Pandemi merupakan adzab dijelaskan dalam al-qur’an surah

Jakarta -

Wabah penyakit seperti pandemi COVID-19 tidak hanya berlangsung pada masa ini, namun pernah terjadi di masa lampau. Hal itu tertulis dalam beberapa ayat Alquran tentang wabah penyakit.

Pandemi virus corona sendiri mulai terjadi pada awal tahun 2020. Diinformasikan, virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China dan mulai menyebar ke berbagai negara di dunia.

Dunia kesehatan pun mulai membuat vaksin untuk mencegah penyebaran virus. Harapannya, pandemi virus corona akan segera berakhir.

  • 1. Surat Al Baqarah ayat 249

Allah SWT dalam quran surat Al Baqarah ayat 249 berfirman mengenai wabah penyakit yang menimpa suatu negeri. Hal itu dikarenakan meminum air sungai.

Arab: فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوْتُ بِالْجُنُوْدِ قَالَ اِنَّ اللّٰهَ مُبْتَلِيْكُمْ بِنَهَرٍۚ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّيْۚ وَمَنْ لَّمْ يَطْعَمْهُ فَاِنَّهٗ مِنِّيْٓ اِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً ۢبِيَدِهٖ ۚ فَشَرِبُوْا مِنْهُ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۗ فَلَمَّا جَاوَزَهٗ هُوَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۙ قَالُوْا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوْتَ وَجُنُوْدِهٖ ۗ قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ اَنَّهُمْ مُّلٰقُوا اللّٰهِ ۙ كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Latin: fa lammā faṣala ṭālụtu bil-junụdi qāla innallāha mubtalīkum binahar, fa man syariba min-hu fa laisa minnī, wa mal lam yaṭ'am-hu fa innahụ minnī illā manigtarafa gurfatam biyadih, fa syaribụ min-hu illā qalīlam min-hum, fa lammā jāwazahụ huwa wallażīna āmanụ ma'ahụ qālụ lā ṭāqata lanal-yauma bijālụta wa junụdih, qālallażīna yaẓunnụna annahum mulāqullāhi kam min fi`ating qalīlatin galabat fi`atang kaṡīratam bi`iżnillāh, wallāhu ma'aṣ-ṣābirīn

Artinya: Maka ketika Talut membawa bala tentaranya, dia berkata, "Allah akan menguji kamu dengan sebuah sungai. Maka barangsiapa meminum (airnya), dia bukanlah pengikutku. Dan barangsiapa tidak meminumnya, maka dia adalah pengikutku kecuali menciduk seciduk dengan tangan." Tetapi mereka meminumnya kecuali sebagian kecil di antara mereka. Ketika dia (Talut) dan orang-orang yang beriman bersamanya menyeberangi sungai itu, mereka berkata, "Kami tidak kuat lagi pada hari ini melawan Jalut dan bala tentaranya." Mereka yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, "Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah." Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dalam surat Hud ayat 64-65 Allah SWT berfirman mengenai wabah penyakit yang menyerang kaum Tsamud. Kaum tersebut diberikan azab berupa wabah penyakit karena melanggar perintah Allah, yakni menyembelih unta.

Maka, Allah SWT menurunkan azab berupa penyakit setelah tiga hari mereka bersuka ria (menyembelih unta).

Arab: وَيٰقَوْمِ هٰذِهٖ نَاقَةُ اللّٰهِ لَكُمْ اٰيَةً فَذَرُوْهَا تَأْكُلْ فِيْٓ اَرْضِ اللّٰهِ وَلَا تَمَسُّوْهَا بِسُوْۤءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيْبٌ
فَعَقَرُوْهَا فَقَالَ تَمَتَّعُوْا فِيْ دَارِكُمْ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوْبٍ

Latin: wa yā qaumi hāżihī nāqatullāhi lakum āyatan fa żarụhā ta`kul fī arḍillāhi wa lā tamassụhā bisū`in fa ya`khużakum 'ażābung qarīb
fa 'aqarụhā fa qāla tamatta'ụ fī dārikum ṡalāṡata ayyām, żālika wa'dun gairu makżụb

Artinya: Dan wahai kaumku! Inilah unta betina dari Allah, sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa (azab)."

Maka mereka menyembelih unta itu, kemudian dia (Saleh) berkata, "Bersukarialah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan."

  • 3. Surat Al Anbiya' ayat 83

Dalam Quran surat Al Anbiya' ayat 83 Allah SWT berfirman mengenai ayat Alquran tentang wabah penyakit yang menimpa Nabi Ayub. Penyakit itu adalah judzam (kusta atau lepra) yang menyerang fisiknya.

Arab: وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ ۚ

Latin: wa ayyụba iż nādā rabbahū annī massaniyaḍ-ḍurru wa anta ar-ḥamur-rāḥimīn

Artinya: Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, "(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang."

  • 4. Cara Menghadapi Wabah Penyakit

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa di zaman Rasulullah pernah terjadi wabah/tha'un. Rasulullah SAW pun bersabda mengenai cara menghadapi wabah penyakit, yakni jangan memasuki daerah tersebut dan bagi masyarakatnya jangan keluar dari daerah itu.

Keputusan Rasulullah itu juga dikenal dengan nama karantina. Hal itu dilakukan agar penyakit yang mewabah tidak menyebar ke daerah lain.

"Jika kalian mendengar penyakit Thaun mewabah di suatu daerah, Maka jangan masuk ke daerah itu. Apabila kalian berada di daerah tersebut, jangan hengkang (lari) dari Thaun."

Jangan lupa amalkan ayat Alquran tentang wabah penyakit ya!

Simak Video "Yang Perlu Diketahui soal Hepatitis Akut Misterius"



(pay/erd)

Allah SWT memang merupakan satu-satunya yang menentukan nasib hidup dan mati kita, umat Islam Indonesia. Tetapi, kalau kita sudah mengenal pola dan masih mengabaikannya, salah-salah kita akan jatuh kepada sikap zalim.

Di kalangan sebagian umat Islam di Indonesia, muncul dua respon mengkhawatirkan dalam menanggapi pandemi Covid-19. Pertama, mereka yang meyakini pandemi ini sebagai buatan atau konspirasi pihak-pihak tertentu yang punya kepentingan. Kedua, sejalan dengan ulasan saya sebelumnya, mereka yang merespon ini dengan sikap fatalis. Banyak yang gelisah dengan efek dari kedua respon tersebut.

Untuk yang pertama sudah jelas, setiap kita, apalagi yang punya kapasitas untuk didengarkan banyak orang, sewajarnya membekali diri dengan informasi yang tepat. Kadang informasi ini memang tidak mudah dijangkau. Karenanya, kita bisa berinisiatif mencari tahu kepada ahlinya. Atau, kalau kita punya orang terdekat yang memiliki kapasitas didengarkan umat, kita turut bertanggung jawab untuk memastikan informasi yang tepat itu sampai kepada mereka.

Untuk yang kedua, saya sangat paham, para ulama mencoba menenangkan umat Islam. Karena informasi yang simpang siur dan disponsori literasi yang rendah, pandemi ini melahirkan ketakutan. Makanya, para ulama merespon, “Takut hanya kepada Allah,” “Hidup mati sudah ditentukan Allah, tidak usah takut berlebihan.”

Saya paham, beliau-beliau ini ingin menjaga kita. Beliau-beliau tidak ingin umat menyikapi pandemi ini dengan sikap yang melupakan Allah. Itu kalau husnuzan saya.

Hanya saja, ungkapan beliau-beliau, dalam hemat saya, menjadi berbahaya ketika ditangkap sebagai anjuran untuk tidak mengindahkan prinsip-prinsip protokol yang terbukti efektif dan berhasil menanggulangi pandemi ini.

Untuk merespon ini lebih dalam, saya ingin kembali mengulik konsep teori kalam Asyariyyah. Kali ini, saya ingin belajar dari penjelasan Ibu saya yang sederhana.

Teori kalam Asy’ariyyah memang agak rumit. Di satu sisi, manusia didorong berusaha. Di sisi lain, Allah yang menentukan segalanya. Bahkan, ada doktrin bahwa segalanya telah ditulis di Lauh Mahfudz. Ada yang mengatakan: “Iya, manusia memang disuruh berusaha, tapi itu sebenarnya buat pantes-pantesan atau basa-basi saja. Pada akhirnya, semua ada di tangan Allah.” Dari sini muncullah kegalauan: “Jika demikian duduk perkaranya, mengapa aku berikhtiar? Apa makna usahaku?”

Ibu mengenalkan konsep relasi usaha-takdir yang menurut saya menarik dan mudah dipahami. Dan, ini menyelamatkan saya dari kegalauan saya.

“Nduk, waktu kematian Ibu sudah dicatat Allah. Tetapi, dalam menjemput takdir itu Ibu tetap harus menjaga kesehatan: menjaga pola pikir, pola makan, dan olah raga. Mengapa Ibu melakukan itu, toh sudah ada catatannya? Karena ikhtiar adalah bentuk ibadah, pengabdian kepada-Nya. Dan, namanya pengabdian ya harus tenanan, sungguh-sungguh, sekuat daya upaya, sebaik-baiknya. Masalah hasilnya bagaimana diserahkan kepada Allah. Luruskan niat, optimalkan ikhtiar, pasrahkan,” itu adalah prinsip hidup Ibu.

Mendengar ulasan Ibu, saya menyadari letak masalah kegalauan saya, yang tercermin dalam pertanyaan di atas. Pangkalnya, saya punya cara pandang yang kurang tepat dalam memandang usaha. Saya punya pandangan bahwa usaha pasti menghasilkan sesuatu. Coba, siapa yang bisa memastikan bahwa usaha kita pasti membawa kepada hasil yang dikehendaki? Siapa yang mampu menjamin bahwa kalau berobat pasti sembuh? Siapa yang bisa memastikan bahwa jika saya menginovasi dagangan saya, dagangan saya akan laris? Siapa yang menjamin kalau saya berhati-hati mengikuti prosedur yang dianjurkan, saya pasti tidak terinfeksi dari virus corona dan tidak ikut menyebarkan virus ini?

Ada dua respon saya terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, berbasis prinsip tawasuth (moderat, tengah-tengah) dan berdasar wejangan Ibu. Pertama, jawaban singkatnya: tidak ada yang bisa menjamin kecuali Allah. Tidak usah jauh-jauh, pengalaman mengajari kita bahwa ada silang sengkarut variabel-variabel lain yang rumit, kompleks, dan sering di luar jangkauan dan prediksi kita, yang turut menghantarkan sebuah tujuan tercapai atau tidak, sebuah usaha berhasil atau tidak. Dalam ketakterjangkauan itu kita meyakini Allah-lah yang menggerakkan segala variabel-variabel itu.

Namun demikian, dan ini yang kedua, kita tetap tidak bisa mengesampingkan begitu saja adanya pola-pola yang bisa menjadi acuan kita untuk menggerakkan usaha menuju hasil tertentu yang kita kehendaki. Pola-pola ini bisa menjadi salah satu dasar ikhtiar sebagai ekspresi ibadah kepada Allah, yang, sekali lagi, pantasnya ya dilakukan dengan total dan optimal, berbekal ilmu yang sekomprehensif mungkin. Masa ibadah sama Allah tidak serius dan sungguh-sungguh?

Berobat tidak menjamin kesembuhan saya, tetapi ada pola yang mengaitkan hubungan antara berobat dengan kesembuhan penyakit. Kita tidak tahu pasti apakah Indonesia akan berhasil menekan penyebaran pandemi Covid-19 kalau semua masyarakat tertib dan disiplin mengikuti anjuran. Tetapi ada pola yang bisa kita pelajari dari pengalaman negara lain. Misalnya, Italia kecolongan, terlambat mengimplementasikan anjuran penanganan pandemi ini. Jumlah orang yang terinfeksi dan butuh penanganan serius terus bertambah pesat seakan tak terbendung. Sistem kesehatan kewalahan. Tenaga kesehatan kelelahan.

Allah-lah satu-satunya yang menentukan nasib hidup dan mati kita. Tetapi dalam hemat saya, kalau kita sudah mengenal pola dan masih mengabaikannya, saya khawatir kita jatuh kepada sikap zalim. Okelah kalau buah abai kita, kita sendiri yang menanggung akibatnya. Silakan saja abai atau meremehkan. Masalahnya, ini pandemi. Pandemi hanya bisa dihalau dengan gotong royong, di mana seluruh eleman bangsa bersinergi, bersatu padu. Dalam situasi seperti ini, sikap abai berefek kepada kehidupan yang lebih luas, bukan hanya kepada diri sendiri.

Akhirnya, para ulama sudah memberikan pijakan akidah dalam menghadapi pandemi ini. Kita beruntung punya keyakinan bahwa hidup dan mati kita ada di tangan Allah. Dengan bekal itu, kita bisa menghadapi pandemi ini dengan kesabaran dan ketenangan batin, penuh kepasrahan kepada-Nya.

PR terbesar kita, umat Islam Indonesia, saat ini menurut saya adalah mengedukasi diri kita dan orang-orang di sekitar kita dengan informasi dan ilmu yang komprehensif dan valid. Dengan ini, duduk perkaranya, termasuk kompleksitas yang mengitarinya, menjadi jelas. Langkah yang diambil juga bisa tepat, tidak salah apalagi fatal. Informasi dan ilmu ini adalah bekal ikhtiar sebagai bentuk ibadah kita. Dan, sekali lagi mengikuti pemahaman Ibu saya, namanya ibadah, pengabdian, persembahan kepada Allah, sudah sewajarnya kita melakukannya dengan sungguh-sungguh dan sebaik mungkin. Allah a’lam

Penulis:

Lien Iffah Naf'atu Fina, Anggota AIAT

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA