Salah satu pulau yang menjadi sengketa antara indonesia dan malaysia

Ratna Maydhina, taufik hidayat

Pulau Sipadan dan Ligitan adalah pulau yang terletak di dekat pulau besar Kalimantan (Borneo) yang tidak berpenghuni. Kasus sengketa dua pulau ini bermula dari pertemuan antara Indonesia dan Malaysia dalam technical meeting law of the sea tahun 1967. Batas negara yang tidak jelas dan kepentingan teritorial, regional dan status internasional, serta kepentingan ekonomi menjadi salah satu sumbernya. perselisihan. Yang mana metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa ini, yaitu melalui Hukum Pengadilan Internasional. Indonesia dan Malaysia juga sudah menyiapkan barang bukti yang akan diajukan. Kasus sengketa ini akhirnya diselesaikan melalui Mahkamah Internasional. Hasil dari putusan Mahkamah Internasional tersebut, kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan dimenangkan oleh Malaysia.

maritime boundaries, maritime boundary disputes, the International Court of Justice, Sipadan and Ligitan

Emirzon, Joni. 2001. Alternaitf Penyelesaian Sengketa Luar Negeri. Jakarta : Gramedia. Hendrawati, M., Napang, M., Muchtar, S., dan Judhariksawan. 2015. Pengendalian Efektif sebagai Cara Akuisisi Teritorial: Analisis Kasus Sipadan - Ligitan. Hasanuddin Law Review. 1 (2), 242 – 264.

Juwana, H. 2013. Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan. Hukum dan Pembangunan. 1 : 111-122.

Tri D. L.. 2019. Sengketa Batas Laut Indonesia Dan Malaysia (Studi Kasus Sipadan dan Ligitan: Prespektif Indonesia. Jurnal Panorama Hukum. 4(1) : 1-10.

Tuhulele, P. 2011. Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Jurnal Sasi. 17(2) : 1-12.

Yusnita, U. 2018. Penyelesaian Sengketa Batas Laut antara Indonesia dan Malaysia dalam Perspektif Hukum Internasional. Binamulia Hukum. 7(1) : 96-106.

Widiyanta, D. 2010. Upaya Mempertahankan Kedaulatan dan Meberdayakan Pulau-Pulau Terluar Indonesia Pasca Lepasnya Sipadan dan Ligitan (2002-2007). Informasi. 2 : 59- 68.

Tweet

  • There are currently no refbacks.

Hasjim Djalal



Tanggal 17 Desember 2002 yang lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan dengan suara 16:1 bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang kepemilikannya dipertengkarkan antara Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sebagai wilayah Malaysia. Keputusan ini
memberi bobot yang sangat besar kepada kenyataan bahwa Inggris yang mewariskannya kepada Malaysia dianggap lebih melaksanakan kedaulatan atas pulau tersebut sebelum 1969, jika dibandingkan dengan Hindia Belanda yang mewariskannya kepada Indonesia. Kewenangan yang dilaksanakan oleh Inggris dan Malaysia dinilai lebih konsisten dan terus menerus, dan karena itu dinilai lebih melaksanakan 'effective control' dan bahwa doktrin 'effective control' inilah yang dinilai lebih sesuai dengan Hukum Internasional. Perlu diingat bahwa doktrin ini pulalah yang oleh Arbitrator Max Huber dalam tahun 1928 dipakai untuk menyatakan bahwa Pulau Mianggas yang dipertengkarkan antara Amerika Serikat dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah Hindia Belanda dan yang kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.


DOI: //dx.doi.org/10.21143/jhp.vol33.no1.1374

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2003 Hasjim Djalal


This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

Page 2

DOI: //dx.doi.org/10.21143/jhp.vol33.n1

ISSN: 2503-1465

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°N 118.6287556°E / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.150°N 118.883°E / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

Kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan (Indonesia v. Malaysia)PengadilanMahkamah InternasionalDiputuskan17 Desember 2002SitasiDaftar Umum No. 102TranskripSidang tertulisOpini atas perkaraICJ memberikan kedua pulau ke Malaysia atas alasan "pendudukan (dihuni) secara efektif"Majelis hakimHakim anggota majelisGilbert Guillaume, Shi Jiuyong, Shigeru Oda, Raymond Ranjeva, Géza Herczegh, Carl-August Fleischhauer, Abdul Koroma, Vladlen Stepanovich Vereshcheti, Rosalyn Higgins, Gonzalo Parra-Aranguren, Pieter Kooijmans, Francisco Rezek, Awn Shawkat Al-Khasawneh, Thomas Buergenthal, Nabil Elaraby, Thomas Franck (hakim ad hoc yang ditunjuk Indonesia) dan Christopher Weeramantry (hakim ad hoc yang ditunjuk Malaysia)

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

  • Pulau Sipadan
  • Pulau Ligitan
  • Insiden suaka politik GAM
  • Sengketa blok maritim Ambalat
  • Sentimen anti-Malaysia di Indonesia

  1. ^ //www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)
  2. ^ //www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine. FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
  3. ^ Energy Security and Southeast Asia

  • Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan Diarsipkan 2012-04-12 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan&oldid=20998238"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA