Tujuan jangka panjang dari penanganan limbah yang benar adalah

MajalahCSR.id – Penanggulangan limbah di laut tak bisa dilakukan satu pihak saja. Perlu kolaborasi dan kerja sama antar pemangku kepentingan. Peringatan hari laut sedunia (World Oceans Day) pada 8 Juni lalu bertemakan “inovasi untuk laut berkelanjutan”. Kalimat ini memiliki arti yang luas dan tegas. Mengapa lautan tidak “sustainable”dan perlu inovasi untuk menyelamatkannya? Jawabannya menunjuk pada sektor swasta (perusahaan, lembaga non profit, dan LSM). Mereka punya pengaruh kuat dalam jangka pendek atau panjang.

Sekedar perbandingan, wilayah bahari yang dieksploitasi untuk tujuan bisnis ternyata lebih luas dibanding kepentingan non komersial pada umumnya. Hal itu memperlihatkan, seberapa besar dampaknya. Kombinasi kekayaan kelautan mulai penangkapan ikan, pariwisata, perdagangan dan transportasi (pengiriman barang lewat lautan) per tahunnya mencapai USD 2,5 triliun, sementara kerusakkan yang ditimbulkan bisa senilai USD 428 miliar pada 2050.

TerraCycle Menjaring Limbah Sampah di Sungai. Foto : TerraCycle

Kerusakkan ini dimulai dari meningkatnya permukaan air laut hingga ekosistem laut. Penyebabnya mulai dari yang langsung seperti limbah pukat penangkap ikan, suhu yang makin menghangat (pemanasan global), penurunan pH air laut (sebagian besar oleh aktivitas manusia yang memicu emisi gas CO2 di mana tiga puluh persennya diserap laut), dan polusi plastik akibat setiap menit truk sampah memuntahkan muatannya yang bermuara ke lautan.

Dikutip dari greenbiz, ini semua adalah definisi dari ketidakberlanjutan (unsustainable). Kondisi ini tak hanya mempengaruhi kemampuan kita dalam mengeksplorasi laut, tapi utamanya membunuh laut itu sendiri. Memang masih jauh dari api untuk menyelesaikan persoalan ke depan. Yang perlu diwaspadai, 2050 adalah tahun di mana kita akan menyaksikan hilangnya koral dari laut, sementara jumlah limbah plastik lebih banyak dibanding hewan laut. Hal ini benar-benar terjadi jika kita tak melakukan penanganan limbah.

Industri tak seluruhnya siap mengatasi kebocoran zat kimia, atau plastik ke lautan, atau sekedar mengumpulkan limbah (untuk diolah lagi). Ada pendekatan yang lebih tepat, namun tidak efisien menurut “bisnis pada umumnya”, yaitu menyelesaikannya lewat inovasi. Tak hanya pada teknologi, tapi juga menciptakan sistem dan dukungan finansial yang mempercepat kemajuan dengan pendekatan baru.

Membereskan soal polusi, sektor swasta bisa menginisiasi kolaborasi dan kerja sama dengan sektor publik (pemerintah), untuk menghimpun minat, mengurangi risiko proses dan memberi nilai tambah pada pemangku kepentingan.

Saat pemerintah melambat penanganannya, karena ekonomi dan infrastruktur dalam kondisi tak menentu (akibat pandemi), sektor swasta bisa mengambil alih lewat kerja sama dengan komunitas, sambil tetap menjalankan prosedur ramah lingkungan. Semua permasalahannya bermuara pada ekonomi, investasi di bidang infrastruktur lokal, teknologi dan perangkat untuk pengumpulan (limbah), sumberdaya manusia guna mendukung pasar untuk material daur ulang di negara berkembang. Semua itu dilakukan demi menghentikan plastik menjadi limbah pencemar.

Di wilayah yang kurang dukungan secara ekonomi, akan sukar bagi sistem lokal mendukung pengumpulan limbah (80 persen limbah plastik di laut berasal dari darat). Pada area ini, lembaga nirlaba TerraCycle menyokong dengan memasang perangkap sampah di sungai, seperti dilakukannya di Thailand. Namun selain itu, TerraCycle tetap mengedukasi masyarakat di sana untuk mengubah perilaku mereka terhadap limbah plastik.

Yang perlu diingat, saat dunia mengalami kemunduran dalam manajemen sampah, termasuk upaya mendaur ulang limbah yang semestinya, inovasi sektor swasta lah yang perlu mengambil inisiatif. Perlindungan lingkungan dan pengembangan ekonomi, serta laut yang sehat adalah keniscayaan sekarang dan masa depan.

Oleh: Rizal Bahri
Coronavirus Disease (Covid-19) yang mewabah sejak akhir tahun 2019, telah menjadi pandemi global dan menyebabkan berbagai permasalahan, salah satu diantaranya adalah permasalahan kesehatan lingkungan. Permasalahan tersebut terutama mengenai pengelolaan limbah medis. Jumlah limbah medis di seluruh dunia termasuk Indonesia selama masa pandemi Covid-19 mengalami kenaikan yang signifikan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat penambahan jumlah timbulan limbah medis di Indonesia mencapai 30% sejak terjadinya pandemi dengan total keseluruhan mencapai 1.100 ton (data per tanggal 8 Juni 2020). Mengatasi permasalahan limbah medis yang dihasilkan selama pandemi Covid-19, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kemudian mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Coronavirus Disease (Covid-19). Dalam surat edaran tersebut fasilitas pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit berkewajiban: (a) Melakukan penyimpanan limbah infeksius maksimal dua hari; (b) Mengangkut dan atau memusnahkan pada pengolahan limbah B3 dengan insinerator minimal bersuhu 800 derajat atau Autoclave yang dilengkapi dengan alat pencacah; (c) Residu hasil pembakaran atau pencacahan dikemas dengan label khusus limbah B3. Meskipun ada beberapa pilihan metode pengolahan limbah medis namun secara umum pengolahan limbah medis di Indonesia dilakukan dengan metode insinerasi.

Berdasarkan data yang dirilis KLHK Per 9 April 2020, terdapat 110 insinerator dan 4 Autoclave berizin yang dimiliki oleh Rumah Sakit di 34 Provinsi. Terdapat pula rencana menambah 32 insinerator untuk mengatasi kesenjangan jumlah timbulan limbah medis yang terkelola di masing-masing daerah. Adapun terdapat 14 perusahaan jasa pengelola limbah yang 10 diantaranya berada di pulau Jawa. Wilayah Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, Bali dan Nusa Tenggara tidak punya satupun perusahaan jasa pengelola limbah medis.

Dampak Insinerasi Limbah Medis

Penggunaan insinerator untuk mengolah limbah medis akan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat jika tidak dilakukan dengan prosedur teknis yang benar. Pembakaran tidak sempurna pada limbah medis akan menghasilkan senyawa kimia berbahaya bersifat karsinogenik, yaitu dioksin. Dioksin bersifat persisten yang akan terakumulasi secara biologi dan tersebar di lingkungan dalam konsentrasi yang rendah. Hal ini bisa meningkatkan risiko terkena penyakit kanker dan efek kesehatan lain pada binatang dan manusia. Adapun pemeriksaan dioksin dari kegiatan pengolahan limbah medis menggunakan insinerator tidak diwajibkan berdasar Permen LHK Nomor 56 Tahun 2015. Lebih lanjut, di Indonesia sendiri belum ada laboratorium yang memadai untuk melakukan pemeriksaan dioksin.

Selain itu, penggunaan insinerator yang tidak memenuhi standar seperti ketiadaan alat pengendali pencemaran udara dapat menyebabkan partikel dan senyawa polutan terlepas di udara. Salah satu partikel polutan berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran melalui proses insinerasi yaitu PM 2.5. Jika terhirup, PM 2.5 yang berukuran sangat kecil akan masuk ke saluran pernapasan dan menembus peredaran darah sehingga menimbulkan risiko gangguan pada sistem pernapasan dan kardiovaskular hingga kanker paru – paru.

Masalah lain yang timbul dari penggunaan insinerator adalah residu pembakaran berupa FABA (Fly Ash and Bottom Ash). Terdapat kurang lebih 5 persen residu pembakaran limbah medis dari total berat sampah yang dibakar akan menjadi abu kerak dan abu terbang. Di berbagai negara, abu dari insinerator bersifat toksik dan harus diperlakukan sebagai limbah B3 di TPA khusus. Fly Ash dan Bottom Ash hasil insinerasi limbah medis harus diolah dan dibuang secara benar agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Apakah Insinerasi Limbah Medis Solusi Berkelanjutan?

Pro kontra seputar penggunaan insinerator dalam pengolahan limbah baik medis maupun medis telah berlangsung cukup panjang. Penggunaan insinerator dinilai sebagai langkah instan mengatasi masalah limbah. Namun kita juga belum bisa mengatakan insinerator sebagai solusi jangka panjang dan berkelanjutan.

Insinerasi limbah medis yang selama ini berlangsung saat pandemi dapat menjadi pisau bermata dua. Insinerasi limbah medis seperti masker dan alat pelindung diri lain dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Pembakaran limbah medis dengan suhu minimal 800 derajat celcius dapat mematikan virus dan memusnahkan sekitar 95 persen berat sampah.

Namun pada sisi lain, insinerasi limbah medis yang tidak memenuhi standar dapat memperparah situasi pandemi terkait dengan cemaran udara yang ditimbulkan. Penelitian Harvard T.H. Chan School of Public Health mengungkap polusi udara berpengaruh terhadap peningkatan angka kematian pasien Covid-19 di Amerika Serikat. Penelitian serupa di Italia menunjukkan angka kasus kematian Covid-19 cukup tinggi cenderung terjadi pada wilayah dengan polusi udara tinggi. Hal ini terjadi karena polutan seperti PM 2.5 menimbulkan gangguan pada sistem pernapasan dan kardiovaskular yang dapat memperburuk tingkat keparahan penderita Covid-19.

Mengurangi Ketergantungan pada Insinerator

Meskipun insinerasi masih dibutuhkan untuk mengolah limbah farmasi, sitotoksik dan patologis, ketergantungan terhadap insinerator harus dikurangi secara berangsur. Lebih lanjut, dampak kesehatan dan lingkungan dari pengelolaan limbah medis menggunakan metode insinerasi dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah limbah medis yang akan diolah di tempat pembakaran atau pemusnahan. Pengurangan dari sumber bisa dilakukan dengan cara penggunaan ulang peralatan medis yang telah disterilisasi menggunakan prosedur yang benar. Penggunaan ulang peralatan medis dilakukan dengan tetap mengutamakan keselamatan pasien dan tenaga kesehatan. Jika upaya penggunaan peralatan medis guna ulang tidak memungkinkan, maka perlu dilakukan pemilahan yang ketat antara limbah domestik dan limbah medis agar dapat diolah sesuai jenisnya.

Dengan jumlah kasus Covid-19 yang telah mencapai lebih dari 141.370 kasus (per 18 Agustus 2020), sudah saatnya Indonesia beralih ke teknologi non-insinerasi seperti uap dan gelombang mikro sebagai pilihan utama dalam pengolahan limbah medis. Penurunan performa insinerator yang dapat menimbulkan pencemaran udara dan penggunaan teknologi non insinerasi yang memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil perlu dipertimbangkan. Kombinasi antara pengurangan jumlah sampah medis dan peningkatan penggunaan teknologi pengolah limbah medis yang ramah lingkungan merupakan solusi jangka panjang dan berkelanjutan.

Profil Penulis

Rizal Bahri adalah praktisi kesehatan lingkungan di salah satu rumah sakit di Jawa Timur. Aktif sebagai pegiat lingkungan dan tertarik mempelajari hubungan antara lingkungan dan kesehatan manusia. e-mail:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA