Saat Jepang sudah terdesak pada Perang Pasifik apa yang dilakukan bangsa Jepang agar mendapat dukungan dari Indonesia?

Academia.edu no longer supports Internet Explorer.

To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.


Oleh: DENSI | Ketua Koordinator LBH Phasivic NTT

Pada kurun waktu tahun 1939-1945 di berbagai belahan dunia sedang diguncang oleh suatu tragedy kemanusiaan hebat, tragedy ini sering disebut dengan Perang Dunia II. Istilah perang dunia II bukan merupakan istilah tanpa makna. Istilah Perang Dunia II merujuk kepada serangkaian gejolak politik yang berujung kepada pemusnahan secara fisik anatara satu Negara dengan Negara lainnya.

Negara-negara yang terlibat dalam perang dunia II ini dipisahkan menjadi dua blok besar, pertama Blok sekutu diwakili oleh Inggris, Amerika Serikat, Perancis, Tiongkok, dan Uni Soviet. Kedua terdapat Blok Poros/Axis yang terdiri dari Negara-negara yang berideologi fasisme seperti Jerman, Italia, Spanyol, dan Jepang.


Perang Pasifik merupakan salah satu peperangan laut terdahsyat yang pernah terjadi di muka bumi. Peperangan ini menyeret dua kekuatan yang saling menyerang yakni Sekutu di satu pihak dan Jepang dipihak yang lain. Istilah Perang Pasifik umumnya dikenal oleh para penulis Eropa, yakni “Pacific War”, atau “Pasific Teather” dalam literature Jepang mengenal perang ini dengan istilah “Perang Asia Timur Raya”. Secara spasial wilayah-wilayah yang terlibat dalam perang ini menurut penjelasan Gordon dalam bukunya “pacific Island Guide” yakni Pasifik Tengah, Pasifik Selatan, Pasifik Barat Daya, Pasifik Barat, dan Pasifik Utara. Periode keterlibatan pulau-pulau di Indonesia dalam perang ini dikenal dengan sebutan “Sejarah Pendudukan Jepang”.


Di front Asia Pasifik terdapat Jepang yang sejak Restorasi Meiji mengalami perkembangan pesat dalam sektor industry, pendidikan dan militer membuatnya menjadi sebuah Negara fasis ekspasionis. Hal tersebut pula didukung oleh keadaan dalam negeri sendiri. Bagi Jepang dari tahun 1930-an adalah masa penuh kemelut social dan ekonomi.

Masalah lain seperti pertumbuhan penduduk yang pesat menjadi factor pendukung terjadinya krisis tersebut. perkembangan industry jepang terancam mengalami stagnasi karena terbatasnya bahan baku yang tersedia karena wilayah Jepang sendiri. Dengan demikian masalah Jepang adalah masalah bagaimana mencari wilayah baru diluar wilayah Negara untuk menjadi solusi atas krisis ekonomi dan social tersebut. dan ekspansi adalah jawabanya.


Keganasan ekspansi Jepang pertama kali terlihat ketika Jepang berperang melawan Rusia pada tahun 1905 dan terus berlanjut hingga akhirnya Manchuria jatuh ketangan Jepang pada tahun 1931.

Ekspansi tersebut tentu saja menjadi ancaman bagi Negara-negara sekutu yang memang sudah terlebih dahulu menduduki sebagian wilayah di Asia timur dan Asia Tenggara.


Ekspansi Jepang di Asia Timur dimulai pada tahun 1931 dengan invansinya Manchuria dan berlanjut hingga Jepang menyerang secara brutal terhadap Cina pada tahun 1937. Pada 27 September 1940, Jepang menandatangani pakta Tripartite bersama Jerman dan Italia, selanjutnya mereka membentuk persekutuan militer yang dinamakan dengan “Blok Poros”.

Berkaitan dengan hal itu Amerika Serikat menjatuhkan sanksi ekonomi dan perdagangan kepada Jepang. Untuk menghadapi keterbatasan minyak dan sumber daya alam lainnya kemudian diperkuat oleh ambisi untuk menggantikan Ameriam Serikat sebagai kekuatas terbesar di pasifik. Jepang akhirnya memutuskan untuk penyerang Amerika Serikat dan Militer Inggris di Asia serta menguasai sumber daya alam di Asia Tenggara.

Singkatnya, Jepang yang semakin agresif mulai mengusik Negara-negara Barat yang memiliki kepentingan dan koloni di Timur jauh seperti Amerika Serikat di Filipina, Inggris di Malaya, Hongkong dan Singapura, Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) dan Prancis di Indochina. sehingga kemudian Jepang ikut ke dalam perang.


Karena tekanan sanksi Ekonomi Amerika Serikat terhadap Jepang dan gagalnya proses dialog antar kedua Negara, akhirnya pada tanggal 7 desember 1941 Jepang secara tiba-tiba melakukan penyerangan ke pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat Pearl Harbour di Oahu Hawaii. Disisi lain penyerangan tersebut di mata para pengamat pemerintahan di Tokyo menjadi sebuah bentuk keputusasaan dari pemerintah Jepang, karena pada awal bulan Desember 1941, Perdana Menteri Hideki Tojo memberitahukan kepada Kaisar bahwa “Kekaisaran kita tidak memiliki solusi alternative selain untuk memulai perang” serangan mendadak tersebut menghancurkan sebagaian besar armada laut AS, akhirnya pada esoknya pada tanggal 8 Desember 1945 Amerika Serikat bersama Inggris menyatakan perang terhadap Jepang. Peristiwa inilah yang selanjutnya dikenal dengan Perang Pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Perang Pasifik merupakan salah satu peperangan laut terdahsyat yang pernah terjadi di muka bumi.

Keterlibatan Indonesia Dalam Perang Pasifik

Sesuai dengan pemaparan diatas, bahwa salah satu latar belakang terjadinya Peran Asia Pasifik adalah karena kepentingan Jepang untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam wilayah lain di Asia demi kepentingan dan kemakmuran negaranya, yang semua itu berujung pada penjajahan.

Jakarta - Awal mula propaganda Jepang di Indonesia pada tahun 1942, pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai cara dan kebijakan untuk menarik simpati rakyat Indonesia, salah satunya semboyan 3A. Apa itu?

Saat itu, ambisi Jepang begitu besar untuk mendapatkan Indonesia. Bahkan, dikutip dari buku 'IPS Terpadu' karya Sri Pujiastuti, dkk, siaran radio Tokyo seringkali memperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pidato-pidato nasionalis.

Jepang juga mengklaim diri sebagai saudara tua yang datang untuk melepaskan Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda. Kemudian memberikan janji kemudahan bagi bangsa Indonesia seperti, menunaikan ibadah haji dan menjual barang dengan harga murah.

Untuk melancarkan misinya, Jepang pun membebaskan tokoh-tokoh Indonesia yang diasingkan Belanda, seperti Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Sutan Syahrir. Berikut memperkenalkan pengibaran bendera merah putih bersama dengan bendera Jepang.

Propaganda Semboyan 3A

Melansir buku 'Ilmu Pengetahuan Sosial 3' karya Ratna Sukmayani, dkk, pada saat itu, semua partai politik dibubarkan. Kegiatan politik pergerakan nasional Indonesia dikendalikan oleh Jepang untuk membantu mereka dalam menghadapi perang.

Jawatan propaganda giat melancarkan propaganda. Isi propaganda yaitu mengklaim bahwa Jepang mengobarkan perang Asia Timur Raya untuk membebaskan seluruh Asia dari penjajahan bangsa Barat.

Selain itu, Jepang juga mengklaim mempersatukan Asia dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya di bawah kepemimpinan Jepang.

Salah satu upaya agar rakyat dan pemimpin nasional Indonesia mau mendukung Jepang adalah dengan mendirikan beberapa organisasi dan perkumpulan. Organisasi dan perkumpulan yang didirikan pemerintah Jepang salah satunya adalah Gerakan Tiga A (Gerakan 3A).

Gerakan 3A didirikan pada bulan April 1942. Kantor propaganda Jepang mendirikan gerakan ini dengan semboyannya yakni:

  • 1. Jepang Cahaya Asia
  • 2. Jepang Pelindung Asia
  • 3. Jepang Pemimpin Asia

Melansir tulisan Dr. Nana Nurliana Soeyono, MA dan Dra. Sudarini Suhartono, MA dalam bukunya yang berjudul Sejarah, Jepang menggunakan semboyan 3A dalam menarik simpati rakyat Indonesia yang berarti guna mendekati para tokoh nasional agar mendukung Jepang dalam Perang Pasifik.

Sebab itu, mereka mengadakan kursus-kursus bagi para pemuda untuk menanamkan semangat pro Jepang demi menghadapi sekutu dalam perang.

Keruntuhan Gerakan 3A

Namun nyatanya, semboyan 3A ini hanya berumur beberapa bulan saja karena dianggap tidak menguntungkan bagi pihak Jepang. Bahkan, tidak berhasil dalam menarik simpati rakyat Indonesia.

Pada September 1942, Gerakan 3A dibubarkan karena terjadi perpecahan internal di antara penguasa Jepang. Staf gunseikan menuduh Gerakan 3A telah menjadi suatu organisasi massa. Padahal seharusnya merupakan gerakan propaganda.

Selain itu, Gerakan 3A dinilai kurang populer karena dipimpin oleh Mr. Syamsudin, seorang tokoh nasionalis yang disebut kurang dikenal masyarakat Indonesia.

Semoga penjelasan mengenai semboyan 3A yang digunakan Jepang dalam menarik simpati rakyat Indonesia dapat menambah sedikit wawasan detikers, ya!

Simak Video "Tokyo Gelap Gulita Usai Gempa M 7,3 Guncang Fukushima"


[Gambas:Video 20detik]
(rah/pay)

dibaca normal 10 menit

Reporter: Indira Ardanareswari
24 September 2019

View non-AMP version at tirto.id

"Sebagian unsur pemerintah Jepang ingin melakukan pembenaran terhadap kelakuan Jepang dengan mengatakan bahwa alasan berperang adalah untuk menolong kemerdekaan. Itu menurut saya bohong."

tirto.id - Sejarah pendudukan Jepang di Indonesia selalu identik dengan kekerasan militer, propaganda, serta luka dan trauma pascaperang. Padahal, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, ada problem-problem yang lebih kompleks dalam hubungan dua negara tersebut.

Aiko Kurasawa, sejarawan asal Jepang yang giat meneliti tentang Indonesia, mengungkapkan dalam buku terbarunya, Sisi Gelap Perang Asia (2019), bahwa sebenarnya ada berbagai macam masalah yang terjadi dalam kurun waktu 12 tahun setelah kemerdekaan (1945-1957).

Advertising

Advertising

Menurut Aiko, sebelum hubungan diplomatik kedua negara terbentuk pada 1958, terdapat aspek kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian sejarawan. Orang-orang dari kedua negara harus menanggung berbagai masalah yang berkaitan dengan identitas, relasi, dan status kewarganegaraan.

Melalui buku yang diangkat dari disertasi keduanya di Universitas Tokyo tahun 2011 itu, Aiko menawarkan perspektif baru tentang apa yang disebut sebagai korban perang. Baginya, korban perang bukan hanya tentang orang-orang yang kehilangan nyawa atau mengalami penyitaan kekayaan, tetapi juga tentang orang-orang yang terlantar di tempat yang tidak semestinya.

Dengan mengangkat tema tentang suara orang-orang kecil pasca-Perang Asia Pasifik, perempuan kelahiran Osaka 73 tahun silam ini berhasil mengurai kisah tentang orang-orang yang tidak bisa pulang ke tanah air akibat tertahan oleh perang. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa.

Ada pula kisah tentara Jepang yang memilih kabur dari kemiliteran, lalu menikah dengan perempuan Indonesia. Mereka pada akhirnya terpaksa menelan rasa pahit perpisahan ketika kebijakan repatriasi orang-orang Jepang di Indonesia diberlakukan pada 1946.

Menyambung peluncuran buku Sisi Gelap Perang Asia di ruang seminar PDDI LIPI pada Jumat (20/9/2019), penulis Tirto Indira Ardanareswari dan fotografer Andrey Gromico berkesempatan mewawancarai Aiko di kediamannya di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ia berbicara dalam bahasa Indonesia yang sangat lancar dan fasih.

Berikut petikan wawancara dengan profesor emeritus Universitas Keio itu.

(ki-ka) Dosen Sastra Jepang UNHAS, Dr. Meta Sekar Puji Astuti, Peneliti Senior LIPI, Prof. Dr. Asvi Warman Adam, Moderator, Dr. M. Haripin, dan Ketua Dewan Pembina Komunitas Historia Indonesia (KHI), Dr. Rushdy Hoesein tengah membahas buku Sisi Gelap Perang Asia karya Aiko Kurasawa di ruang seminar gedung PDDI LIPI lantai 2, Jalan Jend. Gatot Subroto No.10, Jakarta Selatan, Jumat (20/9/2019). tirto.id/Indira Ardanareswari

Literatur berbahasa Indonesia yang secara khusus membahas nasib orang-orang yang terlantar akibat Perang Asia masih jarang ditemui. Buku yang diterbitkan dari disertasi kedua Anda ini menjadi satu-satunya. Bagaimana kita menempatkan dan memaknai fenomena ini ke dalam historiografi Indonesia periode Jepang dan setelahnya?

Ini memang missing period antara sejarah zaman pendudukan Jepang dan sesudah diadakan hubungan diplomatik antara Indonesia-Jepang. Yang kontemporer cukup banyak ditulis, yang zaman Jepang juga cukup banyak ditulis, tapi periode antara 1945 dan 1957 boleh dikatakan kosong. Untuk menulis buku ini saya mencari bahan-bahan, tapi jarang ketemu. Kecuali sedikit-sedikit memoar yang ditulis oleh orang Jepang.

Jadi, sumber sejarah itu asalnya dari mana?

Banyak dari arsip. Seperti Arsip Nasional Republik Indonesia di Jalan Ampera Raya dan juga arsip di Den Haag, Belanda, mengenai bahan-bahan dari tahun 1945 hingga 1949 saat Belanda masih menguasai Indonesia. Jadi Belanda juga masih mempunyai dokumen dari periode ini.

Tapi kalau tentang masa sesudahnya, antara tahun 1950 dan 1957, saya ketemu di Arsip Departemen Luar Negeri Jepang, karena Arsip Departemen Luar Negeri Indonesia itu belum dibuka untuk umum. Sayang sekali. Kalau kita memiliki akses ke arsip Departemen Luar Negeri Indonesia pada zaman itu, mungkin kita bisa tambah informasinya. Mungkin ada bermacam informasi yang baru.

Yang ada di Arsip Nasional itu di antaranya arsip dari Sekretaris Negara dan Kabinet. Ada beberapa, tapi tidak semua dokumen pemerintah disimpan di Arsip Nasional. Sayang sekali. Kalau itu semua sudah diserahkan, sudah dibuka, mungkin kita bisa mengetahui sejarah baru.

Di Jepang arsip-arsip tentang hal ini terdokumentasikan dengan baik?

Iya, sejak 30 tahun yang lalu sudah dibuka untuk umum. Tapi karena sumber arsip masih sangat kurang, saya banyak bergantung pada sumber-sumber lisan. Saya mulai penelitian ini kira-kira awal 1990-an. Jadi, kira-kira hampir 30 tahun yang lalu.

Oleh karena itu, narasumbernya masih hidup. Tapi sekarang hampir semua sudah tidak ada. Kemarin saya cari-cari mereka, saya ingin undang untuk peluncuran buku yang kemarin. Saya cari dan kontak lagi tapi hampir semua meninggal. Anak-anaknya masih, jadi saya undang anak-anaknya.

Di salah satu bab buku Anda, ada kisah tentang orang-orang Indonesia yang belajar di Jepang dan mereka yang dikerahkan sebagai tenaga romusa ke wilayah-wilayah jajahan Jepang. Kelompok ini hampir tidak terdengar suaranya dalam historiografi populer di Indonesia. Mengapa demikian?

Nomor satu, suara-suara orang kecil itu tidak tercatat. Mungkin belum ada kebiasaan orang kecil menulis catatan. Kalau kita tidak mencari secara positif, sejarahnya hilang. Apalagi kalau tenaga kerja romusa. Kalau mahasiswa, karena mereka intelektual, masih ada kemungkinan mereka membuat catatan. Tapi kebetulan para mahasiswa di Jepang ini tidak meninggalkan catatan.

Jadi, tetap mengandalkan sumber wawancara?

Iya, tetap wawancara dan mereka sangat terbuka.

Keberadaan mahasiswa di Jepang menjadi femonena yang tidak tercakup dalam sejarah. Selama ini historiografi populer lebih menyoroti pergulatan orang-orang Indonesia yang pergi belajar ke Belanda atas sponsor pemerintah kolonial. Lalu bagaimana caranya mahasiswa Indonesia ini bisa menemukan jalan pergi ke Jepang?

Itu istimewa. Yang memilih pergi ke Jepang untuk belajar rata-rata adalah mereka yang memiliki latar belakang politik. Rasa nasionalisme mereka tinggi, jadi ingin melawan Belanda dan ingin belajar dari Jepang atau ingin mendapatkan bantuan dari Jepang untuk melawan Belanda. Kecenderungan itu sangat kuat pada umumnya.

Meskipun anak-anak dan istrinya tidak ikut gerakan politik, paling tidak ayahnya aktif dalam gerakan politik. Para ayah ini ada yang mengirimkan anaknya ke Jepang. Ini sangat berbeda dengan mahasiswa yang dikirim ke Belanda.

Semua itu didorong kesadaran sendiri?

Ya, kesadaran yang agak keras. Mereka yang sudah selesai belajar di Jepang dan kembali ke Hindia Belanda sebelum pecah perang mengalami banyak kesulitan, karena mereka dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda. Mereka dianggap sebagai anti-Belanda, mata-mata Jepang, dan sebagainya. Rata-rata nasib mereka kurang baik.

Pada waktu pecah perang, pada Desember 1941, hampir semua dari mereka ditangkap oleh Belanda. Belanda takut mereka akan dipakai oleh Jepang untuk melawan Belanda. Tetapi tidak lama kemudian, tentara Jepang sudah masuk ke Indonesia pada bulan Maret 1942.

Setelah itu mereka dibebaskan oleh tentara Jepang. Kebanyakan dari mereka akhirnya ikut membantu pemerintahan Jepang di Indonesia. Hanya saja jumlahnya masih sangat sedikit. Mereka yang sudah pulang ke Indonesia sebelum pecah perang itu bisa dihitung.

Berapa tepatnya jumlah mereka?

Sedikit. Bisa dihitung dengan jari. Kira-kira sepuluh orang. Ada beberapa dari mereka yang sudah kawin dengan perempuan Jepang dan membawa keluarganya kembali ke Indonesia.

Apakah selama belajar di Jepang mereka benar-benar menemukan jawaban atas nasionalisme yang dicari-cari?

Ini memang tergantung orangnya. Ada yang aktif melakukan hubungan dan jaringan dengan nasionalis Jepang dan banyak yang dibantu oleh mereka. Kelompok-kelompok ultranasionalis Jepang atau Pan Asianism Jepang ingin membantu mahasiswa-mahasiwa Asia yang mencari bantuan untuk perjuangan kemerdekaan dan sebagainya. Ini bukan hanya orang Indonesia, tapi orang Vietnam, Filipina, India, macam-macam.

Umumnya mereka ini berkumpul di mana? Apa nama perkumpulannya?

Ada Serikat Indonesia. Tempatnya tersebar. Tokyo paling banyak, Kyoto juga ada. Di beberapa kota besar.

Kegiatan seperti apa yang mereka lakukan di sana?

Diskusi dan belajar politik dari kaum nasionalis Jepang.

Pemerintah militer Jepang juga banyak memberangkatkan mahasiswa nantoku (program beasiswa dari pemerintah Jepang untuk orang-orang Asia) selama periode pendudukan di Indonesia. Bagaimana awal mulanya program ini dilaksanakan?

Itu sedikit berbeda, karena mereka itu dikirim oleh pemerintahan militer Jepang. Tidak tentu dengan inisiatifnya sendiri. Memang bukan paksa, tapi rata-rata ditunjuk oleh tentara Jepang dan dikirim. Sehingga tidak selalu ada motif politik. Mereka dipilih oleh tentara Jepang sebagai pemimpin Indonesia di masa depan.

Dari mana biayanya?

Seratus persen dibiayai oleh Jepang. Dan bukan hanya dari Indonesia, tetapi juga dari beberapa negara dari Asia Tenggara itu juga dikirim sebagai nantoku. Jadi, nantoku bukan hanya dari Indonesia.

Kurasawa Aiko. tirto.id/Andrey Gromico

Setelah kemerdekaan, bagaimana nasib mereka yang masih belajar di Jepang ini?

Seperti yang saya tulis di buku [Sisi Gelap Perang Asia], 107 orang Indonesia ada di Jepang pada waktu itu. Tidak semua mahasiswa karena juga ada istrinya. Uniknya, ada satu orang ibu dari Jawa yang datang ke Jepang sebagai pembantu rumah tangga orang Belanda. Mereka yang berstatus mahasiswa hanya sekitar seratus kurang.

Nasib mereka itu dibagi dua. Memang sebagian besar dari mereka ingin pulang ke Indonesia. Tetapi mereka baru mengetahui bahwa perwakilan pemerintah Indonesia belum ada di Jepang. Agar bisa dipulangkan, secara administratif mereka harus mengakui diri sendiri sebaga citizen Belanda. Barulah Belanda akan memberikan paspor Belanda.

Ada di antara mereka yang menerima itu, juga ada yang menolak. Mereka yang menerima bukan karena mereka tunduk kepada Belanda, tetapi ada alasan penting yang mengharuskan mereka untuk pulang menggunakan paspor Belanda.

Mereka yang menolak nasibnya bagaimana?

Tidak terlalu jelek. Waktu itu Jepang dijajah oleh tentara Amerika setelah kalah perang. Orang-orang Amerika membutuhkan orang-orang yang pintar berbahasa Inggris untuk bekerja di kantor mereka. Kebetulan mahasiswa Indonesia hampir semua pintar bahasa Inggris.

Baik mahasiswa yang dikirim ketika zaman kolonial maupun pada periode perang semua bisa berbahasa Inggris. Mereka memiliki dasar pendidikan Belanda dan di sekolah Belanda biasanya bahasa Inggris itu sangat penting sehingga mereka fasih berbahasa Inggris. Jadi, mereka gampang mendapatkan pekerjaan di kantor-kantor militer Amerika dengan gaji cukup.

Pembagian makan juga istimewa dibandingkan penduduk Jepang sendiri yang menderita kekurangan makanan pascaperang. Mahasiswa Indonesia diakui sebagai orang asing oleh tentara Amerika sehingga mereka dikasih jatah khusus sebagai orang asing. Maka dari itu nasibnya tidak terlalu jelek.

Hanya saja mereka putus komunikasi dengan orang tua, karena Indonesia masih dijajah oleh orang Belanda. Meskipun beberapa wilayah sudah dibebaskan, tetapi tetap tidak ada komunikasi langsung anatara daerah Republik Indonesia dan Jepang. Komunikasi harus selalu lewat Batavia atau kantor kolonial, karena tentara Amerika tidak mengakui Republik Indonesia.

Apa Sukarno dan pemerintahannya menyadari kehadiran kelompok-kelompok ini?

Kelompok-kelompok mahasiswa yang telantar di Jepang pernah menulis ke Perdana Menteri Sjahrir. Kemungkinan suratnya dikirim melalui pemerintah Hindia Belanda. Dalam surat itu mereka menanyakan, “Kalau kami mengakui diri sendiri sebagai citizen Belanda, apakah itu berarti kami pengkhianat negara?"

Mereka menanyakan begitu. Lalu Sjahrir menjawab, “Tidak usah khawatir, kami percaya patriotisme kalian, jadi tidak usah khawatir." Kasus lain, melalui bantuan Palang Merah Internasional mereka diizinkan mengirim telegram ke orang tua.

Pemerintahan Sukarno tidak berupaya untuk memulangkan mereka?

Tidak bisa. Meskipun mau, tetapi tidak bisa. Tidak ada dayanya, tidak ada caranya. Setahu saya tidak ada usaha.

Jepang sendiri banyak menempatkan tentara dan tenaga kerja berkebangsaan Jepang untuk melaksanakan program-program militer di Indonesia selama periode perang. Bagaimana nasib mereka ketika tentara Sekutu dan Belanda berkuasa di Indonesia?

Menurut hukum internasional, bangsa Jepang di Indonesia seluruhnya harus repatriasi ke Jepang. Rata-rata tidak keberatan dan siap pulang ke Jepang. Tetapi memang ada pengecualian. Di antaranya ada yang sudah kawin dengan perempuan Indonesia dan itu cukup banyak.

Pada zaman pendudukan Jepang, perkawinan dengan bangsa Jepang dengan orang Indonesia secara resmi tidak diizinkan oleh tentara Jepang. Tetapi kenyataannya, banyak orang Jepang yang memilih berkeluarga tanpa ikatan perkawinan resmi dan kadang-kadang sudah memiliki anak. Tidak ada statistik, tapi diperkirakan anak yang lahir dari orang Jepang dan perempuan Indonesia jumlahnya ribuan.

Nasib mereka kasihan sekali. Suami harus pulang, tetapi istri tidak bisa ikut karena perkawinannya tidak resmi. Mau tidak mau mereka harus ditinggalkan. Perempuan-perempuan Indonesia yang kawin dengan orang Jepang lalu bernegosiasi dengan Sekutu yang ada di Batavia. Mereka meminta tolong kepada Sekutu agar mereka dikawinkan secara resmi dan dibawa ke Jepang.

Kebetulan komandan Sekutu yang bertugas di sini sangat humanis dan mereka berusaha mencari cara hukum untuk meresmikan perkawinan itu. Akhirnya, hanya ada 140 kasus yang berhasil dinikahkan secara resmi. Kasus perempuan yang ditinggal suaminya pulang ke Jepang jumlahnya jauh lebih banyak.

Tetapi ada kategori ke-3. Pertama, mereka yang berhasil meresmikan perkawinannya dan keduanya pulang. Kedua, kategori yang paling banyak itu istri dan anak ditinggalkan. Ketiga, suami lari dari tentara Jepang dan masuk kampung bersama istri untuk menyembunyikan diri. Mereka ini disebut desertir. Jadi, ada tiga kasus berbeda.

Apa alasan para perempuan ini lebih memilih mendatangi Sekutu ketimbang mengadu kepada pemerintah RI?

Mereka tahu mengadu ke pemerintah RI tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Karena secara resmi pemerintah Indonesia tidak punya hubungan dengan Jepang pada tingkat negara. Jepang hanya mengakui Belanda. Dunia internasional hanya mau mengakui Belanda sampai tahun 1949. Jepang juga harus mengikuti aliran itu karena mereka kalah sehingga tidak bisa memutuskan apa-apa sendiri. Akibatnya, segala yang berhubungan dengan tentara Jepang tidak bisa diadukan ke pemerintah RI.

Tahun 1946, Menteri Sosial Maria Ulfah diberi tugas oleh Sjahrir untuk merepatriasi orang-orang Jepang di Indonesia. Apa hal ini tidak menandakan adanya keterlibatan pemerintah RI menangani orang-orang Jepang di Indonesia?

Itu permintaan dari pihak Jepang yang disampaikan melalui Belanda. Maksud saya, tidak ada hubungan langsung antara Jepang dan Indonesia pada waktu itu. Harus selalu melalui Belanda. Pada waktu itu ada tiga power: Sekutu, Jepang dan Indonesia. Sampai 1946 ketiganya masih ada. Sesudah tahun itu Jepang pulang.

Pada waktu itu memang ada macam-macam hubungan antara ketiganya. Umpamanya di Pertempuran Surabaya pada November 1945. Memang itu pertempuran antara Indonesia dengan Sekutu, tetapi kenyataannya banyak orang Jepang membantu tentara Indonesia secara tidak formal. Caranya dengan memberi senjata kepada pihak Indonesia.

Kenapa mereka mau melakukan itu?

Pada umumnya, hampir semua orang Jepang pada waktu itu punya simpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Hal ini mungkin tidak banyak diketahui. Orang Jepang sebagai pribadi sangat bersimpati terhadap bangsa Indonesia. Kalau mereka disuruh pilih antara Belanda dan Indonesia, pasti mereka pilih Indonesia.

Orang Jepang menganggap Belanda itu musuh, tapi Indonesia itu kawan. Ya, meskipun kawan yang banyak ditindas pada zaman Jepang [tertawa]. Rata-rata bangsa Jepang secara individual bersimpati terhadap kemerdekaan.

Oleh karena itu, meskipun melanggar perintah dari atasan, tentara Jepang diam-diam memberikan senjata dan sebagainya. Tapi ini bukan hubungan antarnegara. Pemerintah Jepang secara resmi tidak membantu Indonesia karena bisa melanggar hukum internasional.

Artinya ada kedekatan tentara Jepang di tingkat sipil?

Ya, di bawah, grassroot. Kenyataannya ada.

Kurasawa Aiko. tirto.id/Andrey Gromico

Apa yang dilakukan pemerintah RI untuk memulangkan bangsanya sendiri, bekas tenaga kerja romusa di luar negeri?

Pemerintah Republik Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa di wilayah Indocina, Thailand, Birma, Malaysia. Tidak bisa karena belum ada hubungan diplomatik. Jadi, yang mengurus romusa di luar negeri, di negara-negara itu, hanya negara-negara Sekutu.

Sesudah mereka [Sekutu] memutuskan untuk mengirim kembali romusa ke Indonesia, pemerintah RI sudah mengadakan persiapan untuk menerima mereka. Kalau mereka sudah tiba di pelabuhan, mereka akan dipulangkan ke tempat masing-masing dengan ongkos dari Republik Indonesia.

Jadi, proses pemulangan ini kembali dilakukan dengan jalan negosiasi pemerintah RI dengan Sekutu?

Betul, itu zaman Revolusi. Kenyataannya antara Sekutu atau Belanda dengan Indonesia ada banyak negosiasi, banyak diplomasi.

Apa ada kasus bekas tenaga kerja romusa yang menolak pulang ke tanah airnya?

Ada sedikit. Mereka yang sudah terlanjur menikah dengan perempuan lokal terpaksa menetap. Padahal sebenarnya jika ingin membawa istri pulang ke tanah air tetap diizinkan jika sudah meresmikan pernikahan. Sayangnya, hanya sedikit perempuan Birma (Myanmar) dan Thailand yang setuju ikut suami pulang ke Indonesia. Jadi, biasanya suami yang memutuskan tinggal di tempat itu.

Sukarno pernah mengajak rakyat untuk menjadi romusa. Apa yang dilakukannya saat mendapati banyak tenaga romusa yang kesulitan pulang?

Tentang kelakuan Sukarno terhadap masalah itu tidak ditemukan arsipnya.

Menurut Anda, apakah penelitian tentang masalah repatriasi dan pampasan Perang Asia Pasifik ini masih memiliki potensi untuk digali lagi?

Ya, tentu saja. Seperti yang tadi saya sebut, kalau arsip pemerintah Indonesia dibuka, mungkin ada banyak hal-hal baru. Jadi, saya sangat mengharapkan peneliti-peneliti Indonesia yang muda mengkaji topik ini.

Dari mana memulainya?

Kebanyakan dari peneliti muda tidak mau mengambil topik ini karena susah mencari dokumentasinya. Oleh karena itu, jika arsip Indonesia sudah dibuka, akan lebih gampang bagi peneliti Indonesia mengkaji topik ini.

Pemerintah Jepang sendiri apakah cukup terbuka menyikapi penelitian-penelitian tentang dampak-dampak pendudukan Jepang di Asia?

Interpretasinya lain, macam-macam. Di antara pembesar-pembesar pemerintahan Jepang pun ada perbedaan opini. Secara formal, pemerintah Jepang mengakui atas kesalahan Jepang yang dilakukan selama perang. Tetapi, selalu ada sekelompok orang yang tidak mau mengakui dan sampai sekarang masih ada.

Menurut interpretasi mereka, Jepang berperang untuk menolong bangsa Asia menghadapi Inggris, Belanda, dan Amerika yang saat itu menjajah Asia. Maksud Jepang pada awalnya ialah untuk menolong atau membebaskan Asia dari belenggu Eropa dan Amerika. Ini interpretasi mereka. Sekarang, kelompok-kelompok muda yang tidak mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi mulai mengakui interpretasi ini.

Saya sangat senang jika interpretasi ini benar, tapi kenyataannya tidak demikian. Saya sudah mengadakan banyak wawancara di sini [Indonesia] tahun 1980-an dengan petani-petani di desa. Mereka semua mengalami kesulitan kehidupan. Makanan kurang, tenaga kerjanya diambil sebagai romusa. Banyak yang meninggal akibat kelaparan. Banyak pula terjadi kekerasan. Oleh karena itu, saya tidak bisa mengakui tujuan dari pemerintah Jepang berperang untuk menolong bangsa Asia.

Mungkin, seperti yang tadi saya sebut, rata-rata orang Jepang bersimpati ke orang Indonesia daripada ke orang Eropa, tetapi yang lebih penting ternyata untuk mendapatkan kekayaan alam yang dibutuhkan untuk mempertahankan daya produksi industri di Jepang.

Sebagian unsur pemerintah Jepang ingin melakukan pembenaran terhadap kelakuan Jepang dengan cara mengatakan bahwa alasan berperang adalah untuk menolong kemerdekaan. Itu menurut saya bohong.

Bagaimana dengan janji kemerdekaan dari Jepang?

Kalau menurut saya, itu by product. Hasil yang kebetulan keluar. Bukan yang dimaksudkan. Jepang mengadakan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, di sana dibahas pembuatan Undang-Undang Dasar. Memang persiapan kemerdekaan boleh dikatakan dibantu oleh Jepang, tetapi ini bukan keinginan pertama Jepang pada waktu itu.

Jepang terpaksa karena situasi perang sudah sangat susah. Mulai Agustus 1944, situasi Jepang sudah sangat sulit. Jepang kalah terus dan sudah tidak ada harapan untuk menang. Di lain pihak, di Indonesia sudah timbul banyak pemberontakan terhadap Jepang, seperti pemberontakan petani, pemberontakan Peta, pemberontakan kaum Muslim juga sudah dimulai.

Sukarno dan kolaborator Jepang yang lain sudah mulai khawatir. Jika hal ini berlanjut, orang-orang Indonesia tidak mau bekerjasama lagi dengan Jepang dan itu celaka sekali. Untuk mencegah timbulnya kerusuhan, pembesar Jepang terpaksa mengakui dan membuat janji pada September 1944 bahwa di kemudian hari Jepang akan memerdekakan Indonesia.

Peneliti-peneliti muda saat ini banyak yang tertarik mengkaji sejarah periode Jepang, tetapi sering mengeluhkan kesulitan data. Menurut Anda, apa yang harus mereka lakukan?

Saat ini sudah ada buku saya yang baru diterbitkan akhir tahun lalu oleh Dirjen Kebudayaan bekerjasama dengan Jepang. Ini katalog berjudul Bibliografi Beranotasi Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia yang memuat informasi bahan-bahan atau arsip-arsip Jepang tentang zaman pendudukan Jepang.

Di sini, saya memberi petunjuk di mana lokasinya dan isinya kira-kira tentang apa, agar paling tidak peneliti-peneliti di Indonesia bisa mencari data-data yang mereka inginkan. Maka dari itu, sekarang jangan bilang bahannya terlalu sulit. Silakan mempergunakan ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Indira Ardanareswari
(tirto.id - ina/ivn)

Reporter: Indira Ardanareswari Penulis: Indira Ardanareswari Editor: Ivan Aulia Ahsan

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA