Dampak Tumpahan Minyak

Dampak dari tumpahan minyak di laut tergantung pada banyak faktor, antara lain karakteristik fisik, kimia, dan toksisitas dari minyak, dan juga penyebarannya yang dipengaruhi oleh dinamika air laut: pasang surut, angin, gelombang dan arus. Dampak dari senyawa minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung dan menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit polutan pada pasir dan batuan-batuan di pantai.

Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan, perilaku biota laut, terutama pada plankton. Akibatnya, dapat menurunkan produksi ikan, hingga kematian yang diakibatkan toksisitas sublethal hingga toksisitas lethal. Proses emulsifikasi merupakan sumber mortalitas bagi organisme, terutama pada telur, larva, dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan terhadap lingkungan tercemar.

Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak dengan susunan kimianya yang kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di dasar laut. Selain dapat menghalangi sinar matahari masuk ke lapisan air laut, lapisan minyak juga dapat menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen sampai pada tingkat tidak cukup untuk mendukung kehidupan laut aerob.

Tak hanya itu, pencemaran minyak di laut juga meluas pada kerusakan ekosistem mangrove. Seperti diketahui, minyak dapat berpengaruh terhadap sistem perakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, di mana akar tersebut akan tertutup minyak, sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Pengendapan minyak dalam waktu lama mampu menyebabkan pembusukan pada akar mangrove sehingga mengakibatkan kematian. Hal ini tentunya berkaitan erat dengan kelangsungan hidup biota yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove itu sendiri, seperti moluska, ikan, udang, kepiting, dan biota lainnya.

Penanggulangan Tumpahan Minyak

Pasca terjadinya kecelakaan tumpahan minyak, pertama, yang perlu dilakukan adalah mengetahui secara cepat dan akurat wilayah persebarannya, baik secara visual langsung, maupun hasil penginderaan jauh (remote sensing). Berbagai cara penanggulangan dilakukan seperti in-situ burning, penyisihan secara mekanis, teknik bioremediasi, penggunaan sorbent, dan penggunaan bahan kimia dispersan, serta metode lainnya tergantung kasus yang terjadi.

Untuk Teknik Bioremediasi, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam bioremediasi tumpahan minyak: (1) bioaugmentasi, di mana mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba yang telah ada, dan (2) biostimulasi, di mana pertumbuhan bakteri pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan nutrien dan atau mengubah habitatnya.

Hingga sekarang teknologi itu terus dikembangkan termasuk penggunaan bakteri. Indonesia perlu mengoptimalkan bidang ini menimbang laut Indonesia memiliki berbagai macam jenis bakteri yang dapat mendegradasi minyak, salah satunya bakteri hidrokarbonoklastik Pseudomonas Sp yang mampu mendegradasi berbagai jenis hidrokarbon.

Upaya yang lebih strategis adalah tindakan preventif untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan tumpahan minyak itu sendiri. Rendahnya kesadaran akan aspek lingkungan di Indonesia, baik secara individu, kelompok, maupun institusi, menjadi restriksi dari implementasi upaya pencegahan dini. Upaya penyadaran lingkungan ini bisa melalui pendidikan publik, hingga pemberian sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran atas pencemaran lingkungan.

Hal ini mengacu pada sistem existing bahwa Indonesia telah meratifikasi Civil Liability Convention for Oil Pollution Damage (CLC 1969), melalui Keppres No. 18 Tahun 1978.  Tujuan dari CLC 1969 adalah untuk menetapkan suatu sistem yang seragam terkait kompensasi karena tumpahan minyak di laut. Konvensi ini memungkinkan korban untuk menuntut kompensasi kepada pemilik kapal, sehingga sering disebut bahwa konvensi ini menganut chanelling of liability (kanalisasi pertanggung-jawaban), yaitu pertanggung-jawaban dibebankan kepada pihak tertentu, dalam hal ini pemilik kapal.

Konvensi ini pun mencoba untuk menetapkan suatu keseimbangan antara kepentingan para korban dan kepentingan pemilik kapal yang telah menyebabkan kerugian.  Karena itulah, maka di satu pihak, hak para korban untuk menuntut kompensasi terjamin dengan diberlakukannya strict liability, tapi di sisi lain, dengan adanya pengecualian-pengecualian tertentu, maka kepentingan para pemilik kapal pun terlindungi. Melalui konvensi inilah strict liability masuk ke Indonesia, dan kemudian diadopsi dalam undang-undang lingkungan hidup Indonesia sejak tahun 1982.

Selain itu, dalam kaitannya dengan pencegahan dini, setiap perusahaan migas Indonesia juga harus mencanangkan program Zero Spill Operation, yaitu dengan menetapkan target khusus yang disepakati untuk mencapai zero spill operation. Untuk mencapai target tersebut, perusahaan perlu memiliki aturan wajib dan rigid untuk mencegah terjadinya kebocoran atau tumpahan minyak, dan konsisten menerapkan aturan tersebut.

Kedua, mengetahui luasnya lingkup peristiwa tumpahan minyak yang menyangkut multisektor, mulai dari pangan, sosial, habitat, pariwisata, kesehatan, dll., maka diperlukan keterlibatan berbagai instansi, koordinasi di  antara instansi pemerintah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, swasta, dan masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaannya, diperlukan keterlibatan stakeholders terkait yang berada di bawah manajemen pemerintah untuk bersama-sama melakukan penanggulangan yang terpadu dan komprehensif. Tinjauan ulang konsesi atau kegiatan migas juga perlu diperketat untuk mengafirmasi tuntutan hukum atas pihak yang bertanggung-jawab dalam kecelakaan tumpahan minyak.

Ketiga, perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk meneliti dan menanggulangi pencemaran minyak. Dampak pencemaran yang sedemikian luas, termasuk untuk organisme renik sudah semestinya dikalkulasi secara komprehensif, sehingga mampu memprediksikan dampaknya dalam jangka panjang. Terlebih, persoalan pencemaran minyak di laut dan pantai Indonesia, hingga kini belum menjadi persolan utama pencemaran lingkungan hidup. Barangkali, perlu dibuat specific executing agency sebagai satuan badan atau tim khusus yang secara spesifik mengatasi permasalahan ini di tiap-tiap pantai yang berpotensi terjadi tumpahan minyak.

Oleh : adminwebits | | Source : its.ac.id

Harmin Sulistyaning Titah ST MT PhD saat melakukan penelitian untuk menguraikan polutan minyak bumi menggunakan mikroorganisme di laboratorium

Kampus ITS, ITS News – Salah satu manfaat mikroorganisme ialah mampu mengembalikan kondisi ekosistem tercemar sehingga kembali seperti sediakala. Biodegradasi merupakan metode pemulihan pencemaran dengan memanfaaatkan mikroorganisme tertentu dengan menguraikan senyawa kimia pencemar. Biodegradasi ini juga mampu menjadi solusi ramah lingkungan pada lingkungan tercemar.

Penelitian ini dilakukan oleh sivitas akademika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang terdiri dari Harmin Sulistyaning Titah ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Lingkungan), Herman Pratikno ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Kelautan), Ipung Fitri Purwanti ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Lingkungan), dan Widhowati Kesoema Wardhani ST (mahasiswa PMDSU Departemen Teknik Lingkungan).

Dalam penelitian tersebut, tim peneliti ini memanfaatkan biodegradasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi yang terjadi di laut. Pencemaran minyak bumi bisa disebabkan oleh kebocoran saat aktivitas pengeboran minyak bumi dan tumpahan saat melakukan pengiriman menggunakan kapal.

Sampel polutan dalam laboratorium yang akan diuraikan dengan mikroorganisme

Harmin menuturkan bahwa untuk mengukur seberapa besar tingkat tercemarnya, ditentukan dengan nilai Total Petroleum Hydrocarbon (TPH). Pada sampel air laut tercemar yang diambil dari perairan Madura didapatkan nilai TPH sebesar 2.600-3.000 mg/L, sementara nilai TPH untuk lingkungan yang baik adalah 1.000 mg/L atau di bawah 1 persen. “Berarti air laut di kawasan tersebut sudah sangat tercemar,” ungkapnya.

Biodegradasi pada penelitian ini memanfaatkan bakteri Bacillus subtilis dan Pseudomonas putida. Harmin menjelaskan bahwa penelitiannya menggunakan metode bertahap, di mana metode ini merupakan metode kombinasi penambahan dari dua bakteri. Sebagai contoh, kombinasi tersebut menggunakan bakteri Pseudomonas putida untuk bekerja menguraikan sampel terlebih dahulu, kemudian ditambahkan dengan bakteri Bacillus subtilis.

Tujuan menggunakan metode ini ialah untuk mengetahui tingkat efektivitas bakteri dalam menguraikan senyawa kimia polutan dengan kadar yang tinggi. Terbukti dalam pengujian laboratorium selama 35 hari, sampel polutan sudah terurai sebanyak 66 persen. “Kombinasi tersebut memiliki efektivitas lebih tinggi dalam mengurai bakteri,” tuturnya.

Selain itu, Harmin juga menyampaikan bahwa selain faktor jenis bakteri yang efektif dimanfaatkan untuk menguraikan polutan, juga terdapat tambahan nutrisi sebagai makanan tambahan untuk bakteri. Nutrisi tersebut didapatkan dari pupuk yang memiliki kandungan unsur kimia nitrogen, fosfor, dan kalium. Fungsi nutrisi ini untuk mempercepat proses penguraian polutan dalam sampel tersebut.

Ilustrasi pencemaran polutan minyak bumi di laut (sumber dari Jawapos.com)

Perempuan asal Malang ini juga mengungkapkan, keunggulan dari biodegradasi ini adalah bakteri Bacillus subtilis dan Pseudomonas putida yang masing-masing memiliki kemampuan menguraikan polutan dengan sangat baik, kemudian dalam penelitian ini dikombinasikan menjadi satu. Namun, kekurangan dalam penelitian ini terdapat pada durasi waktu biodegradasi yang sangat lama. “Apabila ingin benar-benar bebas polutan, dibutuhkan waktu tiga bulan,” tambahnya

Harmin berharap, dalam waktu dekat penelitian ini dapat diterapkan dalam skala nyata bukan hanya dalam skala laboratorium. Meskipun begitu, harus tetap memerhatikan banyak faktor seperti luas wilayah tercemar, gelombang air laut, iklim, dan banyaknya bakteri yang harus dipersiapkan. (HUMAS ITS)

Reporter: Regy Zaid Zakaria