Penghargaan yang diberikan atas dedikasi menjaga kelestarian lingkungan adalah

Telah tampak oleh kita berbagai sudut lingkungan yang telah rusah dan akan rusak, tentu karena kegiatan sebagian manusia yang tidak memperhatikan keseimbanan alam. Perlu digalakan adanya perlindungan akan kelestarian alam. Salah satu kegiatan untuk mencegah kerusakan alam dan menjaga kelestarian alam, Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun1980 telah mengadakan penghargaan bagi pelestarian lingkungan. Penghargaan tersebut di sebut dengan Penghargaan Kalpataru. 

Mengapa penghargaan untuk kelestarian lingkungan di beri nama "Kalpataru" bukan nama lainnya, Apakah kalpataru itu. Kami akan sampaikan tentang hal yang berkaitan dengan penghargaan kalpataru yang kami ambil dari berbagai sumber, baik media cetak maupun media elektronik. 

Kalpataru merupakan jenis tumbuhan yang dapat hidup dalam keadaan yang tidak menudukung kehidupan. Pada saat tanaman mati akibat kekurangan berbagai zat dan lingkungan yang rusak, Pohon Kalpataru tetap tegak tumbuh. Pohon kalpataru memiliki fungsi melindungi tanah tempat hidupnya dan tanaman di sekitarnya. Dalam mitologi Hindu, pohon kalpataru merupakan simbol pohon yang mengabulkan permintaan. 

Pohon kalpataru merupakan pohon khas kawasan Asia Tenggara, yang tumbuh menyebar di sepanjang pantai Samudra Hindia hingga Pasifik. Pohon kalpataru memiliki nama latin “ Barringtonia Asiatica” yang termasuk dalam suku "Barringtoniaceaf”. 

Pohon kalpataru berbatang lunak, dengan ciri khasnya memiliki banyak akar yang mengokohkan pohon dan juga dapat menyimpan air yang cukup. Daunnya rimbun dan berdahan rindang sehingga sering dimanfaatkan banyak satwa untuk dijadikan tempat membuat sarang.

Pohon kalpataru memiliki bunga dan buah yang indah. Daunnya tebal dan mengkilap, saat masih muda berwarna merah tua dengan tulang daun merah muda. Biji pohon kalpataru memiliki zat racun. Hal ini sering dugunakan para nelayan Papua memnfaatkan ini untuk meracuni ikan. Disamping itu biji pohon kalpataru juga memiliki fungsi sebagai obat kudis, kejang perut dan juga sebagai obat tetes mata. 

Bentuk ranting dan daun yang rimbun pada pohon kalpataru sering dimanfaatkan sebgai tempat berteduh jenis hewan. Pohon yang dilambangkan sebagai pohon kehidupan sesuai dengan asal kata nama Kalpataru, yang tersusun dari kata ‘ Kalpa” yang berarti kehidupan, dan “Taru” yang memiliki arti pohon.

Oleh sebab itu kalpataru, dijadikan lambang kelestarian lingkungan.

Kalpataru terlukis di relief Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Borobudur, Candi Sojiwan, Candi Brahma, Candi Wisnu, Candi Siwa, dan juga Candi Prambanan.Relief Kalpataru mencerminkan suatu tatanan lingkungan yang serasi, selaras, dan seimbang serta merupakan tatanan yang di idam-idamkan kerena melambangkan hutan, tanah, air, udara, dan makhluk hidup.  Bagian relief ini melambangkan hutan tanah, air, dan makhluk hidup yang saling berkaitan membentuk kehidupan.

Selian terdapat pada relief candi-candi, Pohon Kalpataru juga sebetulnya dijumpai dalam sastra India maupun Jawa kuno, baik secara lengkap maupun disinggung saja dalam karya tersebut. Pohon kalpataru digambarkan berada dalam vas atau jambangan bunga dan diapit oleh sejenis hewan seperti , harimau, kijang, biri-biri, monyet, tupai, atau ada juga yang diapit oleh burung kakak tua. 

Dalam pewayangan, Kalpataru dilambangkan dengan gunungan. Gunungan ini mempunyai gambar tanaman kalpataru dengan bunga teratai biru,putih, dan merah. Di bawahnya dijaga dua orang manusia setengah burung.

Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada perorangan atau kelompok atas dedikasi dan jasanya dalam melestarikan lingkungan hidup di Indonesia. Kalpataru sendiri adalah bahasa Sansekerta yang berarti pohon kehidupan. Pemerintah memberikan penghargaan Anugerah Kalpataru bagi para pejuang lingkungan. 

Kalpataru memiliki empat kategori penghargaan, yaitu:

a. Perintis Lingkungan, kategori perintis lingkungan diberikan kepada warga masyarakat umum, yang bersetatus bukan pegawai negeri, dan juga bukan tokoh dan anggota organisasi formal, yang berhasil merintis dan melestarikan fungsi lingkungan hidup secara menonjol dan merupakan kegiatan yang belum ada pada lingkungan tersebut. 

b. Pengabdi Lingkungan, kategori Pengabdi Lingkungan diberikan kepada petugas lapangan (penyuluh lapangan Penghijauan, Petugas penyuluh lapangan, Petugas lapangan Kesehatan, Jagawana, Penjaga pintu air, dll) dan pegawai negeri (PNS,TNI, Polri, PPLH, PPNS, Guru) yang mengabdian diri dalam usaha pelestarian fungsi lingkungan hidup yang jauh melampaui kewajibannya dalam tugas pokoknya serta dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama. 

c. Penyelamat Lingkungan, diberikan kepada kelompok masyarakat baik informal seperti kelompok masyarakat adat, rukun warga paguyuban, karangtaruna dan sejenisnya, maupun formal seperti lembaga swadaya, badan usaha, lembaga penelitian,lembaga pendidikan, koperasi, asosiasi profesi, organisasi kepemudaan dan lain-lain 

d. Pembina Lingkungan, Penghargaan pembina lingkungan diberikan kepada pejabat, pengusaha, peneliti, atau tokoh masyarakat yang berhasil dan punya prakarsa untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan memberi pengaruh untuk membangkitkan kesadaran lingkungan serta peran masyarakat guna melestarikan fungsi lingkungan hidup, dan atau berhasil menemukan teknologi baru yang ramah lingkungan, seperti pejabat, pendidik, budayawan, seniman, wartawan, peneliti, pengusaha, manager, tokoh lembaga swadaya masyarakat,tokoh agama dan lain-lain. 

Kriteria memperoleh penghargaan kalpataru, para Calon harus memenuhi persyaratan, sebagai berikut:

- Peserta adalah Warga Negara Indonesia (WNI)

- Berkelakuan baik, bukan dalam status tersangka dalam hukum, dan memiliki nama baik di tengah-tengah masyarakt.

- Pada waktu diusulkan tidak dijatuhi hukuman pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

- dilakukan atas prakarsa sendiri

- usaha yang telah dilakukan sudah menunjukan dampak positif bagi lingkungan.

- memiliki pengaruh dalam membangkitkan masyarkat sekitar.

- kegiatan lingkungan yang telah dilakukan sudah dilakukan dengan cukup lama, sehingga terlihat hasilnya.

Penghargaan Kalpataru terbuat dari pahatan perunggu berlapis emas delapan belas karat, seberat tiga puluh gram, yang di letakan di atas kayu sono keling. Pemilihan tempat meletakan tropy berupa kayu sono keling bukanlah tanpa alasan. Kayu sonokeling merupakan jenis kayu yang keras dan indah dan berkualitas tinggi. Pohon ini berukuran sedang hingga besar, tingginya dapat mencapai 40 m. Daun sonokeling berdaun majemuk. Di Indonesia pohon sonokeling hanya dapat dijumpai tumbuh liar di hutan-hutan Jawa Tengah dan Jawa Timur pada ketinggian 600 meter di atas permukaan air laut. Kayu sono keling memiliki pola-pola yang indah, berwarna ungu berkelir hitam, atau hitam keuunguan berbelang dengan coklat kemerahan. Pada umumnya pemanfaatan kayu sono keling dimanfaatkan untuk membuat perabot rumah tangga, macam, meja, kursi, almari. Dan untuk membuat barang ukiran dan pahatan, bubutan, alat-alat musik dan olahraga. Tidak salah jika tropy Anugerah Kalpataru di padukan dengan kayu sono keling. 

Penghargaan Anugerah Kalpataru ini telah diberikan sejak tahun 1980 pada tiap tahunnya. 

Penghargaan Kalpataru diberikan Pemerintah Republik Indonesia pada tiap Upacara Hari Lingkungan Hidup sedunia pada tanggal 5 Juni. Bagi seseorang ataupun lembaga yang mendapat Anugerah Kalpataru akan mendapat Tropy dan juga piagam penghargaan. 

Tujuan Penghargaan Anugerah Kalpataru merupakan bentuk apresiasi pemerintah atas peran serta warga atau kelompok warga atau organisasi baik formal maupun informal dalam pelestarian fungsi makhluk hidup. Hal ini sesuai dengan UU No 23 tahun 1997 pasal 10 huruf (i) yang berbunyi” Dalam rangka memberikan penghargaan kepada orang atau kelompok yang berjasa di bidang lingkungan hidup”.

Apakah Anda, teman Anda, organisai Anda atau masyarakat Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pelestari lingkungan. Daftarkan pada formulir pendftaran nominasi untuk memperoleh Anugrah Kalpataru di kementerian lingkungan hidup, pada setiap tahunnya. Siapapun pelestari lingkungan hidup perlu mendapat apresiasi sebgai wujud jasa, dan jerih payah menjaga lingkungan. Dengan lingkungan yang lestari kehidupan ekosistem pada akhirnya akan menguntungkan manusia sendiri. Ayo!! Lestarikan Lingkungan, dari sekarang. 

“Rela Tak Bersekolah Demi Melestarikan Warisan Leluhur”

Eliza Marthen Kissya, Kepala Kewang (penjaga lingkungan) Negeri Haruku, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah meraih penghargaan Kalpataru 2022 kategori pembina lingkungan. Ia bertekad menjaga lingkungan hingga akhir hayat.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Alue Dohong menyerahkan Penghargaan Kalpataru tahun 2022 kepada Eliza dan 9 orang penerima lainnya di Jakarta, Rabu, 20 Juli 2022. Eliza diusulkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku.

Tak mudah bagi pria kelahiran 1949, itu menggapai Kalpataru, penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup di Indonesia ini. Eliza telah menjaga lingkungan hidup di Pulau Haruku dan hampir seluruh wilayah di Maluku, jauh sebelum penghargaan ini pertama kali diadakan pada 1980.

Sudah 43 tahun, lelaki yang suka berpantun dan berpuisi itu mengabdi untuk lingkungan. Sejak berumur 30, Opa Eli–biasa dipanggil–telah diberi tanggung jawab menjadi Kepala Kewang di Negeri Haruku.

Ia tak pernah berharap menerima penghargaan. “Saya tidak pernah berpikir sampai menerima penghargaan. Saya mengabdi karena itu tanggung jawab saya,” kata Eliza saat berbincang bersama Ambonterkini.id, 16 Juni lalu di kantor Gubernur Maluku mengenai pengusulan namanya masuk nominasi penerima penghargaan Kalpataru.

Keluarga Eliza adalah keluarga kepala kewang. Kewang merupakan pranata hukum adat yang berperan menjaga alam di darat dan laut. Menurut dia, Kewang berasal kata Ewang, yang bermakna ‘penjaga hutan atau alam’ secara menyeluruh.

Sejak zaman leluhur, tak hanya lelaki, perempuan juga diberi amanah sebagai pengurus Kewang. Karena itu, di dalam Kewang Haruku terdapat 5 perempuan yang mewakili lima soa, berbeda dengan kebanyakan Kewang di Maluku.

Pilihan hidup, sekaligus tanggung jawab meneruskan warisan leluhur itulah, membuat Opa Eli tak menikmati pendidikan seperti kawan sebayanya dulu. Padahal, ayahnya seorang pegawai negeri sipil yang tentu mampu secara ekonomi.

“Saya tidak sekolah meski bapak saya pegawai. Saya harus tetap tinggal di kampung untuk merawat ini (Kewang) karena warisan,”tegasnya.

Meski hanya mengecap pendidikan sampai tingkat sekolah rakyat (SR), tapi Eliza membuktikan, belajar tak hanya sebatas pendidikan di bangku sekolah.

Dikutip dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Eliza banyak mengikuti pendidikan non-formal, di antaranya Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Yayasan Hualopu (1991); Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992); dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai pemangku atau kepala pelaksana adat alias Kewang  Negeri Haruku, Eliza juga terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumber Daya Hukum Lingkungan dan Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).

Aktivitas Eliza selama ini hanya di alam. Berupaya mempertahankan kelestarian lingkungan lewat kearifan lokal seperti Sasi, sebab ia yakin, itu merupakan solusi jangka panjang untuk menjaga keharmonisan manusia dan alam.

Sasi adalah larangan mengambil hasil sumber daya alam tertentu dalam waktu tertentu sebagai upaya pelestarian alam demi menjaga mutu dan keberlanjutannya. Ada empat jenis sasi di Negeri Haruku, menurut Eliza, yakni sasi hutan, sasi laut, sasi sungai, dan sasi negeri.

Sasi Laut dengan area sasi dihitung 200 meter dari pesisir pantai ke arah laut, Sasi Sungai yang mengatur perlindungan dan pemanfaatan area sepanjang sungai, Sasi Hutan yang mencakup aturan-aturan pemanfaatan hutan, dan Sasi Negeri yang mencakup aturan-aturan tata cara hidup bermasyarakat.

“Hal-hal inilah yang menjadi nilai jual bagi Kewang Haruku. Jadi, jauh sebelum dunia bicara pembangunan berkelanjutan, adat kita sudah mengajarkan untuk tetap menjaga alam dengan baik,”katanya lagi.

Pada 1985 atau setelah sepuluh tahun diangkat sebagai kepala Kewang, masyarakat Desa Haruku menerima Kalptaru kategori penyelamat lingkungan, yang tak terlepas dari kontribusi Eliza. Konsistensinya membawanya mendapatkan sejumlah penghargaan setelahnya, antara lain Satya Lencana (1999), Coastal Award (2010), penghargaan sebagai tokoh inspiratif dalam penanggulangan bencana dari Badan Penanggulangan Bencana (2012), dan Kalpataru KLHK 2022.

Namun, beragam penghargaan ini tak membuatnya cepat puas. Ia tetap merendah, dan memaknai penghargaan itu sebagai tanggung jawab moril. Karena itu, Eliza terus berada di jalan sunyi pengabdian pada alam.

Pria yang mahir memetik Ukelele, itu telah melakukan penetasan burung Maleo (Eulipoa wallacei), penetasan dan pelepasan penyu, pembibitan dan penanamabn bakau, serta menjaga tradisi Sasi Lompa, larangan masyarakat untuk mengambil ikan lompa (Trisina Baelama),membangun gedung pendidikan lingkungan, tempat pelatihan pertanian organik, dan membangun perpustakaan.

“Banyak orang berusaha mendapatkan sebuah penghargaan, tapi mempertahankan nilai penghargaan itu yang sulit,”ucapnya.

Melahirkan Penerus

Eliza sadar, tantangan mempertahankan kelestarian lingkungan tak mudah. Karena itu, ia telah berikhtiar melahirkan generasi penerus Kewang di Haruku.

Eliza telah mendidik lebih dari 100 orang muda untuk menjadi kewang. Mulai dari anak-anak hingga dewasa, termasuk anak-anak dan cucu-cucunya.

Tak mudah menjadi menjadi kewang, kata Eliza. Harus melalui seleksi ketat dan belajar terus-menerus. “Selama dua tahun terakhir ini, saya membentuk kewang muda Maluku di Banda,”tuturnya.

Menurut kakek 16 cucu ini, Kewang penting ada untuk menjaga seumber daya alam dengan baik demi anak cucuk daerah ini kedepan. Ia juga berpesan bagi siapa pun yang mengabdikan diri untuk lingkungan agar tidak berpikir mengharapkan sesuatu dari pemerintah atau negara.

“Kalau hutan lebat, Maluku bilang Ewang, salah kelola seng (tidak) ada ampong (ampun). Karena warisan leluhur, beta (saya) rela tinggal di kampung,”pantun Eliza menutup perbincangan kami hari itu.

Menjadi Inspirasi

Dikutip dari laman KLHK, sejak 1980, pemerintah Indonesia memberikan Penghargaan Kalpataru kepada mereka yang berjasa dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Hingga tahun 2022, sudah ada 408 penerima Penghargaan Kalpataru yang tersebar di seluruh Indonesia.

Penghargaan Kalpataru adalah penghargaan yang diberikan kepada mereka, baik individu, maupun kelompok, yang dinilai berjasa dalam merintis, mengabdi, menyelamatkan, dan membina perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan.

Penghargaan ini merupakan wujud apresiasi pemerintah kepada para pemimpin daerah dan pejuang lingkungan yang telah menjadi ujung tombak atau garda terdepan dalam upaya pemulihan dan pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.

Secara rutin diberikan oleh KLHK, kepada mereka yang telah terbukti memiliki kepedulian, komitmen, prakarsa, inovasi, motivasi, dan kreativitas secara berkelanjutan, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan.

“Para pemimpin dan pejuang lingkungan hidup peraih penghargaan ini diharapkan menjadi contoh, inspirasi, dan pemicu yang mendorong inisiatif dan partisipasi individu atau kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas,” ujar Alue Dohong dalam arahannya pada acara penyerahan Penghargaan Kalpataru tahun ini.

Wamen menekankan agar para penerima Penghargaan Kalpataru menjaga amanah untuk terus menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup dan kehutanan di bumi yang hanya satu ini, demi generasi mendatang.

sumber berita: //ambonterkini.id/news_read/eliza-kissya-kepala-kewang-negeri-haruku-penerima-399

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA