Penyair yang mendapat julukan “Si Burung Merak” ini memiliki nama lengkap Willibrordus Surendra Broto. Namun, setelah masuk Islam, ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra. Rendra dilahirkan di Solo pada tanggal 7 November 1935 dan menutup usia pada tanggal 7 Agustus 2009. Julukan “Si Burung Merak”, didapatkan ketika Rendra menemani tamunya dari Australia untuk berkeliling ke Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Rendra melihat seekor merak jantan yang sedang berjalan dengan diapit dua betinanya, orang Australia itu langsung berseru dengan tertawa terbahak-bahak Itu Rendra! Itu Rendra!. Mulai saat itulah julukan “Si Burung Merak” melekat pada dirinya. Rendra dikenal sebagai penyair yang terbaik dalam tahun 60-an, seorang penyair kenamaan yang dimiliki Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis Rendra, antara lain Ballada Orang-Orang Tercinta (1957), Empat Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonnie (1971), dan Sajak-sajak Sepatu Tua (1972). Sebelum tahun 1970-an Rendra adalah penyair yang romantis. Rendra muda berangkat dari balada yang berisikan kisah cinta, epik-lirik tentang perempuan, kejantanan dan petualangan, seperti yang dituangkannya dalam kumpulan sajaknya yang pertama yaitu Ballada Orang-orang Tercinta (1957). Rendra dikenal sebagai penyair yang paling kaya dan sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya. Ia sangat lihai dalam mempergunakan perangkat kata, metafora-metafora yang orisinal, dan selalu terasa baru. Menganalisis sastra atau mengkritik karya sastra―puisi itu adalah usaha menangkap makna dan memberi makna kepada teks karya sastra―puisi. Saya akan menganalisis kisah-kisah kehidupan seorang Rendra di balik puisinya yang berjudul “Kangen”, “Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57”, dan “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya” yang dimuat dalam Empat Kumpulan Sajak. Sajak-sajak itu antara lain diciptakan karena dan ditujukan kepada wanita-wanitayang telah mengisi hidupnya. Inilah yang membuat saya merasa perlu untuk menganalisis puisi-puisi dari W.S. Rendra yang mengandung kehidupan cinta Rendra.
Rendra dalam puisinya yang berjudul “Kangen” ingin menggambarkan kesedihan dan kesepiannya yang mendalam. Dalam puisi ini, penyair memposisikan dirinya sebagai tokoh dalam puisi tersebut. Hal ini dapat terlihat dari sudut pandang akuan yang ditulis oleh si penyair. Pada baris Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku / menghadapi kemerdekaan tanpa cinta, penyair memberikan pertanyaan retoris kepada Tuhan. Kemerdekaan yang dimaksud penyair adalah sebuah kebebasan individu dan hidup seseorang yang berada dalam kesendirian. Penanda yang terlihat jelas adalah ketika penyair membedakan penulisan kata ganti ‘kau’ dengan membubuhkan huruf besar dan kecil. Sedangkan, di baris ketiga dan keempat penyair mempertanyakan kesedihannya akan cintanya kepada seseorang. Kesedihan atau luka hatinya begitu membekas. Di baris berikutnya Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan., penyair menjelaskan pendapat pribadinya tentang kesepian yang sedang dihadapinya itu. Pada bagian ini penyair mengisyaratkan bahwa kesepian itu seperti ketakutan seseorang yang mengalami cacat fisik atau mental. Pada umumnya seseorang yang mengalami cacat fisik atau mental, cenderung lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri karena takut dikucilkan di masyarakat. Terdapat pengulangan pernyataan tentang rasa sakit yang dihadapi si tokoh Aku dalam puisi ini, yaitu Membayangkan wajahmu adalah siksa. Pada baris ini penyair ingin menegaskan kembali apa yang sedang berlaku dalam dirinya. Tokoh Aku menjadi seseorang yang digambarkan penuh penderitaan dalam menghadapi kehidupan. Sedangkan, baris Engkau telah menjadi racun bagi darahku penyair menggambarkan kembali maksud pada kata Engkau seperti pada bait pertama, yaitu Tuhan. Penyair kembali menegaskan bahwa unsur ketuhanan telah merusak jiwa dan pikirannya. Sehingga, pada akhirnya penyair merasakan kesepian yang jauh lebih dalam. Hal ini terlihat pada baris-baris terakhir dalam puisinya Apabila aku dalam kangen dan sepi / itulah berarti aku tungku tanpa api. Unsur ketuhanan yang ia pahami telah mengubah pola pikir dan kejiwaan penyair. Keterkaitan puisi ini dengan kehidupan penyair terlihat jelas, ketika penyair ingin mempersunting seorang wanita yang berbeda agama dan keyakinan. Sehingga, terjadi pergolakan hati dalam diri penyair. Kegelisahannya yang mendalam tentang ketuhanan terlihat kental dalam puisi ini. Perenungan Rendra dalam Puisi “Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57” Puisi ini dibuat penyair untuk menyatakan buah perasaannya terhadap seseorang yang ia sebut dengan “Juwita”. Kepandaian penyair menutupi identitas yang dimaksud inilah yang membuat puisi ini menjadi multi interpretasi. Sudah diketahui bahwa Rendra memiliki tiga orang istri. Meskipun, pada akhirnya ia harus melepas kedua istrinya untuk mendapatkan istri ketiganya. Kenyataan ini sudah tentu dapat menjadi inspirasi penyair dalam membuat karyanya. Pada bait pertama, penyair mengandaikan bahwa setiap ruang akan retak apabila berhadapan dengan waktu. Begitu pula dengan muatan emosi dalam ruang itu yang pada akhirnya akan menciptakan ledakan yang hebat, apabila ruangan yang diandaikan penyair itu tidak pernah dibuka. Ruang yang diandaikan oleh penyair dapat berarti tentang rasa yang dimiliki oleh penyair yang dituangkan ke dalam sajaknya. Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Pada bait berikutnya penyair mulai memunculkan pengandaiannya dengan memunculkan tokoh "Juwitaku". Sudah tentu, penyair ingin mengutarakan sesuatu kepada seseorang dengan penyebutan juwitaku. Pada bait ini, penyair menceritakan apa yang selama ini ia rasakan. Kebingungan yang tak pernah ia sadari bahwa kecintaannya itu ada dengan sendirinya. Cintaku kepadamu Juwitaku Ikhlas dan sebenarnya Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Pada baris Cintaku kepadamu Juwitaku terjadi pengulangan di awal bait berikutnya. Penyair dalam sajak ini ingin menegaskan pernyataannya dengan cara pengulangan. Baris kedua dan ketiga pada bait di bawah ini, penyair mulai memainkan unsur metafora dalam sajaknya. Metafora, seperti juga perbandingan, mempertalikan dua hal yang sesungguhnya tidak sama, tetapi dalam lukisan itu dipersamakan sifat atau keadaannya. Dalam penggantian arti ini suatu kata (kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya). Kemudian meruang dan mewaktu / dalam hidupku yang sekedar insan. Penyair ingin menjelaskan bahwa cintanya seperti ajal yang akan menghampiri si penyair. Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Pada bait berikutnya, penyair mulai menyatakan bahwa ruang cinta aku berdayakan. Penyair seperti tidak ingin merasakan kehilangan. Segala daya dan upaya dilakukannya untuk mendapatkan cinta yang diharapkan. Kemudian, ia melanjutkan sajaknya dengan tapi waktunya lepas dari jangkauan. Pernyataan akan sebuah kegagalan terlihat jelas dalam baris sajak tersebut. Penyesalan yang mendalam harus dihadapi si penyair yang dituangkan dalam baris sajaknya ini. Pada satu waktu tertentu, penyair mulai menyadari bahwa rasa cintanya tak lekang oleh waktu. Penyair membandingkan dan memberikan pernyataan bahwa usia cinta yang lebih panjang dari usia percintaan. Begitu pula dengan usahanya dan lika-liku kehidupan percintaannya yang tidak dapat diukur dan dibandingkan dengan hal apapun. Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan Sekarang aku menyadari usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan… pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Penyesalan dan kegagalan yang dirasakan oleh penyair menjelma sebuah pertanyaan retoris. Sebuah pertanyaan mendalam yang tercipta dari sebuah perjalanan panjang dari kehidupan si penyair. Penyair mempertanyakan apakah kata-kata dalam sajaknya ini dapat menjelaskan seluruh hal yang dirasakan oleh si penyair terhadap Juwita selama hidupnya. Dan kini syairku ini Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu Syair bermula dari kata, dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu Penyampaian penyair yang terlihat lugas dan sederhana ternyata mempunyai maksud dan tujuannya sendiri. Tak jarang juga penyair menjadikan sajaknya menjadi banyak penafsiran tersendiri atau multitafsir bagi pembacanya. Pada bait ini penyair mulai mencoba mendeskripsikan tokoh Juwita yang sudah diperkenalkan di awal sajak ini. Penjelasan penyair pada bait berikut terlihat adanya unsur ironi. Dalam sajak modern mengandung banyak ironi, yaitu salah satu cara menyampaikan maksud secara berlawanan atau berbalikan. Ironi ini biasanya untuk mengejek sesuatu yang keterlaluan. Ironi ini menarik perhatian dengan cara membuat pembaca berpikir. Sering juga untuk membuat orang tersenyum atau membuat orang berbelaskasihan terhadap sesuatu yang menyedihkan. Penyair berusaha memasukkan unsur ironi dalam sajaknya, seperti pada bait-bait berikut. Juwitaku belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu kamu takut kepada dunia Juwitaku Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu : Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang dari usiaku dan usiamu Di akhir sajaknya penyair mulai menunjukkan kepasrahannya. Cintanya yang mewaktu dan syairnya yang akan mewaktu. Penyair menyadari bahwa pada saatnya nanti ia akan dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Sehingga, ia memberanikan diri untuk menyatakan bahwa semuanya ada waktunya. Akan tetapi, penyair tetap memberikan makna kiasan di akhir sajaknya bahwa usianya akan lebih panjang dari usiaku dan usiamu. Hal yang dimaksud adalah cinta dalam sajaknya tersebut.
Puisi ini bercerita tentang seorang anak laki-laki yang meminta restu ibunya karena ia hendak menikah. Hal ini merupakan perwujudan bakti seorang anak kepada ibunya. Puisi ini merupakan ungkapan perasaan penyair karena di akhir puisi ditulis nama “Willy” yang merupakan nama panggilan penyair. Baris Terpupuslah sudah masa-masa sepiku menyatakan tentang kesepian penyair. Sekilas tentang penyair, pada usia 24 tahun Rendra menemukan cinta pertamanya yaitu Sunarti Suwandi yang dinikahinya pada 31 Maret 1959. Kehidupan penyair―Rendra yang saat remaja diusir oleh Ayahnya, terpaksa harus meninggalkan ibunya yang sangat ia cintai sejak kecil tergambar pada baris seseorang yang bagai kau: / sederhana dalam tingkah dan bicara / serta sangat menyayangku. Penggambaran sosok penyair dalam bentuk metafora terlihat jelas pada bait berikut. Dan sepatu yang berat serta nakal yang dulu biasa menempuh jalan-jalan yang mengkhawatirkan dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara, kini telah aku lepaskan dan berganti dengan sandal rumah yang tenteram, jinak dan sederhana. Sedangkan pada bait Ibuku, / Aku telah menemukan jodohku. / Janganlah kau cemburu menggambarkan perasaan penyair yang dengan berat hati meninggalkan ibunya karena telah menemukan seorang wanita yang akan mendampingi hidupnya. Dalam bait ini digambarkan bahwa rasa sayang seorang ibu kepada anak laki-lakinya sungguh besar dan cenderung akan lebih cemburu jika anak laki-lakinya itu memiliki kekasih dan dengan berat hati melepas anak laki-lakinya yang hendak menikah itu. Hal tersebut semakin diperjelas oleh penyair dalam bait berikutnya. Bagai dulu bundamu melepas kau kawin dengan ayahku. dan bagai bunda ayahku melepaskannya untuk mengawinimu. Tentu sangatlah berat. Keinginan penyair agar sang ibu menerima calon istri yang dipilihnya itu dengan senang hati terlukiskan pula pada bait ini. Dan biarkan ia nanti tidur di sampingmu. Ia pun anakmu. Sekali waktu nanti ia akan melahirkan cucu-cucumu. Berbeda dengan ayahnya yang terlalu bersikap keras terhadap penyair yang telah mengusirnya dari rumah karena tidak sepaham dengannya. Seorang ibu di mata penyair adalah lambang kasih dan kebebasan karena pengertiannya yang besar kepadanya. Perasaan tersebut dituangkan penyair dalam baris terakhir puisinya Ciuman abadi / dari anak lelakimu yang jauh. Pada puisi ini, penyair menampilkan kata-kata yang sederhana, namun menggunakan kata-kata yang memiliki makna konotatif. Kata-kata yang bermakna konotatif terdapat pada baris Kerna kapal yang berlayar / telah berlabuh dan ditambatkan yang dapat diartikan sebagai hati seorang lelaki yang sudah sekian lama mencari tambatan hati yang tepat dan sekarang sudah menemukan orang yang menurutnya sangat tepat untuk dijadikan seorang istri. yang memiliki arti seorang anak yang nakal yang selalu melakukan sesuatu yang membuat ibunya selalu khawatir, namun kini telah berubah menjadi laki-laki yang baik dan selalu mendatangkan ketenteraman. Kata yang bermakna konotatif lainnya juga terdapat pada bait berikut. Burung dara jantan yang nakal yang sejak dulu kaupiara kini terbang dan telah menemu jodohnya. Ia telah meninggalkan kandang yang kaubuatkan dan tiada akan pulang buat selama-lamanya Bait di atas dapat diartikan seorang anak lelaki yang dirawat sejak kecil oleh ibunya. Ia kini telah menemukan jodohnya. Sehingga, ia harus meninggalkan rumah orang tuanya dan tidak kembali lagi karena akan tinggal dengan sang istri.
Tiga puisi W.S. Rendra yang berjudul “Kangen”, “Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57”, dan “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya” mengandung cerita-cerita tentang kisah percintaan penyair dalam perjalanan panjang hidupnya. Puisi “Kangen” mewakilkan ungkapan perasaan penyair tentang kegelisahannya ketika ia berpindah keyakinan karena ingin menikahi seorang wanita yang dicintainya. “Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57” merupakan sajak yang berisi renungan penyair tentang hidupnya yang beristrikan tiga orang wanita. Sementara, puisi “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya” mewakilkan perasaannya ketika penyair menemukan seorang wanita yang hendak diperistri dan ingin meyakinkan ibunya tentang wanitanya itu. Kehidupan Rendra yang penuh lika-liku, pertentangan, dan perlawanan merupakan salah satu gambaran utuh yang dituangkan dalam puisi-puisinya. Tema percintaan dalam kehidupannya pun telah menjadi santapan hangat baginya untuk dituangkan dalam tulisan-tulisannya. Bentuk lugas dalam penyampaian puisinya sering kali menimbulkan multi interpretasi bagi pembacanya. Hal ini tercipta dalam puisinya yang berjudul “Kangen”. Tanda-tanda yang dibuatnya sering kali luput dari penglihatan dan muncullah berbagai pendapat tentang puisi tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pergolakan keimanan Rendra yang timbul dalam karyanya tersebut. Bentuk puisi naratif dengan penulisan yang panjang sering kali menjadi ciri khas tersendiri bagi Rendra. Di sisi lain, penggambarannya pun sederhana dalam puisi “Surat Kepada Bunda: Tentang Calon Menantunya” dan “Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57”. Begitu pula dengan kepiawaian Rendra dalam menggunakan pengandaian dan metafora dalam puisinya. Hal inilah yang membuat ketiga puisi ini menjadi unik. Daftar pustaka Djoko Damono, Sapardi. 1996. Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1) Pengantar Apresiasi Puisi. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Djoko Pradopo, Rachmat. 1985. Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan Jakarta. Pradopo, Rahmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jaya, Pustaka. 1990. Rendra: Empat Kumpulan Sajak. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Indiana University Press: Bloomington and London. Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya. Berikut ini ketiga puisi W.S. Rendra yang saya analisis di atas K A N G E N Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti akan segala lukaku kerna cinta telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku Apabila aku dalam kangen dan sepi itulah berarti aku tungku tanpa api SAJAK CINTA DITULIS PADA USIA 57 Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Cintaku kepadamu Juwitaku Ikhlas dan sebenarnya Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan Sekarang aku menyadari usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan… pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Dan kini syairku ini Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu Syair bermula dari kata, dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu Juwitaku belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu kamu takut kepada dunia Juwitaku Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya
Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang dari usiaku dan usiamu Bojong Gede, 17 Juli 1992 SURAT KEPADA BUNDA: TENTANG CALON MENANTUNYA Mamma yang tercinta, akhirnya kutemukan juga jodohku seseorang yang bagai kau: sederhana dalam tingkah dan bicara serta sangat menyayangku. Terpupuslah sudah masa-masa sepiku. Hendaknya berhenti gemetar rusuh hatimu yang baik itu yang selalu mencintaiku. Kerna kapal yang berlayar telah berlabuh dan ditambatkan. Dan sepatu yang berat serta nakal yang dulu biasa menempuh jalan-jalan yang mengkhawatirkan dalam hidup lelaki yang kasar dan sengsara, kini telah aku lepaskan dan berganti dengan sandal rumah yang tenteram, jinak dan sederhana. Mamma, Burung dara jantan yang nakal yang sejak dulu kaupiara kini terbang dan telah menemu jodohnya. Ia telah meninggalkan kandang yang kaubuatkan dan tiada akan pulang buat selama-lamanya. Ibuku, Aku telah menemukan jodohku. Janganlah kau cemburu. Hendaknya hatimu yang baik itu mengerti: pada waktunya, aku mesti kaulepaskan pergi. Begitu kata alam. Begitu kau mengerti: Bagai dulu bundamu melepas kau kawin dengan ayahku. dan bagai bunda ayahku melepaskannya untuk mengawinimu. Tentu sangatlah berat. Tetapi itu harus, Mamma! Dan akhirnya tak akan begitu berat apabila telah dimengerti apabila telah disadari. Hari Saptu yang akan datang kisahkan padanya riwayat para leluhur kita yang ternama dan perkasa. Dan biarkan ia nanti tidur di sampingmu. Ia pun anakmu. Sekali waktu nanti ia akan melahirkan cucu-cucumu. Mereka akan sehat-sehat dan lucu-lucu. Dan kepada mereka ibunya akan bercerita riwayat yang baik tentang nenek mereka: bunda bapak mereka. Ciuman abadi dari anak lelakimu yang jauh. Willy. Page 2
|