Sikap yang seharusnya anda lakukan jika hasil musyawarah

Alasan atau latar belakang Soekarno mengusulkan rumusan pancasila yang berbunyi: Kebangsaan Indonesia Internasionalisme atau peri kemanusiaan Mufakat … atau demokrasi Kesejahteraan sosial Ketuhanan yang berkebudayaan

Apakah Pancasila dari tahun 1945 sampai sekarang dilaksanakan secara konsisten tanpa ada kendala?tolong jelaskan ​

tolong kk, mau di kumpulkan ​

jelaskan struktur lambannya BPUPKI!Bantuin Donggg besok di kumpulin..​

2. Buatlah peta pikiran atau bagan yang menggambarkan proses perumusan Pancasila hingga menjadi dasar negara Indonesia secara runtut. bantu jawab kak … besok kumpul plis​

dari proses brlajar hari ini, hal yang saya pahami adalah​

Sejarah kelahiran Pancasila tidak lepas dari perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.Sebutkan dan jelaskan 4 masa sejarah kehidupan bangsa Indonesia di … masa lampau!​

Sebutkan 10 pahlawan di Pulau Kalimantantolong jawab pelisssss​

Simulasikan di depan kelas peran tokoh nasional sesuai dengan naskah yang telah disusun tolong dijawab kak plisss​

mengamati hasil teknologi yang berada di sekitar kita satu nama alat manfaat alat jenis teknologi​

Musyawarah Keagamaan KUPI adalah forum keagamaan yang dibentuk secara khusus untuk membahas isu-isu krusial yang diajukan masyarakat dan memutuskan sikap dan pandangan keagamaan dengan perspektif ulama perempuan. Isu krusial adalah yang meresahkan karena berkaitan dengan berbagai bentuk kezaliman yang berkelanjutan dan berdampak pada perempuan dalam kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Sikap dan keputusan ini penting dikeluarkan karena masih melekatnya pemahaman keagamaan yang melestarikan kezaliman dan ketimpangan di tengah-tengah masyarakat, padahal misi Islam justru untuk mentransformasikan kehidupan manusia dari ketimpangan ke keadilan, dan dari kezaliman ke kemaslahatan. Pada saat yang sama, forum musyawarah ini juga menjadi penting untuk mempertemukan spirit teks-teks agama dengan analisis realitas dari kehidupan nyata perempuan dan rakyat terdampak. Di forum ini, karena itu, dihadirkan orang-orang yang kompeten dalam hal studi keislaman sekaligus bersama orang-orang yang memahami analisis dan atau mengalami langsung isu tersebut.

Dalam praktik dan pengalaman KUPI, musyawarah keagamaan telah diproses secara partisipatif, terbuka, responsif, dan dialektik. Partisipatif artinya musyawarah harus melibatkan pihak-pihak dari berbagai latar belakang, termasuk mereka yang terkena dampak mafsadat dari persoalan yang akan dibahas dan diputuskan. Terbuka artinya bahwa sikap dan pandangan keagamaan hasil musyawarah telah melalui proses yang terbuka terhadap pandangan dari berbagai pihak dan bisa dipertanggungjawabkan ke masyarakat luas. Responsif artinya musyawarah itu hadir untuk merespon persoalan-persoalan nyata yang terjadi di masyarakat dan mengandung aspek ketidakadilan akibat relasi sosial yang timpang. Dan dialektik artinya ia diproses dengan cara mendialogkan antara teks dan konteks, antara prinsip universal dan kearifan lokal, dan antara kepentingan jangka panjang dan pendek.

Musyawarah Keagamaan yang dibentuk pada saat Kongres adalah puncak dari proses panjang yang sebelumnya sudah dilakukan. Mulai dari dialog invidual antara ulama perempuan dengan masyarakat akar rumput, maupun institusional yang diprakarsai lembaga-lembaga masyarakat, terutama Alimat, Rahima, dan Fahmina. Untuk tujuan musyawarah KUPI ini, sudah dilakukan berbagai pertemuan berjenjang. Penyerapan aspirasi, pertanyaan, dan diskusi permulaan, yang diadakan di Yogyakarta (Oktober 2016), Padang (Nopember 2016), dan Makasar (Februari 2017). Di Jakarta, juga diadakan dua kali pertemuan untuk pendalaman perspektif keadilan dan perspektim hukum, serta penguatan rumusan metodologi keislaman untuk kepentingan musyawarah keagamaan (4-6 April dan 19 April 2017).

Ada banyak pertanyaan yang diajukan masyarakat terkait dengan berbagai isu kehidupan yang dihadapi perempuan di lapangan. Isu-isu itu kemudian dikerucutkan ke dalam sembilan tema yang menjadi pembahasan diskusi paralel KUPI (26 April 2017). Dari sembilan isu ini, yang paling banyak dibicarakan para peserta dan paling krusial adalah tiga hal; kekerasan seksual, pernikahan anak, dan kerusakan lingkungan dalam konteks ketimpangan sosial. Tiga isu ini kemudian dibahas dan diputuskan dalam Musyawarah Keagamaan KUPI pada tanggal 27 April 2017. Sebelumnya, tiga isu sudh dibahas terlebih dahulu secara intensif dalam pertemuan-pertemuan-pertemuan pra-Kongres, seperti disebutkan di atas. Di luar itu, tiga isu ini selalu menjadi perbincangan di akar rumput dan disampaikan ke berbagai individu dan lembaga-lembaga sosial keagamaan. Sebenarnya ada isu lain yang akhir-akhir ini juga kencang disuarakan dan krusial, yaitu isu radikalisme di Indonesia. Tetapi karena keterbatasan waktu dan sumberdaya saat Kongres, yang bisa dibahas oleh Forum Musyawarah Keagamaan KUPI hanya tiga saja.

Sebagaimana ditetatakan Halaqah Metodologi pra-Kogres di Jakarta, 4-6 April 2017, ditetapkan bahwa penulisan Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI harus mengikuti sistematika yang mencakup tashawwur (deskripsi masalah), adillah (dasar-dasar keputusan), istidlal (analisis terhadap dasar-dasar keputusan), sikap dan pandangan keagamaan, tazkiyah (rekomendasi), maraji’ (referensi), dan marafiq (lampiran). Berikut ini penjelasan singkat mengenai kerangka tersebut.


Tashawwur (Deskripsi):

Penjelasan tentang masalah atau persoalan yang akan dibahas dan diputuskan secara komprehensif. Deskripsi berisi gambaran tentang fakta-fakta di lapangan dalam konteks sebagai problem yang berbagai aspek, seperti bentuk, pola, data-data, dampak, suara korban, struktur budaya, hukum, maupun pemahaman agama tertentu yang hidup di masyarakat. Prinsip-prinsip dalam Tashawwur adalah menggambarkan masalah sebagai problem, bukan analisis, ditulis dengan singkat, padat, dan jelas atau sederhana dan tajam. Unsur dalam Tashawwur yang bisa dipertimbangkan sesuai kebutuhan adalah definisi, fakta-fakta, hasil penelitian, temuan sains, data-data lembaga otoritatif, bentuk masalah, dampak negatif, norma hukum nasional dan internasional baik yang menjadi masalah, maupun menjadi landasan, dan pemahaman keagamaan tertentu yang melanggengkan masalah. Tashawwur diakhiri dengan kalimat pertanyaan.


Adillah (Dasar Hukum)

Yaitu sumber-sumber hukum yang digunakan sebagai dasar keputusan hasil Musyawarah, berupa:

  1. Nash Al-Qur’an,
  2. Nash Hadis,
  3. Aqwal Ulama,
  4. Konstitusi Negara Republik Indonesia


Istidlal (Analisis)

Istidlal adalah proses analisis dengan cara menggunakan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis untuk melihat persoalan yang dibahas dan diputuskan dengan mempertimbangkan Aqwal Ulama dan Konstitusi Negara RI dalam merumuskan maslahat dan mafsadat dalam fatwa yang berupa keputusan atau pandangan atau sikap keagaman). Istidlal dapat menggunakan Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah, Maqashid Syariah, prinsip-prinsip universal Islam seperti kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, ketersalingan, kebaikan, kemaslahatan, kebangsaan, berpikir solutif dengan mempertimbangkan keadilan subtantif dan hakiki bagi perempuan dan laki-laki.


Sikap dan Pandangan Keagamaan

Ia adalah hasil utama dari Musyawarah yang dapat meliputi sikap hukum dan atau pandangan keislaman secara umum yang menjawab permasalahan yang akan diajukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Tazkiyah (Rekomendasi)

Tazkiyah (rekomendasi) adalah sesuatu yang ditujukan kepada para pihak sebagai  tindak lanjut dari keputusan Musyawarah yang telah ditetapkan. Tazkiyah (rekomendasi) ditujukan kepada individu, keluarga, lembaga, baik milik swasta maupun milik pemerintah, kelompok, organisasi, dan umat agama, organsiasi masyarakat (ormas) dan masyarakat, korporasi, dan negara, yang kurang lebih berisi hal-hal sebagai berikut:

  1. Individu untuk mengambil sikap dan tindakan yang kongkrit atas ketidakadilan dalam masalah yang difatwakan, baik terkait dengan relasi antar manusia, maupun antara manusia dengan alam atas dasar keimanan pada Allah Yang Maha Esa,
  2. Keluarga untuk menciptakan iklim keluarga yang kondusif bagi terwujudnya kesetaraan dan keadilan substantif bagi perempuan dan laki-laki, membangun tradisi saling menghormati, menghargai dan kerjasama antara perempuan dan laki-laki sejak dini, dan memghindari sikap eksploitatif yang bisa menjadi sebab sekaligus dampak dari persoalan yang difatwakan,
  3. Lembaga milik swasta maupun pemerintah untuk mengedukasi dan tidak melakukan eksploitasi secara perorangan, maupun kelembagaan,
  4. Kelompok agama (tokoh, lembaga, dan masyarakat agama) untuk membangun pemahaman dan tradisi keagamaan yang mempunyai daya dorong untuk mewujudkan kemaslahatan, dan daya tolak serta daya mengatasi mafsadat terkait dengan persoalan yang difatwakan,
  5. Organisasi Kemasyarakatan dan masyarakat untuk peka terhadap tradisi dan budaya yang melahirkan ketimpangan sosial, dan berupaya menafsir ulang dengan cara pandang yang adil sambil berupaya mewujudkan tradisi atau budaya baru yang lebih menjamin keadilan substantif dan hakiki bagi seluruh kelompok lemah atau dilemahkan, khususnya perempuan, termasuk adil pada alam,
  6. Korporasi untuk mempertimbangkan kondisi khusus perempuan karena organ, fungsi, dan masa reproduksinya dalam membangun budaya kerja yang adil, memastikan tindakannya tidak menghalalkan segala cara dengan mengabaikan dampak mafsadat pada tatanan kehidupan individu, keluarga, sosial, maupun negara, dan menghindari cara-cara berbisnis yang mengeksploitasi manusia maupun alam,
  7. Negara untuk menerapkan kebijakan yang telah ada dan mempunyai daya dorong untuk mengatasi masalah, membatalkan kebijakan yang telah terbukti menjadi bagian dari masalah, serta membuat kebijakan baru yang dipandang penting demi masalah dapat diatasi dengan aeadil-adilnya,


Maraji’ (Referensi): 

Maraji’ (Referensi) berisi sumber-sumber yang menjadi rujukan Musyawarah dengan menuliskannya sebagaimana tata cara penulisan daftar pustaka dalam penulisan ilmiah.


Marafiq (Lampiran)

Lampiran berisi kutipan langsung nash al-Qur’an-hadis, dan teks Aqwal Ulama dan Konstitusi Negara RI yang digunakan dalam proses fatwa.

Pimpinan Sidang Musyawarah Keagamaan

Pada saat sidang di Kongres Ulama Perempuan Indonesia, tanggal 27 April 2017, dibentuk pimpinan Sidang Musyawarah Keagamaan sebagai berikut:

Musyawarah Keagamaan  tentang Kekerasan Seksual, bertempat di lantai dua Masjid Pesantren, dengan pimpinan sebagai berikut:

Ketua : Dr. Neng Dara Affiah
Wakil Ketua : Ninik Rahayu, SH, MH
Sekretaris : Dr. Neng Hannah
Mushahih : Drs. Kyai Hj. Husein Muhammad, Lc
Tim Perumus : Imam Nakhoi, MA, Samsidar, Dr. Kusmana, Nyai. Hj. Yati Priyati, MA, Evi Siti Zahroh, Iman Soleh Hidayat, S. Ag


Musyawarah  Keagamaan tentang Perkawinan Anak, bertempat di lantai dua Maqbarah, dengan pimpinan sebagai berikut:

Ketua : Dr. Nyai Hj. Maria Ulfah Anshor
Wakil Ketua : Nyai Hj. Afwah Mumtazah, M.Ag
Sekretaris : Nor Ismah, MA
Mushahih : Badriyah Fayumi, Lc, MA
Tim Perumus : Mukti Ali, Lc, Yulianti Mutmainnah, M.Hum, Rita Pranawati, MA, AD Kusumaningtyas, Nyai Khotimatul Husna, Nyai Hj. Habibah Junaedi, Dr. Wawan Gunawan Abdul Wahid, Lc, Prof. Dr. Nyai Hj. Istibsyarah, MA


Musyawarah Keagamaan tentang Kerusakan Alam dalam Konteks Ketimpangan Sosial, bertempat di lantai satu Masjid Pesantren, dengan pimpinan sebagai berikut:

Ketua : Nyai Umdah El Baroroh, MA
Wakil Ketua : Ir. Nani Zulmirnani, M.Sc.
Sekretaris : Muyassarotul Hafidzoh, M.Ag
Mushahih : KH. Marzuki Wahid, MA
Tim Perumus : Alai Nadjib, MA, Ulfatun Hasanah, S. Ud., Maimunah, M.Kesos, Euis Daryati, Lc. MA

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA