Mengapa suatu negara melakukan impor sebutkan penyebabnya

16 May 2018, 13:48 WIB - Oleh: Rayful Mudassir

ANTARA/Budi Candra Setya Petugas mengawasi bongkar muat kedelai impor dari Amerika, di Pelabuhan Tanjung Wangi, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (10/10).

Bisnis.com, JAKARTA – Meningkatnya nilai impor sebesar 11,28% menjadi US$16,09 miliar pada April 2018 diyakini lebih konsumsi dan kebutuhan bahan baku dan barang modal menjelang Ramadan. 

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menuturkan selain karena permintaan kebutuhan konsumsi menjelang Ramadan, kenaikan impor bahan baku dan modal menandakan industri sedang tumbuh di dalam negeri.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan kenaikan impor, yakni permintaan konsumsi masyarakat, pemenuhan bahan baku untuk industri dan barang modal untuk proyek infrastruktur. Sementara faktor eksternal, pihaknya memprediksi akibat adanya dampak pengalihan pasar ekspor. Sedangkan faktor nilai tukar belum dapat dilihat.

“Kenaikan impor bahan baku tersebut tentu sebagai respon terhadap investasi dan operasional industri manufaktur baik yang orientasi ekspor maupun untuk pasar dalam negeri,” katanya kepada Bisnis.com.

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik nilai impor Indonesia pada April 2018 mencapai US$16,09 miliar atau naik 11,28% dibanding Maret 2018. Angka ini juga lebih baik jika dibandingkan April 2017 lebih baik 34,68% dibanding April ini.

Adapun produk impor nonmigas mencapai US$13,77 miliar pada April atau naik 12,68% dibanding bulan sebelumnya. Sementara jika dibanding April 2017, angka ini meningkat 33,69%. Lain lagi dengan impor migas yang mencapai US$2,32 miliar atau naik 3,62% dibanding Maret 2018 serta naik 40,89% dibanding April 2017.

Menurut data yang sama, China menempati urutan teratas sebagai negara pemasok barang impot non migas dengan nilai US$13,92 miliar atau berkontribusi terhadap impor sebesar 27,28%, disusul Jepang sebesar US$5,98 miliar (11,72%) dan Thailand US$3,45 miliar (6,77%). Secara kawasan, impor non migas dari Asean mencapai 20,50% serta Uni Eropa berkontribusi untuk impor 9,21%.

Sementara itu, peningkatan impor nonmigas terbesar terjadi pada golongan mesin dan peralatan listrik sebesar US$315,3 juta atau meningkat 20,87% dibanding bulan sebelumnya, sedangkan penurunan terbesar adalah golongan kapal laut dan bangunan terapung sebesar mencapao US$47,7 juta atau naik 36,55%.

Nilai impor semua golongan penggunaan barang baik barang konsumsi, bahan baku penolong dan barang modal selama Januari-April 2018 mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun barang konsumsi naik sebesar 26,09%, bahan baku penolong meningkat 21,86% dan barang modal tertinggi kenaikannya mencapai 31,04%.

Kenaikan impor migas dan non migas disebabkan oleh naiknya nilai impor keduanya, peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah menjadi US$1.076,9 juta, meskipun impor hasil minyak dan gas turun masing-masing US$215,0juta (4,11 persen) dan US$33,6 juta (3,65 persen).

“Beberapa event nasional dan internasional di bulan-bulan ke depan bisa saja nanti menjadi faktor stabilnya impor yakni saat Pilkada, Asian Games, termasuk perhelatan tahunan IMF di bulan Oktober nanti,” katanya.

Senada dengan itu, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengaku meningginya impor bahan baku diasumsikan sebagai penanda untuk pertumbuhan di kuartal berikutnya. “Tingginya impor itu di bahan baku, untuk golongan konsumsi tinggi impor karena menjelang Lebaran,” katanya.

Defisit kali ini merupakan terdalam dibanding dua tahun terakhir. Bahkan saat menjelang puasa, defisit perdagangan tidak terjadi pada 2016. Namun pada 2017 hanya dirasakan sedikit defisit yakni US$280 juta pada Juli.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira mengemukan defisit perdagangan membengkak terutama disebabkan karena impor migasnya sepanjang Januari sampai April menjadi US$9 miliar, lebih tinggi US$700 juta dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sementara impor migas juga tumbuh 40,8% (yoy) karena efek kenaikan harga minyak mentah dunia. Tekanan impor juga berasal dari impor barang konsumsi yang tumbuh 25,8% dibanding bulan Maret. 

Kondisi ini menurut Bhima tidak sehat bagi perekonomian. Meningkatnya impor membuat permintaan dolar AS naik signifikan. Akibatnya rupiah diprediksi terus melanjutkan pelemahan hingga Juni.

Adapun untuk mitigasi jangka pendek yang ditawarkan ialah melakukan perundingan dagang dengan negara tujuan ekspor yang mengeluarkan kebijakan proteksionisme seperti India dan Eropa dalam konteks CPO.

Selain itu pemerintah dapat mendorong hilirisasi industri agar ekspor semakin bernilai tambah sehingga tidak hanya  berganrung pada ekspor komoditas bahan mentah. Sementara agar industri berorientasi ekspor tidak bergantung pada bahan baku impor, pemerintah dapat memberikan insentif dengan mendorong industri substitusi bahan baku impor.

"Intinya tidak ada jalan pintas kalau mau neraca perdagangannya berkualitas," katanya.

Melihat kondisi saat ini,  Indef memperkirakan sampai akhir semester I masih akan terus mengalami defisit. Padahal kondisi ekonomi negara tujuan ekspor sedang bagus. Seperti China pada triwulan I tumbuh 6,8% dan AS naik 2,3%. Namun akibat potensi perang dagang,  produk unggulan ekspor RI ikut menjadi korbannya.

Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kenaikan ini impor dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama adanya pelemahan rupiah terhadap dolar AS sehingga mempengaruhi peningkatan nilai impor dibanding ekspor.

Pasalnya ketergantungan impor bahan baku untuk industri yang tinggi membuat harga barang lebih mahal. Namun kondisi ini tidak membuat impor dikurangi karena memang dibutuhkan.

“Kedua, kenaikan impor ini akibat menjelang Ramadan dan lebaran, impor bahan pangan juga meningkat, itu sebabnya impor golongan serealia meningkat,” sebutnya. Faktor ketiga ialah peningkatan impor minyak menjelang ramadhan dan lebaran, dari sisi volume meningkat, selain itu harganya juga naik.

Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto mengaku kondisi ini tidak biasa terjadi di mana kebutuhan bahan baku dan modal meningkat. Biasanya peningkatan dua golongan itu terjadi 2 atau 3 bulan menjelang Ramadan untuk mengantisipasi kebutuhan industri saat libur panjang lebaran.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

Ilustrasi impor.

KOMPAS.com - Menurut Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia saat ini masih terlalu bergantung terhadap barang impor.

Jokowi mengatakan, bahan baku barang-barang yang diproduksi di dalam negeri sebagian besar kebanyakan masih impor.

"Karena barang yang kita produksi di dalam negeri bahan bakunya kebanyakan masih impor. Termasuk di dalamnya yang paling besar adalah petrokimia, dan yang namanya impor minyak dan gas," ujarnya. (Kompas.com, 6/6/2019)

Jokowi berharap dalam 4-5 tahun ke depan Indonesia bisa mengurangi beban impor.

Sebenarnya apa arti impor? Dan mengapa negara melakukan impor?

Baca juga: Jokowi Prediksi Dalam 5 Tahun Pemerintah Tak Lagi Impor Bahan Petrokimia

Pengertian impor

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), impor adalah pemasukan barang dan sebagainya dari luar negeri. Mengimpor adalah kegiatan memasukkan barang dagangan dan sebagainya dari luar negeri.

Pengimpor adalah orang (perusahaan dan sebagainya) yang mengimpor. Pengimporan berarti proses, cara, perbuatan mengimpor.

Kebalikan dari impor adalah ekspor, yaitu kegiatan menjual barang atau jasa ke luar negeri. Pihak penjual disebut eksportir sedangkan pihak pembeli disebut importir.

Baca juga: Tiga Produk Impor Ini Berpotensi Rugikan Industri Dalam Negeri

Kegiatan ekspor impor berdasar hukum Undang-undang No. 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 1995 tentang Cukai.

Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2006, impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean dalam hal ini wilayah negara Republik Indonesia.

Mungkinkah satu negara tak melakukan impor pangan atau produk lain?

Sumber gambar, Reuters

Keterangan gambar,

Di saat pelemahan rupiah seperti sekarang ini, arus keluar dollar lewat impor barang dan jasa harus ditekan karena dapat memperlemah rupiah terhadap dollar.

Ucapan (janji) kampanye Prabowo Subianto pada Minggu (4/11) untuk mengelola Indonesia menjadi "swasembada pangan, energi, dan air" menjadi ramai dibicarakan. Sebagian mengatakan tak mungkin, yang lain mendukung.

Apakah bisa suatu negara tidak melakukan impor sama sekali dan apakah impor buruk bagi perekonomian suatu negara?

Impor atau kegiatan yang memasukkan barang atau jasa ke suatu negara biasanya dilakukan karena negara tersebut tidak dapat menyuplai atau mencukupi - lewat proses produksi, tambang atau tanam - sendiri barang atau jasa tersebut.

Indonesia misalnya mengimpor kedelai hingga sekitar 2 juta ton per tahun karena produksi domestik tak dapat mengimbangi permintaan konsumsi nasional.

Iklan

Apakah suatu negara bisa tidak mengimpor apapun dari negara lain? Mungkin bisa namun biaya produksinya bisa jadi sangat mahal.

Itulah mengapa suatu negara memutuskan untuk mengimpor barang atau jasa dari negara lain: untuk memastikan bahwa produk atau jasa yang dibutuhkan atau diinginkan penduduk negara itu dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah atau efisien.

  • Anda masih mampu membeli daging, tahu tempe dan obat meski Rupiah melemah?
  • Restriksi impor daging sapi Indonesia terancam dicabut WTO
  • Impor daging babi di Indonesia: Peternak di dalam negeri 'jadi anak haram'

Apa saja manfaat dari impor barang atau jasa?

Selain karena alasan efisiensi, ada beberapa alasan lain mengapa impor perlu dilakukan, dan baik.

Impor dapat memperkenalkan produk baru ke pasar. Pernahkah Anda berpikir bagaimana jika Indonesia tidak mengimpor ponsel pintar atau komputer yang saat ini Anda pakai untuk membaca artikel ini?

Impor juga memungkinkan diproduksinya produk atau jasa berkualitas. Tahukah Anda jika komponen ponsel pintar atau komputer Anda tidak berasal dari satu tempat (negara) yang sama?

iPhone X misalnya, layarnya berasal dari Korea Selatan, cip memorinya berasal dari Jepang dan Korea Selaran. Jika komponen-komponen ini tidak bisa diimpor ke Cina (tempat ponsel itu dirakit) - maka ponselnya mungkin akan berbeda atau jauh lebih mahal dari yang beredar saat ini.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Indonesia mengimpor kedelai hingga sekitar 2 juta ton per tahun karena produksi domestik tak dapat mengimbangi permintaan konsumsi nasional.

Mengapa suatu negara mengimpor dan mengekspor barang yang sama?

Terkadang bahkan suatu negara mengimpor barang atau jasa yang sudah dimilikinya secara domestik, dan kemudian mengekspor barang yang sama. Terdengar aneh?

AS misalnya, mereka terkenal sebagai negara produsen mobil. Namun di jalanan AS kita banyak melihat mobil buatan Jepang atau Korea melintas di sana.

Dalam kasus Indonesia, kita mengimpor - dan mengekspor - minyak bumi.

Hal ini disebabkan oleh diferensiasi produk. Mobil produksi AS dikenal tangguh namun cukup boros bahan bakar. Sebaliknya, mobil buatan negara Asia dikenal lebih hemat bahan bakar.

Begitupun halnya dengan impor dan ekspor minyak bumi Indonesia. Indonesia mengekspor minyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan domestik dan mengimpor minyak yang sudah dimurnikan di luar negeri.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar,

Di Indonesia daging sapi impor hanya boleh diperjualkan di restoran dan hotel, tak boleh di pasar tradisional.

Apakah impor buruk untuk perekonomian suatu negara?

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Dunia Pagi Ini BBC Indonesia

BBC Indonesia mengudara pada Pukul 05.00 dan 06.00 WIB, Senin sampai Jumat

Episode

Akhir dari Podcast

Impor, karena melibatkan pembayaran atau pengeluaran uang, selalu dianggap buruk dibanding ekspor yang mendatangkan penerimaan uang.

Namun sebenarnya tak jarang ekspor justru membutuhkan impor.

Tekstil di Indonesia misalnya. Industri sebesar Rp150 triliun itu menyumbang 1,11% PDB nasional pada 2017, dan merupakan salah satu dari sepuluh eksportir terbesar di dunia.

Angka itu hanya akan terwujud jika industri melakukan impor katun atau kain dari luar negri serta mesin, teknologi pendukung dan kecakapan teknik. Jumlah impor tekstil sendiri mencapai Rp103 triliun pada 2017.

Di sisi lain, impor berarti arus keluar uang, dan biasanya dalam dollar AS. Di saat pelemahan rupiah seperti sekarang ini, arus keluar dollar harus ditekan karena dapat memperlemah rupiah terhadap dollar.

Impor tak (selalu) buruk. Namun defisit perdagangan (jumlah impor melebihi ekspor) yang berlebihan dalan jangka panjang dapat menurunkan jumlah lapangan pekerjaan yang disebabkan kompetisi dari impor.

Dan penurunan lapangan pekerjaan ini akan mengganggu perekonomian dan dapat mengarah ke impor dan defisit yang lebih besar lagi.

Neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif Januari-Juli 2018 mencatat defisit 3,09 miliar dolar AS. Hal ini disebabkan pembelian bahan modal, termasuk mesin dan pesawat mekanik, dan impor migas.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA