Tokoh yang memimpin perlawanan rakyat Banjar terhadap Belanda adalah

Pengarang           :     H.M. Syamsiar Seman

Judul                      :     Pangeran Antasari dan meletusnya  Perang Banjar.

Sumber                 :     Buku Deposit

Kolasi                    :     viii, 76 hlm.

Subyek                  :     Sejarah-Kalimantan Selatan

Call Number         :     CB-D.17/2011-142/2846-2017

Tahun Terbit        :     2011

Buku dengan judul Pangeran Antasari dan meletusnya Perang Banjar merupakan gambaran perjuangan pangeran ANtasari seorang pahlawan Nasional pertama di Kalimantan Selatan.Beliau tidak saja deikenal sebagai pemimpin pejuang bersenjata, juga sebagai pemimpin agama Isalam yang mendapat penghargaan dari masyarakat Barito bergelar Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin, dengan semboyan hidup untuk Allah dan mati untuk Allah.

Peristiwa perang banjar dimulai dengan penyerangan yang luar biasa dibawah pimpinan Pangeran Antasari terhadap perusahaan tambang  batu bara orange Nassau di Pengaron sebagai kubu pertahanan Belanda, berjuang bersama Ali Akbar,Mantri Taming Yuda menggerakkan kurang lebih 300 orang  prajurit.Meletusnya pertempuran pada tanggal 28 April 1859 merupakan peristiwa yang sangat mengejutkan hingga tercatat pada dokumen Hindia Belanda  sebagai awal pecahnya perang Banjar.

Pada tanggal 25 Juni 1859 Belanda memaksa Pangeran Tamjidillah turun tahta dari kesultanan banjar  dan membuangnya ke Bogor sementara Pangeran Hidayatullah menyingkir dari kesultanan kemudian segera ke Karang Intan dan Amuntai.

Dalam perang Banjar yang cukup lama pemerintah kolonial  Belanda  telah menggerakkan kurang lebih  3000 personil tentara terdiri atas 140 opsir bangsa Belanda 1000 serdadu Eropah 60 orang  Afrika.Rakyat Banjar tetap bertahan dan melakukan penyerangan dengan senjata tradisional dengan tekat “haram menyerah lawan Belanda”.

Pasukan banjar dengan semangat juang yang sangat tinggi, walau hanya mengandalkan senjata tradisional seperti parang bungkul, Mandau, tombak dan keris.Wijnmalen dan ir. Motley pimpinan perusahaan  batu-bara Orange  Nassau mati dan anak buahnya terbunuh.Pangeran Hidayatullah memerintah  Jalil gelar Adipati  Anom Dinding Raja membangun Bontang di Batu Mandi.

Bontang diserang oleh pasukan Belanda, namun mereka terperangkap sehingga menewaskan sersan Van Den Bosch, Kopral Koudijs dan beberapa serdadunya.Semangat juang rakyat Banjar dituangkan dalam surat Pangeran Antasari yang ditujukan kepada G.M.Verspyck pada tanggal 20 Juli 1861.Kendatipun rakyat Banjar harus menerima kekalahan persenjataan yang tidak seimbang.

Penulis Abstrak : Masitah (Pustakawan Ahli Madya)

Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Prov. Kaltim

Editor : Andri P.

Jakarta -

Pahlawan nasional sebelum kemerdekaan ada banyak sekali. Salah satunya adalah Pangeran Antasari.

Dalam buku Mengenal Pahlawan Indonesia: Edisi Revisi karangan Arya Ajisaka dan Anna Maria Fitrawati, Pangeran Antasari lahir di Banjarmasin pada tahun 1979. Ia merupakan bagian dari keluarga besar Kesultanan Banjar.

Sementara menurut buku Pangeran Antasari karya Mohammad Idwar Saleh dan Sri Sutjianingsih, Pangeran Antasari merupakan keturunan dari Sultan Tachmidullah atau yang dikenal juga sebagai Panembahan Kuning.

Ia adalah anak dari Pangeran Masohot dan Gusti Hadijah. Kendati begitu, Pangeran Antasari hidup sebagai pewaris yang dilupakan dan terbuang daru istana.

Pangeran Antasari hidup di tengah rakyat sebagai jelata dan membanting tulang demi mencari nafkah untuk keluarganya. Ia tidak dikenal Belanda yang berada di lingkungan istana Martapura sehingga sejarah Banjar juga tidak pernah mengenal bentuk wajahnya yang sebenarnya.

Perjuangan Pangeran Antasari melawan Belanda

Perlawanan rakyat Banjar dimulai ketika Belanda mengangkat Tamjidillah menjadi Sultan Banjar menggantikan Sultan Adam yang meninggal dunia, demikian dikutip dari buku Mengenal Pahlawan Indonesia: Edisi Revisi.

Rakyat beserta keluarga besar Kesultanan Banjar, termasuk Pangeran Antasari menuntut Belanda agar Pangeran Hidayatullah yang merupakan pewaris sah, diangkat sebagai Sultan Banjar. Dimulai dari sana, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan Demang Leman memimpin rakyat Banjar melawan Belanda.

Pangeran Antasari menyerang dan berhasil menguasai pendudukan Belanda di Gunung Jabuk. Selain itu, ia juga menyerang tambang batu bara belanda di Pengaron.

Kemudian, atas siasat Pangeran Antasari dan Tumenggung Suropati, para pejuang Banjar turut berhasil menenggelamkan kapal Onrust sekaligus para pemimpinnya, seperti Letnan van der Welde dan Letnan Bangert.

Di tahun 1861, Pangeran Hidayatullah ditangkap Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kepemimpinannya kemudian diambil alih Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari selanjutnya diangkat sebagai Panembahan Amiruddin Khalifatul Mu'min oleh rakyat. Di tangannya, kualitas peperangan meningkat karena ada unsur agama.

Wafatnya Pangeran Antasari dan mengapa ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional

Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862 karena penyakit cacar yang kala itu mewabah di Kalimantan Selatan. Ia wafat ketika mempersiapkan serangan besar-besaran terhadap Belanda.

Pangeran Antasari mendapat gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional karena jasa-jasanya. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 06/TK/1968.

Demikianlah biografi singkat Pangeran Antasari. Semoga pribadinya yang sederhana dan pantang menyerah, dapat menginspirasi detikers!

Simak Video "Rihanna Jawab soal Rumor Hamil"



(nah/pal)

Assalammualaikum, Selamat datang di Kelas IPS. Disini Ibu Guru akan membahas tentang pelajaran Sejarah yaitu Tentang “Tokoh Perang Banjar“. Berikut dibawah ini penjelasannya:

Perang Banjar adalah salah satu perang terlama di Indonesia yaitu, pecah pada tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905. Perang yang terjadi antara penduduk pribumi di Kalimantan Selatan dengan penjajah Belanda ini berlangsung selama 46 tahun. Dalam ukuran perang waktu 46 tahun itu waktu yang sangat lama. Tidak terhitung berapa jumlah korban jiwa yang gugur dalam perang tersebut, baik itu di pihak pribumi maupun di pihak Belanda.

Selama berlangsungnya Perang Banjar banyak bermunculan tokoh-tokoh pejuang yang gagah berani melawan para penjajah demi kebebasan tanah kelahiran mereka. Walaupun banyak dari mereka yang gugur dalam medan perang, tetapi semangat juang mereka patut kita contoh terutama bagi generasi masa kini.

Berikut ini terdapat 10 tokoh dalam perang banjar, yaitu sebagai berikut:

Sultan Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (lahir di Martapura, 1822 meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah seorang pemimpin Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama.

Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.

Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya sebagai Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan Adam.

Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah sebagai mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton sebagai Sultan Muda.

Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah.

Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah sebagai Sultan Banjar oleh Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan keadaan. Dengan Siasat menempatkan Sultan Hidayatullah sebagai Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai sebagai tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan menempatkan Sultan pada posisinya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini ditolak mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.

Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, 1797 atau 1809– meninggal di Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.

Ia adalah Sultan Banjar. Pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun dia tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)”

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Orang-orang yang tidak mendapat pengampunan dari pemerintah Kolonial Hindia Belanda:

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, dia terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan. Perjuangannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Muhammad Seman.

Artikel Terkait:  Latar Belakang Perang Batak (1878-1907)

Demang Lehman, kemudian bergelar Kiai Adipati Mangku Negara (lahir di Barabai tahun 1832 – meninggal di Martapura tanggal 27 Februari 1864 pada umur 32 tahun) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar.Dia terlahir dengan nama Idies. Gelar Kiai Demang merupakan gelar untuk pejabat yang memegang sebuah lalawangan (distrik) di Kesultanan Banjar. Demang Lehman semula merupakan seorang panakawan (ajudan) dari Pangeran Hidayatullah II sejak tahun 1857.

Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai panakawan dari Pangeran Hidayatullah II, dia diangkat menjadi Kiai sebagai lalawangan/kepala Distrik Riam Kanan (tanah lungguh Pg. Hidayatullah II).Demang Lehman memegang pusaka kerajaan Banjar yaitu Keris Singkir dan sebuah tombak bernama Kalibelah yang berasal dari Sumbawa.

Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri almarhum Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayatullah II, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Jalil (Kiai Adipati Anom Dinding Raja) berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah Barito (Tanah Dusun), Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah di bawah pimpinan Pangeran Antasari yang berahsil menghimpun pasukan sebanyak 3.000 orang dan menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron diserang oleh pasukan Antasri pada tanggal 28 April 1859. Di samping itu, kawan-kawan seperjuangan Pangeran Antasari juga telah mengadakan penyerangan terhadap pasukan-pasukan Belanda yang dijumpai.

Pada saat pangeran Antasari mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Leman dengan pasukannya telah bergerak disekitar Riam Kiwa dan mengancam benteng Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni 1859, kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di istana Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 bersama Haji Buyasin dan Kiai Langlang, Kiai Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio.

Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi juga di benteng Gunung Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam pertempuran ini kekuatan pasukan Kiai Demang Leman ternyata lebih kecil dibandingkan dengan kekuatan musuh sehingga ia terpaksa mengundurkan diri. Karena rakyat berkali-kali melakukan penyerangan gerilya, Belanda setalah beberapa waktu lamanya menduduki benteng tersebut, kemudian merusak dan meninggalkannya. Sewaktu meninggalkan benteng, pasukan Belanda mendapat serangan dari pasukan Kiai Demang Leman yang masih aktif melakukan perang gerilya di daerah sekitarnya.

Tommengoeng Soera Pattie (EYD: Tumenggung Surapati) atau Tomongong Suro-patty/Soero Patti (ejaan Jawa)atau Kiai Dipati Jaya Raja, kemudian bergelar Pangeran Dipati (lahir : Kalimantan Tengah, wafat : 1875, Kalimantan Tengah) adalah hoofd van de Doesson Oeloe, Moerong en Siang (Afdeeling Becompaij en Doesson dalam susunan pemerintahan Hindia Belanda tahun 1848). Ia merupakan kepala suku Dayak Bakumpai-Siang yang memihak kepada Pangeran Antasari.Ia menjadi panglima perang dalam Perang Barito yang merupakan bagian dari Perang Banjar.

Perang Banjar berlangsung dalam tiga wilayah yaitu Martapura dan sekitarnya, wilayah Banua Lima (Hulu Sungai) dan wilayah sepanjang sungai Barito (Tanah Dusun). Tumenggung Surapati setia kepada kepemimpinan Pangeran Antasari selaku pemimpin tertinggi di Kesultanan Banjar pasca ditangkapnya Pangeran Hidayatullah yang kemudian diasingkan ke Cianjur. Tumenggung Surapati anak dari Ngabe Lada bin Ngabe Tuha. Ngabe Tuha merupakan wakil Sultan Banjar di kalangan suku Bakumpai. Ngabe (ngabehi) adalah salah satu gelar pejabat kepala wilayah di kesultanan Banjar.

Ngabe Tuha mungkin salah seorang anak dari Patih Darta Suta. Menurut suatu riwayat Patih Darta Suta memiliki lima orang anak yaitu Ngabe Tuha, Ngabe Tumpang, Ngabe Basirun, Ngabe Basunga, dan seorang anak perempuan bernama Jimah. Setelah wafatnya Tumenggung Surapati karena sakit, perjuangannya diteruskan oleh anaknya yaitu Tumenggung Ajidan (Jidan). Seorang cucu perempuan dari Pangeran Antasari menikah dengan Tumenggung Ajidan, karena pernikahan tersebut Tumenggung Ajidan dianugerahkan gelar bangsawan Raden Dipati Mangku Negara.

Nama lahirnya Jalil, kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara(nama populer Tumenggung Jalil),, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 meninggal di Benteng Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada umur 21 tahun) adalah panglima perangdalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba (Banjar: bukan berdarah bangsawan).

Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai Kaminting Pidakan (Banjar: jagoan/jawara).

Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai.

Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda.

Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat di bawah pimpinan Matia atau Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama.

Di antara kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan di antara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong di antara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten De Jong. Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan memudiki sungai Tabalong.

Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kelua dan Amuntai. Baru pada bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Hidayatullah, pasukan Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari dengan Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.

Penghulu Rasyid (lahir di desa Telaga Itar tahun 1815, meninggal di desa Banua Lawas, 15 Desember 1861 pada umur 46 tahun) adalah salah seorang di antara sejumlah ulama Islam yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dalam Perang Banjar. Ayah dari Penghulu Rasyid bernama Ma’ali adalah penduduk kampung Telaga Itar. Rasyid diperkirakan lahir sekitar tahun 1815. Pada waktu terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di seluruh wilayah Banua Lima tahun 1860 sampai tahun 1865, Rasyid berumur 45 tahun. Sejak kecil ia mempunyai ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Dengan pengetahuan agama Islam yang dimilikinya disertai dengan amaliah yang kuat, Rasyid pun dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu. Selanjutnya ia lantas dikenal sebagai Penghulu Rasyid.

Sebagai seorang pimpinan agama, Penghulu Rasyid tergerak jiwa patriotismenya untuk membela negara Kesultanan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan para ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan Baratib Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar (surau).

Panglima Wangkang atau Demang Wangkang gelar Mas Demang (lahir : Marabahan 1812) adalah salah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dari kalangan suku Bakumpai yang mempertahankan Distrik Bakumpai (sekarang Barito Kuala). Panglima Wangkang merupakan panglima Dayak yang berdarah Banjar. Bapaknya bernama Kendet (Pambakal Kendet), juga seorang pejuang dan pemimpin suku Bakumpai. Ibunya bernama Ulan berasal dari Amuntai seorang suku Banjar.

Dalam membicarakan perlawanan di daerah Bakumpai perlu disebut tokoh Demang Wangkang yang juga berpengaruh. Di Marahaban ia sepakat dengan Tumenggung Surapati untuk menyerang ibu kota Banjarmasin. Pada tanggal 25 November 1870 ia bersama pengikutnya sebanyak 500 orang meninggalkan Marahaban menuju Banjarmasin. Pertempuran terjadi di dalam kota, tetapi karena kekuatana Belanda cukup besar, Demang Wangkang menarik kembalipasukaannya keluar kota.

Demang Wangkang dan anak buahnya tidak kembali ke tempat pertahanan semula di Marahaban, tetapi ke Sungai Durrakhman. Tidak berapa lama di situ, pada akhir Desember 1870 datang pasukan Belanda yang kuat, terdiri atas 150 orang serdadu dan 8 orang opsir. Pasukan Belanda ini sudah mendapat tambahan pasukan bantuan yang di datangkan dari Surabaya dan pasukan oarng Dayak di bawah pimpinan Suto Ono. Sebelum tiba di Durrakhman, pasuakan Belanda ini telah datang ke tempat pertahana Deamang Wangkang semula yaitu di Marahaban, tetapi ternyata kosong. Benteng Demang Wangkang di Durrakhmandidekati pasukan pemerintah Belanda. Terjadilah pertempuran, dan dalam pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya.

Sultan Muhammad Seman adalah Sultan Banjar dalam pemerintahan pada masa 1862-1905 (versi lain 1875-1905). Nama lahirnya Gusti Matseman. Ia adalah putra dari Pangeran Antasari yang disebut Pagustian (Kesultanan Banjar yang Baru) sebagai penerus Kesultanan Banjar yang telah dihapuskan Belanda. Di zaman Sultan Muhammad Seman, pemerintahan Banjar berada di Muara Teweh, di hulu sungai Barito.

Artikel Terkait:  6 Macam Perjanjian Indonesia Belanda dan Penjelasannya

Sultan Muhammad Seman merupakan anak dari Pangeran Antasari dengan Nyai Fatimah. Nyai Fatimah adalah saudara perempuan dari Tumenggung Surapati, panglima Dayak (Siang) dalam Perang Barito. Sultan Muhammad Seman merupakan Sultan Banjar yang berdarah Dayak dari pihak ibunya.

Gusti Matseman pada bagian akhir bulan Agustus 1883 beroperasi di daerah Dusun Hulu. Ia dengan pasukannya kemudian bergerak ke Telok Mayang dan berkali-kali mengadakan serangan terhadap pos Belanda di Muara Teweh. Sementara itu, Pangeran Perbatasari, menantu Gusti Matseman, mengadakan perlawanan terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahan yang di deritanya menyebabkan ia tertangkap pada tahun 1885.

Pada tahun 1888, Sultan Muhammad Seman mendirikan sebuah masjid di Baras Kuning yang sedianya akan menjadi tempat gerakan Beratib Beramal. Sultan Muhammad Seman meneruskan perjuangan mengusir penjajah Belanda dari tanah Banjar. Sultan beserta pejuang lainnya seperti Tumenggung Surapati, Panglima Batur, Panglima Bukhari, dan beberapa pejuang lainnya terus menggempur pertahanan Belanda di daerah Muara Teweh, Buntok, Tanjung, Balangan, Amuntai, Kandangan, dan di sepanjang sungai Barito.

Pada pertempuran di Benteng Baras Kuning, Sultan Muhammad Seman gugur sebagai syuhada, setelah mempertahankan benteng dari serbuan Belanda. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 24 Januari 1905. Demikian pula perlawanan Tumenggung Gamar di Lok Tunggul tidak berhasil sehingga ia dengan pasukannya terpaksa mengundurka diri ke Tanah Bambu. Di tempat ini pertempuran terjadi lagi.

Panglima Batur (lahir di Buntok Baru, Barito Utara, Kalimantan Tengah pada tahun 1852, meninggal di, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 5 Oktober 1905 pada umur 53 tahun) adalah seorang panglima suku Dayak Bakumpai dalam Perang Banjar yang berlangsung di pedalaman Barito, sering disebut Perang Barito, sebagai kelanjutan dari Perang Banjar. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh.

Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal.

Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kesultanan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa.

Ratu Zaleha atau Djaleha (lahir: Muara Lawung, 1880; wafat: Banjarmasin 24 September 1953)adalah puteri dari Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari yang gigih berjuang mengusir Belanda dalam Perang Banjar melanjutkan perjuangan Pangeran Antasari. Ratu Zaleha berjuang bersama wanita-wanita suku Dayak yang sudah memeluk Islam seperti Bulan Jihad atau Wulan Djihad, Illen Masidah dan lain-lain. Ratu Zaleha (nama lahir Gusti Zaleha) merupakan tokoh emansipasi wanita di Kalimantan.

Gugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan pertambangan batu bara Oranje Nassau di Pengaron, Banjar tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.

Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kesultanan Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad, menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Buitenzorg (sekarang Kota Bogor) pada tanggal 1 Agustus 1904.

Daftar Pustaka:

Demikian Penjelasan Pelajaran IPS-Sejarah Tentang 10 Tokoh Tokoh dan Perannya dalam Perang Banjar Lengkap

Semoga Materi Pada Hari ini Bermanfaat Bagi Siswa-Siswi, Terima Kasih !!!

Baca Artikel Lainnya:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA