Tujuan utama umat Kristen melancarkan serangan kepada umat Islam adalah

Ilustrasi Perang (Foto: Devanath/Pixabay)

Setelah berakhirnya Perang Salib pertama, pasukan Eropa sepakat untuk membagi wilayah Jerusalem ke dalam empat kerajaan baru, yaitu Jerusalem, Antiokhia, Country Edessa, dan Country Tripoli. Kerajaan-kerajaan baru ini nantinya akan menjadi basis pemerintahan Eropa untuk mengendalikan Jerusalem.

Dari beberapa kerajaan baru itu, Country Edessa secara geografis berada di wilayah paling utara dan dikenal sebagai kerajaan terlemah dengan jumlah penduduk paling sedikit dibandingkan kerajaan lainnya. Hal itulah yang menyebabkan kerajaan ini menjadi pusat serangan pasukan Muslim dalam menguasai kembali wilayah Jerusalem.

Perang Salib II secara umum terjadi dari tahun 1147 sampai 1149. Diawali dengan bangkitnya kekuatan Turki Seljuk di bawah pimpinan Imaddudin Zengi yang berhasil menjatuhkan Country Edessa pada 1144.

Jatuhnya salah satu kekuatan pasukan salib tersebut segera ditanggapi serius oleh pemimpin gereja Eropa, Paus Eugenius III, yang menggantikan Paus Urbanus II. Pemimpin tertinggi umat Kristiani itu lantas membuat seruan untuk mengobarkan Perang Salib II pada 1 Desember 1145.

Tentara salib pada Perang Salib II mayoritas berasal dari dua kekuatan besar Eropa saat itu, yaitu kerajaan Prancis, yang dipimpin oleh Louis VII, dan Jerman, yang dipimpin oleh Conrad III.

Tercetusnya misi Perang Salib II terjadi ketika Bernard de Clairvaux berpidato di hadapan dewan parlemen yang dihimpun di Vezelay, Burgundia, pada 31 Maret 1146. Ketika itu banyak pemimpin Eropa yang turut hadir untuk menerima restu dilakukannya Perang Salib II di wilayah Jerusalem.

Tentara salib yang berasal dari Jerman berangkat menuju Jerusalem pada Mei 1147. Walaupun mendapat banyak rintangan selama perjalanan, namun pasukan Jerman di bawah pimpinan Conrad III akhirnya berhasil memasuki wilayah Asia Kecil.

Setelah sampai, Conrad III memerintahkan pasukannya untuk melakukan penyerangan ke kota Iconium, ibu kota Kesultanan Rum. Hal itu tidak sesuai dengan perintah awal yang seharusnya menunggu pasukan Prancis agar kekuatan pasukan salib tidak terpecah.

Benar saja, pasukan Jerman pimpinan Conrad III mengalami serangkaian kekalahan, bahkan hampir dimusnahkan oleh pasukan Turki Seljuk pada 25 Oktober 1147 dalam pertempuran Dorylaeum. Kekalahan demi kekalahan yang diterima oleh pasukan Jerman membuat mereka terpaksa untuk mundur kembali ke Constantinopel.

Berbeda dengan pasukan Jerman, tentara salib dari Prancis memutuskan memberangkatkan pasukannya pada Juni 1147. Prancis dimpimpin oleh beberapa penguasa ternama, seperti Louis VII, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy, William V dari Montferrat, dan William VII dari Auvergne.

Setibanya di Asia Kecil, pasukan Prancis bertemu dengan sisa-sisa pasukan Jerman di wilayah Nicea. Pasukan Jerman akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan pasukan Prancis mengingat jumlah kekuatan mereka yang sudah menurun drastis.

Target utama dalam Perang Salib II sebenarnya adalah untuk merebut kembali Country Edessa, namun pada akhirnya pasukan salib terkesan lebih mengutamakan target penaklukan wilayah Damaskus.

Setelah seluruh pasukan Jerman dan Prancis berkumpul di Jerusalem, mereka melakukan sebuah pertemuan dengan pemimpin lokal di sana pada 24 Juni 1148. Dalam pertemuan ini dewan Haute Cour yang memimpin Jerusalem meminta pasukan dari Eropa untuk mengarahkan target serangan mereka ke Damaskus.

Para pemimpin dewan beranggapan bahwa Damaskus merupakan salah satu kota suci umat Kristiani, seperti halnya Jerusalem dan Antiokhia maka penaklukan Damaskus dianggap akan menjadi hadiah penting bagi Kristen Eropa.

Pada Juli 1148, pasukan Salib yang berjumlah lebih dari 50.000 prajurit dikumpulkan di Tiberias untuk berangkan menuju Damaskus. Mereka memilih menyerang Damaskus dari sisi barat, karena di sana merupakan wilayah perkebunan buah yang jika berhasil dikuasai akan berpengaruh besar pada suplai logistik mereka selama perang.

Tetapi rencana pasukan salib itu diketahui oleh pasukan Muslim yang langsung bergerak melakukan penyerangan ke tenda-tenda perkemahan pasukan salib.

Pasukan Damaskus dibantu oleh pasukan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo, dan Nuruddin Zengi dari Mosul. Setelah beberapa kali mengalami kekalahan, pasukan salib memutuskan mundur dari Damaskus. Akhirnya rencana penaklukan Damaskus oleh pasukan salib berakhir dengan kegagalan.

Setelah menerima serangan dari pasukan salib, pemerintah Damaskus memutuskan untuk meningkatkan pertahanan mereka.

Sebenarnya Damaskus memiliki hubungan yang cukup baik dengan kerajaan-kerajaan Kristen di wilayah Jerusalem, tetapi setelah serangan pasukan salib, otoritas Damaskus memilih untuk menghentikan hubungan dengan orang-orang Kristen di Jerusalem.

Pemerintah Damaskus pada 1154 diserahkan pengelolaannya di bawah pimpinan Nuruddin Zengi demi menghindari resiko terburuk yang akan terjadi di kemudian hari.

Pada 1169, raja Almaric I dari Jerusalem melancarkan serangan ke wilayah Mesir bersama kerajaan Bizantium. Ketika itu Mesir dikuasai oleh pasukan Muslim. Namun serangan gabungan itu berakhir dengan kegagalan akibat dari minimnya bantuan logistik dari Eropa.

Pada 1171, Mesir dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, keponakan dari salah satu jenderal besar pasukan Nuruddin Zengi. Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan Mesir dan Syria dengan kecakapannya dalam pertempuran dan peperangan.

Setelah berhasil menyatukan Mesir dan Syria, Shalahuddin Al-Ayyubi mengarahkan perhatiannya pada penaklukan wilayah-wilayah negara Kristen. Shalahuddin Al-Ayyubi memutuskan mengepung seluruh pasukan salib, dan akhirnya Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Muslim pada 1187. Pasukan pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi pun berhasil menguasai hampir seluruh ibukota penting negara-negara salib di wilayah Asia Kecil.

Sumber: Alvarendra, H. Kenzou. 2017. Buku Babon Sejarah Dunia. Yogyakarta: Brilliant Book