Negara mana di Asia tenggara yang melakukan reklamasi mengapa berikan alasannya

Keterangan gambar,

ASEAN menyebut aktivitas reklamasi di Laut Cina Selatan 'gerus kepercayaan dan meningkatkan ketegangan'.

Pertemuan puncak ASEAN di Manila, Filipina, berakhir hari Minggu (06/08), dengan komunike bersama yang sepertinya mengecam Cina karena membangun pulau-pulau buatan di perairan yang dipersengketakan di Laut Cina Selatan.

Dengan tanpa menyebut nama Cina, sepuluh negara anggota ASEAN mengatakan reklamasi untuk membangun pulau di wilayah sengketa di Laut Cina Selatan menggerus kepercayaan dan meningkatkan ketegangan.

"Setelah melalui diskusi yang intensif, kekhawatiran diutarakan oleh beberapa negara anggota terkait dengan reklamasi dan aktivitas di kawasan tersebut yang telah menggerus rasa saling percaya, meningkatkan ketegangan, dan mungkin akan berakibat buruk terhadap perdamaian, keamanan, dan stabilitas," demikian pernyataan ASEAN.

Keterangan gambar,

Warga di Hanoi, Vietnam, memprotes klaim Cina di Laut Cina Selatan.

Menurut kantor berita Reuters yang mengutip beberapa diplomat ASEAN, negara-negara anggota yang menginginkan komunike yang mencantumkan 'masalah-masalah sensitif' antara lain adalah Vietnam, yang bersama Cina sama-sama mengklaim sebagai pemilik Kepulauan Paracel dan Spratly.

Juga pada hari Minggu, para menteri luar negeri ASEAN dan Cina mengadopsi kerangka kerja perundingan tentang kode etik di Laut Cina Selatan, yang dianggap sebagai kemajuan, namun beberapa pihak menyebut 'ini adalah strategi Cina untuk mengulur waktu guna melakukan konsolidasi'.

Beijing bersikukuh pulau-pulau buatan tersebut semata-mata untuk kepentingan damai, namun negara-negara tetangga Cina khawatir kepulauan ini akan dimanfaatkan pemerintah di Beijing untuk mengklaim kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan.

Konten tidak tersedia

  • {{promo.headlines.shortHeadline}}

  • Lihat Foto

    Straitstimes

    Singapura.

    JAKARTA, KOMPAS.com - Proyek reklamasi atau pembangunan pulau buatan di pesisir utara Jakarta merupakan salah satu persoalan yang menjadi buah bibir masyarakat selama beberapa tahun terakhir.

    Persoalan itu semakin santer dibicarakan ketika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin pembangunan proyek reklamasi pada September 2018.

    Proyek reklamasi sendiri bukanlah sebuah hal yang baru. Berdasarkan penelusuran Kompas.com, setidaknya ada puluhan negara yang "menyulap" area perairan mereka menjadi daratan baru.

    Singapura, negara tetangga Indonesia, merupakan salah satu contohnya. Reklamasi menjadi cara Singapura mengatasi keterbatasan lahan di sana.

    Berdasarkan data resmi Pemerintah Singapura, saat ini negara tersebut mempunyai luas 721,5 kilometer persegi. Angka tersebut 140 kilometer persegi lebih luas bila dibandingkan luas daratan Singapura ketika merdeka pada 1965.

    Baca juga: Singapura, Kota Termahal Kedua bagi Crazy Rich Asians

    Sebetulnya, reklamasi di Singapura bukanlah barang baru. Reklamasi di Singapura pertama kali dilakukan pada 1822 saat Singapura masih berada di bawah kekuasaan Inggris.

    Reklamasi besar-besaran baru dimulai pada 1966 dan terus berjalan selama 30 tahun lamanya dalam tujuh fase pembangunan. Lantas, bagaimana Pemerintah Singapura memanfaatkan lahan hasil reklamasi?

    Salah satu lahan reklamasi yang paling dikenal di Singapura adalah sebuah area yang dinamakan Marina Bay. Marina Bay adalah tempat berdirinya sejumlah destinasi wisata populer seperti Marina Bay Sands, Gardens by The Bay, hingga kincir raksasa Singapore Flyer.

    Lihat Foto

    WWW.FORMULA1.COM

    Tahun ini, Formula One Grand Prix akan digelar pada 16-18 September bertempat di Marina Bay Street Circuit.

    Marina Bay pun menjadi "tuan rumah" berbagai ajang bergengsi setiap tahunnya, seperti balapan Formula One, parade Hari Kemerdekaan Singapura, dan perayaan tahun baru.

    Namun, reklamasi di Singapura tak seutuhnya ditujukan untuk kepentingan wisata. Sebagian besar lahan reklamasi diperuntukkan untuk zona residensial dan komersial.

    Baca juga: Januari 2019, Orchard Road di Singapura Bakal Bebas dari Asap Rokok

    BERITA tentang kegaduhan izin reklamasi Pantai Ancol, pada koran harian Kompas edisi Sabtu (4/7/ 2020), menggelitik memori-memori indah pada tiga negara.

    Sama sekali tidak menggelitik keingintahuan siapa yang benar soal hukum. Tidak juga tentang siapa yang unggul secara politik. Tidak ada sama sekali.

    Hanya memunculkan kembali memori-memori bagus di negara yang menikmati kemewahan dan kenyamanan hidup dari hasil reklamasi. Pengalaman ke negara-negara pro-reklamasi membuat pengalaman menikmati kemewahan dan kenyamanan tersebut lebih hidup.

    Singapura, Belanda, dan Louisiana (Amerika Serikat), adalah negara/negara bagian yang menikmati manfaat sosial, kecantikan lansekap, dan pertumbuhan ekonomi dari reklamasi. Baik itu reklamasi dengan teknik mengeringkan laut (polder) atau pun menimbun laut dengan tanah (land-fill).

    Baca juga: Pemprov DKI Revisi Perda Tata Ruang untuk Akomodasi Reklamasi Ancol

    Video Rekomendasi

    Entah kebetulan atau tidak, ketiga negara tersebut masing-masing dua kali saya kunjungi. Entah beruntung atau tidak, visitasi ketiganya dibiayai oleh organisasi-organisasi dari setiap negara. Itu memori indah utama dan abadi bagi saya.

    Kita ke negara pertama, Belanda. Dua kali mengikuti pelatihan tahun 2011 dan 2017, masing-masing di Wageningen University dan Twente University.

    Semoga bisa sampai yang kelima. Semuanya memberikan kesan manis dan ingin balik lagi, serta kecerdasan rekayasa sipil dutchman.

    Kesan manis terhadap infrastruktur, sarana, prasarana, hutan buatan, dan tata ruang di atas lahan reklamasi terasa saat keluyuran. Baik keluyuran resmi (study tour) maupun keluyuran pribadi.

    Kalo soal cerdas, biar fakta yang bicara. Tiap tahun ratusan mahasiswa dari Indonesia belajar ke sana.

    Lebih dari 2.500 mahasiswa Indonesia belajar di sana, berdasarkan data Nuffic-Neso (Netherlands Education Support Office) Indonesia tahun 2019. Tokoh menteri yang alumni Universitas di Belanda adalah Menteri Luar Negeri, Ibu Retno Marsudi. Juga Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Ibu Siti Nurbaya Bakar.

    Memori indah berikutnya, adalah waktu pertama kali mendarat di bandara Schiphol. Kaget bukan main, ketika diumumkaan di pesawat, bahwa bandara ini berada 5 meter di bawah permukaan laut Utara (North sea, Belanda: Noord zee).

    Membayangkan akan melihat laut saat turun tangga pesawat, eh ... malah sepanjang mata melihat hanya hamparan lahan komersial dan pertanian. Reklamasinya masif sekali.

    Masuk dalam bandara, tata ruangnya rapi, bersih, deretan toko indah dilihat dan lega pedestriannya serta petugasnya ramah.

    Baca juga: Reklamasi Ancol Diklaim Bisa Atasi Banjir Jakarta, tapi Bisa Ancam Pemulihan Teluk Jakarta

    Bandara ini adalah hasil dari teknik reklamasi bernama polder. Maksudnya, kita membuat daratan dari kawasan laut, dengan cara mengeringkannya. Bukan menimbunnya (land-fill). Mantap kan? Laut dikeringkan lalu jadi bandara dan kawasan komersial.

    Memori cakep selanjutnya adalah saat keluyuran di provinsi Flevoland. Ini merupakan monumen kedigjayaan proyek reklamasi di Belanda.

    Seratus persen provinsi dari hasil reklamasi dengan teknik penimbunan (land-fill). Iya, Anda tidak salah baca, 100 persen danau (dulunya laut) ditimbun lalu menjadi provinsi kedua belas.

    Dengan luas wilayah reklamasi sekitar 2.400 km persegi, Flevoland merupakan provinsi terluas nomer 6 dari 12 provinsi. Sangat mengejutkan juga, ternyata provinsi baru hasil reklamasi lebih luas dari provinsi lain yang lebih tua.

    Populasinya nomer 8 terbanyak. Sedangkan ekonominya (produk regional bruto per kapita) nomer 9. Inilah serangkaian fakta bahwa lahan reklamasi, jika dikelola dengan baik, pasti memajukan ekonomi.

    Cornelis Coffeman, kolega dari desa Urk di provinsi Flevoland, adalah orang yang mengantar berkeliling. Dari Lelystad, Ibukota provinsi, berkeliling pesisir desa (yang dulunya pesisir laut, dan sekarang jadi pesisir danau).

    Mari belajar sejarah sejenak. Agar sama pengetahuan kita, tentang waduk Ijsselmeer (baca: ai-sel-mer). Dulu, sebelum jadi waduk (danau buatan), wilayah ini adalah lautan teluk yang terbuka ke laut Utara.

    Untuk mencegah terjadinya banjir pada daerah sekitarnya, maka pemerintah melakukan mitigasi, dengan membangun dam/bendungan bernama Afsluidijk (baca: af-sloit-daik) tahun 1927-1932.

    Dam inilah yang mengubah air asin di teluk (dahulu) dan kemudian menjadi air tawar (saat ini), dan diberi nama Ijsselmeer. Rata-rata kedalamannya 5 meter.

    Kembali lagi, kami lalu lanjut ke pabrik pengolahan ikan, diteruskan ke Kantor Pelelangan Ikan, kemudian ke tempat belanja barang bermerek (Batavia Stad Factory Outlet), lanjut ke Museum Perikanan, monumen korban musibah kapal ikan yang tenggelam. Terakhir ke sekolah perikanan tertua di Belanda.

    Waktu ke sekolah perikanan, dia sangat dihormati. Selidik informasi ke guru di sana, ternyata dia mantan Kepala Sekolah di situ. Karena reklamasi, dia kemudian menjadi komisaris di perusahaan perikanan yang berinvestasi di situ.

    Dengan perubahan danau jadi daratan, dia naik status jabatan dan pendapatan. Bagi masyarakat di Urk, reklamasi merubah teritorial pasif menjadi komersial aktif.

    Ketika proses reklamasi bagian timur danau Ijsselmeer menjadi daratan pulau, Cornelis masih jadi Kepala Sekolah Perikanan di Urk. Saat itu, belum ada industri perikanan, karena tidak ada lahan darat.

    Sebuah foto ditunjukkannya, terlihat kondisi Pulau Urk dari udara yang terisolasi di Danau Ijsselmeer. Sebuah pulau tanpa harapan, tidak ada kemajuan selama ratusan tahun dan nihil prospek positif.

    Video yang berhubungan

    Postingan terbaru

    LIHAT SEMUA