Penekanan suara pada kata-kata yang dianggap penting pada saat bermain drama disebut

sangatlah penting artinya sebab diperlukan untuk memberikan kesan pertama pada penonton. Teknik umum yang dipakai adalah teknik jedah yaitu memberi jedah beberapa kejap setelah ia mun- cul pertama kali. Pada saat jedah itulah saatnya penonton menga- mati dan mencerna karakternya.

Teknik memberi isi pada prinsipnya adalah memberi roh pada kalimat-kalimat dalam suatu naskah sehingga hidup. Hal ini berhubungan dengan tekanan dinamik, tekanan nada, dan tekanan tempo.

Teknik timing artinya ketepatan hubungan antara gerakan jasmani yang berlangsung dalam sekejap dengan kata yang di- ucapkan; gerakan dilakukan sebelum mengucapkan dialog, gerakan dilakukan bersamaan dengan ucapan dialog, gerakan dilakukan setelah dialog diucapkan.

Teknik takaran dalam pentas adalah cara menafsirkan emosi dan gerak yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam me- mainkan drama tragedi tentu saja takaran emosi yang dihadir- kan berbeda dengan ketika memainkan drama komedi. Bukan hanya pada takaran emosi namun juga takaran volume suara/ vokal seorang aktor harus disesuaikan dengan situasi dan kon- disinya. Bermain di atas panggung teater procenium berbeda pula dengan teater arena, berbeda dengan bermain di televisi, berbeda dengan di radio.

Ekspresi Lisan

Setelah ekspresi tubuh dan mimik (muka) yang juga tidak kalah penting perlu dipelajari adalah ekspresi lesan/ucapan/ suara. Suara selain digunakan utuk menyampaikan kata-kata se- bagai satu cara untuk berkomunikasi atau menyampaikan infor- masi merupakan bagian utama dari mekanisme ekspresi. Tanpa kita sadari sejak manusia lahir telah memiliki kemampuan meng- ekspresikan keinginan dengan suara tangisan, ekspresi suara adalah sikap naluri.

Perasaan atau reaksi yang kita miliki menimbulkan energi dari dalam diri yang selanjutnya mengalir keluar mencapai dunia luar dalam bentuk yang bermacam-macam: kata-kata, bunyi, gerak, postur, dan infleksi (perubahan nada suara). Kemampuan mengartikulasikan kata-kata adalah kemampuan yang dipelajari. Seringkali seorang aktor ketika berperan terlalu patuh terhadap teks atau kata-kata secara verbal (mengucapkan kata-kata) yang ditemuinya dalam naskah tanpa mau menambahkan sedikit bunyi-bunyi nonverbal (bunyi-bunyi yang digunakan termasuk infleksi dan penekanan yang mempengaruhi arti emosional dari kata-kata yang diucapkan) yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja hal ini sangat disayangkan, sebab bunyi suara adalah salah satu tipe gestur penting yang paling dalam mengekspresikan kepribadian dan sangat universal pengungkap- annya. Hal ini nantinya berhubungan dengan kemampuan se- orang aktor dalam ’membaca’ naskah karena penulis naskah akan memberikan gestur-gestur verbal dalam bentuk kata-kata dalam naskah. Di sinilah tugas aktor menyelidiki aspek-aspek nonverbal dari gestur karakter yang dimainkannya, gestur fisik, postur, infleksi, dan sebagainya.

Kata-kata yang diucapkan membawa informasi yang akan disampaikan melalui nadanya. Nada orang marah tentu berbeda dengan nada sindiran, berbeda pula dengan nada permohonan dan seterusnya, masih banyak lagi contoh yang menunjukkkan bagaimana suara mengkomunikasikan sikap. Sering tanpa kita sadari bila berada dalam situasi di mana kita tidak dapat me- nyampaikan maksud atau perasaan yang sebenarnya pada saat itu secara sadar atau tidak mengekspresikannya melalui helaan napas, mengambil napas. Bahkan pada orang-orang yang tem- peramental masih ditambahkan dengan ekspresi fisik berupa menepak meja, berkacak pinggang, menarik kerak baju lawan- nya, dan sebagainya.

Stefanus Djawanai (2001:57) mengemukakan bahwa bila se- seorang dalam keadaan marah maka yang dapat diamati adalah

ketika orang tersebut mengucapkan kata-kata dengan suara da- pat dikategorikan berdasarkan titi nada, kualitas suara, volume suara, kontur pengucapan, dan tempo. Selanjutnya dijabarkan menjadi:

Titi nada : rendah atau tinggi Kualitas suara : bisik atau lantang Volume : lembut atau keras

Kontur : inti titi nada pada akhir atau inti titi nada pada awal

Tempo : lambat atau cepat.

Dalam pementasan teater sekarang ini memang bisa saja menggunakan alat-alat elektronik (microphone, dan sebagainya) untuk membantu agar suara pemeran menjadi lebih keras se- hingga sampai ke penonton yang duduk paling belakang, namun tidak ada salahnya untuk menjadi seorang aktor teater perlu juga latihan vokal yang akan mendukung kemampuan ekspresi- nya. Dan tempat yang paling ideal untuk melatih vokal agar suara kita terdengar bisa dilakukan di tanah lapang yang luas. Beberapa latihan vokal:

1. Senam mulut

Caranya adalah dengan bersiul atau menggerak-gerakkan bibir ke kanan dan ke kiri, atas bawah, buka tutup secara berulang-ulang, hal ini berguna untuk melatih kelenturan mulut kita. Bisa juga latihan berbicara dengan mengatupkan gigi.

2. Latihan pernapasan

Latihan pernapasan ini dimaksudkan supaya napas kita tidak tersendat-sendat dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang panjang. Tujuan dari belajar pernapasan adalah untuk meningkatkan kesatuan organik antara aksi, emosi, napas, dan suara.

Caranya adalah menarik napas sebanyak-banyaknya, sedalam-dalamnya, simpan dalam perut kemudian ucapkan

sekeras-kerasnya abjad A sampai Z paling sedikit 2 kali dengan jelas pengucapannya.

3. Melatih kejelasan ucapan (artikulasi) dan plastisitas suara dengan membaca puisi, karena bahasa tertulis yang disam- paikan naskah hanyalah representasi dari bahasa lisan yang divisikan oleh oleh si penulis naskah.

4. Menjiwai ceritera dan mengungkapkannya secara menarik dengan membaca puisi, membawakan peran berbagai ma- cam tokoh (bisa dengan latihan monolog).

5. Latihan irama (kepekaan terhadap irama dramatik) dengan cara menyanyi.

Agar sebuah lakon tetap memikat dari awal hingga akhir, Permainan haruslah mempergunakan irama. Irama haruslah dipahami sebagai suatu perubahan secara teratur dan ber- alasan. Perubahan secara berturut-turut, merangsang per- hatian penonton menuju tujuan akhir.

6. Latihan dinamika (intonasi) dan progresi (teknik pengem- bangan suara) dengan cara berpidato, membaca puisi, me- nyanyi seriosa, dan sebagainya.

Teknik dinamika suara (intonasi):

1. Tekanan dinamik: tekanan keras dalam pengucapan, mene- kan kata yang dianggap paling penting lebih keras dari pada kata-kata yang lain; menyebutkan sesuatu secara berturut- turut dalam satu kalimat; mengucapkan dengan keras kata- kata yang berlawanan.

2. Tekanan nada: tekanan tinggi redahnya nada dalam pengu- capan satu kata dalam sebuah kalimat.

3. Tekanan tempo: tekanan lambat dan cepatnya mengucap- kan sebuah kata dalam kalimat.

Teknik pengembangan suara (progresi):

1. Menaikkan volume suara (dari perlahan menjadi semakin keras).

2. Menaikkan tinggi nada suara (dari nada rendah ke nada tinggi).

3. Menaikkan kecepatan tempo suara (dari tempo lambat men- jadi semakin cepat).

4. Menurunkan atau mengurangi volume, tinggi nada dan kecepatan tempo suara.

Latihan dinamika dan progresi ini bisa dilakukan dengan berpidato, menyanyi, membaca puisi, atau memainkan peran dalam situasi konflik.

Tujuan studi tentang suara adalah untuk membuatnya men- jadi instrumen yang lentur yang dapat merespon dengan segera tuntutan karakter dan gaya naskah.

Gambar Alat Pendukung Vokal

Masih banyak lagi latihan-latihan yang dibutuhkan oleh seorang calon aktor untuk meningkatkan kemampuan ekspresi- nya seperti meditasi untuk keseimbangan tubuh, pikiran, dan perasaan.

Konsentrasi atau Pemusatan Pikiran

Aktor adalah seseorang yang “mematikan dirinya” untuk kemudian menjadi orang lain, yaitu perannya. Untuk bisa me- lupakan dirinya dan menjadi orang lain itulah pertama-tama ia harus memusatkan pikiran dan mengkonsentrasikan diri pada peran yang akan dimainkannya.

Dalam konsentrasi ia harus bisa menundukan dan meme- rintah seluruh panca indra, urat syaraf, seluruh anggota tubuh dan suara serta vokalnya.

Tiga bagian yang umum untuk dilatih : 1. Olah Tubuh

Untuk bisa menjadi aktor yang lentur dan luwes dalam pe- nampilannya, indah gerakannya dan nikmat untuk dilihat oleh penonton di atas panggung, maka diperlukan latihan olah tubuh minimal satu setengah jam sehari selama dua tahun. Latihan olah tubuh ini antara lain : Senam irama, senam klasik, menari klasik (ballet), pencak silat, berbagi latihan pernafasan, bernyanyi, baca puisi, pantomime, bersiul dan sebagainya.

2. Latihan Sukma

Seorang aktor setidaknya adalah seorang yang telah me- miliki beragam pengalaman tentang kehidupan, ia seharus- nya telah mengalami dan mengarungi berbagai peristiwa kehidupan, namun tentunya ini merupakan suatu yang mus- tahil. Maka untuk bisa mengalami semuanya tadi meski hanya dalam khayalan perlu melakukan berbagai latihan sukma, yang antara lain : Penguasaan panca indra, penum- buhan ingatan perasaan, latihan imajinasi, melatih emosi, mensugesti diri, melakukan observasi secara visual, latihan penciptaan berbagai peran watak dalam pengandaian, dll. (biasanya latihan ini dilakukan pada persiapan latihan dasar atau preparation.

3. Memperluas Wawasan

Seorang aktor harus bisa menguasai intelgensinya sendiri, dan juga bisa menjadi intelgensia peran yang akan diperankan. Ia bisa menjadi seoarng yang bodoh atau pintar, menjadi orang gila atau seorang genius. Untuk itulah maka sorang aktor harus memiliki wawasan tentang kesenian dan kebuda- yaan secara umum, serta pengetahuan umum yang memadai. Ia harus mengenal tokoh-tokoh dunia teater baik dari dalam maupun luar negeri, mengerti tentang kesusastraan dan to- koh-tokohnya, mengerti tentang dunia seni rupa serta aliran- alirannya, belajar tentang filsafat, psikologi, Fisionomi, bio- logi, anatomi, hukum, ilmu komunikasi, tentang musik, seni tari, dan lain-lain.

Ingatan Emosi

Aktor harus bisa mengingat segala ingatan emosi yang ter- pendam didalam file-file kehidupannya yang telah silam. Semua- nya akan berguna dalam/untuk menolong aktingnya, dan nanti- nya akan bisa berkembang sesuai dengan kematangan hidupnya.

Laku Dramatis

Jika sudah bisa menggali emosi barulah kita wujudklan da- lamLaku dramatis. Yaitu perbuatan yang sifatnya ekspresif dari emosi. Ini merupakan instrumen dalam teater, seperti warna dalam lukisan, bentuk dalam patung, dan nada dalam musik.

Pembangunan Watak

Aktor harus mengenal betul gambaran peran yang akan dimainkannya. Untuk itu ia harus :

a. Menelaah struktur peran (bagaimana intelgensinya, karak- ternya, masa silamnya, dan lain sebagainya).

b. Memberi identifikasi peran. Menyelidiki setiap detail peran secara teliti, kemudian memberi tanda, cap, atau simbol yang harus bisa ditangkap oleh penonton.

c. Mencari hubungan emosi dengan peran itu. Bagaimana hu- bungan naskah dengan emosinya, mengapa peran itu mela- kukan tindakan itu, dan sebagainya.

d. Penguasaan teknik. Penguasaan teknik-teknik bermain dra- ma, seperti teknik muncul, teknik memberi isi, teknik pe- ngembangan, teknik membina puncak-puncak, teknik

timing, dan lain-lain.

Observasi/Pengamatan

Seorang aktor adalah seorang observator kehidupan. Ia harus selalu memperhatikan kehidupan orang-orang di sekitar- nya, bagaimana kebiasaannya, bagaimana orang itu melakukan aktivitasnya, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan, hobinya, ciri- ciri fisik, psikisnya, serta lain sebagainya.

Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, seorang aktor harus memperkaya dirinya dengan meningkatkan intelgensinya dengan belajar ilmu-ilmu lain seperti : Ilmu Antropologi, Sosio- logi, Biologi, Filsafat, Budaya, Agama, Politik, Ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Daftar Bacaan

Harymawan, RMA. (1993), Dramaturgi, Cetakan ke-2, PT. Rosdakarya, Bandung.

Purwaraharja, Lephen. ed. (2000), Ideologi Teater Modern Kita, Pustaka Gondho Suli, Yogyakarta.

Sahid, Nur. (2004), Semiotika Teater, Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Sitorus, Eka D. (2002), The Art of Acting Seni Peran untuk Teater,

Film & TV, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sumardjo, Jakob. (1992), Perkembangan Teater Modern dan Sastra

Sumjati, As. ed. (2001), Manusia dan dinamika Budaya dari Kekerasan

sampai Baratayuda, Fakultas Sastra UGM bekerjasama dengan

BIGRAF Publishing, Yogyakarta.

Yudiaryani. (2002), Panggung Teater Dunia Perkembangan dan

Pengantar

Dalam suatu penelitian yang pernah dilakukan oleh FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap beberapa orang guru SD di Purwokerto, diperoleh hasil yang cukup menge- jutkan. Betapa tidak, dari kuesioner yang telah diisi oleh 42 orang guru SD berkaitan dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, materi sastra khususnya materi drama, 17 orang (39%) menyata- kan tidak menyukai mengajar materi drama; 18 orang (42%) belum atau tidak mengajarkan materi drama; dan hanya 7 orang (19%) mengaku senang mengajar drama. Celakanya, dari 7 orang (19%) yang sudah mau mengajarkan materi drama itu, mengaku mengajarkan drama dengan cara seadanya, dengan alasan tidak menguasai teknik bermain drama. Masya Allah, apa jadinya jika situasi seperti ini juga melanda sekolah menengah umum di Daerah Istimewa Yogyakarta?

Oleh karena itu, kegiatan rutin Bengkel Sastra Indonesia 2003 yang kali ini dikhususkan pada materi drama, bukan hanya patut didukung tetapi juga tepat. Diduga, apabila dilakukan penelitian yang sama terhadap guru-guru SMU di DIY, hasilnya kurang lebih sama. Akan tetapi, dapat dikemukakan terlebih dahulu bahwa kegiatan bengkel sastra tidak menekankan perha-

BERKENALAN DENGAN DRAMA

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA