Sebelum melakukan persembahyangan langkah pertama yang harus dipersiapkan adalah

PETA KONSEP

PERSEMBAHYANGAN

Renungan

Māṁ hi Pārthavyapāśrityaye’pisyuḥpāpa-yonayaḥ,

Striyovaiśyāstathāśūdrāste’piyāntiparāṁgatim

(Bhagavad Gita IX.32)

Terjemahan:

Wahai Putra Pṛthā, walaupun orang yang sangat berdosa, pekerja kasar, petani dan pedagang, wanita, tetapi dengan berlindung sepenuhnya pada-Ku maka mereka pasti sampai pada tujuan tertinggi.

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Maha Pengasih memberkati segenap umat manusia yang berbhakti dengan tulus ikhlas, tanpa membedakan latar belakang siapa dan dari mana mereka. Sejatinya kita harus  menyadariakan welasasih Tuhan itu, dengan jalan melaksanakan kebhatian/persembahyangan yang tulus dan ikhlas, agar setiap langkah dalam kehidupan ini dilimpahkan waranugraha guna mewujudkan Śanti Jagadhita.

Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah asal muasal dari segala ciptaan yang ada di dunia ini. Begitu pula kepada Beliaulah, semua ciptaan di dunia ini akan kembali. Atas kemahakuasaan-Nya itu, Beliau bergelar Sang Hyang Sangkan Paraning Dumadi. Oleh sebab itu, umat manusia harus berbhakti pada Ida Sang Hyang Widhi, sebagai wujud syukur dan memohon perlindungan. Hal itulah yang mendasari umat Hindu amat taat melakukan kegiatan persembahyangan secara rutin dan berkesinambungan.

Bagaimana pengamalaman kalian dalam mewujudkan bhakti kepada Tuhan? Amati kegiatan kebhaktian/ persembahyangan di lingkungan belajar dan masyarakat di sekitar tempat tinggal kalian. Bagaimana cara yang mereka lakukan untuk mewujudkan bhakti tersebut?

A. Pengertian Sembahyang

Kodrat manusia bukanlah menjadi makhluk yang adidaya, memiliki kekuatan yang super dan mengatasi segalanya. Hakikatnya manusia bukanlah makhluk yang sempurna, manusia memiliki kelemahan dan sudah seharusnya tidak menjadi sombong akan keunggulan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, manusia harus sadar pada dirinya, mulat sarira (berintrospeksi diri) dengan jalan memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa melalui kegiatan Persembahyangan.

Secara etimologi Sembahyang berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berasal dari kata Sembah dan Hyang. Kata Sembah artinya sikap menghormati yang disertai dengan rasa bhakti dan penyerahan diri secara ikhlas (Sujana dkk, 2007: 48), sedangkan menurut Kamus Bahasa Kawi-Bali karya I Nengah Tinggen (1968) menyebutkan kata Sembah berarti memuja; menghormat; dan penyerahan diri. Sedangkan kata Hyang bermakna yang maha utama; Tuhan. Sehingga secara etimologi Sembahyang bermakna sikap memuja dan menghormat kepada Ida Sang Hyang Widhi, sebagai wujud penyerahan diri dan rasa bhakti secara tulus ikhlas.

Sembahyang adalah wujud nyata dari kesadaran diri akan keterbatasan dan kelemahan diri yang dimiliki. Manusia memiliki berbagai keterbatasan dalam dirinya, baik  usia, tenaga, pengetahuan, dan banyak hal yang melekat dalam diri manusia sejatinya amat terbatas dan lemah. Hal sederhana adalah manusia tidak dapat melawan rasa kantuk. Jika mengantuk datang, sebagaimanapun usaha manusia untuk menolakknya, sebagaimanapun kuat dosis obat tidur yang diberikan, manusia tidak akan mampu melawan kantuk itu, ia harus tidur dan memejamkan matanya agar dapat beraktifitas kembali.

Keterbatasan dalam diri manusia itu sejatinya karena ketidaksadaran manusia akan hakikat dirinya sebagai bagian dari Ida Sang Hyang Widhi. Dalam tubuh manusia terdapat Atman yang memiliki kekuatan yang sama dengan Brahman, sehingga dalam Upanisad-upanisad disebutkan Brahman Atman Aikyam yang bermakna Brahman dan Atman itu sejatinya adalah tunggal, karena tunggal itu menyebabkan antara Brahman dan Atman memiliki kesadaran dan kekuatan yang sama, akan tetapi karena Atman itu lahir ke dunia (Punarbhawa) dan masuk dalam berbagai ciptaan menyebabkan kesadaran itu hilang akibat tertutup oleh unsur-unsur duniawi (Maya) yang menyebabkan manusia kehilangan kesadarannya (Awidya). Oleh karena itu, Sembahyang bagi umat Hindu bukan hanya sebagai kewajiban untuk mengucap syukur semata pada Ida Sang Hyang Widhi, melainkan upaya mempersatukan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi agar kesadaran akan kemanunggalan diri dengan-Nya semakin tumbuh. Kesadaran itu membuat spiritualitas dalam diri semakin terwujud yang berakhir pada kebahagiaan yang abadi dapat dicapai.

Sembahyang adalah cara termudah untuk merealisasikan rasa yakin/ iman atau Śraddha kita pada Ida Sang Hyang Widhi. Karena sembahyang mengandung makna simbolik rasa keberpasrahan, rasa penyerahan diri dan wujud ketulus ikhlasan. Manusia mengakui segala kelemahannya dan ketidak berdayaannnya akan kuasa Tuhan, memasrahkan diri untuk menyerahkan diri dan segala yang dimilikinya untuk dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Dapat dikatakan esensi dari sembahyang adalah Atmanivedanam yaitu kepasrahan dan ketulus ikhlasan dalam diri kepada Ida Sang Hyang Widhi.

Sembahyang sering diidentikkan dengan Kramaning Sembah. Kata Kramaning artinya tata cara, aturan, tata urutan, dan segala bentuk perihal yang berhubungan dengan proses. Sedangkan kata Sembah sendiri memiliki makna yang sama seperti kata Sembahyang yang bermakna memuja atau berbhakti. Jadi Kramaning Sembah maknanya adalah tata cara dan tata urutan dalam melaksanakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Sebagai sebuah proses, Kramaning Sembah terdiri dari tahapan persiapan, kegiatan inti dan tahap akhir. Adapun yang menjadi inti dari Kramaning Sembah adalah Panca Sembah yaitu pemujaan inti yang dilakukan sebanyak lima tahapan serta ditujukan pada lima objek  manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi. Adapun  Panca Sembah tersebut terdiri dari:

1. Sembah Puyung, sembah pertama yang dilakukan dengan mencakupkan tangan, tanpa memakai sarana apapun/ sembah dengan tangan kosong. Pusat konsentrasi pikiran ditujukan kepada Sang Hyang Paramātma yaitu gelar dari Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumber dari Atma. Aspek Ida Sang Hyang Widhi yang dipuja pada sembah ini adalah Nirguna Brahman yaitu aspek Ida Sang Hyang Widhi tanpa wujud, tanpa bentuk, tanpa sifat, serba gaib dan sulit untuk dipahami oleh pikiran maupun indria. Dalam Kitab Wrespati Tattwa disebutkan “…tan kagrahitaning dening manah muang indria”, yang bermakna kegaiban Tuhan itu tidak dapat dipahami (dengan pasti) oleh pikiran dan indria. Nirguna Brahman adalah wujud hakiki dari Tuhan itu sendiri, karena pada aspek inilah Tuhan tidak ternodai dan tidak terpengaruh apapun dari segala yang terjadi di alam semesta. Oleh sebab itulah pemujaan Ida Sang Hyang Widhi pada sembah pertama ini tidak menggunakan sarana apapun, sebagai simbol dari kita menyembah keesaan Tuhan yang gaib, ada dalam ketidak adaan, isi dalam kekosongan, dan tanpa wujud serta sifat (nirupam-nirgunam).

2. Sembah ke Śiva Raditya, yaitu sembah kedua yang menggunakan sarana berupa bunga berwarna merah, dengan konsentrasi pikiran ditujukan kepada manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai penguasa matahari yang bergelar Sang Hyang Surya Raditya. Sembah yang ditujukan pada bagian yang kedua ini mulai menggunakan sarana, hal ini menunjukkan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam aspek Saguna Brahman yaitu aspek Tuhan yang telah memiliki wujud/ rupa yang diyakini sebagai kekuatan/ energy alam. Tahapan penghayatan Ida Sang Hyang Widhi pada aspek ini merupakan cikal bakal dari semua agama di dunia, yaitu meyakini kekuatan alam sebagai kekuatan Tuhan yang nyata dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia. Mataharai adalah pusat energi dari seluruh tata surya ini, merupakan sumber energi terbesar yang dibutuhkan oleh semua makhluk di dunia ini. Terkait dengan penggunaan warna bunga yang digunakan adalah menggunakan bunga berwarna merah sebagai simbol dari sinar matahari, dan secara filosofis warna merah dalam Agama Hindu simbol dari kekuatan hidup/ energy penciptaan (Uttpeti) yang menentukan hidup manusia dan segala yang ada di alam semesta ini.

3. Sembah ke Ista Dewata, yaitu sembah yang ketiga dengan bersaranakan kwangen atau dengan menggunakan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya yang bersthana di Pura bersangkutan, atau pemusatan konsentrasi pada manifestasi Tuhan sesuai gelar dan tugas Beliau yang kita harapkan hadir. Pada aspek inilah Tuhan bergelar Saguna Brahman artinya Tuhan memiliki wujud dan tugas tertentu, dan diharapkan hadir oleh umat. Pada tahapan inilah biasanya umat menghaturkan bhakti dan menyampaikan permohonan kepada Ida Sang Hyang Widhi.

4. Sembah ke Samodhaya, yaitu sembah yang keempat dengan bersaranakan kwangen atau dengan menggunakan yang ditujukan kepada aspek Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemberi anugerah. Pada tahapan ini umat menyembah seluruh aspek dan gelar Ida Sang Hyang Widhi, karena makna kata Samodhaya adalah segala wujud kemahakuasaan Tuhan. Oleh karena itu pada tahapan ini umat memohon waranugraha/ anugerah dari seluruh manifestasi Ida Sang Hyang Widhi.

5. Sembah Puyung, yaitu sembah terakhir tanpa menggunakan sarana apapun. Tahapan ini menunjukkan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam aspek Nirguna Brahman. Urutan Kramaning Sembah itu sejatinya menggambarkan sebuah proses penciptaan itu sendiri dari yang tidak ada/ kosong/ puyung/ Sunia menjadi ada, kemudian kembali meniada/ kosong/ puyung/ Sunia. Itulah konsep ajaran Agama Hindu yaitu kita harus bisa menyatu kepada Tuhan yang tak berwujud dan tak tergambarkan itu.

Dalam bersembahyang hendaknya kita memperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai persiapan awal dalam sembahyang. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam bersembahyang adalah sebagai berikut:

1. Suci lahir bathin, artinya setidak-tidaknya tubuh disucikan dengan air (mandi) dan pikiran harus tenang dan fokus.

2. Tidak sedang cuntaka. Jika sedang cuntaka, persembahyangan dilakukan pribadi di dalam kamar.

3. Jagalah pikiran, perkataan, dan perbuatan.

4. Sebelum bersembahyang siapkanlah sarana persembahyangan terlebih dahulu sesuai kemampuan, dan sebelum persembahyangan di mulai awali dengan duduk hening dengan mengatur nafas/ Pranayama untuk melatih konsentrasi.

Wahai Sisya Sujana, Ayo kita cari tahu!

Dalam bersembahyang umat Hindu tentunya memiliki doa-doa yang dilantunkan selama persembahyangan tersebut. Cobalah cari informasi mengenai mantra-mantra yang digunakan dalam Tri Sandhya dan Panca Sembah! Kemudian carilah terjemahan dari mantra tersebut!

AYO UJI PEMAHAMANMU

1. Apakah pengertian Sembahyang baik secara etimologi maupun makna secara konseptual?

2. Apakah perbedaan yang mendasar antara Sembahyang, Kramaning Sembah, dan Panca Sembah!

3. Mengapa umat Hindu harus melakukan sembahyang? Apa hubungan persembahyangan itu dengan hakikat kelahiran manusia itu sendiri?

B.SARANA PERSEMBAHYANGAN

Umat Hindu adalah sebagai Bhakta dihadapkan Tuhan Yang Maha Esa beserta semua manifestasi-Nya. Untuk dapat menyampaikan rasa bhakti kehadapan-Nya, maka umat Hindu menggunakan sarana atau media dalam beryajňa. Jadi pada dasarnya bahwa sarana yajňa itu sangat penting bagi umat Hindu untuk menyampaikan rasa bhaktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam melakukan persembahyangan atau kramaning sembah, maka ada beberapa sarana sembahyang yang perlu dipersiapkan sebelumnya antara lain berikut ini.

1). Sarana Bunga (puspa) yang segar sesuai dengan warnanya.

2). Sarana dupa yang berbau harum (sugandha).

3). Sarana kwangen beserta dengan kelengkapannya.

4). Sarana kumbha kecil sebagai tempat untuk mohon air suci (nunas tirtha).

5). Sarana bokoran kecil sebagai tempat menaruh sekar/puspa, kwangen, dupa, dan tempat tirtha.

6). Sarana sembahyang lainnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Dalam pelaksanaan sembahyang tentunya tidak diingatkan bahwa antara suatu umat dengan sesama yang lainnya tidak saling mengganggu kenyamanan dan ketenangan dalam persembahyangan. Jadi segala sarana sembahyang telah dipersiapkan secara lengkap sebelumnya dari rumah masing-masing. Juga termasuk perasaan suci maupun pakaian yang bersih serta telah mandi sebelum menuju ke tempat suci.

Segala perilaku yang leteh (pataka) atau kotor maupun kecuntakaan perlu mendapat perhatian pula oleh setiap umat Hindu. Bilamana hal itu terjadi, lebih baik tidak melakukan persembahyangan ke tempat suci, karena hal itu akan menimbulkan perasaan tidak baik atau asuci pula. Mengenai tata kecuntakaan tentunya telah dipahami oleh setiap Umat Hindu sesuai awig-awig yang berlaku di masing-masing desa pakraman atau wilayah dimana umat Hindu berada.

Pelaksanaan persembahyangan memerlukan sarana untuk sembahyang sebab tanpa sarana seseorang akan mengalami kesulitan untuk mewujudkannya. Sarana sembahyang itu diklasifikasikan menjadi dua bagian pokok , yaitu sarana yang tidak berwujud benda atau nonmaterial dan sarana yang berwujud benda , seperti keyakinan atau kepercayaan (Sraddha ) dan mantra atau puja. Kedua sarana ini hanya bisa kita rasakan dan didengarkan melalui ucapan.

Sementara itu sarana yang berwujud benda ( material ) terdiri dari beberapa jenis , antara lain daun, bunga, dan buah, api atau dupa, dan air. Masing- masing sarana di atas adalah sebagai berikut.

a) Bunga

Bunga berfungsi sebagai simbol Tuhan (Śiva). Sebagai simbol Śiva atau Tuhan dalam sembahyang , bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua telapak tangan  disaat sembahyang. Setelah selesai sembahyang, bunga tadi biasanya diselipkan di atas kepala atau disumpangkan pada kedua daun telinga. Hal tersebut merupakan simbol diterimanya anugrah Tuhan yang kita terima dalam diri kita. Bunga sebagai simbol persembahan sekaligus anugerah.

Bunga berfungsi sebagai sarana persembahan sehingga bunga dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Ida Sang HyangWidhi Wasa, para dewata, bhatara-bhatari, dan roh suci leluhur. Dalam Lontar Yadnya Prakerti, disebutkan tentang arti bunga sebagai berikut :

“……sĕkare pinaka kĕtulusan pikayunan suci”

Terjemahannya :

Bunga itu sebagai lambing ketulusan-keikhlasan pikiran yang suci

(Lontar Yajna Prakerti)

Bunga adalah salah satu unsur sarana persembahyangan yang digunakan oleh umat Hindu untuk memuja kehadapan Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan berbagai macam manifestasi-Nya selain bunga, sarana pokok lainnya ialah daun, buah, dan air. Kitab suci menjelaskan sebagai berikut.

“Patraṁ puṣpaṁ phalaṁ toyaṁ yo me bhaktyā prayachati, tad ahaṁ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ”

(Bhagawadgita,XI.26)

Terjemahannya:

Siapapun yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.

Berdasarkan penjelasan kitab suci tersebut di atas, sarana pokok dalam persembahyangan  selanjutnya berkembang menjadi berbagai macam bentuk sesajen. Upacara dan upakara yang besar tidak akan pernah memiliki arti jika pelaksanaannya tanpa dilandasi dengan jiwa yadnya dan sastra atau ilmu pengetahuan agama.

Dengan sarana pokok, seperti daun , bunga, dan buah tersebut, dibuatlah suatu bentuk sarana persembahyangan, seperti canang, kwangen, bhasma dan bija, serta api dan air. Apabila kita mau memahaminya, semua sarana persembahyangan memiliki arti dan makna yang sangat dalam dan merupakan perwujudan dari tattwa Agama Hindu.

b) Canang

Kata canang berasal dari bahasa Jawa Kuno, pada mulanya berarti sirih yang disuguhkan kepada para tamu yang sangat dihormati. Kebiasaan makan sirih di zaman dahulu merupakan tradisi yang sangat terhormat Kekawin Nitisastra menjelaskan sebagai berikut.

“…Masepi tikang waktra yan tan amucang wang “

Terjemahannya :

….Sepi rasanya bila mulut kita tidak makan sirih.

Jadi , sirih merupakan sarana yang benar-benar memiliki suatu nilai yang sangat tinggi. Sirih merupakan lambing kehormatan. Setelah Agama Hindu berkembang di Bali, daun sirih dijadikan sebagai unsur terpenting sarana upacara agama dan dalam kegiatan-kegiatan pekramen yang lainnya. Sirih merupakan unsure pokok atau dasar dari porosan, sedangkan porosan adalah unsur yang terpenting dari sebuah canang. Betapapun indahnya canang yang dibuat dan dipersembahkan oleh umat kalau belum dilengkapi dengan porosan maka canang itu menjadi tidak bernilai keagamaan.

Apabila kita mengamati sebuah cananng, hal yang paling dasar yang dilihat ialah sebuah ceper diatasnya daun tertera porosan, tebu, pisang, dan kekiping. Di atas itu urassari, berikutnya ditata bunga , diatasnya rampai yang diperciki minyak wangi. Berdasarkan pengamatan itu , kita ketahui unsur-unsur pokok dari canang adalah sebagai berikut.

1. Porosan

Porosan merupakan unsur sarana pokok dalam canang. Porosan dibuat dari sarana sirih, kapur, dan buah pinang yang dijepit atau dibungkus dengan bentuk lancip dari potongn janur. Lontar Yajna Prakerti menyebutkan bahwa porosan adalah lambang untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Tri Murti. Pinang atau buah sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, sirih sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Viṣṇu, dan kapur sebagai lambang pemujaan kepada Dewa Śiva.

2. Plawa

Plawa disebut juga daun-daunan. Berdasarkan penjelasan lontar Yajna Prakerti, Plawa melambangkan tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Umat Hindu di dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Sang Tri Murti hendaknya berusaha menumbuhkan pikiran yang suci dan hening.

3. Bunga

Bunga yang terdapat dalam canang melambangkan keikhlasan. Memuja Tuhan Yang Maha Esa hendaknya dengan berlandaskan ketulusikhlasan. Keragu-raguan merupakan tantangan bagi keiklhaskan. Untuk menumbuhkan jiwa yang sehat, kita membutuhkan ketulusan dan keikhlasan. Apabila segala sesuatu yang kita harapkan tidak terjadi dalam hidup dan kehidupan ini dan semuanya itu terjadi secara alami, hendaknya kita mengikhlaskannya. Dengan demikian hidup kita ini tidak akan menderita.

Pikiran yang keruh tidak akan mampu berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Tuhan, pikiran yang keruh sangat mudah dipengaruhi oleh iblis dan roh jahat. Dengan demikian untuk keheningan dan kesucian ikhlaskan semua kejadian ini untuk mencapai keheningan dan kesucian.

4. Tetuwasan, Reringgitan, dan Jejahitan

Tetuwatan, reringgitan, dan jejahitan merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut.

5. Uras sari

Uras sari merupakan salah satu bagian dari unsur-unsur canang yang dibuat dan dipersembahkan oleh umat Hindu kepada Tuhan. Urassari dibuat dari garis silang yang menyerupai tapak dara, yaitu sebagai bentuk sederhana dari Swastika. Hiasan urassari dalam bentuk lingkaran menjadikannya menyerupai bentuk cakra. Urassari yang tersusun dengan jejahitan, tetuwasan dan reringgitan tertara sedemikian rupa menjadikan bentuk lingkaran menyerupai bentuk Padma Astadala. Padma Astadala merupakan lambang sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru mata anginnya. Berdasarkan ajaran Hindu, alam semesta ini tercipta oleh Tuhan melalui tiga proses, antara lain: pertama, Srati adalah proses penciptaan alam sesemesta beserta isinya melalui evolusi dua unsur seperti purusa dan predana. Kedua, Swastika adalah proses ketika alam mencapai puncak keseimbangan yang bersifat dinamis. Kondisi seperti inilah yang dilambangkan dengan jejahitan urassari. Dasar pembuatan dari garis silang atau tapak dara ialah ujung-ujung dari urassari yang menunjukkan arah Catur Loka Pala dan hiasan yang melingkar menjadi bentuk swastika serta menjadi bentuk Padma Astadala. Padma Astadala adalah lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kehidupan menuju kebahagiaan. Ketiga, Pralaya adalah proses alam semesta lebur kemba menuju asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Kitab suci Weda menyebutkan sebagai berikut.

Srsti, Swastika, dan Pralaya adalah proses penciptaan, maka keseimbangan dan masa peleburan kembali menuju asal-Nya. Demikianlah canang mengandung makna: (a) sebagai lambang perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon perlindungan-Nya, untuk dapat menciptakan, memelihara, dan meniadakan yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia; (b) sebagai lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan, dan kesucian pikiranmanusia berlandaskan Yadnya kehadapan Tuhan; (c) sebagai lambang suatu usaha umat manusia untuk memvisualisasikan ajaran Agama Hindu dalam bentuk banten yang dapat memberikan keterangan tentang arti dan makna hidup ini. Demikianlah makna canang berdasarkan ajaran Agama Hindu.

c) Kewangen

Fungsi kewangan adalan untuk mengharumkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Lontar Sri Jaya Kesunu menjelaskan bahwa kewangen merupakan lambang Omkara, sedangkan Lontar Brahdhara Upanisad menyebutkan bahwa kewangen merupakan lambang Ida Sang Hyang Wdhi. Kewangen dibuat dari daun pisang yang berbentuk kojong yang dilengkapi dengan plawa, dua potong daun sirih yang dilengkapi dengan buah pinang dan kapur digulung jadi satu, dua kepeng uang bolong, hiasan puncaknya berupa reringgitan berbentuk cili, dan dilengkapi dengan bunga.

Dalam upacara persembahyangan, kewangen digunakan sebagai lambang memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah dalam wujud Ardanareswari (Purusa dan Pradana). Kewangen merupakan sarana persembahyangan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, bhatara-bhatari, dan leluhur. Kewangen ialah lambang perwujudan Omkara. Omkara tergolong wijaksara yang juga disebut Ekaksara. Omkara sebagai Ekaksara merupakan lambang Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Omkara dan Ekaksara dan Dasaksara memilikir arti dan makna yang sama. Pemakaian Omkara sebagai lambang untuk menyebutkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sudah dikenal sejak zaman Weda di India, yaitu sebagai awal dan akhir dari Weda yang diucapkan. Demikian pula dalam penggunaan puja di Indonesia (Bali) juga diawali dengan aksara kata Om. Omkara merupakan penyatuan wijaksara Ang Ung Mang yang melambangkan Kemahakuasaan Tuhan sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta beserta isinya. Dari segi bentuknya Omkara itu terdiri dari tiga bagian, yaitu atas =Nada, tengah = Windu, dan bawah = Ardhacandra, dalam bentuk kewangen, pada bagian bawah yang lancip = Ardacandra, Uang kepeng yang bulat = Windu, dan sampaian yang berbentuk cili, bunga, dan plawa = Nada, porosan silih asih sebagai lambang Purusa dan Pradana (Ardanareswari).

d) Api, Dhupa, dan Dhipa

Dalam pelaksanaan upacara persembahyangan, api diwujudkan dengan dhupa dan dhipa. Dhupa adalah sejenis harum-haruman yang dibakar sehingga berasap dan mengeluarkan  bau yang harum, sedangkan Dhipa adalah pedupaan atau api yang digunkan memuja oleh para sulinggih. Api, dhupa, dan dhipa melambangkan pemujaan kehadapan Dewa Agni sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Api (dhupa dan dhipa) memiliki sifat sebagai penerangan yang memberikan penerangan dari berbagai macam kegelapan. Kitab suci Weda menjelaskan tentang fungsi api dalam kehidupan beragama Hindu.

Dalam ajaran Agama Hindu kata hidup juga disebabkan apuy, agni atau wahni. Perubahan kehidupan manusia manusia terjadi karena api yang ada di dalam dirinya, sedangkan perubahan yang terjadi pada alam semesta akibat dari api yang bersumber pada matahari. Ajaran Samkhya memperhitungkan matahari memiliki bilangan 21 dan api diperhitungkan memiliki bilangan 3. Bilangan 3 adalah bilangan yang menurut keyakinan umat Hindu dpandang memiliki nilai yang istimewa atau sakral. Manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki fungsi sebagai pencipta semua yang ada ini disebut Dewa Brahma. Untuk juga memfungsikan api sebagai sarananya. Berikut fungsi api menurut ajran Agama Hindu.

Api adalah sumber pencerahan yang memiliki kekuatan untuk menyucikan. Api adalah sumber dari pencerahan itu, dan kemudian dimodifikasi dengan membuat Dhupa dan Dhipa tersebut yang difungsikan sebagai sarana penyucian sekaligus media menurunkan kekuatan spiritual dari Ida Sang Hyang Widhi ke dalam diri manusia. Adapun sarana pokok yang digunakan untuk membuat Dhupa adalah Cendana simbol Sang Hyang Śiva, Majegahu simbol Sang Hyang Sadāśiva, dan Menyan simbol Sang Hyang Paramaśiva. Ketiga unsur itulah yang menyusun dhupa, sehingga memiliki kekuatan penyucian sekaligus mengundang kekuatan suci Tuhan untuk menyaksikan pelaksanaan yajña. Unsur-unsur tersebut memiliki aroma khusus yang mampu meningkatkan konsentrasi umat Hindu saat melaksanakan persembahyangan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

AYO BERDISKUSI

Buatlah kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa, kemudian diskusikanlah permasalahan berikut ini!

Secara garis besar sarana inti dalam persembahyangan adalah api, air dan bunga. Ketiga sarana persembahyangan itu dimodifikasi dan divariasikan pemanfaatannya sehingga menghasilkan berbagai bentuk sarana upakara. Apakah makna yang terkandung pada api, air dan bunga tersebut? Apabila salah satu unsur tidak ada, apakah persembahyangan tersebut dibatalkan? Coba diskusikan kemudian presentasikan hasil diskusi kalian di depan kelas.

C. MAKSUD DAN TUJUAN SEMBAHYANG

Persembahyangan wajib Umat Hindu adalah Tri Sandhya, yang selanjutnya dirangkaikan dengan Kramaning Sembah. Sehingga kedua tahapan sembahyang itu sebaikknya dilakukan oleh umat Hindu saat melakukan persembahyangan. Tri Sandhya dapat kita sebut sebagai Weda Wakya atau melantunkan ayat-ayat suci dari Weda sehingga harus diucapkan dengan benar, mantap, dan penuh konsentrasi. Manfaat yang kita peroleh dalam melakukan Tri Sandhya adalah:

1. Meningkatkan kesucian diri.

2. Meningkatkan kesucian keluarga dan lingkungan sekitar kita.

3. Menolak marabahaya dan penderitaan.

4. Melapangkan dada dan menentramkan hati

Serta banyak manfaat lainnya jika kita rutin sembahyang Tri Sandhya. Sedangkan Kramaning Sembah merupakan Upasana atau doa-doa pemujaan, sehingga di dalamnya terdapat unsur pemujaan, permohonan, dan pemberian anugrah. Urutan Kramaning Sembah itu sejatinya menggambarkan sebuah proses penciptaan itu sendiri dari yang tidak ada/ kosong/ puyung/ Sunia menjadi ada, kemudian kembali meniada/ kosong/ puyung/ Sunia. Itulah konsep ajaran Agama Hindu yaitu kita harus bisa menyatu kepada Tuhan yang tak berwujud dan tak tergambarkan itu.

Ada beberapa tujuan utama bagi umat Hindu dalam melakukan sembahyang. Dalam hal ini bahwa tujuan sembahyang adalah seperti berikut ini.

1) Untuk mengungkapkan dan menyampaikan rasa terima kasih yang tulus ikhlas (suci) kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) beserta dengan semua manifestasi-Nya.

2) Untuk menghaturkan persembahan (yajna) secara tulus ikhlas (sudha nirmala) dengan menggunakan sesajen sebagai media atau perantara kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta dengan istadewata-Nya.

3) Untuk memohon anugerah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa berupa keselamatan, kerahayuan, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan, kedamaian, keharmonisan, serta kesempurnaan hidup secara lahir (sakala) dan batin (niskala)

4) Untuk memohon perlindungan dan tuntunan hidup dan kehidupan yang berlandaskan atas dasar kebenaran (dharma) dan kesucian (lascarya).

AYO UJI PEMAHAMANMU

1. Sebutkan sarana-sarana inti dalam persembahyangan, kemudian jelaskan apa makna dan tujuan penggunaan sarana tersebut!

2. Sarana persembahyangan (bunga ataupun buah) apa saja yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan digunakan sebagai sarana persembahyangan. Coba cari tahu baik dari keluarga, masyarakat, maupun tokoh masyarakat di dekat keluargamu.

3. Mengapa dengan bersembahyang umat manusia menjadi tenang dan damai? Apakah hubungan antara sembahyang dan perasaan tenang tersebut.

4. Apakah dampak yang akan diterima manusia, apabila tidak taat ataupun tidak melaksanakan kebaikan? Bagaimana dampak dan efek samping yang ditimunin.

D. SIKAP-SIKAP SEMBAHYANG

Yang berkenaan dengan sikap (asana) sembahyang yaitu perilaku atau tata cara dalam pelaksanaan persembahyangan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan sikap sembahyang seperti berikut ini.

1. Bila pelaksanaan persembahyangan itu dilakukan oleh para wanita atau istri atau gadis, maka dapat dilakukan dengan duduk memakai sikap Warjrasana atau bersimpuh.

2. Sedangkan bagi laki-laki/pria bahwa dalam persembahyangan dilakukan dengan duduk memakai sikap padmasana atau silasana atau swastikasana.

3. Sikap tangan dalam persembahyangan adalah dengan mengatupkan tangan kanan dengan tangan kiri (sikap anjali atau cakupan karakalih) kemudian pada ujung jari tengah ditaruh bunga/puspa atau kwangen yang dipakai sembahyang. Saat persembahyangan cakupan kedua tangan ditempatkan di atas ubun-ubun (ring luhuring Śivadwara). Sikap tangan pada saat tri sandhya adalah dengan sikap dewa pratistha atau amusti karana.

4. Sikap badan pada saat persembahyangan adalah dengan sikap tenang dan tegak.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan oleh umat untuk mengadakan hubungan (sembahyang) dengan Tuhan Yang Maha Esa diantaranya ada yang dilakukan dengan cara duduk (Asana) dan yang lainnya. Sikap duduk ada beberapa macam bentuk, antara lain sebagai berikut.

1. Padmasana, adalah sikap sembahyang dengan duduk seperti teratai. Asana dilakukan dengan menempatkan kaki kanan diatas paha kiri dan kaki kiri berada diatas paha kaki kanan, tulang punggung sampai di kepala menjadi satu garis tegak lurus dan sekujur tubuh dilemaskan.

Setelah pikiran dalam keadaan tenang, barulah sembahyang dilakukan. Apaila sikap ini secara tekun dilakukan setiap hari, aktivitas ini akan membawa manfaat bagi kesehatan jasmani. Pelaksanaan persembahyangan dan sikap padmasana membawa manfaat bagi kesehatan jasmani, yaitu dapat menjaga tetap kuat dan tegaknya tulang punggung kita. Kesehatan tulang punggung kita juga memberikan faedah dan manfaat terhadap saluran kecil yang terdapat ditengah sumsum (canalis contolis) menjadi tidak terhalang naiknya dari Muladhara chakra menuju ke Sahassara chakra atau ubun-ubun ciwadwara.

Sikap padmasana juga disebut dengan sikap  Komalasana dan sangat baik bila dipergunakan untuk melakukan meditasi-meditasi khusus seperti dhyana, yaitu usaha untuk menyatukan pikiran dengan Tuhan secara utuh atau sepenuhnya.

2. Silasana, adalah sikap duduk biasa, yaitu kaki kiri berada dibawah paha kaki kanan dan kaki kanan berada di bawah paha dan betis kiri. Silasana adalah sikap duduk sempurna yang dilakukan dalam persembahyangan untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa.

3. Sukhasana, adalah sikap sembahyang dengan duduk biasa, yaitu kaki kanan berada didepan kaki kiri dan kaki kiri berada didepan kaki kanan. Sikap sukhasana inilah biasanya yang dapat dilakukan oleh umat kebanyakan karena sikap Sukhasana ialah sikap yang paling mudah dan dapat dilakukan dengan tahan lebih lama pada posisi duduk. Sikap duduk Sukhasana dan Sidhasana memiliki faedah dan manfaat yang jika kita hubungkan dengan kesehatan jasmani umat yang melakukan persembahyangan.

4. Bajrasana atau Vajrasana adalah sembahyang yang dilakukan dengan duduk bersimpuh, yaitu paha dalam posisi keduanya lurus kedepan, lutut keduanya dalam keadaan terlipat, betis keduanya berada dibawah paha, dan kedua telapak kaki berada dibawah pantat. Tulang punggung dalam posisi tegak lurus dengan kepala dan badan dalam keadaan dilemaskan. Sikap duduk Bajrasana atau Vajrasana ini biasanya dilakukan oleh wanita.

5. Padasana adalah sikap sembahyang yang dilakukan dengan posisi berdiri tegak lurus, kedua telapak tangan dikatupkan pada bagian hulu hat, dan pandangan mata mengarah pada ujung hidung.

Sembahyang seperti ini biasanya dilakukan diruang kelas oleh para siswa, dan juga di ruang-ruang pertemuan atau rapat oleh para peserta rapat. Sikap sembahyang Padasana dapat melatih keseimbangan tubuh atau jasmani umat sedharma. Disamping menjaga keseimbangan badan, cara ini juga dapat melancarkan jalannya atau peredaran pernafasan umat sedharma yang tekun melaksanakannya.

Setelah selesai mempersiapkan sikap sembahyang, baik dengan posisi duduk maupun berdiri tegak, lalu dilanjutkan dengan melakasanakan Pranayama, yaitu mengatur pernafasan, yakni melalui: menarik, menahan, dan mengeluarkan nafas yang diupayakan dengan perbandingan: 1 : 4 : 2. Pranayama sedapat mungkin dilakukan dalam tiga kali putaran.

Demikan dijelaskan dalam Weda bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah sumber tenaga dan kesehatan. Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dijalin dengan melaksanakan sembahyang secara tekun dan terus-menerus. Sikap sembahyang, seperti Pranayama akan dapat menyalurkan tenaga alam kedalam tubuh yang mau melaksanakannya secara tekun. Dengan demikian, hendaknya kita tidak dengan setengah hati melaksanakan persembahyangan karena manfaatnya bagi kesehatan umat manusia sangat tinggi.

Doa Sembahyang

Ada beberapa doa atau puja yang diucapkan dalam persembahyangan bersama.

1. Doa sikap duduk

‘Om prasadha stithi sarira siva suci nirmala ya namah svaha’

Artinya :

Om Hyang Widhi dalam wujud Siwa, suci tak ternoda, hormat hamba, hamba telah duduk dengan tenang.

2. Doa pengaturan nafas (Mantram Praṇayāma)

a. Puraka (tarik nafas) dengan mantra : ‘ Om Ang namah ’ artinya : Oh Hyang Widhi dalam aksara ‘ Ang ’ pencipta, hamba hormat.

b. Kumbaka (tahan nafas) dengan mantra : ‘ Om Ung Namah ’ artinya : Oh Hyang Widhi dalam aksara ‘ Ung ’, pemelihara, hamba hormat.

c. Recaka (keluarkan nafas) dengan mantra : ‘ Om Mang Namah ’ artinya : Oh Hyang Widhi dalam aksara ‘ Mang ’ pelebur, hamba hormat.

Antara menarik nafas, menahan nafas, dan mengeluarkan nafas perbandingannya adalah 1 : 4 : 2, yang maknanya bahwa menghirup udara segar/bersih selama satu detik, kemudian ditahan selama empat detik, selanjutnya udara kotor dalam badan dikeluarkan selama dua detik, dan hal itu dilakukan secara berulang-ulang, sehingga rasa tenang dalam diri semakin terasa.

3. Doa untuk menyucikan dupa

‘ Om Ang Dupa dipastra ya namah ’

artinya : Om Hyang Widhi hamba persembahkan dupa ini.

4. Doa menyucikan puspa

‘ Om Puspa danta ya namah ’

artinya : Om Hyang Widhi, semoga puspa/bunga ini menjadi suci putih bagaikan gigi.

5. Doa penyucian tangan

a. Tangan kanan di atas tangan kiri dengan doa :‘ Om Sudhamam Svaha ’artinya :Om Hyang Widhi semoga hamba bersih.

b. Tangan Kiri di atas tangan kanan dengan doa :‘ Om Ati Sudhamam Svaha ’artinya :Om Hyang Widhi semoga hamba menjadi sangat bersih.

6. Doa/Puja Tri Sandhya

‘ Om Bhur bvaḥ svaḥ, tat savitur varenyaṁ , bhargo devasya dhimahi, dhiyo yo nah pracodayat ’

Artinya :

Om adalah bhur bvah svah, kita memusatkan pikiran pada kecermelangan dan kemuliaan Sang Hyang Widhi, semoga ia berikan semangat pikiran kita.

Om Narayanah evedaṁ sarvaṁ  yad bhūtaṁ yasca bhavyaṁ, niṣkalaṅko nirañjano nirvikalpo nirakyataḥ suddho deva eko narayana nā dvityo ’sti kascit’

Artinya :

Om Narayana adalah semua ini apa yang telah ada dan apa yang akan ada bebas dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua.

‘ Om Tvaṁ sivaḥ tvaṁ mahadevah, Isvarah paramesvarah, Brahma Viṣṇusca Rudraśca, Purusaḥ parikirtitaḥ’

Artinya :

Om engkai dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu, Rudra, dan Purusa.

‘ Om Papo ham papākarmahaṁ, papātma papasambhavaḥ, trahi maṁ pundarikakṣa, sabahyabhyantaraḥ sucih’

Artinya :

Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri hamba ini papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba, Sang Hyang Widhi, sucikanlah jiwa dan raga hamba.

‘ Om kṣamasva maṁ mahadeva, sarvaprani hitaṅkara, maṁ moca sarva papebyaḥ, palayasva sadāśiva’

Artinya :

Om ampunilah hamba, Sang Hyang Widhi, yang memberikan keselamatan kepada semua mahluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah Oh Sang Hyang Widhi.

‘ Om Kṣantavyaḥ kayikodosaḥ, kṣantavyo vaciko mama, kṣantavyo manaso dosaḥ, tat pramadat kṣamasva maṁ’

Artinya :

Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.

Doa dalam Kramaning Sembah

a. Doa sembah puyung

‘ Om Atma Tattwatma suddhamam svaha ’

artinya : Om atma, atmanya kenyataan ini, bersikanlah hamba.

b. Doa yang ditujukan kehadapan Hyang Siwa Raditya dengan memakai sarana bunga

‘ Om Adityasya param jyoti, rakta teja namo ’stute, Sweta pankaja madhyastha, bhaskaraya namo stute ’

artinya :

Om sinar surya yang maha hebat, Engkau bersinar merah, hormat padamu, Engkau yang berada di tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

c. Doa yang ditujukan kehadapan Ista Dewata dengan memakai sarana bunga atau kwangen

‘ Om nama deva adhisthanaya, sarva vyapi vai sivaya, padmasana ekapratisthaya, ardhanaresvaryai namo ’namah ’

Artinya : Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi, kepada siwa yang sesungguhnya berada dimana-mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari, hamba menghormat.

d. Doa yang ditujukan kehadapan Tuhan/Hyang Widhi (Samodaya) sebagai pemberi anugerah dengan menggunakan sarana kwangen dengan mantra berikut ini.

‘ Om anugraha manohara, devadattanugrahakam, hyarcanam sarva pujanam namah sarva nugrahakam ’

‘ Deva devi mahasidhi, yajnanga nirmalatmaka, laksmi siddhisca dirghayuh, nirvighna sukha vrddhisca ’

Artinya :

Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah, anugerah pemberian dewa, pujaan semua pujaan, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.

Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan.

e. Doa untuk sembah tanpa sarana dengan mantra

‘ Om Deva suksma paramacintyaya nama svaha ’

Artinya :

‘Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan yang maha tinggi yang gaib’.

Akhir Persembahyangan

Bilamana pelaksanaan persembahyangan baik yang dilakukan secara perorangan maupun bersama-sama telah berakhir, maka dilanjutkan dengan nunas tirtha dan nunas bija.

1. Nunas Tirtha

Tirtha artinya air suci. Jadi tirtha merupakan air suci yang didapat dengan mohon (nunas) kepada orang suci (sulinggih), juga bisa didapat dengan memohon di hadapan palinggih Ida Bhatara dengan mantra dan upacara tertentu atau bisa didapat dari mata air suci suatu pura tertentu (di Beji), ataupun bisa pula dibuat tersendiri (ngarga/ngareka) oleh pamangkupura tertentu, terutama pada pura yang lokasinya di daerah pegunungan yang tirthanya tidak nunas kepada sulinggih. Adapun doa (puja) pada saat nunas kepada sulinggih. Adapun doa (puja) pada saat nunas tirtha sebagai berikut ini.

a. Doa pemercikan tirtha pebersihan, mantra :

‘Om Pratama sudha, dwitya sudha, tritya sudha, caturty sudha, pancamini sudha, sudha sudha wariastu’

Artinya :

Om Hyang Widhi, pertama tersucikan, kedua tersucikan, ketiga tersucikan, keempat tersucikan, kelima tersucikan, semoga semuanya tersucikan.

b. Doa saat pemercikan tirtha tiga kali, mantra :

Om ang Brahma amertha ya namah, Om ung Wisnu amertha ya namah, Om mang Iswara amertha ya namah’

Artinya :

Om Hyang Widhi bergelar Brahma, Wisnu, Isawara, hamba memuja-Mu,semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

c. Doa pada saat minum tirtha tiga kali, mantra :

Om sarira paripurna ya namah, Om Ang Ung Mang Sarira sudha, pramantya ya namah’

Artinya :

Om Hyang Widhi semoga badan hamba tersempurnakan , Om Hyang Widhi semoga badan hamba tersucikan, Om Hyang Widhi semoga hamba termuliakan.

d. Doa pada saat meraup tirtha tiga kali, mantra :

‘Om Siwa amertha ya namah, Om Sadha Siwa amertha ya namah, Om Parama Siwa amertha ya namah’

Artinya :

Om Hyang Widhi sebagai Hyang Siwa, Hyang Sadasiwa, dan Hyang Paramasiwa, hamba memuja-Mu, semoga menganugerahi kehidupan pada hamba.

2. Nunas Bija

Wija atau bija adalah lambang kumara yaitu putra atau wijaBhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara itu tidaklah lain dari benih ke-Siwa-an yang bersemayam di dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mawija dilakukan setelah matirtha (dalam buku Pedoman Sembahyang oleh tim penyusun, 1993 : 61 ). Jadi bija digunakan oleh umat Hindu sebagai simbul kedewataan (daivisampat) bukan keraksasaan (asuri sampat).

Untuk itu bija penggunaannya dengan ditempel di selaning lelata serta ditelan. Juga ada ditempat di bawah tenggorokan. Yang ditempel di selaning lelata bermakna sebagai benih kesucian dalam pikiran. Bija yang ditelan bermakna sebagai benih kesucian dalam perkataan. Sedangkan bija yang ditempel di bawah tenggorokan bermakna sebagai benih kesucian dalam berkarma.

Perlu dibedakan di sini antara Wija/Bija dengan Bhasma. Bija artinya benih atau biji. Bija terbuat dari beras yang direndam dengan air wangi-wangian atau air harum-haruman, termasuk air cendana (candana). Pemakaiannya adalah oleh para walaka atau yang masih merupakan umat Hindu secara umum. Sedangkan bhasma artinya abu. Abu yang dimaksudkan disini adalah abu suci yang terbuat dari asaban atau gosokan abu cendana. Pemakaiannya adalah oleh para sulinggih atau pandita. Doa untuk nunas bija sebagai berikut ini.

a. Doa pada saat menempel bija di dahi, dengan mantra :

‘Om Sriyam bhavantu’

 Artinya :

Om Hyang Widhi, semoga mendapatkan kebahagiaan.

b. Doa saat menempel bija di tenggorokan, mantra :

‘Om sukham bhavantu’

Artinya :

Om Hyang Widhi, semoga memperoleh kesenangan.

c. Doa pada saat menelan bija, dengan mantra :

‘Om purnam bhavantu, Om ksama sampurna ya namah svaha’

Artinya :

Om Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Om Hyang Widhi semoga semuanya bertambah sempurna.

Meninggalkan tempat upacara/tempat suci (Pura)

Jika umat Hindu telah selesai sembahyang  dan nunas tirtha serta nunas bija, maka berakhirlah semua rangkaian persembahyangan atau kramaning sembah. Selanjutnya umat atau krama Hindu pada umumnya dapat meninggalkan tempat suci (Pura) menuju tempat tinggal masing-masing dengan rasa rahayu, bahagia, dan tenteram.

Namun demikian tidak lantas semua umat meninggalkan tempat suci (mepamit), sedangkan misalnya suatu upacara piodalan di suatu Pura tertentu masih berlangsung. Hal ini perlu pula umat melakukan pakemitan di Pura. Demi tertibnya kegiatan makemit tersebut, maka diperlukan pengaturan secara khusus oleh prajuru desa pakraman atau oleh pihak manggala karya (pemimpin upacara).

Doa pada saat meninggalkan tempat suci (Pura) sebagai berikut ini.

‘Om Ksamasva mam Mahadeva, sarvaprani hitaῄkara, mam moca sarva papebhyah, palayasva sadhasiva’.

Artinya :

Om Hyang Widhi, ampunilah hamba, yang memberikan keselamatan kepada semua mahluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah hamba oh Hyang Widhi Wasa.

Wahai Sisya Sujana, Ayo berkarya!

Bentuklah kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang. Rancanglah sebuah karikatur yang menggambarkan aktivitas persembahyangan yang dilakukan oleh umat Hindu di daerahmu! Buatlah karikatur semenarik mungkin, yang di dalamnya juga berisi propaganda untuk menghimbau umat agar selalu ingat dan taat bersembahyang!

Selamat berkarya! Subhamastu…

E. AJARAN BHAKTI DAN KARMA MARGA DALAM SEMBAHYANG

Renungan

Ye me matam idaṁ nityam anutiṣṭhanti me matam

Sarva-jñāna-vimūḍhāṁs tān viddhi naṣṭān acetasaḥ

(Bhagavad Gita III. 31)

Terjemahannya:

Orang-orang yang sudah dibebaskan dari rasa iri hati dan dengan penuh rasa bhakti senantiasa melakukan tugas-tugas kewajibannya sesuai dengan perintah-perintah-Ku, mereka pun akan menemukan kehancuran dengan sendirinya.

Berdasarkan renungan dalam sloka di atas hal yang paling dominan dan utama untuk dikerjakan adalah menjalankan kewajiban dengan penuh rasa bhakti dan keikhlasan, jika tidak demikian maka kehancuranpun akan menjadi ganjarannya. Coba renungkanlah, apakah yang dimaksud dengan “menemukan kehancuran dengan sendirinya” seperti yang termuat dalam sloka tersebut? Ayo kita renungkan bersama!

Sembahyang  adalah salah satu wujud bhakti sejati kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sembahyang dikatakan sebagai sebuah jalan/ marga untuk mempersatukan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal itu dapat dilakukan karena sembahyang mampu mendekatkan umat manusia dengan sang pencipta. Mampu membangun suasana religiusitas yang mampu memperteguh keimanan dari umat itu sendiri. Sembahyang dalam ajaran Catur Marga Yoga termasuk dalam Bhakti Marga sekaligus juga Karma Marga Yoga. Sembahyang dikatakan sebagai Bhakti Marga Yoga karena sesuai dengan makna sembahyang itu sendiri yaitu memuja, menghormat dan menyembah Ida Sang Hyang Widhi. Sekaligus dikategorikan sebagai Karma Marga karena didalamnya terdapat kerja dan usaha nyata untuk mewujudkan rasa hormat dan bhakti itu.

Kerja Karma yang dimaksud adalah perbuatan baik (subhakarma), suatu perbuatan baik tanpa mengikat diri dengan mengharapkan hasilnya. Semua hasil (phala) perbuatan harus diserahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan perbuatan yang bebas dari harapan hasil itu disebut “Karma Nirwritta”. Sedangkan perbuatan (karma) yang masih mengharapkan hasilnya disebut “Karma Prawritta”. Jadi dengan mengabdikan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa berlandaskan subha-karma yang tanpa pamrih itu, seseorang akan dapat mencapai kesempurnaan itu secara bertahap. Dengan bekerja tanpa terikat orang akan dapat mencapai tujuan tertinggi itu. Dengan demikian Karma Yoga yang mengajarkan bahwa setiap orang yang menjalani cara ini bekerja dengan baik tanpa terikat dengan hasil, sesuai dengan kewajibannya (Swadharmanya).

Tasmād asaktaḥ satataṁ kāyaṁ karma samācara

Asakto hy ācaran karma param āpnoti pūruṣaḥ

(Bhagavad Gita III. 19)

Terjemahan:

Oleh karena itu, lakukanlah tugas kewajiban tanpa keterikatan pada tujuan dari perbuatan, karena orang yang melakukan tugas kewajibannya tanpa keterikatan pada tujuan, maka orang seperti itu akan sampai kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Salah kalau orang beranggapan bahwa dengan tidak bekerja kesempurnaan akan dapat dicapai. Karena pada hakikatnya dunia ini pun dikuasai dan diatur oleh hukum karma sehingga seorang Karma Yoga beryajna dengan kerja (karma). Karena itu bekerjalah selalu dengan tidak mengikatkan diri pada hasilnya, sehingga tujuan tertinggi pasti akan dapat dicapai dengan cara yang demikian. Dengan menyerahkan segala hasil pekerjaan itu sebagai yajna kepada Sang Hyang Widhi dan dengan memusatkan pikiran kepada-Nya kemudian melepaskan diri dari segala pengharapan serta menghilangkan kekuatan maka kesempurnaan itu dapat dicapai. Dengan demikian ajaran Karma Yoga yang pada pokoknya menekankan kepada setiap orang agar selalu bekerja sesuai dengan Swadharmanya dengan tidak terikat pada hasilnya serta tidak mementingkan diri sendiri, tentunya setelah menuntaskan kewajiban kita terlebih dahulu. Karena melaksanakan tugas orang lain, walaupun itu dilakukan sangat baik sejatinya hal itu sangat berbahaya, seperti yang termuat dalam kitab Bhagavad Gita III. 35 di bawah ini.

Śreyān sva-dharmo viguṇaḥ para dharmāt sv-anuṣṭhitāt

Sva-dharme nidhanaṁ śreyaḥ para-dharmo bhayāvahaḥ

(Bhagavad Gita III. 35)

Terjemahannya:

Sesungguhnya jauh lebih baik melaksanakan tugas –tugas kewajiban sendiri walaupun dilakukan dengan penuh kekurangan dibandingkan dengan melaksanakan tugas kewajiban orang lain walaupun dilakukan dengan sempurna. Ketika orang menekuni tugas kewajibannya sendiri, kematianpun menjadi berkah, sebab melaksanakan tugas kewajiban orang lain itu penuh dengan bahaya.

Sembahyang adalah wujud pelaksanaan Bhakti Marga. Kita mewujudkan rasa cinta dan hormat kita kepada Ida Sang Hyang Widhi dengan melakukan kegiatan sembahyang. Semua agama tentunya mengajarkan berbagai bentuk ibadah atau sembahyang kepada Tuhan, hanya saja cara yang ditempuhnya yang berbeda-beda. Namun pada hakikatnya, semua itu memiliki tujuan dan maksud yang sama yaitu hormat dan cinta kepada Tuhan. Bukan caranya yang harus diperdebatkan, tetapi carilah kesamaan visi dan idealism yang terkandung di dalmnya. Hendaknya antar umat beragama harus menyadari hal itu, agar tidak terjadi saling menyalahkan, sikap intoleran dalam beribadah, dan sikap anarkisme dalam memperlakukan umat lainnya yang sedang beribadah.

Sembahyang sebagai salah satu wujud Bhakti Marga bermakna sembahyang adalah jalan yang dapat ditempuh oleh manusiuntuk mendekatkan diri serta nantinya mampu mempersatukan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi. Kata Bhakti berarti hormat, taat, sujud, menyembah, persembahan, kasih. Bhakti Yoga artinya jalan cinta kasih, jalan persembahan. Seorang Bhakta (orang yang menjalani Bhakti Marga) dengan sujud dan cinta, menyembah dan berdoa dengan pasrah mempersembahkan jiwa raganya sebagai yajna kepada Sang Hyang Widhi. Cinta kasih yang mendalam adalah suatu cinta kasih yang bersifat umum dan mendalam yang disebut maitri. Semangat Tat Twam Asi sangat subur dalam hati sanubarinya. Sehingga seluruh dirinya penuh dengan rasa cinta kasih dan kasih sayang tanpa batas, sedikit pun tidak ada yang terselip dalam dirinya sifat-sifat negatif seperti kebencian, kekejaman, iri dengki dan kegelisahan atau keresahan.

Cinta baktinya kepada Hyang Widhi yang sangat mendalam, juga dipancarkan kepada semua makhluk baik manusia maupun binatang. Dalam doanya selalu menggunakan pernyataan cinta dan kasih sayang dan memohon kepada Sang Hyang Widhi agar semua makhluk tanpa kecuali selalu berbahagia dan selalu mendapat berkah termulia dari Sang Hyang Widhi. Jadi untuk lebih jelasnya seorang Bhakta akan selalu berusaha melenyapkan kebenciannya kepada semua makhluk. Sebaliknya ia selalu berusaha memupuk dan mengembangkan sifat-sifat Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa (Catur Paramita). Ia selalu berusaha membebaskan dirinya dari belenggu keakuannya (Ahamkara). Sikapnya selalu sama menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan. Ia selalu merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Jadi benar-benar tenang dan sabar selalu. Dengan demikian baktinya kian teguh dan kokoh kepada Hyang Widhi Wasa. Keseimbangan batinnya sempurna, tidak ada ikatan sama sekali terhadap apa pun. Ia terlepas dan bebas dari hukuman serba dua(dualis) misalnya suka dan duka, susah senang dan sebagainya. Seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikirannya kepada Hyang Widhi dan dilandasi jiwa penyerahan total. Dengan begitu seorang Bhakti Marga yang salah satu pelaksanaanya dengan melakukan aktivitas sembahyang akan dapat menghantarkan umat manusia untuk mencapai moksa.

Wahai Sisya Sujana, Ayo berkarya!

Bentuklah kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5 orang. Rancanglah sebuah karikatur yang menggambarkan aktivitas persembahyangan yang dilakukan oleh umat Hindu di daerahmu! Buatlah karikatur semenarik mungkin, yang di dalamnya juga berisi propaganda untuk menghimbau umat agar selalu ingat dan taat bersembahyang!

Selamat berkarya! Subhamastu…

UJI KOMPETENSI

Jawablah soal di bawah ini dengan tepat!

1. Jelaskanlah pengertian Sembahyang secara etimologis maupun secara konseptual!

2. Jabarkanlah tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam persembahyangan! Buatlah dalam bentuk diagram untuk menunjukkan proses tersebut!

3. Setelah Anda membaca dan memahami bab ini, apakah tujuan dan manfaat yang didapatkan dari kegiatan persembahyangan? Coba jabarkan manfaat tersebut bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat, maupun bagi kehidupan ini!

4. Buatlah peta konsep untuk materi ini, sebagai bahan pembelajaran Anda!

REFLEKSI DIRI

Setelah Anda mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sebagai bahan evaluasi dan refleksi diri Anda!

1. Apakah manfaat yang Anda rasakan secara langsung setelah mempelajari bab ini?

2. Apakah materi-materi yang telah Anda kuasai?

3. Apakah materi-materi yang sulit untuk Anda pahami?

4. Apakah kekurangan atau kelemahan yang ada dalam diri Anda, sehingga Anda sulit memahami materi tersebut?

5. Apakah harapan Anda setelah mempelajari bab ini?

GLOSARIUM

A

aiswarya : kekuatan ilahi; sifat mulia       

Aksara dīrgā : huruf vokal dengan suara panjang

Aksara hṛswa  : huruf vokal dengan suara pendek

Ardhanareswari : aspek kemahakuasaan Siwa dalam wujud setengah laki-laki dan setengah perempuan.

astangga yoga : delapan tahapan/ tingkatan dalam yoga

Atman : percikan terkecil dari Tuhan; jiwa

awidya : kegelapan pikiran; kebodohan;ketidaksadaran

B

balian : orang suci yang bertugas untuk mengobati orang  yang sakit

bhakta : para pemuja Tuhan

bhakti : sikap hormat; spiritualitas; pemujaan; taqwa

bhāṭara  : manifestasi Tuhan, yang memiliki kekuatan dan tugas tertentu

bhuana agung : alam yang besar; alam semesta; jagat raya

bhuana alit : alam kecil; tubuh manusia

bhuta yajñā  : upacara kurban suci yang ditujukan kepada alam dan kekuatan alam

brahmacari  : masa menuntut ilmu

Brahman : Tuhan Yang Maha Esa; Ida Sang Hyang Widhi  Wasa

brata : pengekangan terhadap indria

C

catur warna  :  empat stastus sosial di masyarakat berdasarkan profesi/ keahlian

cuntaka : rasa duka citta

dewa yajñā  : upacara kurban suci yang ditujukan kepada Tuhan dan segala manifestasi-Nya        

D

dewa : sinar suci Tuhan; manifestasi Tuhan yang   memiliki tugas tertentu

Dewata Aṣṭadipalaka : delapan dewa yang menguasai delapan penjuru mata  angin

Dewata Nawa Sangga : sembilan dewa yang menduduki sembilan penjuru arah mata angin

dharma gita : lagu kerohanian

dharma tula : siraman rohani; kotbah

dharma wacana : siraman rohani; kotbah

dharma : kebenaran; kewajiban

I

iga–iga : bagian rangka dari atap bangunan tradisional Bali

J

jñāna  : ilmu pengetahuan

L

leteh  : kekotoran spiritual

linggih : tempat berstana

M

manah  : pikiran

mandhir  : tempat suci umat Hindu di dalam ruangan; kuil

mantra  : ucapan-ucapan suci, ucapan-ucapan magis, ucapan-ucapan untuk mengundang kekuatan suci Tuhan

manusa yajñā  :  upacara kurban suci yang ditujukan kepada sesama manusia

mapandes   :  upacara potong gigi

māya  : kepalsuan

mokṣa  :  persatuan Atman dengan Brahman; kebebasan kekal abadi

N

nganteb  : menghaturkan  upakara; memimpin upacara bagi seorang Pamangku

ngastawa  :  memuja, merapalkan doa-doa pujaan

ngatelunin : upacara bayi berumur tiga bulan dalam perhitungan kalender Bali atau 105 hari kalender masehi              

ngenteg linggih : upacara peresmian bangunan suci secara spiritual

nirguna brahman : Tuhan Yang Maha Esa tak berwujud, tak tergambarkan, tak terpikirkan

niskala : tidak nyata, abstrak

nunas bija : memohon beras suci

nunas tirtha : memohon air suci

O

omkara : aksara suci Om (þ); aksara Ongkara (ý)

P

Panca Brahma : lima aksara suci; lima manifestasi Tuhan

panca maha bhuta : lima unsur dasar pembentuk alam semeste, yaitu tanah, air, panas, udara, dan ether

panca yajñā : lima macam kurban suci yang tulus ikhlas

pandita : orang suci Hindu yang telah melakukan dwijati

pangider bhuana : segala penjuru arah alam semesta, merujuk pada konsepsi Dewata Nawa Sangga

Paramātman : atman yang tertinggi; Tuhan

pasraman : lembaga pendidikan informal di masyarakat yang dijadikan pusat pendidikan agama dan seni keagamaan

pawintenan : upacara penyucian bagi orang suci golongan ekajati/ pemangku

pengabenan/ ngaben : upacara pembakaran jenazah yang bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta kepada asalnya

pinandita : orang suci Hindu yang telah melakukan ekajati; pamangku

pitara : leluhur

pitra yajñā  : upacara kurban suci yang ditujukan kepada Tuhan dan segala manifestasi-Nya         

pradana : aspek feminim; perempuan

pujawali : upacara selamatan di Pura; piodalan

purāṇa : kisah mitologi Hindu; kisah kuno; salah satu zaman sejarah perkembangan agama Hindu di India

purusa  : aspek maskulin; laki-laki

R

rerajahan : gambar dan huruf-huruf magis yang dilukiskan pada suatu media (kertas, kain, batu, dan sebagainya) yang memiliki fungsi tertentu

rsi yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada orang suci

sad ripu : enam musuh dalam diri manusia

Sadā Śiwa Tattwa : Hakekat Tuhan yang dapat digambarkan, berwujud, serta memiliki kekuatan dan fungsi tertentu; Saguna Brahman

S

Saguna brahman : Tuhan yang dapat digambarkan, telah berwujud, serta memiliki kekuatan dan fungsi tertentu

sasana : aturan tingkah laku

sekah : sesajen yang berupa rangkaian bunga di atas bungkak/ kelapa yang masih muda jenis Nyuh Gading, sebagai simbol roh manusia dalam upacara ngaben

sradha : keimanan, kepercayaan

sthana : tempat, tempat menetap, wilayah kekuasaan

susila : perilaku yang baik

swadharma : kewajiban individu

T

tamba : obat

tapa : pengendalian diri

tri hita karana : tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam hidup

tugeh : tiang penyangga kecil pada bangunan tradisional Bali

U

upakara : sesajen; sarana-sarana pemujaan

uttpeti : kemahakuasaan Tuhan untuk menciptakan alam semesta

V

varna : profesi sesuai keahlian

veda :  kitab suci agama Hindu

vidya : pengetahuan

Y

yajñā : korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamerih

yoga : usaha untuk menyatukan diri dengan Tuhan

yuga : zaman

INDEKS

A

Ardhanareswari

astangga yoga

Atman          

awidya           

B

balian          

bhakta         

bhakti          

bhāṭara        

bhuana agung

bhuana alit  

bhuta yajñā 

brahmacari  

Brahman

brata            

C

catur warna 

cuntaka        

dewa yajñā  

D

dewa            

Dewata Aṣṭadipalaka  

Dewata Nawa Sangga            

dharma gita 

dharma tula    

dharma wacana          

dharma        

I

iga–iga         

J

jñāna           

L

leteh             

linggih         

M

manah         

mandhir       

mantra         

manusa yajñā             

mapandes    

māya            

mokṣa          

N

nganteb       

ngastawa     

ngenteg linggih

nirguna brahman

niskala         

nunas bija    

nunas tirtha 

O

omkara        

otonan

P

Panca Brahma

panca maha bhuta

panca yajñā 

pandita        

pangider bhuana        

Paramātman

pasraman    

pawintenan  

pengabenan/ ngaben  

pinandita     

pitara           

pitra yajñā   

pradana       

pujawali       

purāṇa         

purusa         

R

rerajahan    

rsi yajñā      

sad ripu       

S

Saguna brahman

sasana         

sekah           

sradha         

sthana          

susila           

swadharma  

T

tamba          

tapa

tika              

tri hita karana

tugeh           

U

upakara       

uttpeti            

V

varna           

veda

vidya            

Y

yajñā           

yoga            

yuga

DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut. 2009. Kebudayaan Spiritualitas Nilai Makna dan Martababt Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh dan Jiwa. Denpasar: Pustaka Bali Post.

Aryadharma, Ni Kadek Surpi. 2005. Melahirkan Generasi Berkarakter Dewata Kiat Sukses Siswa Menurut Hindu. Denpasar: Pustaka Bali Post

Darmayasa, I Made. 2014. Canakya Niti Sastra. Surabaya: Paramita

Darmayasa. 2014. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam.

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Djuretna, A. Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Hendri Bergoson. Yogyakarta: Kanisius.

Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu. Surabaya: Pāramita.

Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidyā: Teologi Kasih Semesta dan Kritik Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi, dan Konversi. Surabaya: Pāramita.

Donder, I Ketut. 2006. Sisya Sista Pedoman Menjadi Siswa Mulia Religiopsikososioedukatif. Surabaya: Paramita

Donder, I Ketut. 2008. Acarya Sista guru dan Dosen yang Bijaksana Perpsektif Hindu. Surabaya: Paramita

Donder, I Ketut. 2010. Teologi – Memasuki Gerbang Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita.

Donder, I Ketut. 2015 a. “Materi Diklat Pengampu Matakuliah Agama Hindu Undiksha Singaraja”. Pendahuluan Diklat Pengampu Matakuliah Agama Hindu Undiksha Singaraja, Universitas Pendidikan Ganesha, 15 Oktober 2015.

Donder, I Ketut. 2015 b. “Sarasvati, Sains dan Teknologi (Tuhan adalah Sumber dan Objek Pengetahuan). Seminar Nasional dengan Tema Dewi Saraswati Ilmu Pengetahuan dan Sains, Universitas Negeri Mataram, 15 Nopember 2015.

Dwaja, I Gusti Ngurah dan I Nengah Mudana. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Gautama, Wayan Budha. 2009. Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia). Surabaya: Pāramita.

Gautama, Wayan Budha. 2009. Tutur Aji Saraswati. Surabaya: Paramita.

I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas XI. Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Jendra, I Wayan. 2003. Gita Astawa (Nyanyian Untuk Mencapai Moksa). Denpasar: Krisna Raya.

Kadjeng, I Nyoman. 1997. Sārasamuccaya. Surabaya: Pāramita.

Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika.

Madrasuta, Ngakan Made. 2014. Hindu Menjawab 1. Media Hindu.

Mantik, Agus S. 2007. Bhagavad Gīta. Surabaya: Pāramita.

Mantik, Agus S. 2008. Upaniṣad- Upaniṣad Utama. Surabaya: Pāramita.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai dkk. 1991. “Bhuana Kosa” (Alih Aksara dan Alih Bahasa). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Mudana, I Gede. 1999. “Tutur Sang Hyang Widhi” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Nala, I Gusti Ngurah dan I Gusti Ketut Adia Wiratmadja. 2004. Murddha Agama Hindu. Denpasara: Upada Sastra.

Nala, I Gusti Ngurah. 1994: Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Pandit, Bansi. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. Surabaya: Paramita

PGAHN 6 ThnAIngaraja. 1997. Niti Sastra dalam Bentuk Kekawin. Jakarta. Digandakan oleh Ditjen Bimas Hindu Budha.

Pudja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. 1973. Mānava Dharmaśāstra (Manu Dharmaśāstra) atau Weda Smṛti Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Pāramita.

Pudja, Gede. 1982. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta: Maya Sari.

Pudja, M.A. G danTjokorda Rai Sudharta M. A. 2004. Manava Dharma Sastra. Surabaya: Paramita.

Punyatmadja, Drs. I. B. Oka. 1994. Dharma Sastra. Jakarta: Pesanan Proyek Sarana Keagamaan Hindu.

Putra. 1987. Cudamani Kumpulan Kuliah-Kuliah Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Raka Mas, Drs. A.A. Gede. 2013. Memekarkan Nuansa Spiritual Sebuah Upaya untuk Mencapai Kebahagiaan Hidup Dunia dan Akhirat Menurut Perpektif Hindu. Surabaya: Paramita

Sharma, PT. Kinsalal. 2007. Mengapa Tradisidan Upacara Hindu Dilengkapi dengan Penjelasan-penjelasan Ilmiah. Surabaya: Paramita.

Simpen, I Wayan. 1982. Kamus Bahasa Kawi Indonesia. Denpasar: Mabhakti Offset.

Soebadio, Haryati. tt. Jñānasiddhânta. Jakarta: Djambatan.

Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas X. Surabaya. Paramita.

Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas XI. Surabaya. Paramita.

Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas XII. Surabaya. Paramita.

Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat dan Ritual dalam Susastra Hindu. Surabaya: Pāramita.

Subagiasta, I Ketut. 2008. Pengantar Acara Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Subandia, I Made. 1990. “Sang Hyang Pancaksara” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Subandia, I Made. 2000. “Tatwa Akṣara” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat   Dokumentasi Kebudayaan Bali.

Sudharta,M.A. Prof, Dr. Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya: Paramita.

Sudirga, Ida Bagus dan I Nyoman Yoga Segara. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas X. Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu Kelas X. Bandung: Ganesa Exact.

Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2010. Widya Dharma Agama Hindu Kelas XI. Bandung: Ganesa Exact.

Suhardana, K.M. 2010. Wrhaspati Tattwa sebagai Filsafat Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Sujana, I Made dan I Nyoman Suwirta. 2007. Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Surada, I Made. 2006. Dharmagītā (Kidung Paña Yajña, Beberapa Wirama, Śloka, Phalawakya dan Macepat. Surabaya: Pāramita.

Surada, I Made. 2007. Kamus Sansekerta-Indonesia. Surabaya: Pāramita.

Surada, I Made. 2014. “Simbol Keagamaan yang Disakralkan dalam Hindu” dalam Jurnal Brahma Widya Volume 1 No.1 Hal. 13-18. Denpasar: Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Seri V Upakara Yajna. Surabaya: Pāramita.

Teeuw, A. 1982. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tim Peneliti WHP/WHC. 2015. Konsep dan Praktik Agama Hindu di Bali. Surabaya: Pāramita.

Tim Penyusun. 2001. Upadeśa: Tentang Ajaran-ajaran  Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Pāramita.

Titib, I Made. 2003. Menumbuhkan Pendidikan Budi Pekerti pada Anak. Jakarta: Ganeca

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Pāramita.

Vireśvarānanda, Svami. 2004. Brahma Sutra. Surabaya: Pāramita.

Watra, I Wayan, dkk. 2008. Bunga Rampai; Babad dan Rerajahan Kajang di Bali. Surabaya: Pāramita.

Watra, I Wayan, dkk. 2008. Ulap-Ulap dan Rerajahan dalam Agama Hindu di Bali. Surabaya: Pāramita.

Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu (Tattwa I). Surabaya: Pāramita.

Wiana,M. Ag Drs. I Ketut. 2006. Sembahyang Menurut Hindu. Surabaya: Paramita.

Was this article helpful?

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA