Posisi itidal dalam shalat bagi orang yang sakit adalah dengan

TEMPO.CO, Jakarta - Salat wajib merupakan salat fardhu yang dikerjakan lima kali dalam sehari yaitu pada waktu subuh, zuhur, ashar, maghrib, isya. Ibadah ini wajib hukumnya bagi umat Islam.

Namun bagaimana dengan pasien yang terbaring sakit di rumah maupun di ranjang rumah sakit dalam melaksanakan salat wajib tersebut?

Bagi seorang pasien ataupun orang sakit saat dirinya merasa kesulitan karena sakit yang ia derita, sebenarnya diperbolehkan untuk mengerjakan salat dengan cara jama taqdim. Jama taqdim yaitu seperti menggabungkan shalat zuhur dan ashar di waktu tanda adzan zuhur.

Selain itu, pasien juga menggunakan cara mengwashat salat, yaitu melakukan salat seperti zuhur, ashar, dan isya cukup dengan dua rakaat saja. Tidak hanya itu, pasien juga boleh mengerjakan dalam posisi salat seperti dalam posisi duduk atau pun dengan cara berbaring atau tidur. Adapun tata cara posisi sholat tersebut berikut penjelasannya.

1. Salat dalam posisi berbaring atau tidur. a. Bagi pasien sakit yang tidak bisa menunaikan sholat dengan cara duduk ataupun duduk, maka diperbolehkan untuk mengerjakan sholat dengan cara tiduran. b. Anda cukup memposisikan dengan tidur terlentang, wajah menghadap kiblat, dan posisi bantal lebih tinggi. c. Sedangkan untuk cara mengerjakan ruku, anda harus menggerakkan kepala ke muka atau sedikit menekuk. d. Untuk sujud. Cukup dengan menggerakkan kepala lebih dalam ke muka atau lebih ditundukkan. Namun jika leher anda mengalami sakit atau sedang menggunakan gips, cukup lakukan dengan isyarat mata yang dibuka dan ditutup sebagai ganti gerakan tersebut. e. Selanjutnya posisi tidur juga bisa dengan cara badan miring ke kanan atau ke arah kiblat. 2. Salat dengan posisi duduk. a. Pada posisi ini pasien bisa duduk layaknya duduk diantara dua sujud atau duduk sambil meluruskan kaki. b. Lalu, untuk mengerjakan gerakan ruku, anda cukup dengan duduk membujuk sedikit dan posisi tangan masih sama layaknya shalat biasanya. c. Terakhir untuk posisi sujud, bisa dengan cara sujud seperti biasanya. Namun, bagi pasien salat wajib dengan cara meluruskan kaki, pada posisi ruku, gerakan bungkuknya lebih sedikit dari pada bungkuk dalam sujud.

ASMA AMIRAH

Baca: Tata Cara Salat Taubat, Berikut ini Niat Salat Beserta Doa

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik //t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Berikut adalah pembahasan penting mengenai shalat dalam keadaan sakit. Jika tidak mampu berdiri, maka shalat sambil duduk. Kalau tidak mampu, shalat sambil berbaring. Kalau tidak mampu, shalat sambil telentang.

Bulughul Maram karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صِفَةِ الصَّلاَةِ

Bab Sifat Shalat

Hadits #328/62

عَنْ عِمْرَانَ بِنْ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ لِي الْنَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صَلِّ قَائِماً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»، رَوَاهُ الْبُخَارِي.

Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, shalatlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, shalatlah dalam keadaan berbaring. Jika tidak mampu, shalatlah dengan isyarat.” (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1117]

Faedah hadits

1. Hadits ini menunjukkan mengenai tata cara shalat bagi orang sakit di mana ada tiga keadaan, tetapi ada lima keadaan yang bisa dirinci.

2. Keadaan pertama adalah shalat sambil berdiri bagi yang mampu, walaupun kondisinya seperti posisi orang yang rukuk (agak membungkuk) atau memakai tongkat atau bersandar pada tembok.

3. Keadaan kedua adalah bagi yang tidak mampu berdiri karena mengalami kesulitan, gambarannya itu ia mengalami keadaan sangat sakit sehingga sulit khusyuk dan thumakninah, maka kondisi ini ia shalat sambil duduk dan memberi isyarat ketika rukuk dan sujud, keadaan sujud lebih rendah dari rukuk. Keadaan duduk di sini tidaklah dijelaskan, artinya duduk bagaimana pun dibolehkan. Namun, duduk yang lebih baik adalah duduk bersila karena duduknya lebih mudah (tidak tegang) dibandingkan dengan duduk iftirasy. Tujuannya pula adalah duduk ini akan membedakan duduk yang menggantikan posisi berdiri dan duduk yang sesuai posisinya.

Baca juga: Cara Shalat Orang yang Shalat Sambil Duduk

4. Keadaan ketiga adalah jika tidak mampu shalat sambil duduk, maka shalat dilakukan sambil berbaring ke samping. Hadits menunjukkan secara mutlak apakah berbaring ke samping kanan ataukah ke kiri. Yang paling utama (afdal) adalah yang paling mudah. Jika berbaring ke kanan atau ke kiri sama-sama mudah, berbaring ke kanan itu lebih afdal. Wajah nantinya menghadap kiblat. Jika tidak mampu dihadapkan ke kiblat, shalat dalam keadaan apa pun sesuai kemampuan. Ketika rukuk, cukup berisyarat dengan kepala ke dada sedikit, lalu ketika sujud lebih menunduk lagi.

5. Keadaan keempat adalah shalat sambil telentang, punggung di bawah, dan kedua kaki ke arah kiblat. Yang paling utama (afdal) adalah kepala diangkat sedikit agar bisa dihadapkan ke kiblat.

6. Keadaan kelima adalah jika tidak mampu berisyarat dengan kepala, maka ada yang membolehkan berisyarat dengan mata, ketika rukuk mata berkedip sedikit. Setelah mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, mata kembali dibuka. Ketika sujud, lebih dikedipkan lagi. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits tentang hal ini dhaif. Ada pendapat kedua, jika memang tidak bisa berisyarat dengan kepala, maka menjadi gugur padanya. Ada pendapat ketiga yang menyatakan bahwa kalau tidak bisa melakukan gerakan sebagai isyarat, maka ucapan yang bisa diucapkan tetap ada. Berdiri cukup dengan niat di hati, lalu ia bertakbir, lalu membaca surah, kemudian rukuk dengan niat di hati, lalu bertakbir, membaca tasbih ketika rukuk, lalu berdiri iktidal dengan niat, lalu mengucapkan SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH. Adapun yang mengatakan bahwa isyarat dengan jari tidaklah ada dalil yang menunjukkan hal ini.

Baca juga: Cara Sujud Sesuai Tuntunan

Hadits #329/63

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ الْنَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِمَرِيضٍ ـ صَلَّى عَلَى وِسَادَةٍ، فَرَمَى بِهَا ـ وَقَالَ: «صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنْ اسْتَطَعْتَ، وَإِلا فَأَوْمِ إِيمَاءً، وَاجْعَلْ سُجُودَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوعِكَ». رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدٍ قَوِيٍّ، وَلَكِنْ صَحَّحَ أَبُو حَاتِمٍ وَقْفَهُ.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang sakit yang shalat di atas bantal, lantas beliau melempar bantal dan bersabda, “Shalatlah di atas tanah bila engkau mampu. Jika tidak, pakailah isyarat dan jadikan isyarat sujudmu lebih rendah dari isyarat rukukmu.” (HR. Al-Baihaqi dengan sanad yang kuat. Namun, Abu Hatim menganggap hadits ini sahih jika mawquf, jadi perkataan sahabat). [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro, 2:306; Ma’rifah As-Sunan wa Al-Atsar, 3:225; Al-Bazzar dalam Mukhtashar Az-Zawaid, 1:275. Hadits ini punya penguat—syahid—dari hadits Ibnu ‘Umar dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir, 12:269 dan Ath-Thabrani dalam Al-Awsath, 8:42. Al-Haitsami mengatakan bahwa perawinya terpercaya, tidak ada perkataan di dalamnya yang mengundang mudarat. Syaikh ‘Abdullah Al-Fauzan menyatakan bahwa hadits ini punya berbagai jalan dan penguat—syawahid–. Penilaian bahwa hadits ini hanyalah mawquf, hanya perkataan sahabat, tidaklah mencacatinya. Hadits ini tetap dihukumi marfu’, sedangkan riwayat mawquf menguatkan yang marfu’. Lihat Minhah Al-‘Allam, 3:206-207].

Faedah hadits

Jika memang tidak mampu sujud di tanah, maka sujud tidak di tanah, sesuai keadaan dia, di mana sujud lebih rendah dari rukuk. Ketika sujud tidak perlu meletakkan bantal atau selainnya untuk dijadikan tempat sujud.

Baca juga:

  • Cara Shalat Bagi Orang Sakit
  • Cara Bersuci Bagi Orang Sakit

Kaidah

Kaidah penting untuk shalat dalam keadaan sakit adalah ayat berikut:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghobun: 16).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika kalian diperintahkan pada sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337, dari Abu Hurairah).

Baca juga: Kaidah Fikih, Tidak Ada Kewajiban Ketika Tidak Mampu

Senin sore, 6 Dzulqa’dah 1443 H, 6 Juni 2022

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Berbaring miring di atas sisi kanan lebih afdal (daripada sisi kiri). Jika tidak memungkinkan menghadap kiblat, hendaknya tetap shalat dengan menghadap ke mana saja. Shalatnya tetap sah dan tidak perlu mengulanginya.

Lebih afdal jika kepalanya diangkat sedikit supaya bisa menghadap ke arah kiblat. Apabila tetap tidak mampu menghadapkan kakinya ke arah kiblat, hendaknya dia shalat sesuai dengan kemampuan. (Shalatnya tetap sah, -pent.) dan tidak perlu mengulanginya.

Apabila tidak mampu, hendaknya ia rukuk dan sujud dengan mengisyaratkan (menundukkan) kepalanya. Pada saat sujud, hendaknya isyarat kepalanya lebih menunduk daripada ketika rukuk.

Apabila dia hanya mampu rukuk tanpa sujud, hendaknya dia tetap rukuk (seperti biasanya) dan bersujud dengan isyarat (menundukkan kepalanya). Sebaliknya, jika ia hanya mampu sujud tanpa rukuk, hendaknya ia tetap sujud (seperti biasanya) dan rukuk dengan isyarat (menundukkan kepalanya).

Caranya ialah dengan sedikit menutup mata ketika rukuk dan memejamkannya sewaktu sujud.

Adapun (shalat dengan) mengisyaratkan jari—sebagaimana hal ini dilakukan oleh sebagian orang yang sakit—, hal tersebut tidak benar. Saya tidak mengetahui dalilnya dari Al-Qur’an, As-Sunnah (hadits), ataupun pendapat ulama.

Dia bertakbir dan membaca (bacaan shalat) serta meniatkan rukuk, sujud, berdiri, dan duduknya; di dalam hatinya. Setiap hamba akan mendapatkan apa yang dia niatkan.

Jika dia mengalami kesulitan/masyaqqah dalam mengerjakan setiap shalat pada waktunya, dia boleh menjamak antara shalat Zuhur dan Asar, demikian pula antara shalat Magrib dan Isya. Dia boleh melakukan jamak takdim dengan melakukan shalat Asar pada waktu zuhur atau melakukan shalat Isya pada waktu magrib.

Demikian pula ia boleh melakukan jamak takhir dengan melakukan shalat Zuhur pada waktu asar atau melakukan shalat Magrib pada isya. (Dia boleh memilih jamak takdim atau jamak takhir) sesuai dengan yang paling mudah baginya. Adapun shalat Subuh tidak boleh dijamak.

Dia mengerjakan shalat Zuhur, Asar, dan Isya; dengan dua rakaat dua rakaat hingga ia pulang ke negerinya, baik safarnya tersebut jangka waktunya lama maupun singkat.

Sumber:

Kaifa Yatathahhar al-Mariidh wa Yushallii dari Risaalah fii al-Wudhuu` wa al-Ghusl wa ash-Shalaah, hlm. 12—16 karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

(Ustadz Abu Ismail Arif)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA