Siapa nama Sultan Kerajaan Banjar yang memberikan kesempatan belajar ilmu agama kepada Muhammad Arsyad di istana?

Generasi muslim milenial Indonesia saat ini mungkin tidak begitu akrab dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dia adalah seorang tokoh ulama Nusantara yang terkenal dan karismatik pada abad 18 M.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah seorang ulama besar fikih bermazhab Syafi’i dari tanah Banjar, yakni Martapura, Kalimantan Selatan. Dia adalah seorang mufti dari Kesultanan Banjar. Dia juga disebut dengan sebutan Haji Besar dan mendapatkan julukan dengan sebutan anumerta Datu Kalampayan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lahir di kampung Lok Gobang, dekat kampung Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan, pada Kamis, 15 Shafar 1122 H (1710 M) Kalimantan Selatan. Adapun silsilahnya disebutkan dari keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao, Filipina.

Dia adalah anak pertama dari pasangan Abdullah bin Abu Bakar dan Aminah binti Husain. Pasangan suami-istri itu mempunyai lima orang anak, yaitu Arsyad, ‘Abidin, Zainal ‘Abidin, Nurmein dan Nurul Amin.

Beliau pada masa kecil diberi nama Muhammad Ja’far, setelah menjelang remaja kemudian diberi nama Muhammad Arsyad. Sebutan al-Banjari adalah sebuah gelar yang diberikan kepadanya yang menunjukkan bahwa ia  berasal dari Banjar.

Di kala usianya masih kanak-kanak, sudah tampak ketinggian intelegensinya pada pandangan orang tua dan masyarakat sekitarnya. Ketika berusia tujuh tahun, al-Banjari dikirim ke keraton karena permintaan dari Sultan Tahmidullah, Raja ke XV di Kerajaan Banjar, agar mendapatkan pendidikan di kalangan keraton.

Ketika menginjak usia remaja, ia dikirim ke Haramayn untuk belajar di sana. Raja Banjar berharap kelak Muhammad Arsyad al-Banjari akan menjadi ulama di istana Kerajaan Banjar untuk membenahi keagamaan di Kerajaan Banjar.

Baca Juga: Undang-Undang Sultan Adam dalam Kerajaan Banjar

Selama kurang lebih 30 tahun belajar di Haramayn, al-Banjari bergabung dengan para pelajar Melayu yang dikenal dengan kelompok Jawiyyin (nama yang diberikan oleh orang Arab kepada kelompok pelajar atau mukimin dari negeri Melayu yang belajar di Haramayn). Mereka adalah Nuruddin al-Raniri (w. 1658), Abdu Rauf al-Sinkel (w. 1693), dan Yusuf Makasari (w 1699). Mereka itu ulama Indonesia yang disebut al-Jawiyyin, dan dikenal di Nusantara dengan sebutan Empat Serangkai dari Tanah Jawi.

Al-Banjari belajar berbagai macam ilmu. Di antara ilmu yang dipelajarinya, yaitu ilmu syari’ah, ilmu fikih, ilmu tauhid, tasawuf, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu pendidikan, bahasa Arab, dan ilmu falak.

Adapun guru-gurunya ketika berada di Haramayn diantaranya adalah: Syekh `Atha’illah bin Ahmad al-Mishri, Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani, Syekh Ahmad bin `Abdul Mun`im ad-Damanhuri, Syekh Sayyid Abul Faidh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad ‘Akisy al-Yamani, Syekh Salim bin ‘Abdullah al-Bashri, Syekh Shiddiq bin ‘Umar Khan.

Syekh ‘Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi, Syekh ‘Abdur Rahman bin ‘Abdul ‘Aziz al-Maghrabi, Syekh Sayyid ‘Abdur Rahman bin Sulaiman al-Ahdal, Syekh ‘Abdur Rahmân bin ‘Abdul Mubin al-Fathani, Syekh ‘Abdul Ghani bin Syekh Muhammad Hilal, Syekh ‘Abid as-Sandi, Syekh ‘Abdul Wahhâb ath-Thanthawi, Syekh Sayyid ‘Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Jauhari, Syekh Muhammad Zein bin Faqih Jalaluddin Aceh.

Sedangkan sahabat-sahabat karibnya yang berasal dari tanah air, antara lain: ‘Abdul ash-Shamad al-Falimbani, ‘Abdur Rahman Mashri, dan ‘Abdul Wahhab Bugis. Ketika di Makkah, al-Banjari mendapatkan kesempatan untuk mengajar di Masjid al-Haram.

Setelah dia belajar di Haramyn selama kurang lebih 30 tahun, dia pun kembali pulang ke Jawi (Indonesia) atas perintah dari gurunya, yaitu Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi untuk berdakwah dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya. Al-Kurdi menyatakan bahwa ilmu yang mereka peroleh selama belajar di tanah suci sudah sangat memadai untuk dikembangkan di kampung halaman mereka.

Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari datang dari Haramayn dan tiba di Martapura pada tahun 1772 M. Sultan Banjar yang berkuasa waktu itu, yakni Sultan Tahmidullah (Susuhunan Nata Alam) yang naik tahta tahun 1761 M, memberikan sebidang tanah kepada al-Banjari.

Kawasan itu yang kemudian dikenal dengan nama “Dalampagar”, dijadikan pusat kegiatan dakwah (semacam pondok pesantren) oleh al-Banjari. Di situlah al-Banjari mengajar anak-anak dan santri-santrinya. Beliau berdakwah kepada semua lapisan masyarakat, dari kalangan rakyat biasa sampai kalangan bangsawan/keluarga kerajaan.

Sepulangnya dari Haramayn, al-Banjari tampak menguasai berbagai bidang ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Terbukti, ia menghasilkan banyak karya. Beberapa pendapat meyakini ada 11 karya yang dihasilkan.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tutup usia pada tanggal 6 Syawal 1227 H. (13 Oktober – 1812 M), dalam usia 105 tahun menurut hitungan tahun Hijriyah atau 102 menurut hitungan tahun Masehi, dan jasadnya dimakamkan di desa Pelampaian, terletak di daerah Kalimantan Selatan. Hingga kini, tahun wafatnya diperingati besar-besaran yang dihadiri oleh masyarakat di Kalimantan Selatan. Hal Ihwal ini menunjukkan betapa berpengaruh dan kecintaan masyarakat terhadap tokoh al-Banjari.

Baca Juga: Mengenal Syekh Yusri dan Ajaran Tasawufnya

Adapun beberapa kitab tulisan beliau, antara lain: Ushul ad-Din (ditulis pada tahun 1188 H./1774 M.), Tuhfat ar- Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman al-Mu’minin wa Ma Yufsiduh min Riddat al- Murtaddin (ditulis oleh al-Banjari pada tahun 1188 H./1774 M.), Kitab al-Fara’idh, Kitab an-Nikah (pernah diterbitkan di Istanbul pada tahun 1304 H.), Luqthat al-‘Ajln fi Bayan Haidh wa Istihadhat wa Nifas an-Niswan (dicetak pada tahun 1992 M.), Al-Qaul al-Mukhtashar fi ‘Alamat al-Mahd al-Muntazhar (ditulis pada tahun 1196 H.), Kanz al-Ma`rifah, Ilmu Falaq, Fatawa Sulaiman Kurdi, Mushhaf al-Qur’an al-Karim, dan Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din.

Kitab yang disebutkan terakhir di atas merupakan kitab fikih Melayu yang sangat terkenal di Nusantara, Malaysia, Thailand, dan Kamboja; dan merupakan hasil karya al-Banjari yang monumental. Kitab ini tersimpan di perpustakaan-perpustakaan besar di dunia Islam, seperti di Makkah, Mesir, Turki, dan Beirut.

Syekh Muhammad Arsyad bin `Abdullah al-Banjari dilahirkan, dibesarkan, dan mengabdikan dirinya dalam pengembangan Islam sampai meninggal dunia di Banjar, daerah sekitar Banjarmasin sampai ke Martapura.

Sebagai generasi Islam, harusnya kita bangga dengan sosok ulama Indonesia yang namanya terkenal dipenjuru dunia. Dapatlah kita ambil dan jadikan sebagai contoh, pelajaran, dan teladan terhadap usaha dan kegigihan mereka dalam menuntut ilmu dan dalam berdakwah, serta karya-karyanya yang banyak dijadikan rujukan di kalangan umat muslim.

Ma’had Aly – Syekh Muhammad Arsyad merupakan seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan memegang peranan penting dalam sejarah dan perkembangan Islam, khususnya di Kalimantan. Beliau sangat gigih dalam mempertahankan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Walajama’ah dengan teologi Asy’ariyah dan fikih madzhab Syafi’i. Beliau juga seorang  mufti Kesultanan Banjar dan penulis kitab-kitab agama yang cukup produktif.

Syekh Muhammad Arsyad berasal dari Martapura, Banjar, Kalimantan Selatan. Beliau dilahirkan pada 17 Maret 1710 di Lok Gabang, dan meninggal pada 3 Oktober 1812 di Dalam Pagar, Kalimantan Selatan. Beliau merupakan putra tertua dari lima bersaudara, yaitu putra dari Abdullah bin Abu Bakar bin Abdurrasyid bin Abdullah dan Siti Aminah. Beliau juga dikenal dengan sebutan “Datuk Kalampayan”, karena makamnya terletak di Desa Kalampayan. Syekh Muhammad Arsyad merupakan keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao. Sebagaimana yang dituliskan oleh mufti Kerajaan Indragiri yang bernama Abdurrahman Siddiq yang pernah menulis biografi tentang Syekh Muhammad Arsyad.

Perjalanan intelektual Syekh Muhammad Arsyad hampir sama dengan ulama-ulama besar lainnya, yakni menimba ilmu hingga ke Makkah. Namun, sebelum melakukan perjalanan intelektual ke Tanah Suci tersebut, sejak kecil hingga umur 30 tahun dihabiskannya di tempat kelahirannya, Lok Gabang. Beliau tergolong anak yang cerdas dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Tidak hanya itu, beliau juga memiliki budi pekerti luhur dan sangat menyukai keindahan. Salah satu keahliannya adalah seni melukis dan tulis.

Berkat kepandaiannya dalam melukis, Sultan Tahlilullah yang melihat langsung hasil karya Syekh Muhammad Arsyad saat berkunjung ke kampung Lok Gabang, langsung terkagum. Waktu itu Syekh Muhammad Arsyad masih berusia 7 tahun. Kemudian Sultan Tahlilullah meminta kepada orang tua Syekh Muhammad Arsyad agar mereka bersedia menyerahkannya untuk dididik di istana sekaligus diangkat sebagai anak angkat Sultan. Meskipun agak berat, Abdullah dan Aminah tidak dapat menolak maksud baik Sultan untuk meyerahkan anaknya diperbolehkan tinggal di istana, belajar bersama dengan anak-anak bangsawan dan cucu Sultan.

Di istana, Syekh Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang cerdas dan memiliki akhlak mulia. Beliau sangat ramah, penurut dan selalu menghormati yang lebih tua. Karena sifat-sifat mulianya itu, semua orang yang berada di istana pun menyayanginya. Sang Sultan pun sangat menyayangi dan selalu memperhatikan pendidikannya. Beliau memperoleh pendidikan dari guru-guru yang didatangkan Sultan ke istana. Sang Sultan berharap Syekh Muhammad Arsyad kelak menjadi seorang pemimpin yang alim.

Syekh Muhammad Arsyad tinggal dan belajar di istana sampai umur 30 tahun. Setelah itu beliau dinikahkan dengan seorang perempuan shalihah yang bernama Tuan Bajut. Meskipun sudah menikah, tetapi hal ini tidak membuat keinginannya untuk melanjutkan perjalanan intelektualnya kandas. Beliau kemudian berniat untuk melakukan perjalanan intelektualnya ke negeri Mekkah. Hal itu dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad ketika istrinya sedang hamil muda.

Setelah mendapatkan restu dari sang istri dan sultan, maka Syekh Muhammad Arsyad pun berangkat ke Mekkah untuk mewujudkan keinginan beliau menuntut ilmu di sana. Di Mekkah beliau mendapat kesempatan memperdalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum, seperti geografi, biologi, matematika, geometri dan astronomi. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk belajar. 

Syekh Muhammad Asyad juga berkesempatan belajar dan mengaji kepada para ulama dan syekh besar di Mekkah dalam berbagai bidang disiplin ilmu,  salah seorang gurunya yang terkenal ialah Syekh Atha’illah. Dengan izin gurunya ini, beliau diberi kepercayaan untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjidil Haram. Kemudian beliau melanjutkan di Madinah dengan Imam Haramain, Syekh al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan Syekh Abdul Karim as-Samani al-Madani, selama sekitar 5 tahun.

Selama menuntut ilmu di Mekkah, Syekh Muhammad Arsyad banyak memiliki sahabat yang juga berasal dari Nusantara. Mereka antara lain yaitu, Syekh Abdush-Shamad Palembang, Syekh Abdurrahman Masri Banten, Syekh Abdul Wahab Sadegreng Bunga Wardiyah Bugis, yang terkenal dengan Syekh Abdul Wahab Bugis. Selain menjadi sahabat, beliau juga menjadi salah seorang menantu Syekh Muhammad Arsyad. Keempat sahabat ini dikenal dengan sebutan ‘’Empat Serangkai dari Jawa’’.

Syekh Muhammad Arsyad menuntut ilmu di Mekkah dan Madinah selama kurang lebih 35 tahun. Namun, waktu yang lama itu tidak cukup memuaskan untuk berguru. Beliau masih ingin  melanjutkan tur intelektualnya ke Mesir bersama tiga ulama Nusantara lainnya. Namun Syekh Al-Islam Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi memerintahkan agar mereka pulang ke Jawi (Nusantara) untuk berdakwah di negerinya masing-masing.

Maka atas perintah sang guru inilah, Syekh Muhammad Arsyad dengan tiga ulama lainnya kembali ke Nusantara. Tetapi sebelum kembali ke Kalimantan, al-Banjari bersama dengan Syekh Abdul Wahab Bugis tinggal di Jakarta tepatnya di tempat sahabatnya yaitu Syekh Abdurrahman Masri selama beberapa bulan. Saat berada di Jakarta, Syekh Arsyad membenarkan arah kiblat di beberapa masjid yang menurut pengetahuan dan keyakinannya tidak tepat. Masjid tersebut antara lain Masjid Jembatan Lima, Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Di mihrab Masjid Jembatan Lima terdapat catatan berbahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu di putar ke kanan sekitar 25 derajat oleh Syekh Arsyad pada tanggal 4 Safar 1186 (sekitar 7 Mei 1772).

Syekh Arsyad tiba di Martapura pada bulan Ramadhan 1186 (Desember 1772). Sejak itu sampai wafatnya, beliau mengabdikan dirinya membina masyarakat dan mengembangkan Islam. Dalam kegiatan pembinaan masyarzkat ini, beliau dibantu oleh Syekh Abdul Wahab Bugis yang ketika itu sudah menjadi menantunya. Syekh Abdul Wahab Bugis dinikahkan oleh Syekh Arsyad dengan putrinya yang bernama Syarifah. Saat Syekh Arsyad di Makkah, tidak lama beliau menerima surat dari Sultan Banjar bahwa istrinya, Bajut, melahirkan seorang anak dan sudah dewasa.

Langkah pertama yang dilakukan Syekh Arsyad setibanya di Martapura, beliau membina kader-kader ulama, khususnya di lingkungan keluarganya sendiri. Beliau tidak tinggal di istana seperti sebelum berangkat ke tanah suci. Beliau meminta kepada sultan agar diberikan sebidang tanah yang akan beliau gunakan sebagai tempat tinggal, tempat pendidikan dan pusat pengembagan Islam. Sultan Tahmidullah yang berkuasa saat itu mengabulkan permintaannya. Tanah tersebut kemudian dibuat perkampungan dengan dibangun rumah-rumah, ruang pengajian, perpustakaan dan asrama untuk para santri.

Sejak itu mulailah kampung baru ini didatangi santri dari berbagai pelosok daerah. Kampung ini hingga sekarang dikenal dengan nama ‘’Dalam Pagar’’. Dinamakan Dalam Pagar karena para santri yang belajar dalam ruangan tertentu di kampung ini tidak boleh meninggalkan lingkungan tanpa izin, jika keluar mereka disebut Keluar Pagar. Tidak hanya diberi pelajaran agama, para santri juga diberi perjalanan keterampilan bertani agar bisa hidup mandiri.

Syekh Arsyad aktif menulis sampai usia senjanya. Hasil karya beliau yang terbesar adalah kitab Sabil al-Muhtadin (Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk), sebuah kitab fiqih Madzhab Syafi’i yang dijadikan buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, Malaysia dan Thailand pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebenarnya, di samping mendapat permintaan langsung dari sultan, alasan utama penulisan kitab ini oleh Syekh Arsyad adalah karena adanya kesulitan umat Islam Banjar dalam memahami kitab-kitab fikih yang ditulis dalam bahasa Arab. Sehingga Syekh Arsyad menulis kitab ini dalam bahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab.

Karya lainnya di bidang fikih yaitu, Luqtah al ‘Ajlan, Kitab an-Nikah (Buku Nikah), Kitab al-Fara’id (Buku Pembagian Harta Warisan) dan Khasyiyah Fath al-Jawad (Komentar terhadap Buku Pembukaan Kemurahan Hati). Di bidang tauhid, karyanya antara lain Ushul ad-Din (Dasar-Dasar Agama), Tuhfah ar-Raghibin fi Bayan Haqiqah Iman al-Mu’minin wa ma Yufsiduhu min Riddah al-Murtaddin (Hadiah bagi Para Pecinta dalam Menjelaskan Hakikat Iman Para Mukmin dan Apa yang Merusaknya dari Kemurtadan Orang-Orang Murtad), al-Qaul al-Mukhtasar fi ‘Alamah al-Mahd al-Muntazar (Pembicaraan Singkat tentang Imam Mahdi yang Ditunggu) dan Tarjamah Fath ar-Rahman (Terjemah Buku Fath ar-Rahman). Di bidang tasawuf, karyanya yang ditemukan hanya satu, yaitu Kanzal-Ma’rifah (Gudang Pengetahuan).

Di samping itu masih ada karya tulis berupa mushaf Al-Qur’an tulisan tangan Syekh Arsyad dalam ukuran yang besar yang ditulis dengan khat yang indah. Mushaf tersebut sampai sekarang masih dipajang dekat makamnya.

Referensi 

Dewan Redaksi Ensiklopedia. 2001. Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.

Djaelani, Anwar. 2016. 50 Pendakwah Pengubah Sejarah. Yogyakarta: Pro-U Media.

Aizid, Rizem. 2016. Biografi Ulama Nusantara. Yogyakarta: DIVA Press.

Syuhada, Harjan. 2011. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Abdullah, Abdulrahman. 2016. Biografi Agung Syekh Arsyad Al-Banjari. Malaysia: Inspirasi Media.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA