Ilustrasi Dalil Alquran tentang Qada dan Qadar, Foto: Pexels/Abdulmeilk Aldawsari Sebagai umat muslim, kita mengetahui bahwa ada 6 rukun iman. Dari 6 rukun iman tersebut, terdapat rukun iman ke-6 yakni iman kepada Qada dan Qadar. Apakah kalian sudah tahu apa itu Qada dan Qadar serta dalilnya dalam Alquran? Jika belum tahu, di bawah ini akan dijelaskan pengertian Qada dan Qadar serta dalil Alquran tentang Qada dan Qadar. Pengertian dan Dalil Alquran tentang Qada dan QadarSebelum ke dalil Alquran tentang Qada dan Qadar, mari kita belajar dahulu apa itu Qada dan Qadar. Dilansir dari sumber.belajar.kemdikbud.go.id, Qada yaitu ketetapan Allah SWT sejak zaman azali (zaman dahulu sebelum diciptakan alam semesta) sesuai dengan kehendak-Nya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan mahluknya. Qadar yaitu perwujudan Qada atau ketetapan Allah SWT dalam kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya. Di dalam Alquran, sudah disebutkan dalil-dalil tentang Qada dan Qadar. Berikut dalil-dalilnya: 1. Dalam QS Al-Ahzab ayat 38 وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا Wa kaana amrul laahi qadaram maqduuraa Ayat ini memiliki arti: “Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku”. 2. Dalam QS Al-Qamar ayat 49 اِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنٰهُ بِقَدَرٍ Innaa kulla shai'in khalaqnaahu biqadar Ayat ini memiliki arti: "Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran" Ilustrasi Dalil Alquran tentang Qada dan Qadar, Foto: Pexels/Rodnae Productions3. Dalam QS Al-Mursalaat ayat 22-23 إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ Illaa qadarim ma'luum; Faqadarnaa fani'mal qoodiruun Ayat ini memiliki arti: “Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” 4. Dalam QS Al-Hijr ayat 21 وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ Wa im min shai'in illaa 'indanaa khazaaa 'inuhuu wa maa nunazziluhuuu illaa biqadarim ma'luum Ayat ini memiliki arti: “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah kha-zanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” 5. Dalam QS Al-Furqan ayat 2 إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ Illaa qadarim ma'luum; Faqadarnaa fani'mal qoodiruun Ayat ini memiliki arti: “Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” Ilustrasi Dalil Alquran tentang Qada dan Qadar, Foto: Pexels/Tayeb MezahdiaDemikian pengertian serta dalil Alquran tentang Qada dan Qadar. Semoga bisa menambah keimanan kita sebagai umat beragama Islam. Aamiin. (LOV) DALIL-DALIL IMAN KEPADA QADHA’ DAN QADHAR Oleh Dalil yang menunjukkan rukun yang agung dari rukun-rukun iman ini ialah al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’, fitrah, akal, dan panca indera. Dalil-Dalil Dari Al-Qur-an وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا “…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [Al-Ahzab/33 :38] Juga firman-Nya: إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [Al-Qamar/54 : 49] Dan juga firman-Nya yang lain: وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah kha-zanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” [Al-Hijr/15 : 21] Juga firman-Nya: إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ “Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” [Al-Mursalaat/77 : 22-23] Juga firman-Nya yang lain: ثُمَّ جِئْتَ عَلَىٰ قَدَرٍ يَا مُوسَىٰ “…Kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.” [Thaahaa/20 : 40] Dan juga firman-Nya: وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا “…Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Al-Furqaan/25 : 2] Dan firman-Nya yang lain: وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ “Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” [Al-A’laa/87 : 3] Firman-Nya yang lain: لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا “… (Allah mempertemukan kedua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan…” [Al-Anfaal/8: 42] Serta firman-Nya yang lain : وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ “Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali...” [Al-Israa’/17 : 4] Dalil-Dalil Dari As-Sunnah وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ “…Dan engkau beriman kepada qadar, yang baik maupun yang buruk… .” [1] Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahiih dari Thawus, dia mengatakan, “Saya mengetahui sejumlah orang dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Segala sesuatu dengan ketentuan takdir.’ Ia melanjutkan, “Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir hingga kelemahan dan kecerdasan, atau kecerdasan dan kelemahan.’”[2] Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُل:ْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ “…Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan, ‘Se-andainya aku melakukannya, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi ucapkanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang dikehendakinya pasti terjadi… .’” [3] Demikianlah (dalil-dalil tersebut), dan akan kita temukan dalam kitab ini dalil-dalil yang banyak dari al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagai tambahan atas apa yang telah disebutkan. Dalil-Dalil Dari Ijma’ Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sudah menjadi pendapat salaf seluruhnya bahwa seluruh perkara semuanya dengan takdir Allah Ta’ala.” [5] Dalil-Dalil Dari Fitrah سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا “Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya… .’” [Al-An’aam/6 : 148] Mereka menetapkan kehendak (masyii-ah) bagi Allah, tetapi mereka berargumen dengannya atas perbuatan syirik. Kemudian Dia menjelaskan bahwa ini merupakan keadaan umat sebelum mereka, dengan firman-Nya: كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ “… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul)… .” [Al-An’aam/6 : 148] Bangsa ‘Arab di masa Jahiliyyah mengenal takdir dan tidak mengingkarinya, serta di sana tidak ada orang yang berpendapat bahwa suatu perkara itu memang telah ada sebelumnya (terjadi dengan sendirinya, tanpa ada Yang menghendakinya). Hal ini kita jumpai secara nyata dalam sya’ir-sya’ir mereka, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dan sebagaimana dalam ucapan ‘Antarah: Sebagaimana juga ucapan Tharfah bin al-‘Abd: Suwaid bin Abu Kahil berkata: Al-Mutsaqqib al-‘Abdi berkata: Zuhair berkata: Sebagaimana kita dapati juga dalam khutbah-khutbah mereka, seperti dalam pernyataan Hani’ bin Mas’ud asy-Syaibani dalam khutbahnya yang masyhur pada hari Dzi Qar, “Sesungguhnya sikap waspada (hati-hati) tidak dapat menyelamatkan dari takdir.” [11] Tidak seorang pun dari mereka yang menafikan qadar secara mutlak, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah seorang pakar bahasa ‘Arab, Abul ‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab Rahimahullah, dengan ucapannya, “Saya tidak mengetahui ada orang ‘Arab yang mengingkari takdir.” Ditanyakan kepadanya, “Apakah di hati orang-orang ‘Arab terlintas pernyataan menafikan takdir?” Ia menjawab, “Berlindunglah kepada Allah, tidak ada pada bangsa ‘Arab kecuali menetapkan takdir, yang baik maupun yang buruk, baik semasa Jahiliyyah maupun semasa Islam. Pernyataan mereka sangat banyak dan jelas.” Kemudian dia mengucapkan sya’ir: Takdir-takdir berlaku atas jarum yang menancap Labid berkata: Ka’b bin Sa’ad al-Ghanawi berkata: Dalil-Dalil Dari Akal Jika ini terbukti secara akal bahwa Allah adalah Pencipta, maka sudah pasti sesuatu tidak terjadi dalam kekuasaan-Nya melainkan apa yang dikehendaki dan ditakdirkan-Nya. Di antara yang menunjukkan pernyataan ini ialah firman Allah Azza wa Jalla: اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Thalaaq/65 : 12] Kemudian perincian tentang qadar tidak diingkari akal, tetapi merupakan hal yang benar-benar disepakati, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Dalil-Dalil Dari Panca Indera Seandainya keimanan kepada takdir tersebut tidaklah nyata, niscaya mereka tidak mendapatkan semua itu. Kemudian, qadar adalah “sistem tauhid,” [15] sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dan tauhid itu sendiri adalah sebagai sistem kehidupan. Maka kehidupan manusia tidak akan benar-benar istiqamah (lurus), kecuali dengan tauhid, dan tauhid tidak akan lurus kecuali dengan beriman kepada qadha’ dan qadar. Mudah-mudahan apa yang akan disebutkan di akhir kitab ini mengenai kisah-kisah manusia yang menyimpang dalam masalah takdir akan menjadi bukti atas hal itu. Kemudian dalam perkara yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa perkara-perkara ghaib di masa mendatang yang telah terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits, adalah bukti yang jelas dan nyata bahwa iman kepada qadar adalah hak dan benar. [Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir] _______ Footnote [1]. HR. Muslim, kitab al-Iimaan, (I/38, no. 8). [2]. Muslim, (no. 2655) diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam al-Musnad, yang diteliti oleh Ahmad Syakir, (VIII/152, no. 5893), dan diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’, (II/879). [3]. HR. Muslim, (no. 2664). [4]. Syarh Shahiih Muslim, an-Nawawi, (I/155). [5]. Fat-hul Baari, (XI/287) lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/534-538), di mana dia menukil ijma’ atas hal itu dari sejumlah besar kaum salaf, dan lihat, Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/449, 452, 459). [6]. Diiwaan ‘Antarah, hal. 74. [7]. Syarh al-Mu’allaqaatil ‘Asyr, az-Zauzani, hal. 119. [8]. Al-Mufadh-dhaliyyaat, al-Mufadh-dhal adh-Dhabi, hal. 197. [9]. Al-Mufadhdhaliyyaat, hal. 151. [10]. Syarh Diiwaan Zuhair bin Abi Sulma, hal. 25. [11]. Al-Amaali, Abu ‘Ali al-Qali, (I/171), Jamharatul Khuthabil ‘Arab, Ahmad Zaki Shafwat, (I/37), dan Taariikhul Adabil ‘Arabi, Ahmad Hasan az-Zayyat, hal. 33. [12]. Lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/538) dan lihat, (IV/704-705) dari kitab yang sama. [13]. Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (IV/705), dan lihat, Syi’r Labid Ibn Rabi’ah baina Jaahiliyyatih wa Islaamih, Zakaria Shiyam, hal. 95. [14]. Al-‘Ashma’iyyaat, al-‘Ashma’i ‘Abdulmalik bin Quraib, hal. 74. [15]. Majmuu’ul Fataawaa, (II/113) |