Ono sumarsono adalah salah satu seniman asal malang jawa timur yang membuat patung dengan teknik

Oleh: Bambang AW*

Bicara seniman di Malang tanpa menyertakan nama Ono Sumarsono, atau yang biasa dipanggil Ono Gaf (Gafur), rasanya tidak komplit. Pasalnya, Seniman yang satu ini termasuk senior dan memiliki reputasi menarik yang pantas kita telaah. Kalau di Eropah kita mengenal Salvador Dali dengan tampilan dan pola hidupnya yang surealistik, bagai mimpi-mimpi. Kalau di Yogya ada Affandi yang dengan sarungnya berjalan kemana suka. Di Malang ada Ono Gaf, seniman 68 tahun yang tak kalah nyentrik. Kalau pas anda ketemu dengan seniman yang satu ini, dijamin akan geleng-geleng kepala. Pasalnya mungkin anda akan terperangah melihat kalung-kalung, gelang-gelang manik-manik yang berjubel di tubuhnya. Atau mungkin anda mengamati cara berpakaian dan assesorisnya yang aneh. Menurut penulis, Ono secara utuh sejatinya terasa sebagai sebuah patung abstrak miliknya sendiri!

Ono Gaf sudah malang melintang dalam jagad seni rupa Lokal, Regional, Nasional bahkan International. Karya-karya senilukis abstrak dan impresionisnya cukup bagus, meskipun sekarang ia lebih intens menekuni seni patung besi rongsokannya. Sesungguhnya, sudah puluhan tahun Ono menekuni seni patung semacam ini, Saya memilih limbah besi rongsokan sebagai bahan patung dan mengkolasekannya menjadi sebuah patung. Saya berkarya seperti ini sejak remaja (1970-an), jauh sebelum saya mengenal apa itu postmodern yang sekarang marak di Indonesia. Ide patung saya muncul ketika mata saya menikmati bentuk-bentuk besi rongsokan yang seringkali unik. Kebetulan rumah orang tua saya di Kidul Pasar Besar Malang, dekat kubangan rongsokan trem dan dekat pasar loak Comboran. kata Ono seraya membetulkan letak kacamatanya, Lalu, apakah patung besi rongsokan karya saya itu termasuk kontemporer? Saya tidak tahu dan mungkin tidak perlu tahu hehe. Tapi yang penting bagi saya harus berkarya serius. Soal aliran bukan urusan saya. Tegas Ono perihal isme pada karyanya.

Ono Sumarsono lahir di Malang, 1 Januari 1947. Ia terlahir sebagai anak ke 4 dari 8 bersaudara, dari pasangan Sri Bana dan Abdul Gafur. Ibunya, seorang perempuan Jawa yang sabar. Menurut Ono, leluhurnya masih ber-trah Solo. Ibunya masih terhitung cucu buyut Eyang Soro, tokoh spiritualis di Malang jaman dulu, dan Yai Tamin, seorang kolektor barang lama di Malang. Kalau ayah Ono bernama Abdul Gafur, berprofesi sebagai tukang jahit spesial jas. Menurut Ono ayahnya sangat agamis, jujur, keras dan berdisiplin, Cara bapak mendidik saya begitu keras. Misalnya, saya harus me-lap meja sampai tidak teraba debu di telunjuk. Kalau masih berdebu, beliau langsung marah bahkan memukul kaki dengan rotan, cerita Ono mengenang ayahnya, Saya dari kecil sudah wajib mengaji. Kebetulan di depan rumah saya, di Kidul Pasar ada sebuah langgar. Saya tiap hari tidur di dalam langgar itu, agar waktu sembahyang Subuh saya tidak ketinggalan. Pagi hari saya sekolah di Sekolah Rakyat NU di Jagalan, siang dan sorenya saya wajib ngaji ke ustad Umar dan Kyai Imam di Kidul Pasar.

Menyoal bakat seni, mungkin turun dari leluhur saya, eyang Soro dan Yai Tamin yang suka dengan benda-benda budaya semacam keris, petung dan sebagainya. Sejak SD saya suka seni; saya pandai membuat patung dari lempung (tanah liat), suka melukis wayang kulit dan ketika SMP sudah melukis bagus para pahlawan seperti Jendral Soedirman, Cut Nya Diendan bung Tomo. Untuk keperluan patung, saya mencari lempung di pinggir pagar SMPN2 yang tak jauh dari rumah. Saya sering mengambil di situ sampai suatu hari pak penjaga sekolah itu memergoki. Saya dimarahi dan melarang mengambil lagi.Sekali waktu,saya tertangkap basah ketika mengambil lempung dan dikejar-kejar. Saya lari terbirit-birit, meski besoknya saya balik lagi untuk mengambil lempung. Lempung disitu saya rasa baik kwalitasnya,kenang Ono ke masa remaja, Selain buat patung dari tanah liat, saya juga buat patung dari pasir. Patung pasir itu saya tancapi potongan-potongan bambu hingga menyerupai sesuatu. Pernah saya ditugasibu guru Sidik untuk ikut lomba lukis dengan syarat tidak mencontoh,maksudnya harus mengarang sendiri. Kebetulan hal itu sudah terbiasa saya lakukan, alhasil ya sayalah yang jadi juara hehe, lanjut Ono sambil tertawa gembira.

Tahun 1960 an dari Sekolah Rakyat Nu Ono Sumarsono pindah ke Sekolah Rakyat Sawunggaling di Comboran,Alasan saya pindah ke sekolah umum agar ilmu yang saya terima beragam, tidak hanya ilmu agama. Meskipun siang dan sore harinya saya rajin mengaji.cerita lelaki berambut panjang ini. Menyoal seputar kesenian; pernah ia yang masih kecil itu ditegur oleh kyai-nya, gara-gara membuat patung dari lempung. Sebenarnya Ono sudah mengerti adanya larangan agama terkait membuat patung. tapi dasar Ono masih kecil, ia malah menjawab dengan enteng , Lha yang saya buat ini kan cuma mainan dari lempung, bukan patung. Tidak berbentuk manusia dan tidak saya sembah, terang Ono membela diri. Pak kyai, maaf saya tanya: kenapa cucu pak Kyai sendiri boleh nyimpan boneka di rumah? Apakah Itu bukan patung? tandasnya berani. Atas sikap ini pak Kyai cuma geleng-geleng kepala seraya berkomentar,dasar anak belum ngerti!

Di kampungnya, keluarga Ono bukan keluarga kaya. Ibu saya berjualan mie mentah di Pasar Besar Malang. Kebetulan beliau dipercaya oleh Yok Hok pemilik pabrik mie di Kidul Pasar dan Yok Antong, di Kota Lama, Malang. Selain mie mentah, ibu juga menjual minyak klentik (minyak kelapa). Dagangan ibu cukup laris, meski kadang diganggu oleh ulah orang tak dikenal, dengan ditaburi bunga, entah apa maksudnya. Ibu hanya mengelus dada, tapi saya yang marah. Saya lempar-lemparkan bunga itu ke tempat lain. Kata Ono mengenang ibunya di pasar, Ibu senang menolong tetangga, dalam keterbatasannya, beliau masih sempat memberi makan orang yang kelaparan. Meskipun untuk memberi itu, saya tahu, beliau sampai rela hanya memiliki satu stel baju, sehingga kalau malam di cuci esok paginya ia pakai kembali.

Tahun 1960 an semasadi bangku Sekolah Dasar,Ono pernah ditanya oleh gurunya di depan kelas perihal cita-citanya. Ono menjawab spontan begini: Cita-cita saya jadi tukang besi. Mendengar jawaban polos ini kelaspun jadi ger-geran. Lulus SD Ono melanjutkan ke jenjang SMP. Di masa inilah catatan perihal pendidikannya buram, tidak diingat secara jelas. Ia mengaku bagai kutu loncat, berpindah-pindah dari satu sekolah ke sekolah lain, entah karena apa. Pernah Ono masuk di SMPYPI Malang, lalu pindah ke SMP Kristen Semeru, terus pindah lagi ke SMP Muhammadiyah di jalan Oro-oro Dowo.Maaf saya benar-benar lupa soal sekolah di masa itu, saya terlalu asik bermain-main dengan seni lukis dan patung. demikian pengakuan Ono memastikan. Akan halnya loncat meloncat ini, sang ayah cuma berkomentar,Nak, Yang penting kamu harus ngaji dan membantu ibumu.

Selepas SMP, saya memutuskan serius melukis dan membuat patung. Saya belajar secara otodidak, guru saya adalah siapa saja yang mau ngasih saya ilmu. Saya ingat pertama melukis dengan cat kayu merk Kebo yang saya campur dengan minyak klentik (minyak kelapa). Kain yang saya pakai bekas taplak meja dan popok bayi dan tempat saya melukis di wuwungan rumah. Kalau soal hasilnya..hehe, tembus ndak karu-karuan. Kenang Ono dengan mata berkaca-kaca,Karena hasilnya begitu, saya ditertawai oleh teman sekampung yang sudah bisa melukis. Diam-diam saya penasaran. Kebetulan sekali saya bertemu tetangga, pak Asnan, yang bekerja pada percetakan Perfectas di jalan Wiro Margo. Beliau itu baik hati, beliau membawakan saya tinta cetak beberapa warna untuk saya pakai melukis secara realis.Sampai disini Ono berhenti sejenak dan menyeruput kopi hangatnya, Kalau soal patung besi, saya harus berterimakasih kepada koh Sin Tiong, pemilik bengkel yang tetangga. Dari beliau saya diajari mengenal sifat dan memperlakukan besi. Bagaimana cara memegang kikir dengan benar, menekuk besi baja, mengelas dengan halus dan matang. Kalau soal membentuk dan menempa besi, saya harus matur nuwun kepada pak Tajab, pande besi hebat yang juga tetangga saya.Ucap Ono bersungguh-sungguh.

Kisaran tahun 1965 1970, Ono beruntung berkesempatan melihat pameran lukisan besar karya para maestro dunia, seperti Van Gogh, Picasso, Degas, Affandi dan banyak lagi, di gedung sebelah belakang Gereja Kayu Tangan, Tahun persisnya saya lupa; tapi yang penting dari pameran itu, saya jadi mengerti bagaimana melukis dan apa itu lukisan. Saya sering pula melihat karya-karya yang dipamerkan di sanggar Candra Kirana atau di Fine Art Gallery di jalan Kayu Tangan. Katanya seputar semangat belajar, Waktu kecil, saya pernahmelihat pelukis-pelukis LEKRA bekerja membuat poster-poster ukuran raksasa yang bagus dan ekspresif sekali. Mereka menggambar semangat perjuangan kaumburuh dan tani. Hasilnya lalu ditancapkan di atas gedung BPU (Balai Pertemuan Umum)yang berada di utara patung Chairil Anwar di tengah kota Malang.

Spirit kesenian Ono rasanya tak pernah surut, senantiasa menggelegak, tak terbendung untuk terus melukis atau membuat patung. Apakah karyanya itu bagus atau tidak; secara teknik benar atau salah, semua itu tidak pernah ia persoalkan. Saya melukis dan membuat patung sesuka hati saya. Karya saya adalah hasil pikiran dan rasa hati,demikian ia menegasi isme-nya sendiri. Di waktu yang lain, diam-diam Ono sesungguhnya banyak belajar secara tidak langsung. Pernahi a study kepada pelukis bernama Iskak dan Saleh, seniman terkenal di Malang, Saya mengintip mereka mengajar melukis di gedung dekat Balai Kota Malang. Ketika pulang saya coba meniru pelajaran melukis secara realis sebagaimana saya lihat itu. Usai melukis jiwa saya tambah gelisah dan tidak puas. Lalu perlahan saya tinggalkan realis dan menjajagi dunia abstrak figuratif .demikian Ono memulai pilihannya tentang aliran melukis. Melandasi pilihan Ono sebagai seniman abstrak, juga ditandai pemikiran Hamdy Salad dalam buku berjudul Agama Seni, Refleksi Teologis Dalam Ruang Estetik Estetika Seni Islam tidak mengandungi karakter-karakter yang bersifat realistik dan profan. (Hamdy Salad, 2000: 49), artinya Hamdy mengamini patung karya Ono yang beraliran abstrak figuratif.

Tahun 1970 an Ono berkenalan dengan tokoh-tokoh senirupa Malang seperti Liem Kwie Bing, Sarwanto, Yitno, Kumpul, Kacik dan banyak lagi. Yang paling mengesankan,saya berkenalan dengan Liem Kwie Bing. Perupa ini baik hati, sabar dan tidak sombong. Rumahnya di jalan Kurinci 11, Malang. Saya sering sowan ke rumahnya sekedar untuk berdiskusi, sambil menimba ilmu seputar modern abstrak. ucap Ono akan masa lalunya, Saya banyak belajar dari beliau, perihal bidang dan ruang, brush stroke, warna dan komposisi. Kwie Bing telah saya anggap sebagai guru tidak langsung, Ucap Ono soal guru lukisnya. Tak hanya kenal dengan pelukis,kala itu iakebetulan juga kenal dengan budayawan Dr. Heicov van Ten Ham, seorang Belanda yang mencintai seni rupa dan banyak mengkoleksi lukisan dan patung dari seniman-seniman berbakat di Jawa Timur, khususnya di Malang. Ten Han banyak membantu saya dan teman-teman. Selain membeli karya-karya abstrak saya, dia juga banyak mengenalkan saya dengan tokoh-tokoh seni rupa, misalnya dengan C.J. Ali, Dos Laksono, Karyono, Supono, Yoshinogi dan Ipe Makruf yang sketser. Ten Ham menasehati saya begini: Ono, kamu harus lebih berani bermain-main dalam abstrakmu yang sudah bagus itu terang Ono seraya membetulkan letak kaca mata minusnya yang melorot.

Masih di seputar tahun 1970 an, ada peristiwa yang mempengaruhi perjalanan kesenian Ono Gaf yang cukup penting, yakni ketika ia bertemu dengan Ibu Bagus Sulaiman Hadi, istri seorang pengusaha besar di Malang. Ibu Bagus adalah seorang intelektual dan kolektor seni yang tinggal di jalan Kartini 3A, Malang. Dari rumah inilah Ono dikenalkan lebih luas sebagai perupa, sampai karya-karya patungnya diperhitungkan di Indonesia. Ono dikenalkan Umar Kayam, Kusnadi, Zaini dan Rusli; mereka-mereka itu adalah para seniman papan atas di Indonesia. Selain itu dia juga pernah dijumpakan dengan Sudjatmoko politikus besar jaman Soekarno.

Kalau kita perhatikan, Ono memang tak bisa hidup jauh dari besi-besi rongsok. Barangkali, tangan dan pikirannya akan gatal ketika melihat besi-besi tua yang teronggok bebas. Rongsokan besi itu seakan menantang untuk dikerjai di studio jalanan-nya. Saya sering tak tahan melihat bentuk besi-besi rongsokan yang bagus-bagus. Karena hal itu saya biasanya segera bekerja untuk membuatnya sebagai sebuah karya. Kadang saya diusir karena dianggap mengganggu lalu lintas. Kalau sudah begitu, ya saya pindah namun tetap menyelesaikan karya tersebut sampai tuntas. Komentar Ono bersiteguh hati soal ruang berkaryanya. Terkait spirit berkarya ini, Ono Gaf terkesan nasehat Ibu Bagus, Ono, Seniman itu harus intelektual. Seniman itu harus pintar bahkan kalau perlu jenius, namun seniman itu juga mesti humanis. Jiwa kemanusiaan menjadi landasan utama ia ber karya, sebab seni sesungguhnya memuliakan Tuhan dengan cita rasa keindahanNya. Saya hanya bisa mendukung kamu menjadi pandai, tapi tidak membuat kamu menjadi kaya. Begitu tuturan ibu Bagus, namun lain lagi yang dikata pak Sugiono, mantan Walikota Malang, yang kebetulan kenal dengan Ono. Ceritanya bermula pada suatu petang, ia diajak semobil dengan orang nomer satu itu. Dalam perjalanan putar-putar kota Malang, Ebes Sugiono bilang: Ono, aku ini seorang Kolonel, memimpin tentara itu rasanya gampang, tapi mimpin seniman macam kamu itu kok sulit setengah mati kata Ebes Sugiono sambil tertawa mewarnai persahabatan mereka.

Perjalanan Ono sebagai pematung sudah panjang.Tahun 1975 ia berpameran tunggal di Lembaga Indonesia-Amerika di Surabaya; Tahun 1980 secara atraktif ia menjajarkan patung-patung besinya di pinggir jalan raya Tlogomas menuju kota Batu. Kata Ono hal itu ia maksudseni untuk siapa saja. Tahun 1981 ia berpameran seni rupa di Museum Fatahillah, Jakarta, yang dibuka oleh Bapak Daud Yusuf, menteri pendidikan. Tahun 1989 Ono diminta oleh Profesor Galdygas dari Kanada,untuk mengerjakan Monumen Dayak di kota Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Pada tahun 1990 ia dan putranya mengerjakan patung Sarjanauntuk Ikon Universitas Merdeka-Malang yang sampai hari ini terpancang di taman pintu gerbang Universitas tersebut, mengerjakan beberapa patung di Jatim Park dan Klub Bunga milik pak Sastro (Asen). Tahun 2010 Ono bergabung dengan Asosiasi Pematung Indonesia (API).

Ono sudah puluhan kali berpameran lukis dan patung, bahkan yang terbaru tahun ini (2015) ia pameran dan berkarya bersama di kota Perth, Australia, atas undangan Gina seniman New Zealand dan Andrew seniman Australia. Di negeri Kanguru ini ketiga seniman ini berkolaborasi menggarap karya patung besi yang berobyek burung Emu (burung Unta) ciri khas benua Australia. Patung Emu yang kami buat setinggi 4m berat 3 ton. Kami kerjakan selama 2 minggu secara serius dan intens. Sebelum saya ke Australia, sebenarnya saya telah menggarap karya pesanan, patung kura-kura berukuran panjang 7 m, lebar 4 m, tinggi 3 m, berat 10 ton untuk rumah makan Kerta Sari di kota Batu, Jawa Timur. Kata Ono berbangga.

Ono kini tinggal di Jalan Semeru gang Gereja 12, Malang. Sejauh ini ia masih saja menggeliat resah untuk terus berkarya. Semangatnya terjaga baik bersama istri tercintanya, Tristianingsih Knefel dan anak-anak mereka: Muhamad Firdaus, Mega Cahaya, Vanda Monika yang disemangati ke 8 cucunya yang sehat dan lucu.(*)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA