Paradigma yang menganggap karya seni sebagai cerminan refleksi, dan imitasi

ini buat mpls, mau nanya jajan coklat presiden sama snack 4 gigitan tuh apa? makasih​

Mohon dibantu jawab tentang teka teki mpls 1. minuman jelly lebah 2. air minum segar di luar sehat di dalam

. jelaskan hubungan npwp, spt, dan skp (bukan definisinya) ?

Harga pembelian sebuah roti rp5.000. roti tersebut di jual dengan keuntungan 10%. harga penjualan 100 buah roti adalah.... a.

apa toleransi tari tayup​

Sebutkan kriteria adalah dalam pemilihan wadah atau kemasan

halo semuanya bantu aku dong kak bual yel yel untuk mpls yg keren dan singkat​

mau tanya ,arti dari kumpulan bubur kertas apa y kak, untuk mos​

Jelaskan pengertian level sedang dalam tari dan berikan contohnya​

saran merk watercolor yang bisa timpa warna cerah diatas warna gelap ​

ini buat mpls, mau nanya jajan coklat presiden sama snack 4 gigitan tuh apa? makasih​

Mohon dibantu jawab tentang teka teki mpls 1. minuman jelly lebah 2. air minum segar di luar sehat di dalam

. jelaskan hubungan npwp, spt, dan skp (bukan definisinya) ?

Harga pembelian sebuah roti rp5.000. roti tersebut di jual dengan keuntungan 10%. harga penjualan 100 buah roti adalah.... a.

apa toleransi tari tayup​

Sebutkan kriteria adalah dalam pemilihan wadah atau kemasan

halo semuanya bantu aku dong kak bual yel yel untuk mpls yg keren dan singkat​

mau tanya ,arti dari kumpulan bubur kertas apa y kak, untuk mos​

Jelaskan pengertian level sedang dalam tari dan berikan contohnya​

saran merk watercolor yang bisa timpa warna cerah diatas warna gelap ​

Dalam dunia seni rupa Indonesia, ada paradigma yang dipengaruhi oleh konteks sosial budaya yang terlihat dari konsep para seniman, yang mana tercermin pada berbagai gaya di tiap periodenya. Paradigma estetik pada suatu periode menjadi tesis yang telah disepakati bersama, sesuai dengan konteks sosial budaya yang berkembang. Di setiap kemunculannya, suatu tesis berpotensi membawa negasi dan kontradiksi yang menimbulkan antitesis dan sintesis, hingga akhirnya menjelma menjadi satu tesis yang baru. Dan setidaknya ada lima paradigma dalam seni rupa modern Indonesia dari segi estetis karya seni.

Paradigma Pertama, dari awal 1900 hingga akhir tahun 1930-an, berkembang pandangan romantisme eksotis Mooi Indie yang menyertai perkembangan seni lukis Bali Baru. Mereka memuja konversi keharmonisan dan nilai ideal, yang dalam diwujudkan dalam lukisan yang berupa keindahan pemandangan alam dalam aliran naturalisme dan impresionisme. Karya-karya lukisan Mooi Indie ini dapat dilihat pada hasil karya Locatelli, Du Chattel, Ernest Dezentje, Willem Hofker, Le Mayuer, Abdullah Suriosubroto, Pirngadi, Basuki Abdullah, Wahdi, Wakidi, dan lain sebagainya.

Paradigma Kedua, sekitar tahun 1938 hingga 1965 melalui para seniman Persagi hingga Lekra, berkembang suatu paradigma estetik dalam kontektualisme kerakyatan. Paradigma ini dipengaruhi oleh perubahan sosial dalam konteks-konteks politik. Semangat nasionalisme dan independen sangat mempengaruhi perubahan estetis dalam karya seni lukis.

Paradigma Ketiga, di pertengahan tahun 1960 hingga tahun 1980-an, menguat suatu paradigma estetik humanisme yang universal. Di sini, seni rupa mencari pembebasan karya seni dari berbagai pengaruh politik. Di samping itu, ada pengaruh modernisasi dan pembangunan yanhg sangat signifikan dalam sifat-sifat karya seni yang dihasilkan.

Paradigma Keempat, mulai tahun 1974, suatu muncul paradigma estetik kontektualisme yang bersifat pluralistis. Masalah sosio-actual dianggap lebih pemting dibanding keharuan sentimental personal seniman. Dan di tahun 1980-an mulai terjadi sintesis dari berbagai bentuk seni rupa kontemporer Indonesia. Ciri-ciri paradigma ini yaitu proses kreatif dilakukan melalui analitik, kontekstual, dan partisipatoris.

Paradigma Kelima, merupakan paradigma Sistesis Baru. Pada kurun waktu 1980 sampai 1990-an, terjadi polarisasi antara lirisisme dan non-lirisisme dalam seni rupa Indonesia. Di antara kedua kutub, ada beberapa seniman moderat yang mencari jalan lain dengan menyerap kedua kutub tersebut. Termasuk diantaranya adalah seni Kinetic Art, yang memakai bahasa lirisisme, namun mereka juga melakukan performance art, serta membuat seni instalasi dan video art. Mereka juga tidak melihat fenomena sosial hanya dari kebenaran sepihak saja. Beberapa seniman yang cenderung pada aliran ini diantaranya Heri Dono, Tisna Sanjaya, Dadang Christanto, Hendrawan Riyanto, Marida Nasution, dan lain sebagainya.

Itulah lima paradigma seni rupa Indonesia yang dilihat dari perjalanan waktu dan sejarah. Sangat terlihat adanya pengaruh lain di luar hanya sekedar perwujudan rasa individu, sebab di dalamnya juga terkandung unsur sosio-kultural yang mewarnai perjalanannya.

See more posts like this on Tumblr

#kinetic art

Hasil karya kerajinan tangan atau handicraft kini makin mendapatkan banyak perhatian. Ada dua nilai yang dimiliki karya handicraft tersebut, yaitu nilai estetis sebuah karya seni dan nilai fungsional barang untuk kegunaan tertentu. Misalnya saja sebuah patung, selain mengandung nilai seni patung juga berfungsi untuk menghias ruangan atau kegunaan lainnya.

Karena itulah perlu adanya sarana yang menjadi wadah bagi ekspresi seni sang pembuat karya handicraft tersebut. Dan sesuai dengan fungsinya maka ada dua wadah ekspresi untuk karya seni handicraft yang bisa dimanfaatkan.

Yang pertama, yaitu galeri seni. Melalui galeri seni, orang bisa menikmati beragam barang kerajinan dalam bingkai estetika sebuah karya bernilai seni. Sebagai contoh adalah di Edwinsgallery Kinetic Art, yang memamerkan beragam karya seni unik. Di sini, orang bisa menikmati keindahan karya-karya seni tanpa harus memikirkan untuk membelinya, meskipun diperkenankan. Tentunya tidak ada patokan harga pada sebuah karya seni, sehingga jangan harap Anda dapat melihat bandrol harga pada setiap produknya.

Yang kedua, di galeri toko online. Dalam setiap karya handicraft terdapat nilai ekonomis yang bila digali sangatlah potensial.  Sebagai contoh adalah online shop spesialis handicraft Indonesia Budidansiti. Pajangan karya-karya indah di dalamnya juga bisa dinikmati melalui jalur transaksi jual beli. Inilah salah satu bisnis yang memanfaatkan kreativitas untuk menciptakan karya handicraft unik khas Indonesia.

Pada tahun 1990, sebuah spesies baru lahir di negeri Kincir Angin, Belanda. Uniknya, spesies ini bukanlah hasil dari perkawinan silang, tetapi lahir dari seniman yang memiliki daya imajinasi tinggi dan ilmu pengetahuan yang luar biasa bernama Theo Jansen. Spesies ini merupakan prototipe dari hewan pantai yang direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi terlihat mirip seperti aslinya.

Untuk menciptakan karyanya ini, Jansen menggunakan berbagai media (pipa PVC, tabung plastic, botol plastik, dll.), kemudian dibentuk menjadi karya seni kinetik yang menakjubkan. Theo Jansen menyebut kinetic sculpture tersebut dengan nama ‘Animari’. Sebuah 'makhluk baru’ sejenis strandbeest yang hanya bisa bergerak bila terdorong oleh angin.

Sistem kinetic sculpture ini dikembangkan dari pergerakan pada satu titik yang diakibatkan oleh tiupan angin dan diteruskan kepada seluruh bagian tubuh lain sehingga bisa bergerak. Pergerakan yang bermula dari satu bagian sentral ini memicu pergerakan ke bagian lainnya, sehingga Animari bisa bergerak dengan sempurna.

Secara simpelnya, bisa Anda bayangkan ketika salah satu tungkai simetris dihubungkan langsung dengan sendi yang bisa memicu pergerakan, ketika tungkai tersebut tertiup angin, secara otomatis pergerakan tersebut menjalar ke bagian sendi sehingga bisa menggerakkan seluruh bagian tubuh Animari. Jika dilihat, pergerakan prototipe hewan pantai ini layaknya makhluk sungguhan.

Tungkai yang Jansen buat memang tidak sama panjang, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk saat ini, kompleksitas Animari sudah mencapai kepada tingkat yang luar biasa. Animari sudah memiliki sistem penyimpanan energi (efisiensi energi yang diambil dari angin) dan kemampuan pertahanan diri dari hembusan angin yang terlalu kencang. Sehingga, Animari tidak akan terhempas dan merusak seluruh bagian tubuhnya.

Karena media yang digunakan sangat ringan dan Jansen sudah memperkirakan desainnya, membuat Animari bisa bergerak lebih lama berapa pun kecepatan anginnya. Meski begitu, Animari hanya bisa digerakkan di kawasan yang lapang dan memiliki ruang pergerakan angin yang cukup besar.
Bagi kalangan ilmuwan, karya seni kinetik dari Theo Jansen ini merupakan sebuah inovasi baru yang diharapkan bisa memberikan inspirasi lebih untuk perkembangan seni dan ilmu fisika ke depannya. Hingga saat ini pun, Animari masih diteliti untuk meminimalisasi lagi kekurangannya, terutama pada bagian lingkup ruang pergerakan dan ruang anginnya.

Tertarik menciptakan inovasi baru yang meleburkan kinetic art dengan cabang ilmu lainnya? Semoga artikel ini dapat menginspirasi Anda ya.  

Sebuah lukisan berwarna matahari tenggelam karya Mark Rothko berjudul “Orange, Red, Yellow” menjadi salah satu karya seni kontemporer termahal. Lukisannya mencapai nilai US$ 86,9 juta di sebuah lelang di Christie’s New York.

Karya lukisan Rothko sebelumnya juga berhasil memecahkan rekor di balai lelang. Lukisan sebelumnya mencapai nilai USS 72,84 juta. Lukisan “Orange, Red, Yellow” juga berhasil memecahkan rekor karya seni kontemporer kinetic art edwins gallery lainnya yang pernah di lelang.

Selain karya Rotkho, banyak juga seniman-seniman lain yang mencapai spektakuler dalam lelangnya. Salah satunya karya “FCI” oleh Yves Klein. Klein menggambarkan sinar X yang membentuk figur dua model telanjang yang diterapkan ke dalam kanvas tampak menjadi seperti campuran cat, air, dan bara api.

Estimasi penjualan lukisan tersebut mencapai nilai US$ 40 juta. Namun pada akhirnya, terjual di angka US$ 36,5 juta, termasuk komisi. Nilai ini berhasil mengalahkan karya Klein lainnya yang mencapai nilai US$ 23,6 juta.

Karya lain yang mengalami peningkatan penjualan dari tahun sebelumnya, yaitu karya Gerhard Richter. Lukisan Abstraktes Bild terjual dengan nilai US$ 21,8 juta. Sebelumnya, lukisan karya Richter terjual di angka US$ 18 juta.

Baru-baru ini, rumah lelang Christie’s melalui pekan yang menakjubkan. Lukisan Pablo Picasso bertema ‘Les femmes d’Alger’ terjual seharga US$ 141,3 juta dan mencetak rekor pelelangan karya seni lukis dengan harga tertinggi di dunia.

Lukisan Picasso ini menterjemahkan wanita Alzajair dianggap sebagai karya seni utama kontemporer. Lukisan tersebut memperlihatkan fitur pelacur telanjang, tema umum untuk Picasso, dan dicat dalam gaya cubist yang telah menjadi ciri khasnya.

Total penjualan lelang lukisan di Christie’s, New York pada 2015 mencapai angka US$ 1,5 miliar atau Rp 19,6 triliun dalam tiga hari. Ini merupakan angka tertinggi bagi pelelangan karya seni kontemporer dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Hasil lelang yang terus mengalami kenaikan mengingatkan kita bahwa dunia seni tampaknya mulai pulih dari kehancuran krisis finansial tahun 2008 di wilayah tersebut. Selain faktor finansial, peningkatan penjualan lelang lukisan kemungkinan juga dipengaruhi karena eksistensi seni kontemporer dan minat para pecinta seni semakin meningkat.

Rumah lelang Christie’s merupakan tempat lelang bergengsi dan legendaris dalam menjual karya seni internasional dari seniman dunia. Rumah lelang ini didirikan pada 1766 oleh James Christie. Rumah lelang Christie’s telah melakukan lelang terbesar dan paling terkenal selama berabad-abad dalam menyediakan karya seni populer yang unik dan indah. Rumah lelang Christie’s memiliki sejarah panjang dan sukses dalam menjual karya seni kontemporer dan aliran seni lainnya.

Seni kontemporer kinetic art mulai populer di Indonesia tahun 1988, saat Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo mendirikan galeri seni Cemeti di Yogyakarta. Dari sanalah, kemudian diperkenalkan seniman lokal Eddie Hara, Heri Dono, Eko Nugroho, Agung Kurniawan, dan Kelompok Jendela.

Saat para seniman tersebut diperkenalkan pada khalayak, seni rupa Indonesia jadi tak semanis sebelumnya. Gambar-gambar yang ditampilkan sangat provokatif dan dijadikan sebagai alat perjuangan untuk melawan rezim Orde Baru.

Seni rupa yang dikibarkan oleh Cemeti dan para senimannya dinamakan sebagai seni rupa kontemporer. Namun sejatinya, seni rupa kontemporer Indonesia sudah dimulai pada tahun 1975, sebagai reaksi Biennale 1974. Saat itu pemberian gelar pelukis terbaik pada forum Biennale 1974 memunculkan protes dari seniman generasi muda. Menurut mereka lukisan-lukisan pada Biennale hanya merepresentasikan dekoratif-isme.

Protes itu pada akhirnya berujung pada pembentukan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). GSRB merepresentasikan konsep-konsep seni instalasi, pembebasan karya dua dimensi dan tiga dimensi, serta karya pencampuran antara karya lukis, puisi, gerak, dll.

Meski sudah melahirkan seniman-seniman besar, seperti Dede Eri Supria, Jim Supangkat, Agus Dermawan, FX Harsono, dan Ronald Manullang, perjuangannya dalam menolak kecenderungan seni baru yang dekoratif tersebut harus berakhir. GSRB tidak berumur panjang dan kehilangan gemanya selama puluhan tahun. Dari GSRB, hanya Dede Eri Supria yang masih aktif berkarya sampai tahun 90-an.

Seni Kontemporer Kembali Menemukan Gemanya

Seni kontemporer kembali booming pada April 2007, saat Balai Lelang Shoteby’s di Hongkong menjual lukisan Putu Sutawijaya seharga 70.000 USS. Imbasnya, karya seniman-seniman lain juga terangkat naik dalam kisaran Rp 300-700 juta.

Gema positif pada tahun 2007 memberikan perubahan dalam sejarah seni kontemporer Indonesia. Booming tersebut membuat seni rupa Indonesia menjadi lebih bergairah dan membuat para seniman senior membuat karya-karya yang lebih spektakuler.

Akhir-akhir ini, seni kontemporer Indonesia memiliki kecenderungan yang gigantik dalam bentuk karya instalasi. Baik dalam forum Art Fair atau Biennale, karya-karya itulah yang mampu menyedot perhatian orang untuk berhenti dan terpana untuk terus memperhatikan.

Namun dampak dari kecenderungan instalasi gigantik tersebut menyebabkan orang menjadi sulit untuk mengoleksi karena membutuhkan ruang pamer yang besar. Hal inilah yang membuat seni kontemporer menjadi sulit dipasarkan.

Kehadiran seni kinetik mampu mengatasi kesulitan di atas. Seni kinetik merupakan wujud seni kontemporer yang menggabungkan unsur mekanis dan artistik. Tidak perlu ruang besar untuk memamerkan atau mengoleksinya.

Namun permasalahannya, seni kinetik terbilang belum populer di Indonesia. Inilah tugas para seniman negeri untuk terus mempopulerkan seni kontemporer agar selalu eksis, baik lokal maupun dunia global.

Karya seni merupakan hasil ciptaan olah rasa dan karsa manusia. Dimana pada hakikatnya, akan selalu terkandung suatu karakter unik yang ingin disampaikan kepada para penikmatnya. Dari karakter inilah, manusia dapat memperoleh suatu pengalaman batiniah tersendiri yang akan memperkaya kepribadian dalam kehidupan, baik pribadi maupun sosial.

Sebagai suatu genre, kinetic art atau seni kinetik juga menjadi salah satu medium seni yang bernilai estetis dengan karakter uniknya. Kehadirannya secara fisik tentu menumbuhkan rasa keingintahuan sekaligus kebutuhan untuk mencerna dan memahami makna yang terkandung dalam karya seni.

Karya-karya kinetic art merupakan perpaduan antara seni dan teknologi. Dengan basic seni kontemporer dalam bentuk instalasi, di dalamnya tersisip suatu unsur gerak mekanis yang dimunculkan oleh teknologi mekanis yang sifatnya sederhana sekalipun. Wujud karya seni kinetik inilah yang menjadikannya unik sekaligus memiliki makna estetis yang layak untuk dinikmati sekaligus dipelajari.

Meskipun belum begitu populer di Indonesia, kehadiran karya-karya seni kinetik ini cukup mewarnai khasanah dunia seni. Terlebih dengan hadirnya Edwins Gallery sebagai pusat sosialisasi dan pengembangan seni kinetik, menjadikan masyarakat dapat lebih mudah untuk mengakses dan mengenalnya. Keberadaan galeri juga memberi nilai positif bagi para seniman untuk menyalurkan hasrat seninya melalui karya-karya unik kinetic art yang bernilai estetis tinggi. Sehingga nantinya, kinetic art juga dapat disejajarkan dengan aliran seni yang lain dan mampu berkiprah dalam membentuk karakter sebuah bangsa.

Dalam era modernisasi, seni rupa tetap bertahan dengan eksistensinya. Galeri Seni menjadi salah satu wujud institusi dan disiplin yang mendukung perkembangan seni. Namun pada hakikatnya, disiplin seni yang ada saat ini berwujud pada penolakan terhadap karya seni yang merujuk pada modernisasi yang berkembang saat ini. Disiplin seni lebih merujuk pada seni kontemporer yang memiliki sifat anti-modernisme.

Edwins Gallery adalah sebuah galeri seni yang menyajikan hasil karya seni kontemporer, utamanya adalah karya-karya seni kinetik atau kinetic art. Aliran ini merupakan pengembangan dari seni kontemporer, yang mengkolaborasikan antara seni dan teknologi. Dan sebagaimana hakikat seni kontemporer, kinetic art ini juga mendukung anti-modernisme walaupun di dalamnya terkandung unsur teknologi dan ilmu pengetahuan dalam menciptakan unsur gerak.

Prinsipnya, apapun bentuk dan perwujudannya, seni-seni dalam beragam aliran perumusan dasarnya berasal dari pemaknaan terhadap seni tradisional. Meskipun gesekan-gesekan antara seni kontemporer dan modernisme yang begitu ketat, keduanya tak bisa menghapus kenyataan bahwa mereka lahir dari induk seni yang sama. Sehingga pada dasarnya, galeri seni menjadi wujud dari disiplin seni yang mampu memberi batasan antara seni kontemporer dan seni modern.

Realisasi seni kinetik ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan masyarakat, hanya saja pemahaman tentang seni kinetik secara spesifik masih kurang populer, bahkan kurang dipahami oleh masyarakat. Berdasar kenyataan inilah, Edwins Gallery hadir untuk menjadi wahana pengembangan sekaligus sosialisasi seni kinetik di Indonesia.

Melihat sejarahnya, kinetic art merupakan salah satu cabang dari seni rupa yang memadukan keindahan seni dengan gerak mekanis suatu mesin. Gerakan dalam Kinetic Art memiliki keterkaitan akar konsep dengan gejala visual yang digarap. Mendasarkan  pada  konsep  ‘seeing  is  believing ‘, dasar eksperimennya pernah dilakukan oleh Schlemer dan Robert Delaunay pada sekitar  tahun  1912. Demikian pula eksperimen  Joseph  Albers  dari Sekolah Seni Bauhaus di sekitar tahun 1920.  

Setelah mereka, beberapa seniman yang berperan dalam perkembangan aliran seni kinetik ini diantaranya :

  • Naum Gabo, sebagai pelopor lahirnya kinetic art, dengan karyanya yang bersifat konstruktivisme
  • Alexander  Calder,  seniman  pertama  yang  dikenal kerap menggabung-gabungkan suatu bagian dari efeknya.
  • George  Rickey,  yang berpendapat bahwa gerakan pada dasarnya sama dengan prinsip kerja sebuah gramaphon, tanpa adanya gerakan maka objek tidak akan melakukan apa-apa.
  • Nicholais  Schoffer,  seniman yang mengembangkan ‘spatiodynamics‘ dan ‘illuminodynamics‘. Dimana gerakan  konstruksi  berbahan metal  digunakan  dengan  kombinasi  cahaya yang merupakan refleksi  dari  bidang-bidang datar, yang kemudian direkam dan ditransfer melalui lembaran plastik berwarna-warni yang diiringi dengan musik.

Di Indonesia sendiri, seni kinetik mungkin belum banyak dikenal walaupun sudah cukup lama dikembangkan. Adalah Edwin Rahardjo yang menjadi pelopor kinetic art, yang kemudian berupaya memperkenalkannya kepada publik dengan membangun sebuah galeri seni yaitu Edwins Gallery. Kecintaannya berawal dari dunia mekanik yang kemudian berlanjut menjadi sebuah objek seni, sehingga jadilah karya-karya seni kinetik tersebut.

Di dalam galeri banyak karya-karya unik yang dipamerkan seperti “Amnesia Nation” karya Heri Dono, “I Don’t Know” ciptaan Bagus Pandega,  “Little Bridge” karya Rudi Hendrianto, “Myths Chariot”-nya Bob Potts, serta karya Edwin sendiri yaitu “Light Rhytm” dan “Floating Fleets”. Bila tertarik, silakan mengunjungi galeri yang terletak di Kemang, Jakarta Selatan ini.

Apabila dilihat dalam konteks definisinya, peran seni rupa mungkin hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan domain seni murni yang banyak diciptakan. Padahal bila diperhatikan, seni rupa justru memegang peranan yang penting dan sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Hampir semua peralatan, perabotan bahkan juga perlengkapan yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan adalah produk atau hasil dari seni rupa.

Dari seni rupa, lahirlah beragam benda yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya kursi, meja serta peralatan makan sebagai wujud seni rupa. Mungkin kita saat ini masih tidur beralaskan tanah, apabila belum ditemukan seni rupa yang menghasilkan berbagai jenis keramik yang menjadi pembentuk lantai di rumah kita. Tak hanya itu, seni arsitektur juga termasuk dalam cabang seni rupa yang sesungguhnya, hingga manusia mampu membuat beragam bentuk dan desain bangunan rumah.

Memang harus diakui, seni rupa mau tak mau memegang peran dan fungsi penting dalam memudahkan kehidupan manusia. Bahkan bila seni desain tidak sempat ditemukan, ada kemungkinan mobil yang kita gunakan saat ini hanyalah berbentuk seperti sebuah gerobak tanpa adanya desain interior yang menarik.

Hanya saja, tidak semua seni rupa menghasilkan barang yang benar-benar dapat digunakan dalam kehidupan. Termasuk diantaranya adalah karya kinetic art atau seni kinetik. Sebagai perpaduan antara seni dan gerak, karya kinetic art mungkin tidak begitu dapat dirasakan secara fungsional, namun lebih pada estetika sebuah karya seni. Masyarakat umum pun sudah seharusnya turut mengenal dan mengetahui bagaimana pengertian seni kinetik ini yang sesungguhnya. Sehingga dalam penerapannya, akan lebih banyak lagi masyarakat yang mampu menghargai hasil karya seni yang ada di kehidupan mereka.

Bagi Anda penikmat seni rupa yang selalu haus akan kreativitas baru yang muncul dari sebuah karya seni kontemporer, mampirlah sekali waktu ke Edwin’s Gallery. Inilah salah satu galeri seni kontemporer, yang sekaligus menjadi satu-satunya kinetic art gallery di Indonesia. Sebagai motor utama pendorong kemajuan seni kontemporer, tak heran bila koleksi-koleksi seni yang ada di dalamnya sebagian besar menampilkan karya seniman-seniman kontemporer, tak terkecuali aliran kinetic art tersebut.

Kinetic Art muncul berawal dari rasa ingin tahu para seniman yang dalam proses eksplorasi karyanya, mereka mencari medium-medium baru yang tentunya berbeda dari yang pernah mereka gunakan. Sebenarnya, di Indonesia sudah cukup banyak seniman yang menghasilkan karya di aliran kinetic art ini, entah mengapa masih kurang begitu banyak dikenal oleh masyarakat.

Beberapa saat yang lalu, dalam sebuah pameran kinetic art yang disponsori oleh galeri seni milik Edwin Rahardjo itu diantaranya menampilkan karaya-karya seniman seperti : Ade Darmawan yang hadir dengan karya yang berjudul ‘Kucing Hoki’.  Karya yang berupa instalasi mesin berbentuk menyerupai Manekineko ini hadir dalam 4 jenis patung kucing dengan ukuran yang berbeda-beda. Ada pula Heri Dono dengan gayanya yang khas menghadirkan karya seni yang diberi judul ‘Watching the Marginal People’.

Ada pula Yani M. Sastranegara dengan karyanya yang berjudul ‘Soulmate’ dengan ukuran karya yang paling besar. Wujudnya berupa 2 buah instalasi yang berbentuk lingkaran besi tersusun keatas saling bertumpuk, sedang di bagian paling atas terdapat sepasang burung besi. Gerakan yang terlihat adalah dalam rentang waktu tertentu burung dan bola akan bergerak sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yang cukup nyaring terdengar. Pada bagian lain, ada Jompet Kuswidananto yang membawakan karya berjudul ‘Third Bodies #7′, dimana wujudnya adalah berupa susunan mesin bersayap yang tergantung ke atas, sangat cantik bak kunang-kunang yang sedang terbang.

Dalam pameran tersebut ada kurang lebih 17 orang seniman yang turut ambil bagian. Hal ini membuktikan bahwa minat seniman dalam aliran seni kinetik ini cukup besar. Yang mungkin masih kurang agresif adalah upaya sosialisasinya, agar karya-karya kinetic art ini banyak dikenal masyarakat dan mereka pun mampu untuk menikmatinya. Karena itulah, Edwin’s Gallery menjadi wahana yang tepat sebagai pusat pengembangan kinetic art di Indonesia.

See this in the app Show more

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA