Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Foto karya Fungsional Estetis yang berangkat dari karya fungsional juga (Gitar)

Oleh Ansar Salihin

Mahasiswa Jurusan Seni Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Padangpanjang

Latar Belakang

Kriya merupakan salah cabang seni rupa, penenpatanya lebih kepada karya terapan. Karya seni Kriya selain memiliki nilai fungsional juga memiliki fungsi estetis, tidak kalah dengan seni rupa murni. Awalnya kriya sebatas karya kerajinan tangan saja yang dapat dimanpaatkan nilai gunanya. Seperti peratan rumah tangga, peratan perkebunan, pembangunan dan sebagainya. Namun perkembangannya pemahaman kriya bukan hanya sebatas nilai gunanya saja, akan tetapi sudah menuju kepada nilai-nilai keindahan.

Nilai estetis dalam seni kriya memang susah dibedakan dengan Seni Rupa Murni. Karya penerapannya hampir sama dengan kedua karya tersebut. Membedakan karya seni kriya dengaan seni rupa murni adalah penerapan dan nilai fungsinya. Karya seni Rupa murni pada umumnya memiliki nilai fungsi keindahannya saja yang dapat dinikmati. Sedangkan Karya Seni Kriya memiliki fungsi estetis, dan penerapannya lebih kepada nilai fungsional.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan banyaknya bermunculan teori-teori seni, termasuk di dalamnya seni kriya. Seni kriya dipandang secara ekpresi mukin belum dapat dibedakan dengan dengan seni rupa murni. Bukan hanya itu dalam seni rupa antara seni rupa murni, seni kriya dan desain belum dapat dipisahkan. Bahkan antara seni kriya dan kriya seni saja masih menjadi perdebatan para ilmuan seni. Dalam makalah akan dijelaskan beberapa penjelasakan tentang kedua pengertian tersebut.

PEMBAHASAN

Pengertian Seni Kriya dan Kriya Seni

Seni kriya adalah cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Seni kriya berasal dari kata “Kr” (bahasa Sanskerta) yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai seni” (Timbul Haryono dalam I Wayan Seriyoga: 2009)

Berbicara asal mula kriya menurut Prof. Dr. Seodarso Sp (2006:107) dikutip dari kamus besar bahasa indonesia “kriya adalah pekerjaan atau keranian tanganperkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan; perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’ atau membuat.

Secara harfiah kriya berarti keranjinan atau dalam bahasa inggris disebut craft. Seni kriya adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan keahlian kekriyaan (carfmanship) yang tinggi seperti ukir, keramik, anyam dan sebagainya. (mike susanto 2002: 67)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kriya adalah salah cabang seni rupa dengan pengerjaannya menggunakan keterampilan tangan, atau suatu perbutan untuk menciptakan sebuah karya seni dengan mengutamakan keterampilan (Skill) dalam pengerjaannya.

Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya.

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Penerapan Motif pada karya Kriya Fungsional

Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Uraian ini menyiratkan bahwa kriya merupakan cabang seni yang memiliki muatan estetik, simbolik dan filosofis sehingga menghadirkan karya-karya yang munomental sepanjang zaman.

Secara pendidikan formal Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) merupakan lembaga pendidkan pertama kali di Indonesia diajarkan tentang Seni Kriya. Pada awalnya di ASRI matakuliah kriya bukan kriya namanya, namunmasih memakai nama Seni kerajinan dan pertukangan. Kemudian beberapa tahun kemudian baru diganti dengan “Seni Kriya”. Terutama karena danya keinginan untuk menhilangkan kesan bahwa matakuliah ini hanya memerlukan keterampilan tangan saja dan tidak ada pengembangannya dari zaman-ke zaman (Soedarso, 2006: 108).

Seiring berkembangannya ilmu pengetahuan dan pemikir-pemikir seni terutama di kalangan seni seni kriya. Sepertinya seni kriya tidak hanya dipandang sebagai karya yang funsional, kriyawan-kriyawan ingin membuat sesuatu yang baru. Sehingga karya kriya bukan hanya berfungsi sebagai nilai guna, namun kriya difunsikan juga sebagai karya ekpresi atau sering disebut dengan Kriya seni.

Sebagaimana ditegasakan oleh Soedarso (2006: 112) “Istilah baru yaitu Kriya Seni merupakan obsesi para kriyawan seorang kriyawan menggunakan kreativitasnya untuk menciptakan sesuatu yang baru yang lain daripada apa yang biasa mereka lakukan. Kriya seni tidak harus diterjemahkan sebagai seni kriya yang dalam hal objeknya mirip dengan seni murni, atau menjadikan karya seni murni seperti lukis diterapkan ke dalam relip kayu.

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Jam Dinding
Karya Kriya Ekspresi Fungsional berangkat dari niali budaya

Membuat karya Kriya seni tidak hanya memandang keterampilan dan keahlian, namun sudah mulai masuk ke tahap ekpresi sebuah karya. Nilai estetik merupakan unsur utama dalam penciptaannya, sehingga keindahan lebih diutakan daripada pada nilai gunanya. Walaupun demkian epresi dalam sebuah karya seni tidak pernah lepas dari teknik

I Made Sumantra menjelsakan pemahaman ekspresi sebagai aktivitas yang bersifat emosionalistik di satu sisi dan teknik penciptaan sebagai aktivitas yang bersifat intelektual di sisi lain. Persepsi seni kadangkala memenaragadingkan ekspresi pada puncak nilai karya absolut, sehingga menegaskan teknik sebagai wahana (vehicle) pengungkapnya. Di samping itu adanya suatu asumsi bahwa seni sebagai suatu produk untuk sampai kepada menjadi (real/ berwujud) tentu melalui proses psikis di satu sisi dan proses fisis di sisi lainnya.

Maka dapat disimpulkan bahwa kriya seni adalah jenis seni kriya yang bagus buatannya (crafmanship), bentuknya indah dan dekoratif, namun satu syarat bagi eksistensinya seni kriya telah hilang, yaitu seni kriya jenis ini tidak lagi menyandang fung fungsi praktis, baik karena keindahannya sehingga pemiliknya tidak mau memakai atau sudah dari desainnya sudah lepas dari karya fungsional.

Lahirnya kriya seni disebabkan oleh terlalu ketat persangan pasar yang telah dikuasai oleh industri dan pabrik-pabrik, masyarakat lebih memilih produk buatan pabrik daripada karya fungsional seorang kriyawan. Untuk menghadapi persaingan tersebut mulailah kriyawan mengubah konsep dalam berkarya dari karya funsional kepada karya seni ekpresi atau kriya seni.

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Karya Kriya Fungsional

Persamaan Antara Seni Kriya dan Kriya Seni

Secara divinisi dan pemaknaan seni kriya dan kriya seni memiliki perbedaan, akan tetapi ada beberapa unsur yang masih melekat pada kudua karya tersebut memilki kesamaan. Seni kriya dan kriya seni merupakan seni yang terapkan pada sebuah benda. Tidak karya dari kedua betul-betul murni sebagaimana layaknya seni rupa murni. Permaan tersebut dapat dipandang dari segi media atau bahan, teknik pengerjaan, dan bentuk.

1. Media atau Bahan
secara umum media yang digunakan untuk membuat sebuah karya seni kriya adalah bahan-bahan alam, binatang dan tambang yang dapat diolah dengan menggunakan teknik kriya. Media tersebut diantaranya Kayu untuk bahan kriya kayu, kulit untuk bahan kriya kulit, tanah liat untuk untuk kriya keramik, logam untuk bahan kriya logam, benang atau kain untuk bahan kriya tekstil dan bahan-bahan lainnya yang dapat dijadikan sebagai media kriya.

Media diatas merupakan media utama dalam pembuatan sebuaha karya seni, dan masih banyak bahan lain sebagai media pendukung dan pelengkap dalam mebuat sebuah karya seni. Seperti cat sebagi bahan finshing, lem sebagai perekat, malam untuk membatik dan lai-lain. Semua bahan ini saling mendukung dalam menciptakan sebuah karya seni, baik itu dicampur ataupun sebagai pelengkap untuk menambah kekuatan

Mewujudakan sebuah karya baik dalam konteks Seni kriya atau kriya seni tidak pernah lepas dari bahan-bahan tersebut. Apapun jenis karya yang diciptakan tetap bahan itu menjadi media uatama. Misalnya dalam seni kriya membuat kursi menggunakan kayu sebagai media utama, kemudian panel atau reliep dalam karya kriya seni juga menggunakan kayu sebagai media utama. Begitu juga dengan media lainnya selalu saja menggunakan yang sama antara seni kriya dan kriya seni.

2. Teknik
Nilai teknik dalam seni kriya erat hubungannya dengan keterampilan tangan para kriyawan. Keterampilan kriya termasuk juga kepandaian menggunakan peralatan sesuai dengan media yang dipakai. beberapa jenis teknik dalam kriya, dapat dibedakan antara hasil keterampilan tangan dengan hasil kepandaian menggunakan peralatan. Kadang-kadang keterampilan tangan dalam mengerjakan bahan tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan peralatannya.

Menurut I Made Sumatra ada tiga teknik dalam pengerjaan benda kriya, diantaranya teknik dengan tangan, teknik dengan mesin dan teknik dengan campuran. Salah satu hasil kreativitas manusia dic

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Metamorfosis Kupu2
Karya Kriya Ekpresi

iptakan dengan tangan untuk berbuat sesuatu atas dasar kebutuhan hidupnya. Manusia dapat belajar dari pengalaman dalam menggunakan tangannya. Dengan pengalaman ini, tangan menjadi terampil dan dapat merangsang kreativitas dalam mencipta sesuatu, yang menjadi sarana utama dalam penguasaan teknik kriya sesuai dengan bahan yang dipakainya.

Dari segi kuantitatif perubahan waktu berproduksi tersebut memang sangat menguntungkan. Namun dengan pemakaian mesin sebagai sarana produksi maka nilai-nilai seni kriya menjadi berubah yang kadang-kadang dapat menghilangkan ciri khas dari karya seni kriya tersebut. Hakekat terhadap seni kriya dari pemakaian mesin sebagai sarana produksi merubah paradigma seni kriya menjadi seni industri. Permasalahannya nilai seni yang terkandung di dalamnya menjadi berubah pula.

Sesuai dengan perkembangan teknologi baru, adanya usaha-usaha untuk mencampurkan teknik mesin dengan teknik tangan dalam industri kerajinan, didorong oleh keinginan untuk tetap mendapatkan nilai-nalai seni kriya yang sifatnya eksklusif. Dalam hal ini, teknologi ikut membantu proses kerja tanpa mengurangi nilai-nilai keindahan yang ditimbulkan oleh keterampilan tangan. Pada industri mebel ukiran, misalnya dengan bantuan teknik mesin dapat dihasilkan komponen-komponen mebel secara mekanis dalam waktu singkat dengan jumlah yang banyak. Selanjutnya untuk membuat hiasan ukiran pada komponen-komponen tertentu dari mebel tersebut, masih dikerjakan dengan teknik pahatan.

Seni Kriya dan Kriya Seni tidak pernah lepas dari teknik, sehebat apapun konsep atau desain sebuah karya, kalau teknik tidak dikuasa maka karya tersebut tidak akan sempurna. Secara teknik seni kriya dan kriya sama saja pengerjaannya baik itu teknik tangan maupun teknik mesin atau campuran keduanya. Namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengerjaan sebuah benda kriya, yaitu penempatan antara bahan dan teknik yang digunakan.

Walaupun dari segi teknik antara seni kriya dengan kriya seni memilki kesamaan, tapi ada yang harus diperhatikan khususnya dalam teknik dalam seni kriya yaitu kenyamanan, ketahanan dan kegunaan. Mungkin untuk kriya seni ini tidak terlalu dibutuhkan, karena yang perlukan adalah nilai estetis dan nilai bentuknya.

3. Bentuk

Bentuk (form) adalah totalitas dari pada karya seni. Bentuk itu merupakan organisasi atau satu kesatuan atau komposisi dari unsur pendukung karya. Ada dua macam bentuk: pertama visual form yaitu bentuk fisik dari sebuah karya seni atau satu kesatua dari unsur-unsur pendukung karya seni tersebut. Kedua spesial form yaitu bentuk yang tercipta karena danya hubungan timbal balik antara nilai-nilai yang dipancarkan oleh penomena bentuk fisiknya terhadap tanggapan kesadaran emosional. (Kartika, 2004: 30).

Secara umum wujud atau tampilan dari karya seni kriya dan kriya seni berupa bentuk karya tiga dimensi dan dua dimensi. Untuk mewujudkan bentuk tersebut kedua karya ini memilki cara atau teknik yang sama. Hanya sama fungsi dari masing-masing yang berbeda, seni kriya fungsi yang mengikuti bentuk sedangkan kriya seni bentuk mengikuti fungsi, bahkan bentuk itu tidak memilki kegunaan apa-apa selain nilai estettisnya.

Perbedaan seni kriya dan seni kerajinan berdasar fungsi kegunaannya adalah
Gambar Kendi Gayo
Karya Kriya masa lampau

Perbedaan Antara Seni Kriya dengan Kriya Seni

Pada bagian awal telah dijelaskan secara devinisi antara seni kriya dengan kriya seni tidak terlalu banyak memilki perbedaan. Kedua-dua karya seni ini memerlukan keterampilan dan keahlian. Bahkan antara seni kriya itu sendiri tidak dapat dipisahkan dengan kriya seni, keduaduanya saling membutuhkan. Pada bagain kedua telah dijelasakan beberapa persamaan umum dari kedua karya tersebut, pada bagian akan dijelaskan beberapa perbedaan seni kriya dengan kriya seni secara umum.

Istilah lain untuk seni kriya dan kriya seni sering juga disebut karya fungsional dengan karya seni estetis. Jelas secara pemaknaan seni kriya mengutamakan kegunaannya sedangkan kriya seni mengutamakan nilai estetisnya. Kemudian secara wujud visual seni kriya selain memperhatikan kerapian, juga harus menjaga keseimbangan, ketahan fisik terhadap benda yang diembannya. Misalnya kursi dari segi bahan harus bahan yang kuat dan teknik kontriksi yang benar sehingga orang nyaman dan aman duduk di atasnya. Sedangka kriya seni hanya karya pajangan, bentuk keindahanya saja yang diperhatikan.

Seni kriya di minati dengan tujuan yang berbeda-beda, hal tersebut disebabkan kebutuhan orang berbeda-beda, karena itu seniman-seniman seni kriya sering membuat bermacam jenis seni kriya. Kebutuhan manusia terhadap seni kriya tidak hanya di gunakan untuk sarana kehidupan secara fisik saja, melainkan juga ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan akan keindahan (psikologis).

Produk-produk kriya seni banyak diciptakan berfungsi sebagai benda pajangan, maka nilai estetik sangat dibutuhkan. Berikut adalah contoh-contoh karya seni kriya yang berfungsi sebagai benda pajangan : Topeng kayu (Kriya kayu), Patung kayu (Kriya kayu), Ukiran (Kriya kayu dan logam), Guci (Kriya keramik), Makram (Kriya tekstil) dan lain-lain

Di samping sekedar sebagai benda pajangan, karya seni kriya banyak kita jumpai memiliki fungsi praktis, karena fungsi merupakan hal yang diprioritaskan dalam seni kriya. Seni kriya pada dasarnya mengutamakan fungsi, sedangkan unsur rupa/hiasan merupakan unsur pendukung saja. Contoh seni kriya yang siap pakai (fungsional): Kursi dan meja (Kriya kayu), cangkir dan teko (Kriya keramik), Sarung bantal kursi (Kriya tekstil) Tas, ikat pinggang, sepatu dll (Kriya kulit)

KESIMPULAN

Kriya berarti sesuatu yang erat hubungannya dengan keterampilan tangan, atau kerajinan yang membutuhkan ketelitian untuk setiap detail karya seni yang akan dihasilkan. Pada umumnya sebuah karya yang dihasilkan oleh seni kriya adalah seni pakai. Seni Kriya sendiri di Indonesia sudah sangat tua sekali ada dari zaman dulu, yang mana seni Kriya ini adalah yang akan menjadi cikal bakal lairnya seni rupa di Indonesia.

Ada dua istilah dalam kriya yaitu seni kriya dan kriya seni. Seni kriya adalah karya-karya keterampilan tangan dengan mengutakan nilai funsionalanya atau nilau gunanya. Sedangkan kriya seni adalah karya-karya kriya yang tidak terlalu mementingkan nilai gunanya, namun lebih mengutamakan nilai ekspresi atau nilai estitisnya. Dengan kata lain kriya seni merukan karya yangdigunkan untuk pajangan saja. Seperti relief, panel, kaligrafi, patung, guci dan sebaganya. Sedangkan karya seni kriya itu seperti Lemari, kursi, tempat tidur dan sebagainya.

Walaupun memilki perbedaan dari segi fungsi dan wujud visual ada bebrapa unsur seni kriya dan kriya seni memiliki persamaan secara umum. Persamaan tersebut diantanya media atau bahan yang digunakan, teknik pengerjaan, dan bentuk secara umum.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2002, “Makna Simbolik Warna dan Motif Kerawang Gayo pada Pakaian Adat Masyarakat Gayo”, Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY): Yogyakarta Arma, Hardiata. 2011, “Rumah Adat Pitu Ruang Gayo Aceh Tengah Provinsi Aceh”, Skripsi, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY): Yogyakarta. Bastomi, Suwaji. 1982, Seni Ukir Jepara, Semarang Press: Semarang. Djelantik, A.A.M. 2004, Estetika Sebuah Pengantar, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia bekerja sama dengan Arti: Bandung. Dumanauw, J. F. 1990, Mengenal Kayu, Kanisius Anggota IKAPI: Yogyakarta. Ferawati. 2010, “Motif Kerawang Gayo Busana Adat Pengantin Gayo Aceh Tengah”, Tesis, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Padangpanjang: Padangpanjang. Gayo, Iwan. 1988, Ensiklopedia Provinsi Aceh, Iwan Gayo Associatos: Jakarta. Gustami, Sp. 2000, Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara Kajian Estetik Melalui Pendekatan Multidisiplin, Kanisius: Yogyakarta. ____________ 2006, Trilogi Keseimbangan; Ide Dasar Penciptaan Seni Kriya “Gema Seni Jurnal Komunikasi, Informasi dan Dokumentasi Seni, Vol. I No. 1 Juni 2006”, UPT Komindok STSI Padangpanjang: Padangpanjang. ____________ 2007, Butir-Butir Mutiara Estetika Timur, Ide Dasar Penciptaan Karya, Prasistwa: Yogyakarta. Hakim, A. R. Aman Pinan. 1998, Hakikat Nilai-Nilai Budaya Gayo Aceh Tengah, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah: Takengon. Ibrahim, Mahmud. 2007. Mujahid Dataran Tinggi Gayo, Yayasan Maqamam Mahmuda: Takengon. Ibrahim, Mahmud, Hakim, A. R. Aman Pinan, 2002. Syari`at dan Adat Istiadat, Yayasan Maqamam Mahmuda: Takengon. Jailani, Moh. Charis. 2007, Teknik Seni Mengukir Kayu, Absolut: Yogyakarta. Kartika, Dharsono Sony. 2004, Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains: Bandung. Melalatoa, M. J. 1990, Kebudayaan Gayo, Balai Pustaka: Jakarta. Pika. 1979, Mengenal Sifat-Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya, Kanisius: Semarang. Soepratno, 1997, Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa Jilid 1, Effhar: Semarang. ___________ 2004, Ornamen Ukir Kayu Tradisional Jawa Jilid 2, Effhar: Semarang. Soedarso, Sp. 2006, Trilogi Seni, Institut Seni Indonesia Yogyakarta: Yogyakarta. Sumartono. 1992, “Orisinalitas Karya Seni Rupa dan Pengakuan Internasional” dalam Seni Jurnal Pengetahan dan Penciptaan Karya Seni, II/02, BP ISI Yoyakarta: Yogyakarta. Suharso dan Ana Retnoningsih. 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi lux, CV. Widya Karya: Semarang Sunarto, Bambang. 2013, Epistemologi Penciptaan Seni, Idea Press: Yogyakarta Susanto, Mike. 2002, Diksi Rupa Kumpulan Istilah Seni Rupa, Kanisius anggota IKAPI: Yogyakarta. Tamraz, Ibrahim, Mahmud, Muhammad ZZ, Saleh Kasim, Umar. 1980, Seni Rupa Aceh, PEMDA NAD: Aceh. Westra, I Made. 1995, Pengetahuan Bahan dan Alat Industri Kayu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Jakarta.

Yudoseputro, Wiyoso. 1986, Pengantar Seni Rupa Islam Indonesia, Angkasa Anggota IKAPI: Bandung.