Prinsip yang menekankan bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat disebut prinsip

Pernahkah kamu memperhatikan kemeriahan yang terjadi saat pemilihan umum? Hajatan yang digelar 5 tahun sekali ini merupakan perwujudan demokrasi Pancasila serta kedaulatan rakyat. Dimana, rakyat bebas memilih dan menentukan wakil-wakil rakyat maupun pemimpin dari pemerintahan negara ini. Mengingat Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat dan menempatkan kekuasaan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dalam menjalankan kehidupan bernegara.

Secara etimologi, kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Secara harfiah, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam menyusun undang-undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Kedaulatan rakyat berprinsip pada kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga pemerintah harus melaksanakan kegiatan berbangsa dan bernegara dengan dasar dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Kedaulatan rakyat dapat diwujudkan dengan melaksanakan demokrasi langsung (dilakukan oleh rakyat) dan demokrasi perwakilan (dilakukan oleh wakil rakyat di DPR, MPR, dan DPRD). Ahli tata negara dari Prancis Jean Bodin mengemukakan teorinya tentang empat sifat kedaulatan antara lain :

  • Asli, berarti bahwa kekuasaan tersebut tidak berasal dari kekuasaan lain yang lebih tinggi
  • Permanen, berarti bawah kekuasaan tersebut tetap ada selama negara itu masih berdiri
  • Tunggal, berarti bawah kekuasaan tersebut hanyalah dimiliki oleh satu negara dan tidak dapat dibagikan kepada badan-badan yang lain.
  • Tidak terbatas, berate bahwa kekuasaan tersebut tidak dibatasi oleh kekuasaan lain

(Baca juga: Bentuk dan Sifat Kedaulatan)

Dengan berdaulat berarti bahwa negara Indonesia memiliki kekuasaan tertinggi atas pemerintahannya sendiri. Indonesia berhak secara bebas menjalankan roda pemerintahannya tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Sementara itu, kedaulatan sendiri memiliki dua bentuk, yaitu :

  • Kedaulatan ke dalam, sebuah negara memiliki kekuasaan penuh dan tertinggi dalam mengelola pemerintahannya. Baik organisasi pemerintahan maupun sumber daya alam yang ada.
  • Kedaulatan ke luar, sebuah negara memiliki kekuasaan penuh untuk menjalin hubungan kerjasama dengan negara lain tanpa terikat oleh kekuasaan manapun.

Teori Kedaulatan

Menurut para ahli tata negara, berdasarkan sejarah asal mula kedaulatan, maka terdapat beberapa jenis teori kedaulatan antara lain :

Teori ini menyatakan causa prima yang berarti bahwa segala bentuk kekuasaan yang dimiliki pemerintah dan negara diberikan langsung oleh Tuhan. Beberapa orang dipilih secara kodrati untuk mengemban tanggung jawab kekuasaan sebagai pemimpin sekaligus wakil Tuhan di dunia ini. Teori ini banyak dianut oleh raja-raja terdahulu serta beberapa negara. Kekuasaan yang bersumber dari Tuhan dianggap memiliki sifat mutlak dan suci sehingga raja atau pemerintah selalu benar.

Teori ini menyatakan bahwa raja memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri dan kekuasaan yang diberikan merupakan kekuasaan tertinggi, karena sebuah jelmaan dari kehendak Tuhan.

Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi dimiliki oleh negara karena kedaulatan muncul bersamaan dengan didirikannya sebuah negara. Negara dianggap sebagai lembaga tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga hukum dan konstitusi dirancang negara serta dilaksanakan demi kepentingan bernegara.

Teori ini menyatakan hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Pemerintah mendapatkan kekuasaan dari hukum yang ada baik tertulis maupun tidak tertulis, dan bersumber dari rasa keadilan dan kesadaran hukum.

Teori ini menekankan bahwa sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, rakyat secara sengaja memberikan sebagian kekuasaannya kepada orang-orang tertentu yang akan disebut sebagai penguasa yang bertugas untuk menjaga hak-hak rakyat. Adapun, teori kedaulatan rakyat ini dipelopori beberapa tokoh yaitu :

  • J. Rousseau mengemukakan teori tentang social contract di mana kedaulatan merupakan perwujudan dari kehendak umum suatu bangsa yang merdeka.
  • Johannes Althusius menyatakan bahwa perjanjian masyarakat akibat tunduk kepada kekuasaan merupakan dasar terjadinya susunan kehidupan manusia. Sedangkan, pemegang kekuasaan tersebut dipilih oleh rakyat.
  • John Locke mengungkapkan bahwa kekuasaan negara berasal dari perjanjian masyarakat di mana masyarakat menyerahkan hak-haknya kepada pemerintah sedang pemerintah akan mengembalikan hak tersebut dan melaksanakan kewajibannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
  • Mostesquieu berpendapat bahwa kekuasaan dalam negara harus dibagi ke dalam tiga kekuasaan terpisah (separated of powers) yakni :

Legislatif, yaitu kekuasaan untuk membentuk peraturan perundang-undangan suatu negara.

Eksekutif, yaitu kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan mengacu pada peratiran perundang-undangan yang berlaku.

Oleh:

Firmansyah Putra, S.H., M.H

ABSTRACT

Mechanism and dismissal interim parliamentarians are regulated in Law No. 17 of 2014 can be which is proposed by the head of her political party that is in Article 239 or by the Honorary Board of the Parliament are set to Presidential Decree. The election of a member of the House of Representatives actually puts sovereignty vested in the people. The existence of representative institutions in a democratic country is one of the pillars are very basic, because these institutions serve to represent kepentiagan-interests of the people, to channel the aspirations of the people and accommodate these aspirations. Every political decision should be through a democratic and transparent process to uphold the sovereignty of the people.

Keywords:    Dismissal interim parliamentarians, Democratic, Popular Sovereignty

Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, dari uraian tersebut menegaskan bahwa “Dalam suatu negara hukum mengharuskan adanya pengakuan normatif dan empiris terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi”.[1] “Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa inggris disebut Legal State atau state based on the rule of law, dalam bahasa belanda dan jerman disebut rechtsstaat, adalah ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara”.[2]

Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah sebuah konsep untuk menegakan tatanan konstitusional dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menurut sendi-sendi kerakyatan (demokrasi), Negara berdasarkan atas hukum, dan kesejahteraan umum menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.[3] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyatakan bahwa “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Kelemahan partai politik adalah potensi negatif yang dapat menghambat fungsi partai politik sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Partai politik adalah media aspirasi bagi masyarakat luas untuk ikut dalam proses penentuan kebijakan dalam kehidupan bernegara. “Parlemen difungsikan sebagai forum perdebatan mengenai berbagai aspirasi dalam rangka ‘rule making’ dan ‘public policy making’ serta ‘public policy executing’”.[4] “Keberadaan lembaga perwakilan dalam suatu negara menandai dianutnya sistem perwakilan di negara itu”.[5] Hal ini mengandung arti bahwa demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi tidak langsung. Menurut Hartati menyatakan bahwa:

Kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat kepada penguasa, orientasinya harus kembali lagi kepada rakyat. Yaitu kemauan bersama dari anggota-anggota masyarakat yang menyerahkan pelaksanaan kedaulatan itu. Karena sesungguhnya kedaulatan itu tetap berada ditangan rakyat sedangkan yang diserahkan hanyalah pelaksanaannya saja.[6]

Pengaturan tentang pemberhentian anggota DPR diatur di dalam Pasal 22-B Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatanya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”. Untuk lebih lanjut diatur dalam pengaturan pemberhentian antarwaktu yang terdapat dalam Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Pemberhentian yang diatur dengan Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, hal ini tidak ada ukuran yang jelas bahkan bisa bersifat subyektif belaka yang didasarkan pada suka atau tidak suka dari pimpinan partai politik atau kesewenang-wenangan partai politik terhadap anggotanya yang menjadi anggota DPR yang tidak sejalan atau berbeda pendapat dalam menyampaikan atau menyuarakan aspirasi konstituen atau rakyat pemilih, maka anggota DPR dapat diberhentikan. Sebenarnya, “dalam budaya politik demokrasi yang matang (mature), sistem rekrutmen politik (Poolitical recruitmen) yang demokratis, dan ada hubungan yang lebih riil antara wakil dengan konstituen, pranata recall tidak diperlukan”.[7]

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menentukan sistem pemilu proporsional dan terbuka dengan suara terbanyak, seharusnya hak pemberhentian terhadap anggota parlemen tidak sepenuhnya berada ditangan partai politik, tetapi konstituen juga memiliki hak untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak di berhentikan  ataukah tidak. Terpilihnya seorang anggota legislatif menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tanga rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Moh. Hatta juga pernah mengatakan:

hak recall bertentangan dengan demokrasi apalagi demokrasi Pancasila. Pimpinan partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat pemilihnya. Kalau demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja. Pada dasarnya hak recall ini hanya ada pada negara komunis dan fasis yang bersifat totaliter.[8]

Sedangkan menurut Hartati menyatakan bahwa:

Konsep perwakilan memberikan deskripsi teoretikal mengenai wakil dan pihak yang diwakili. Dengan pengertian yang demikian, maka antara wakil dan yang diwakili terdapat hubungan yang tidak bisa dilepas. Para wakil terpilih dalam memutuskan segala kebijakan kenegaraan harus menampung dan menyerap aspirasi dari mereka yang diwakili.[9]

Artinya, partai politik salah satu fungsinya sebagai wadah untuk anggota partai politik dapat menjadi anggota legislatif yang telah terpilih pada pemilihan umum untuk menyerap, menghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat yang telah memilihnya dalam pemilihan umum.

  1. Pemberhentian Antarwaktu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD

Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.[10] Pasal 241 (1) menyatakan bahwa:

Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh  partai politiknya  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Artinya pemberhentian antarwaktu terhadap anggota DPR yang dilakukan oleh partai politik tidak diperlukan penyelidikan dan verifikasi oleh Badan Kehormatan dan tanpa harus ada pengaduan termasuk pengaduan dari pemilih. Hal ini memberikan kewenangan yang sangat luar biasa besar kepada partai politik untuk memberhentikan anggotanya yang duduk sebagai anggota DPR yang bisa hanya didasarkan atas suka atau tidak suka atau bertentangan dengan kebijakan partai. Problematika yang terjadi saat dalam Pengadilan, para hakim menganggap hal ini adalah persoalan internal Partai yang telah diputus oleh mahkamah internal Partai yang bersangkutan.

  1. PRINSIP DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN

Demokrasi nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata kepemerintahan dan kegiatan poiitik. Semua proses poiitik dan lembaga-lembaga pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Meunurut Ranny, “demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip yang berdasarkan atas Kedaulatan rakyat (popular sovereignty), Kesamaan politik (political equality), Konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), Aturan suara mayoritas”.[11]

Berdasarkan pendapat di atas, lebih lanjut di bawah ini akan dijelaskan pemerintahan yang dapat dikatakan demokratis.

  1. Kedaulatan rakyat (Popular Sovereignty)

Prinsip kedaulatan rakyat itu menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate power) untuk membuat keputusan terletak di tangan seluruh rakyat, bukannya berada di tangan beberapa atau salah satu dari orang tertentu. “Scheltema, memandang kedaulatan rakyat (democratie beginsel) sebagai salah satu dari empat asas negara hukum, disamping rechtszekerheidbeginsel, gelijkheid beginsel, dan het beginsel van de dienendeoverheid”.[12] Sistem pemerintahan yang demo­kratis adalah sistem yang meletakkan kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat. Semua proses pembuatan kebijakan publik yang rnenyangkut kepentingan rakyat harus didasarkan pada kedaulatan ini.

  1. Kesamaan politik (political equality)

Dapat dikemukakan bahwa “prinsip demokrasi yang mendasarkan pada kesamaan politik itu menekankan adanya kesamaan kesempatan bagi seluruh rakyat atau warga negara tersebut untuk memainkan peran dalam proses pembuatan keputusan politik suatu Negara”.[13] Dalam perspektif yang demikian, undang-undang sebagai produk parlemen tidak boleh diganggu-gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim hanya berwenang menerapkannya bukan menilai apalagi membatalkannya”.[14]

Dihubungan dengan teori antara wakil dengan yang diwakili menurut Gilbert Abcarian ada 4 (empat) tipe, yaitu:

  1. Si wakil bertindak sebagai wali (trustee).
  2. Wakil bertindak sebagai utusan (delegate).
  3. Wakil bertindak sebagai politico.
  4. Wakil bertindak sebagai partisan. Wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program partainya. Setelah wakil dipilih oleh pemilihnya maka lepaslah hubungannya dengan pemilihnya, Mulailah hubungan terjalin dengan parpol yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.[15]

Menurut A. Hoogerwer, hubungan antara si wakil dengan yang diwakilinya ada 5 (lima) model, yaitu:

  1. Model delegate (utusan).
  2. Model trustee (wali).
  3. Model politicos.
  4. Model kesatuan.
  5. Model diversifikasi (penggolongan).[16]

Menurut teori Abcarian dan Hoogerwer diatas jika dihuubungkan dengan hubungan antara wakil rakyat dengan partai politiknya di Indonesia adalah partisan, karena wakil rakyat bertindak sesuai dengan kehendak dari partai politiknya saja, yang seharusnya adalah sebagai wali (trustee) yang memperoleh kuasa penuh dari yang diwakilinya atau utusan (delegate) yang menjadi utusan untuk menjalankan perintah dari yang diwakilinya.

  1. Konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation)

Prinsip konsultasi rakyat ini merupakan syarat ketiga dari sistem pemerintahan yang demokratis. Prinsip ini mem­punyai dua ketentuan, yakni:

  1. Negara harus mempunyai mekanisme yang melembaga yang dipergunakan oleh pejabat-pejabat negara rnemahami dan mempelajari kebijakan publik sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh rakyat.
  2. Negara harus mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi rakyat.[17]

Berdasarkan pendapat diatas merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan rakyat dan demokrasi. Dua ketentuan itu mengharuskan pula bagi pejabat untuk berkomunikasi dengan rakyat. Sarana komunikasi dalam pemerintahan yang demokratis dapat dilakukan dengan berdialog.

  1. Kekuasaan mayoritas (Mayority rule)

“Prinsip suara mayoritas ini menghendaki agar suara terbanyak yang mendukung atau yang menolak dijadikan acuan diterima atau ditolaknya suatu kebijakan publik”.[18] Perlu dicatat di sini bahwa prinsip ini bukanlah berarti bahwa setiap tindakan pemerintah harus dikonsultasikan kepada rakyat atau disahkan oleh mayoritas. Melainkan suara mayoritas ini hanya diperlukan bagi pelbagai jenis proses pengambilan kebijakan publik.

  1. PEMBERHENTIAN ANTARWAKTU ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT AGAR TIDAK BERTENTANGAN DENGAN PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

 “Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat pokok, karena lembaga ini berfungsi untuk mewakili kepentiagan-kepentingan rakyat, menyalurkan aspirasi rakyat serta mengartikulasikan aspirasi tersebut”.[19] “Badan legislatif atau Legislature mencerminkan salah satu fungsi badan itu, yaitu legislate, atau membuat undang-undang”.[20] “De­wasa ini anggota dewan perwakilan rakyat pada umumnya me­wakili rakyat melalui partai poiitik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat poiitik (political representation)”.[21] “Oleh karena itu DPR dibentuk di pusat untuk mengkritisi pemerintah pusat, dibentuk di daerah untuk mengkritisi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten sesuai tingkatannya”.[22]

DPR diberikan menggunakan hak-haknya sebagai wakil rakyat untuk menentukan jalanya kehidupan kenegaraan. Dalam hubungan itu, penting dibedakan antara pengertian “representation in presence” dan “repre­sentation in ideas”.[23] Yang pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik; Sedangkan pengertian keterwakilan yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.

Menurut Jimly Asshiddiqie “Dalam suatu negara yang benar-benar menganut asas kedaulatan rakyat, pembagian ketiga fungsi pemerintahan itu sama sekali tidak mengurangi makna bahwa yang sesungguhnya berdaulat adalah rakyat. Semua fungsi pemerintahan itu tunduk kepada kemauan rakyat atau majelis yang mewakilinya”.[24] Di antara fungsi badan legislatif yang paling penting ialah:

  1. Menentukan kebijakan (Policy) dan membuat undang-undang.
  2. Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan (Scrutiny, Oversight).[25]

Sistem politik yang demokratis adalah terwujudnya kedaulatan di tangan rakyat, partisipasi rakyat yang tinggi dalam kehidupan politik, partai politik yang aspiratif dan efektif, pemilihan umum yang berkualitas. Sistem politik yang demokratis ditopang oleh budaya politik yang  sehat, yaitu sportifitas dan menghargai perbedaan.

Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam Undang-Undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukan konsistensi dalam menerapkan pahan supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama didepan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum. Yang menjadi pertanyaan, apakah pemberhentian anggota DPR yang diusulkan oleh partai politik telah sesuai menurut hukum.

Pemberhentian antarwaktu oleh partai politik telah menimbulkan suatu ketidakpastian hukum atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota partai yang telah duduk di lembaga perwakilan suka atau tidak suka harus mengikuti apa yang diperintahkan ketua partai poltik, mengakibatkan posisi anggota lembaga perwakilan menjadi sangat lemah untuk menjalankan fungsinya sebaga wakil masyarkat.

Menurut Bagir Manan menyatakan bahwa:

“recall dapat dipandang sebagai pranata darurat, karena itu harus dihindarkan dari kelemahan-kelemahan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ada beberapa kemungkinan demokratik melakukan recall. Pertama; inisiatif dapat dari partai atau DPR. Apabila inisiatif dari partai, maka harus didukung oleh sejumlah cabang partai termasuk pengurus partai daerah konstituen anggota yang bersangkutan. Apabila inisiatif dari DPR, harus diusulkan oleh fraksi yang bersangkutan. Cara Iain yaitu inisiatif datang dari daerah konstituen anggota yang bersangkutan. Konstituen daerah pemilihan anggota yang bersangkutan, dengan jumlah tertentu dapat mengusulkan agar anggota yang bersangkutan di recall. Kedua; inisiatif di atas diajukan kepada DPR untuk diperiksa dan diputus”.[26]

“DPR mempunyai fungsi pemeliharaan sistem ketatanegaraan yang mencakup kewenangan memelihara kesinambungan sistem ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; membuat agar rakyat merasa terwakili dengan menyalurkan aspirasi mereka”.[27] Diberikan kemerdekaan setiap orang untuk menyatakan pendapat, artinya bahwa anggota DPR tidak harus patuh kepada kepentingan partai saja karena dia mewakili rakyat dalam mekanisme pengambilan keputusan baik ditingkat supra-struktur maupun infrastruktur politik. “Suatu fungsi lain yang tidak kalah pentingnya ialah sebagai sarana rekruitmen politik. Ia merupakan training ground bagi generasi muda untuk mendapat pengalaman di bidang politik sampai ke tingkat nasional”.[28]

  1. KESIMPULAN DAN SARAN
  2. Mekanisme dan kewenangan pemberhentian antarwaktu Anggota DPR yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dapat dilakukan melalui pimpinan partai politiknya kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden. Dalam hal ini tidak ada ruang intervensi bagi Presiden untuk memberhentikan anggota DPR karena kewenangan pemberhentian ada pada partai politik. Apabila Presiden tidak menerbitkan Keputusan Presiden mengenai permberhentian, justru Presiden bertindak tidak sesuai dengan aturan yang ada. Bahkan apabila Presiden memutuskan sebaliknya dari apa yang diputuskan partai politik, maka Presiden dapat diduga melakukan intervensi. Apabila bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  3. Terpilihnya seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Bukan berdasarkan kepentingan partai politik agar anggota Dewan Perwakilan Rakyat menjadi semakin kuat untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat serta memeliharaan sistem ketatanegaraan yang mencakup kewenangan memelihara kesinambungan ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keberadaan lembaga perwakilan rakyat dalam negara demokrasi adalah salah satu pilar yang sangat pokok, karena lembaga ini berfungsi untuk mewakili kepentiagan-kepentingan rakyat, menyalurkan aspirasi rakyat serta mengakomodasikan aspirasi tersebut. Setiap keputusan politik harus melalui proses yang demokratis dan transparan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

Berdasarkan uraian di atas maka dari hasil tulisan ini dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut:

  1. Mekanisme dan kewenangan pemberhentian antarwaktu Anggota DPR yang diusulkan oleh pimpinan partai politiknya tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat 2 UUD 1945. Sehubungkan dengan itu harus dilakukan pembaharuan hukum (Law reform) dengan merevisi pasal 239 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
  2. Hak pemberhentian terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya tidak sepenuhnya berada ditangan partai politik, seharusnya melalui Badan Kehormatan DPR setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPR atas pengaduan dari pimpinan DPR, masyarakat dan pemilih juga memiliki hak untuk menentukan apakah anggota partai politik tersebut layak diberhentikan ataukah tidak.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia. PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca reformasi. PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer: Jakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Amir, Makmur dan Dwi Purnomowati, Reni. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta.

Budiarjo, Miriam. 2008.  Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Hartati. 2008.  Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Pembentukan Undang-Undang, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Kencana, Inu dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, P.T. Refika Aditama: Bandung.

Manan, Bagir. 2000. Teori dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.

Manan, Bagir. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi daerah. PSH FH UII: Yogyakarta.

Manan, Bagir. 2005. DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press: Yogyakarta.

Napitupulu, Paimin. 2007. Menuju pemerintahan Perwakilan. PT Alumni: Bandung.

Ni’matul Huda. 2011. Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press: Yogyakarta.

Toha, Miftah. 2012. Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.

[1]  Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2009, hal. 212.

[2]  Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 281.

[3]  Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, hal. 80.

[4]  Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 305.

[5] Makmur Amir dan Reni Dwi Purnomowati, Lembaga Perwakilan Rakyat. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 19.

[6] Hartati, Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Pembentukan Undang-Undang, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung 2008, hal. 104-105.

[7] Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 57.

[8]  Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2011, hal. 159-160.

[9] Hartati, Op. Cit., hal. 86.

[10] Lihat Pasal 240 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.

[11] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal. 99.

[12] Ni’matul Huda, Op. Cit., hal. 14-15.

[13] Ibid., hal. 102-103.

[14] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia PascaReformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007,  hal. 153.

[15] Ni’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan… Op. Cit., hal. 177-178.

[16] Ibid., hal. 178.

[17] Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik… Op.,Cit, hal. 103-104.

[18] Ibid., hal. 105.

[19] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum… Op. Cit.,  hal. 105.

[20] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 315.

[21] Ibid, hal. 317.

[22] Inu Kencana dan Azhari, Sistem Politik Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 63.

[23] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum… Op. Cit., hal. 165-166.

[24] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya di Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994,  hal. 42.

[25] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu… Op.Cit., hal. 322-323.

[26] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UII, Yogyakarta, 2001, hal. 58.

[27] Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, PT Alumni, Bandung, 2007, hal. 31.

[28] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu… Op. Cit., hal. 327.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA