Ulama yang pertama kali mengumpulkan dan membukukan hadis adalah

Full PDF PackageDownload Full PDF Package

This Paper

A short summary of this paper

37 Full PDFs related to this paper

Download

PDF Pack

Hadits adalah salah satu sumber rujukan hukum bagi ummat muslim, maka sudah dipastikan bahawasanya kebutuhan muslimin terhadap hadits ini sangatlah besar. Shahih Bukhari yang termasuk kepada salah satu dari Kuttubussittah bahkan dianggap sebagai rujukan terkuat setelah Al-Quran, karena memang terkadang banyak sekali hukum-hukum Al-Quran yang masih sangat Ijmaliy, dijelaskan secara Tafsily lewat sunnah-sunnah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam kita para kaum muslim yang hidup di Zaman Milenial mungkin sudah sangat mudah untuk mengakses/mencari hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mulai dari kita dapat membelinya di toko-toko kitab, membelinya via e-book, bahkan sekarang bisa kita akses lewat website bernama, “Al-Maktabah Asy-Syaamilah” yang banyak berisi kitab-kitab rujukan ummat muslim, baik dalam konteks, fiqih, tafsir, hadits, bahkan ushulul fiqih. Namun apakah kita pernah tau seberapa panjangnya proses penulisan dan pembukuan hadits yang dilaksanakan oleh ulama-ulama terdahulu, dan apakah kita pernah membayangkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan hadits-hadits tersebut, hingga bisa kita akses dengan begitu mudah di zaman kita ini? Maka sungguh sangat bijak barang siapa yang ingin mengetahui proses pengumpulan serta pembukuan hadits ini sampai bisa tersampaikan hingga zaman kita ini. Sungguh sejarahlah yang akan menampakan kepada kita bagaimana suatu hadits dapat kita anggap masih orisinil hingga saat ini.

Kata Kunci : sejarah, hadits, pemeliharaan, penulisan dan pembukuan.

Pendahuluan

Agama Islam adalah agama yang begitu kamil [1] dari agama-agama samawiy[2] sebelumnya, atau bisa dibilang juga bahwa Islam adalah gambaran sempurna bagi agama-agama sebelumnya, seperti, Yahudi, dan Nashrani.

Dalam Agama Islam, menjalankan syariat adalah hal yang wajib dilakukan oleh setiap pemeluknya, karena dalam syariat itulah terdapat petunjuk untuk mendapatkan ketenangan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat kelak.

Syariat itu sendiri hak untuk Allah subhanahu wa ta’ala semata. Namun penafsirannya bisa kita dapatkan dari Al-Qur’an, hadits nabawiy, ima’ ulama, atau qiyas. Maka dari itu keempat elemen ini sungguh sangat penting dalam Islam. Karena mereka menjadi rujukan perihal syariat yang seharusnya dijalankan dan ditinggalkan oleh para muslimin.

Dari keempat elemen tersebut tertulis hadits nabawiy, atau sering kita sebut Hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hadits Nabawiy adalah instrumen terkuat nomor dua untuk mengetahui atau menafsirkan syariat Allah subahanhu wa ta’ala setelah Kalam-Nya Sendiri, yaitu Al-Quran. Maka hal yang cukup penting bagi kita para muslimin yang hidup di Zaman Milenial agar dapat mempelajari sejarah hadits dan mempelajari turunan ilmunya yang lebih detil lagi. Karena memang banyak sekali kasus fiqih pada zaman ini yang dapat kita pecahkan lewat hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Karena hadits termasuk dari elemen terkuat nomor 2 sebagai rujukan syariat dalam agama kita setelah kalamullah, maka sudah sepatutnya bagi kita untuk mempelejarinya leih detil lagi. Agar kita dapat mengetahui lebih dalam lagi pengetahuan tentang hadits tersebut. Karena memang pada dasarnya pengumpulan hadits-hadits ini bukan perihal yang mudah. Bisa kita bayangkan, bagaimana sulitnya para ulama-ulama hadits macam Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Daud, yang mengumpulkan penggalan-penggalan dari hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam yang tersebar di seluruh penjuru Timur Tengah.

Maka mempelajari sejarah pengumpulan hadits-hadits tersebut akan menjadi kehormatan tersendiri bagi kita para muslim di zaman ini. Agar kita dapat mengetahui perjuangan dalam pengumpulan hadits-hadits yang dapat kita baca dan amalkan hingga hari ini.

Baca juga: Mengenal Lebih dalam Kutubut Tis’ah Menurut Prespektif Ilmu Hadist

Pembahasan

Sebelum kita masuk ke pembahsan mengenai sejarah pengumpulan hadits. Ada baiknya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengetahuan dasar mengenai hadits itu sendiri sebelum memulai membahas sejarah pengumpulannya.

Merujuk kepada kitab Taayysir Mustholahul Hadits karangan Dr. Mahmud At-thohan. Dijabarkan di dalam kitab tersebut pengetahuan dasar dari hadits.

Hadits dapat didefinisikan kepada 2 aspek:

  • Hadits dalam konteks bahasa berarti jadid (baru).
  • Hadits dalam segi istilah dapat diartikan: segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baik dari perkataannya, atau perbuatannya, atau kesepakatannnya.[3]

Dari penjelasan yang singkat ini kita dapat menegrti bahwasanya segala sesuatu yang besumber dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dapat kita golongkan sebagai Hadits.

Namun aspek yang penting dalam hadits bukanlah saja teks hadits itu sendiri namun ada beberapa aspek penting yang harus ada dalam suatu hadits, ialah, isnad, sanad, dan matan. Aspek-aspek ini wajib hukumnya ada dalam sautu hadits. Karena askpek-aspek tersebutlah yang membuat hadits dapat dibilang benar.

Maka inilah sedikit penjelesan mengenai aspek-aspek tersebut:

  • Isnad dalam segi istilah hadits berati: rantai periwayat hadits yang bersambung hingga sumbernya (Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam)
  • Sanad dalam segi bahasa berati: tempat bersandar, karena memang pada dasarnya, hadits tersebut disandarkan padanya.
  • Sanad dalam segi istilah bermakna: rantai perawih yang bersambung kepada teks hadits tersebut.
  • Matan dalam hadits bermakna: teks hadits tersebut[4]

Setelah kita mengetahui penjelasan umum serta dasar Hadits, maka kita lanjutkan kepada sejarah pengumpulan dan penulian hadits-hadits tersebut.

Sejarah Pengumpulan Hadits

Pada awal mulanya, hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam dilarang oleh Nabi sendiri untuk ditulis, atau dikumpulkan, sebagai pencegahan agar tidak tertukar dengan Al-Qur’an. Sejarah ini dapat kita buktikan kebenarannya lewat hadist yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

قال رسول االله صلى الله عليه و سلم :لا تكتبوا عنى شيىأ الا القرآن ومن كتب عنى غير القرآن فليمحه    (رواه مسلم )

Artinya: Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Jangan menulis sesuatu mengenai saya kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulisnya agar menghapusnya. (HR. Muslim) [5]

Namun dibalik hadits yang melarang penulisan hadits tersebut, terdapat juga hadits yang dapat menggugurkan hadits tersebut, ialah hadits yang membolehkan untuk menuliskan hadits-hadits Nabi, dan Hadits inipun Shohih. Hadits itu berbunyi:

   قال رسول االله صلى الله عليه و سلم : أكتبوا لأبى شاة

Artinya : Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “tulislah (hadis) untuk Abi Syah” [6]

Meskipun kedua hadits ini saling bertentangan dalam segi tekstual yang diambil dari matan keduanya, namun menurut Muhammad Rasyid Ridha[7], namun keduanya dapat disandingkan. Menurutnya maksud dari hadits yang melarang tersebut ialah, larang untuk menyetarakan kedudukan hadits dengan Al-Qur’an bukan larangan untuk menuliskannya.[8]

Sedangkan Abu Rayyah berpendapat bahwasanya, kedua hadis itu bertentangan, maka yang satu merupakan nāsikh bagi yang lain. Menurutnya hadis yang menjadi nāsikh itu adalah hadis yang melarang penulisan. Alasan yang diajukan adalah: (1) Sahabat, setelah Nabi wafat, tidak menyenangi penulisan hadis, dan (2) Para sahabat tidak pernah membukukan hadis. Kedua argumen itu ia perkuat dengan ucapan-ucapan Abi Sa’id, Ali, dan Umar tentang keengganan mereka menulis hadits.[9]        

Terlepas dari kedua pendapat tersebut. Awal mula pengumpulan hadits sudah terjadi dari masa sahabat radhiallahu anhu. Sejarah ini diperkuat dengan adanya Shahifah[10] yang dimiliki sebagian sahabat, di antaranya:

Shahifah Abu Bakar

Diriwayatkan dari Anas Bin Malik, sesungguhnya Abu Bakar pernah mengutusnya untuk mengambil sedekah dari kaum muslimin, dan menuliskan di lembaran tersebut faraid sedekah dan di sana juga terdapat cap cincin Rasulullah”.[11]

Shahifah Ali Bin Abi Thalib

Diriwayatkan oleh Abi Juhaifah

عن أبي جحيفة قال: قلت لعلي هل عندكم كتاب ؟ قال: لا ، إلا كتاب الله أو فهم أعطيه رجل مسلم أو ما في هذه الصحيفة . قال: قلت فما في هذه الصحيفة ؟ قال: العقل وفكاك الأسير ولا يقتل مسلم بكافر.

“Aku bertanya kepada Ali Bin Tholib, apakah engkau mempunyai sesuatu yang tertulis dari Rasulullah?”. Ali menjawab, “ Tidak, kecuali Kitabullah, atau pemahaman yang ku berikan kepada seorang muslim, atau yang ada di lembaran ini”.

Aku berkata, apa yang di dalam lembaran itu? Beliau menjawab,

“Al Aql[12], serta hukum tentang tawanan perang, dan janganlah seorang muslim membunuh orang kafir”.[13]

Shahifah Abdullah Bin Amr Bin Ash Atau Dikenal Dengan Shahifah Shadiqoh (Lembaran Kebenaran)

Diriwayatkan dari Mujahid, “Aku pernah mendatangi Abdullah bin Amr, kemudian aku membaca lembaran yang berada di bawah tempat tidurnya, lalu ia melarangku, akupun bertanya kepadanya mengapa melarangku membacanya, beliau menjawab,

هذه الصادقة هذه ما سمعت من رسول الله صلى الله عليه ليس بيني وبينه أحد

Ini adalah lembaran (yang berisi) kebenaran, ini adalah yang aku dengar langsung dari Rasulullah”.[14]

Setelah wafatnya Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam para sahabat mulai menulis hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mereka dapatkan, lalu saling bertukar tulisan dengan sahabat yang lain dikarenakan penyebaran dakwah Islam yang semakin meluas ke seantero dunia. Contohnya ialah: Tulisan Jabir bin Samuroh kepada Amir bin Saad bin Abi Waqqash, juga tulisan Usaid bin Khudoir kepada Marwan bin Hakam berisi hadist Nabi dan beberapa keputusan atau pendapat Abu Bakar, Umar, Ustman, dan tulisan Zaid bin Arqom kepada Anas bin Malik.[15]

Baca juga: Fungsi Hadis Terhadap Al-Qur’an

Sejarah Penyebaran Hadits Pada Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in perkembangan pesat terjadi dalam penyebraan hadits-hadits Rasullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Dinasti Bani Umayyah berkuasa akan khilafah, luas kekuasan Islam terbentang hingga, Mesir, Persia, Irak, Afrika selatan, Samarkand, dan Spanyol, di samping Madinah, Mekkah, Basroh, Syam dan Khurosan. Sejalan dengan perkembangan pesat wilayah kekuasaan Islam pada masa itu, tersebar pula para sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam ke negeri-negeri tersebut. Maka masa inipun terkenal dengan sebutan (Intisyaru Ar-riwayah ilal Amshor ).[16] Pada masa ini pula terdapat daerah daerah yang menjadi sumber untuk periwayatan hadits- adits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam di antaranya,

Madinah Al Munawwaroh

Di antara tokoh-tokoh Hadits di Madinah ialah : Said, Urwah, Az-zuhry, Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah, Ibnu ma’id, Salim bin Abdillah bin Ibn Umar.

Makkah Al- Mukarromah

Di antara tokoh-tokoh hadits yang berada di Makkah Al-Mukaromah ialah, Muadz, Ibnu Abbas, dan diantara tabi’in-tabi’in yang belajar kepada mereka ialah, Mujahid, Ikrimah, Atha bin rabiah, Abu Az Zubair Muhammad ibn Muslim.

Kuffah

Diantara tokoh-tokoh hadits yang berada di kota Kuffah ialah: Abdullah bin Masud, Sa’ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Salman al farisy dll. Dan di antara ulama hadits yang berguru kepada Abdullah bin Masud ialah, Masruq, Ubaidillah al Aswad, Syuraih, Ibrahim, Said bin Zubair.

Pemalsuan Hadits/Sunnah Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam

Karena tekhnik penyebarannya yang melalui lisan ke lisan, menjadikannya celah yang begitu besar dalam perubahan redaksi suatu hadits, karena kemapuan menghafal setaip sahabat pastinya berbeda. Sangat tidak mungkin apabila kekuatan hafalan Zaid bin tsabit sama kuatnya dengan hafalan seorang Umar bin Khattab, begitu juga yang lainnya. Maka teknik penyebaran yang seperti itu menjadi celah untuk orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk merubah redaksi hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Saking hati-hatinya para sahabat dalam meriwayatkan hadits, mereka sering sekali menayakan langsung kepada Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam mengenai kebenaran suatu hadits yang mereka dapatkan dari saudaranya yang lain. Karena memang ancaman yang Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam sanagtlah mengerikan bagi siapa yang menduplikasi hadits dengan mengatas namakan Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Dalam satu hadits Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار) رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَالْبُخَارِىُّ(

Artinya : “Barang siapa berdusta terhadap diriku secara sengaja, maka dia pasti akan disediakan tempat kembalinya di neraka”.[17]

Dari Hadits inipun, didapati sebagian Ulama yang menyimpulkan bahwasanya, pemalsuan Hadits sudah banyak terjadi sejak Zaman Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam masih hidup. Salah satu Ulama yang berpendapat seperti ini ialah Ahmad Amin dalam Fajr Al Islam, lalu Hasyim Ma’ruf Amin dalam al-Wadh’u wa al-Wadhdha’un (1971), lebih tegas lagi menyatakan, bahkan meyakini, bahwa peristiwa pendustaan terhadap Rasulullah sudah pernah tersebar di kalangan para sahabat Nabi dan terjadi semasa hidup beliau shallallahu alaihi wa sallam. Selanjutnya dia mengatakan bahwa tidak mungkin Rasulullah mengeluarkan pernyataan yang bernada keprihatinan, peringatan, bahkan ancaman terhadap adanya pendustaan terhadap dirinya, kalau tidak didahului oleh adanya gerakan-gerakan yang telah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat generasi sahabat, dengan bentuk membuat-buat riwayat dusta tentang Nabi.

Pendapat ini disanggah oleh Mustafa as-Siba’i, karena tidak mungkin pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, seseorang ataupun sahabat memalsukan berita atas nama beliau, dan seandainya itu terjadi, pasti secara mutawatir para sahabat akan mengoreksi dan menuturkannya.

Namun mayoritas ulama berpendapat Bahwasanya pemalsuan Hadits mulai marak terjadi pada tahun 40H atau tepatnya pada masa kekhalifahan Ali bin Abi tahlib, di mana Ketika itu huru hara anatara kelompok yang mendukung ali dan muawiyyah atas kekhalifahan cukup tinggi, sehingga dari masing masing kelompok banyak yang memalsukan hadits demi kemaslahatn kelompok mereka tersendiri.  Contoh dari hadits palsu yang dipalsukan oleh kaum Syiah ialah:

علي خير البشرومن شك فيه كفر

Artinya: “ Ali sebaik-baiknya manusia. Barang siapa yang meragukannya, maka ia telah kafir.” [18]

Kasus pemalsuan hadits ini terus saja berjalan, dimulai dari tahun 40 H sampai masuk kepada sekitar abad ke 1 Hijriyah, lebih tepatnya tahun 99 H, di saat kekhalifahan bani Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz. Di masa kepemimpinan beliaulah mulai bermunculan ulama-ulama hadits yang membukukan hadits, dan memilah antara hadits shahih dan palsu, macam Imam Bukhari, dan Imam Muslim dan akhirnya pemalsuan haditspun mulai terminimalisir.

Baca juga: Seberapa Pentingkah Ilmu Hadis?

Pembukuan Hadits

Ide pembukuan hadits-hadits nabawiy muncul pada masa Khilafah Umar bin Abdul Aziz di kisaran tahun 99 H. Pada awalnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz khawatir akan kepunahan perawih hadits yang terpercaya, karena semakin banyaknya para ulama dan perawi hadits yang wafat. Maka atas dasar kemaslahatan agar hadits atau sunnah nabi tidaklah punah dan tercampur dengan hadits dan sunnah yang palsu. Maka beliau memerintahkan seorang gubernurnya dari Madinah yang seorang ulama juga, ia bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm (Ibnu Shihab Az-Zuhri).

Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij (w. 179 H) di Makkah, Ibnu Shihab Az-Zuhri (w. 124 H), Ali Ishaq (w. 151 H) dan Imam Malik (w. 179 H) di Madinah, Ar-Rabi’ bin Shihab (w. 160 H) dan Abdurrahman Al-Auza’i (w. 156 H) di Suriah. Selain itu juga termasuk imam Syafi’i (w. 204 H) di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) di Baghdad. 

Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-Musnad Imam Syafi’i, Al-Mushanaf Imam Al-Auza’i, dan Al-Muwaththa’ Imam Malik, termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Pada zaman ini meski pembukuan telah dilakukan namun hadits-hadits shahih masih banyak yang tercampur dengan hadits-hadits palsu, karena memang pada masa ini belum dilaksanakan pembedahan atau penyortiran kitab-kitab hadits yang ada. Penyortiran tersebut baru bisa terlaksana setelah Ma’mun Khalifah dari Dinasti Bani Abbasyiyah berkuasa, tepatnya pada Abad ke-3 Hijriyyah.

Penyortiran dan Penyeleksian Hadits Shahih dan Palsu

Setelah para ulama pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Malik, Imam Syafi’i dll. Berjuang dalam pembukuan hadits yang sangat menguras waktu dan tenaga yang tidaklah sedikit. Masih ada masalah dibalik itu semua, yaitu buku-buku mereka belumlah disortir dari Hadits- hadits yang dianggap Hadits palsu. Maka pada periode ini, banyak sekali ulama yang mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasikan hadits, yakni memisahkan hadits yang marfu’ dari hadits mauquf dan maqtu’. Gerakan ini muncul pada Dinasti Bani Abasyiyah dari masa kekhalifahan Al-Ma’mun hingga masa kekhalifahan Al-Muqtadir. Sebab gerakan ulama dalam menyortir, menyeleksi, mengklasifikasikan hadits-hadits. Muncullah 6 kitab terkenal yang menjadi rujukan Umat Muslim dalam bidang hadits, yang sering kita sebut dengan Kutubusittah. Di antaranya:

  1. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)
  2. Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)
  3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
  4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)
  5. Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H)
  6. Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)

Masa Pemeliharaan, Penerbitan, Penambahan, dan Penghimpunan

Setelah para ulama sukses melakukan gerakan penyortiran dan penyeleksian hadits shahih dan palsu hingga muncullah Kuttubusittah sebagai rujukan kaum muslimin dalam bidang hadits. Tak berhenti sampai di sana saja, para ulama mulai melakukan gerakan selanjutnya, yaitu, pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Gerakan ini terbilang cukup lama dalam pelaksanaannya yaitu selama 2 setengah abad. Mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H.

Karena gerakan ini tidak jauh beda dengan gerakan sebelumnya. Maka buah hasil dari gerakan ini ialah, kelahiran para ulama hadits yang kompeten pada masanya, mereka adalah:

  1. Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Mu’jam Al-Kabir, Al-Mu’jam Al-Ausath, Al-Mu’jam Ash-Shaghir.
  2. Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni.
  3. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah.
  4. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra.
  5. Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar.
  6. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll

Masa Pensyarahan, Penghimpunan, dan Pentakhrijan

Ini adalah masa atau periode terakhir dari periode-periode pembukuan/pengumpulan hadits-hadits. Pada periode ini para ulama berjibaku dalam mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Agar mudah dipelajari oleh generasi-generasi yang akan datang, hingga generasi kita saat ini. Dan bisa dibilang Kutubussittah yang sampai pada kita hari ini ialah hasil keringat perjuangan dari para ulama dari setiap periodenya.

Namun pada masa pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan ini sudah sangat sedikit sekali ulama-ulama yang dapat menyebutkan hadits beserta sanadnya. Mungkin hanya beberapa ulama yang terkenal pada masa ini yang dapat menyampaikan hadits beserta sanadnya dengan metode hafalan, ialah:

  1. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 806 H)
  2. Imam Al-Iraqy (w. 852 H)
  3. As-Sakhawy (w. 902 H)[19]

Kesimpulan

Hadits pada dasarnya adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baik dari perkataan, perbuatan, dan persetujuan. Syarat suatu hadits ialah sanad, isnad, dan matan. Namun itu semua belum menjamin hadits tersebut shahih.

Pada awal mulanya para sahabat enggan untuk menuliskan hadits karena adanya hadits yang melarang kegiatan tersebut, namun dibalik hadits tersebut, ada hadits lainnya yang membolehkan penulisannya. Pada zaman sahabat mulai banyak tersebar Shahifah yang tersebar di para sahabat, di antaranya, Shahifah Abu Bakar, Shahifah Ali bin Abi Thalib, Shahifah Abdullah bin Amr Al-Ash.

Lalu pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz atau pada awal mula abad ke-2 Hijriyyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan salah seorang gubernurnya untuk mengumpulkan dan membukukan hadits, karena beliau khawatir sunnah-sunnah ini punah disebabkan semakin banyaknya perawi dan ulama hadits yang wafat. Maka di tahun itu munculah para imam hadist terkemuka yang namanya masih sering disebut hingga saat ini, di antaranya, Imam Bukhari, Imam Muslim dll.

Setelah masa pembukuan, bukan berarti hadits-hadits dalam buku tersebut sudah aman dari hadits-hadits palsu, karena pada dasarnya setelah pembukuan tersebut belumlah dilaksanakan penyortiran dan penyeleksian antara hadits shahih dan palsu. Maka pada masa kekhalifahan Dinasti Abasyiyah muncullah gerakan penyortiran dan penyeleksian hadits shahih dan palsu, sehingga pada zaman itu muncullah kitab rujukan umat Islam dalam bidang Hadist, yaitu Kutubusittah.

Tak berhenti di situ para ulama pada Zaman Abasyiyyah memang terkenal dengan ketamakan mereka akan ilmu, sampai setelah gerakan penyortiran itu sukses, mereka melalukan gerakan selanjutnya yaitu, gerakan pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Gerakan ini yang paling lama sampai menguras waktu selama 2,5 abad mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah. Tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H.

Dan fase terakhir dalam pengumpulan dan pembukuan hadits ialah, fase pensyarahan, penghimpunan dan pentakhrijan. Di fase itu para ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Agar mudah dipelajari oleh generasi-generasi yang akan datang, hingga generasi kita saat ini.

Penulis: Syahrul Mubarok
Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Daftar Pustaka

Dr, Mahmud At- thohan. 2010. Tayysir Mustholahul Hadist. Maktabah Al- Maarif . Riyadh, UEA.

Usman Iskandar. 2021, Hadis pada Masa Rasulullah dan Sahabat: Studi Kritis terhadap Pemeliharaan Hadis. Jurnal: Keluarga.

Abid Nasikhul Muhammad. 2020. Kodifikasi Hadist..

Fithoroini Dayan. 2018. Hadist Palsu Modus : Solusi

Muzakki Asgar. 2020. Sejarah pertama kali pemalsuan Hadits

Izad Rohmatul. 2018. Asal Usul Pemalsuan Hadist

Halid Muhammad. 2015. Sejarah Pemalsuan Hadist. Vol 1

Nur Rastiyani. Sejarah perkembangan Hadist pada masa Tabi’in.

Islam Mafatihatullah. 2017. Menguak Sejarah Pengumpulan Hadist. Suara Muslim.net

Wikipedia B. Indonesia. 2021. Muhammad Rasyid Ridho.

[1] kamil : Sempurna / Lengkap.

[2] Samawiy : Agama yang turun dari langit / dari tuhan yang maha esa (Allah)

[3] Kitab Tayysir Mutholahul hadits hal. 17.

[4] Kitab Tayysir Mutholahul hadits hal.18- 19.

[5] (Muslim, t.th.: 598)

[6] (Ahmad Ibnu Hanbal, tth: 232).

[7]  Muḥammad Rashīd Riḍā; lahir di Suriah Utsmaniyah, 23 September 1865atau 18 Oktober 1865] – meninggal di Mesir, 22 Agustus 1935) dikenal sebagai Rasyid Ridha) adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam/ Sumber: Wikipedia Bahasa Indonesia.

[8] (Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 48).

[9] (Muhammad Abu Rayyah, t. Th: 49).

[10] Lembaran- lembaran yang bertuliskan Hadits Rosulullah.

[11] Sohih Bukhari Kitab Zakat, bab zakat ghanam

[12] Maksudnya adalah diyat

[13] Shohih Bukhari Kitab Ilm, bab Kitabatul Ilm

[14] Kitab Taqyiidul ilmi

[15] Makanatu Sunnah DR. Umar Muslih.

[16] Munzier suparta, ilmu Hadits , Jakarta. Pt. Raja Grafindo Persada, 2008, hal. 56

[17] HR : Bukhari no. 105

[18] Tayysir Mustholahal hadits, Mahmuf Ath thohan hal.113

[19] Kodifikasi Hadits (Sejarah Singkat dan Padat dalam Pembukuan Hadits) oleh Muhammad Nasikhul ibad

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA