Mengapa setelah integrasi ekonomi disparitas harga relatif sama

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN
REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

BUMN Harus Masuk ke Hulu Industri Perunggasan Untuk Stabilisasi Harga

Jakarta, 13 Mei 2016

Impor Grand Parent Stock (GPS) yang berlebih, karena over estimasi perhitungan demand, pada tahun 2013-2014 telah mengakibatkan over supply produksi daging ayam. 

Persaingan di pasar pun menjadi pincang karena perusahaan integrasi besar juga memasok daging ayam ke pasar trandisional. Usaha peternakan ayam ras pedaging (broiler) sekitar 95% saat ini dikuasai perusahaan integrasi dan hanya 5% peternak mandiri. Sedangkan peternak ayam ras petelur (layer) 100% peternak mandiri.

Peternak mandiri  ayam ras pedaging (broiler) sulit bersaing dengan perusahaan integrasi dilihat dari sisi penguasaan sarana produksi dan efisiensi usaha sehingga harga relatif lebih tinggi.

“Kita harus masuk ke hulu industri perunggasan ini. Kita juga harus mulai merancang kebijakan dari sekarang. Jika terus begini persaingan nanti tidak jalan dan kita tidak bisa mulai dengan market yang terlalu pincang," ujar Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam Rapat Koordinasi Terbatas Penyehatan Struktur Industri Peternakan Ayam, Jakarta (13/5).

Hadir dalamrapat ini Menteri BUMN Rini M Soemarno, Menteri Perindustrian Saleh Husin, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Syarkawi Rauf, dan pejabat Kementerian/Lembaga terkait.

Dari hasil pantauan KPPU di bulan Januari-Februari, terjadi disparitas harga yang tinggi untuk komoditas daging ayam. Daging ayam di tangan peternak dihargai Rp10.000 per kilogram. Sementara harga daging ayam yang berlaku di pasaran berkisar di harga Rp38.000-Rp40.000 perkilogram dari harga yang ideal Rp18.000 perkilogram. Karena itu intervensi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dibutuhkan.

“BUMN harus masuk juga untuk mengimbangi perusahaan yang mendominasi itu," ungkap Menteri BUMN Rini M. Soemarno.

Sepakat dengan Menteri BUMN, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, "BUMN harusnya mulai masuk dari situ agar tidak berdampak sampai ke harga penjualan nantinya”.

Sebagai tindak lanjut rapat ini, Menko Perekonomian menginstruksikan agar segera dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi draft Permentan dan draft Permendag tentang Penataan Keseimbangan Pasar Perunggasan.

Selain itu, juga bertemu dengan KPPU beserta perusahaan integrasi yang ada. (ekon)

Tim Komunikasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

Email: 
twitter: @perekonomianRI
website: www.ekon.go.id

Jika kita perhatikan atlas dunia tampak kondisi geografis Indonesia sangat unik. Tak satu negara pun menyerupai Indonesia. Dengan hamparan 17.000 pulau lebih dan luas lautan yang sekitar dua kali lipat luas daratan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang paling kaya keanekaragaman kekayaan alam, sosial, budaya, suku, adat istiadat, dan bahasa daerah.

Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki tiga zona waktu, namun menyatu di dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sungguh kita merupakan negara kesatuan maritim.

Penduduk Indonesia terbanyak keempat di dunia. Pemeluk agama Islam terbesar di dunia dan tergolong moderat.  Kita merupakan negara demokrasi ketiga terbesar  dunia.

Namun, secara ekonomi kita masih tersegmentasi. Ada cukup banyak pertanda bahwa integrasi perekonomian nasional kita masih sangat lemah.

Pertama, disparitas harga yang cukup tajam antardaerah dan antarpulau. Hal ini terlihat dari disparitas harga antardaerah dan antarpulau yang relatif besar. Hasil produksi suatu daerah atau pulau sulit dikirim ke daerah atau pulau lainnya. Keunggulan komparatif daerah tak bisa terwujud. Harga durian, misalnya, sangat murah di daerah produsen tapi sangat mahal di Jakara. Ongkos angkut yang mahal dan fasilitas kontainer khusus yang minim membuat durian Bangkok lebih merajai di pasar modern Jakarta. Penduduk di luar Jawa sangat jarang menjumpai salak Pondoh. Mereka lebih akrab dengan buah-buahan impor.

Semakin jauh dari pusat-pusat grafitasi kegiatan ekonomi, semakin mahal harga-harga barang dan jasa. Harga-harga komoditas di sentra-sentra produksi juga relatif jauh lebih murah ketimbang di daerah-daerah konsumen. Misalnya, harga jeruk Pontianak jauh lebih mahal di Jakarta ketimbang di daerah asalnya. Akibatnya warga Jakarta lebih gandrung membeli jeruk dari China ketimbang jeruk Pontianak, karena Jakarta dan China “lebih terintegrasi” ketimbang Jakarta dan Pontianak. Mengapa? karena ongkos angkut dari Pontianak ke Jakarta lebih mahal ketimbang ongkos angkut dari China ke Jakarta.

Hal ini terlihat dari disparitas harga antardaerah dan antarpulau yang relatif besar. Hasil produksi suatu daerah atau pulau sulit dikirim ke daerah atau pulau lainnya. Keunggulan komparatif daerah tak bisa terwujud. Harga durian, misalnya, sangat murah di daerah produsen tapi sangat mahal di Jakara. Ongkos angkut yang mahal dan fasilitas kontainer khusus yang minim membuat durian Bangkok lebih merajai di pasar modern Jakarta. Penduduk di luar Jawa sangat jarang menjumpai salak Pondoh. Mereka lebih akrab dengan buah-buahan impor. Daerah-daerah di perbatasan lebih mengenal produk-produk negara tetangga ketimbang hasil bangsanya sendiri.

Kedua, Jika hendak bepergian dari Bengkulu ke Padang, kita harus terbang dulu ke Jakarta. Demikian pula jika hendak mengunjungi Palangkaraya dari Pontianak, sekalipun kedua kota ini sama-sama berada di pulau Kalimantan.

Ketiga, negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia membeli bahan baku dari Indonesia, lalu mengolahnya di negara mereka, lantas barang jadi olahannya mereka pasarkan di Indonesia. Jikalau perekonomian kita terintegrasi dan pasarnya efisien, niscaya pengusaha Singapura maupun Malaysia akan mendirikan pabrik pengolahan di Indonesia.

Keempat, jika kita hendak berlibur ke berbagai kota di berbagai negara tetangga, hampir pasti ongkos pesawat terbang yang harus kita keluarkan bisa lebih murah ketimbang berlibur ke berbagai kota di berbagai pulau di tanah air.

Kelima, daerah-daerah penghasil migas dan batubara lebih kerap mengalami pemadaman listrik ketimbang kota-kota di Jawa yang sama sekali tak menghasilkan sumber daya mineral dan energi. Ongkos angkut batubara dari kalimantan ke Jawa dalam setahun bisa untuk membangun satu sampai dua pembangkit listrik di mulut tambang, lalu listriknya bisa dialirkan lewat jaringan transmisi bawah laut, sehingga daerah penghasil energi juga menikmati kecukupan pasokan listrik. Karena tak kunjung terintegrasi, beberapa daerah di Kalimantan Barat sudah menikmati listrik yang dipasok dari pembangkit listrik di Sarawak, Malaysia.

Keenam, pemerintah sudah dan akan terus membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk mengintegrasikan daerah-daerah tertentu dengan luar negeri (baca: untuk meningkatkan daya saing), seraya menimbulkan kantung-kantung kegiatan ekonomi yang eksklusif di dalam negeri atau “terisolasi” dengan daerah Indonesia lainnya.

Ketujuh, warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya lebih mudah mengakses informasi dari mancanegara yang sangat jauh sekalipun ketimbang dari daerah-daerah lain di Indonesia. Kebanyakan warga Indonesia di kota-kota yang lebih kecil sangat sulit mengakses informasi dari Jakarta dan mancanegara; kalaupun bisa, niscaya lebih lama dengan ongkos lebih mahal.

Kedelapan, disparitas pembangunan antardaerah tetap buruk. Sekalipun kita sudah berada di era otonomi daerah, ternyata kue hasil pembangunan makin banyak dinikmati oleh Jawa dan Sumatera.

Kesembilan, pengusaha peternakan sapi di Lampung bisa membeli jagung lebih murah dari California ketimbang dari Gorontalo.

Kesepuluh, cukup banyak perusahaan multinasional yang memindahkan fasilitas pabriknya di Indonesia ke negara-negara tetangga, walaupun bahan bakunya tersedia melimpah di sini. Selanjutnya, produk-produk yang diolah di negara-negara tetangga tersebut dipasarkan di Indonesia. Bahkan produk buah-buahan tropis olahan yang diproduksi perusahaan multinasional dengan merek dagang Del Monte, yang beredar di Indonesia, tak berasal dari pabrik yang berlokasi di Indonesia, melainkan dari pabrik di Afrika Selatan. Padahal, kurang apa kita dalam menghasilkan buah-buahan tropis.

Itu semua terjadi karena selama ini kita gagal mensinergikan potensi-potensi yang ada yang bertaburan di sepanjang gugusan pulau-palau dan hamparan lautan biru.

Kalau begini terus, pantas saja kita tercecer dari persaingan antarbangsa.

Mari kembali ke jatidiri sebagai negara kesatuan maritim.

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA